Senin, 29 September 2008

Pariwisata di Rote Masihkah Menjadi Icon?

Oleh Ferry Ndoen

ANEKA kekayaan di bidang pariwisata di Bumi Flobamora tidak terkira, dan mungkin juga tidak tertandingi di bumi nusantara. Namun aneka obyek pariwisata yang menyebar di ratusan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki ciri khas, dan berdaya tarik wisata yang sangat tinggi itu belum mendapat sentuhan optimal dari para pengelola dan pelaku pariwisata di NTT.

Kita di NTT memiliki wisata alam yang sangat banyak, juga aneka budaya dan adat istiadat, serta ritual adat yang bisa dijual kepada wisatawan, baik wisatawan manca negara, wisatawan nusantara (domestik) serta wisatawan lokal.

Kita juga memiliki aneka wisata pantai/bahari, aneka tarian dan beragam kesenian yang bisa "dijual". Setiap enik, sub etnik yang menyebar di seluruh wilayah NTT memiliki kekhasan tersendiri. Semuanya menarik, bedaya tarik wisata tinggi karena wisata sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia.

Salah satu contoh keunggulan pariwisata yang kini semakin redup adalah wisata bahari/ pantai selancar di Pantai Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya. Selama lima tahun terakhir tidak lagi digelar even bertaraf internasional untuk mempromosikan keindahan pantai itu. Pemerintah setempat, khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Rote beralasan ketiadaan dana untuk menggelar even bertaraf internasional. Dinas ini selalu mengusulkan anggaran untuk menggelar even wisata bertaraf internasional di Nemberala namun mentok dalam pembahasan di DPRD setempat. Dewan setempat menilai kegiatan macam itu hanya menghambur- hamburkan anggaran.

Pantai Nemberala yang sangat indah dengan gulungan ombaknya sangat bagus untuk selancar sudah mendunia. Bahkan Nemberala sudah menjadi icon pariwisata di Rote Ndao.

Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman ketika meliput even Selancar Internasional di Pantai Nemberala bulan Agustus 2000 silam. Even ini digelar Pemkab Kupang karena saat itu wilayah Rote Ndao masih masuk dalam Kabupaten Kupang. Even bertaraf internasional ini digelar dengan melibatkan event organizer dari Propinsi Bali dan menelan dana Rp 500 juta lebih. Gaung yang dihasilkan dari even ini luar biasa. Nemberala langsung mendunia. Apalagi saat itu, panitia pelaksana mampu menghadirkan jaringan internet --yang saat itu masih menjadi "barang aneh" di Rote-- di lokasi kegiatan. Internet sudah disadari sebagai salah satu kebutuhan wisatawan, juga sebagai salah satu perangkat paling efektif untuk "menduniakan" sebuah kegiatan. Maka perkembangan event tersebut langsung bisa diakses masyarakat dunia.

Even Selancar Nemberala 2000 silam itu mampu menyedot ratusan wisatawan yang datang dengan sejumlah kapal. Saat itu, Nemberala diakui sebagai salah satu tempat wisata kelas dunia karena gelombang lautnya tak kalah indahnya seperti di pantai Pulau Hawai, Pantai Kuta-Bali. Tidak sedikit wisatawan yang mengakui irama musik Sasando tak kalah indahnya dengan petikan musik Hawaian yang sudah mendunia itu.

Lalu, apa kabar Nemberala saat ini? Menyedihkan karena potensi wisata kelas dunia itu dibiarkan begitu saja. Tak ada lagi even-even dengan alasan ketiadaan dana. Di saat kabupaten-kabupaten lainnya di NTT begitu gencar menghidupkan sektor pariwisatanya, Rote Ndao malah "mengabaikan" Nemberala. Mestinya pantai ini harus tetap dipertahankan sebagai icon pariwisata d kabupaten terselatan ini.

Tengoklah Kabupaten Alor, yang dalam tujuh tahun terakhir mampu menghidupkan aset-aset pariwisatanya. Pemerintah bersama masyarakatnya bergandengan tangan menggelar Expo Alor secara rutin setiap tahun. Dan even ini sudah mendunia karena sudah masuk dalam rangkaian Sail Indonesia.

Kini Alor sudah mampu memikat hati wisatawan dunia, misalnya dengan "menjual" obyek wisata diving di Pulau Kepa. Tenun ikat Alor dan perkampungan adat di daerah itu sudah dikenal di dunia.

Nah, daya pikat Nemberala jauh lebih kuat. Kita berharap ke depan, icon pariwisata ini dihidupkan lagi agar tetap bersinar ke seluruh penjuru dunia. Investasi bidang pariwisata berdampak luas dan jangka panjang. Nilai ekonomis dari hidupnya sektor pariwisata akan mendongkrak pendapatan rakyat kecil, selain pemasukan bagi daerah. **

Mengatasi Krisis Listrik dengan Energi Alternatif

Oleh Agus Sape

KESAL
, itulah yang dialami warga Kota Kupang dan daerah-daerah lain di NTT akhir-akhir ini. Betapa tidak, listrik di rumah ataupun di kantor kita sering padam. Baik pemadaman terjadwal (bergilir) maupun pemadaman mendadak.

Sejumlah alasan klasik dikemukakan PT PLN. Antara lain pemeliharaan mesin atau bagian dari upaya menghemat bahan bakar solar. Tapi, kita tidak hendak membahas masalah ini di sini. Kita hanya mau mengatakan bahwa kekesalan kita terhadap pemadaman listrik di rumah atau kantor pertanda kita sudah sangat bergantung pada listrik. Listrik sudah ibarat nafas hidup kita. Begitu tidak ada listrik, mati rasanya, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa tidur mengorok dan bermimpi.

Apakah dengan kondisi ini, kita mundur? Boleh jadi. Tapi, coba kita tengok ke tahun 1958 ketika Propinsi NTT mulai berdiri. Apakah NTT ketika itu sudah hidup di bawah gemerlap listrik? Orang-orang yang hidup pada masa itu tahu baik.

Yang jelas kondisi saat itu belum semaju saat ini. Bahkan bisa dikatakan belum ada apa-apanya. Kalaupun sudah ada listrik, itu sangat terbatas. Mungkin hanya ada di biara-biara atau gereja-gereja atau di rumah-rumah pejabat atau rumah raja, menggunakan genset. Warga pada umumnya masih menggunakan lampu pelita. Penggunaan lampu petromax atau biasa kita sebut lampu gas masih dianggap mewah. Tapi, semata-mata untuk penerangan di rumah malam hari. Di luar itu gelap-gulita.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) memang secara resmi berdiri pada tahun 1955, berasal dari penggabungan beberapa perusahaan listrik daerah pada zaman Belanda, yang dinasionalisasikan. Tapi, tentu saja jangkauan pelayanannya masih terbatas. NTT sudah pasti belum tersentuh.

Dengan Peraturan Pemerintah (PP) 18 Tahun 1972, PLN dibentuk menjadi Perusahaan Umum (Perum) dengan modal yang dipisahkan dari keuangan negara. Selanjutnya, PP 23 Tahun 1994 mengubah PLN menjadi PT (Persero) yang seluruh modalnya dimiliki negara.

Dipastikan pada tahun 1970-an, masyarakat NTT sudah mulai menikmati listrik. Bupati Timor Tengah Utara (TTU), Yakobus Ukat, BA, yang menjabat pada tahun 1970 - 1975, punya program menjadikan Kota Kefamenanu sebagai Kota Neon di daratan Timor. Jaringan listrik berlampu neon dipasang di ruas jalan utama Kota Kefamenanu. Kota yang dulunya gelap dan cuma diterangi temaram lampu minyak dari beranda rumah-rumah penduduk, bersalin rupa menjadi terang-benderang (Pos Kupang, 15/9/2008).

Dengan informasi ini dipastikan semua kota kabupaten di NTT sudah diterangi lampu listrik pada tahun 1970-an. Apalagi Kupang sebagai kota propinsi. Hanya memang listrik itu belum dimanfaatkan untuk kepentingan industri.

Kondisi itu masih berlanjut pada tahun 1980-an awal, sebagaimana tergambar dalam laporan Pemerintah Propinsi NTT pada akhir Pelita III. Kendati demikian, listrik termasuk sektor yang mengalami peningkatan di NTT pada masa itu.

Pada pertengahan tahun 1980-an atau memasuki Repelita IV, pembangunan bidang energi listrik terus ditingkatkan. Dilakukan peningkatan dan perluasan eksplorasi dan produksi sumber energi utama seperti panas bumi dan tenaga air serta melanjutkan usaha konservasi energi secara luas di segala bidang. Terjadi peningkatan sarana pusat listrik tenaga diesel (PLTD) yang tersebar, antara lain di Ende, Kupang, dan SoE. Dibangun pula jaringan distribusi yang dapat menunjang terlaksananya program listrik masuk desa.

Pada tahun-tahun berikutnya, penyediaan dan pemakaian energi listrik di NTT terus meningkat. Menurut data dari PT PLN (Persero) Wilayah NTT -- disampaikan dalam sosialisasi UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan mass media di NTT pada tanggal 16 Desember 2003 -- jumlah pelanggan listrik PLN di NTT pada tahun 1998 sebanyak 168.264, dengan daya terpasang 80,65 MW dan unit pembangkit sebanyak 353. Tahun berikutnya jumlah pelanggan naik menjadi 179.350 dengan daya terpasang 80,94 MW, dan pada tahun 2002 naik menjadi 201.469 pelanggan dengan daya terpasang 97,42 MW, dan pada semester I tahun 2003 pelanggan menjadi 202.942 dengan daya terpasang 100,22 MW.

Para pelanggan listrik PLN di wilayah NTT terdiri dari empat kategori, yaitu rumah tangga, bisnis, industri, sosial dan pemerintah. Menurut posisi tahun 2002, pelanggan terbanyak berasal dari rumah tangga 185.639 (92,14 persen), diikuti pelanggan bisnis 8.433 (4,19 persen), lalu pelanggan sosial dan pemerintah 7.274 (3,61 persen). Sedangkan pada semester I tahun 2003, pelanggan rumah tangga sebanyak 186.878, pelanggan bisnis 8.550, pelanggan sosial dan pemerintah 7.393, dan pelanggan industri 121.

Dari grafik yang ditunjukkan PT PLN Wilayah NTT, terlihat sejak tahun 1995 sampai tahun 2000 jumlah pelanggan naik cukup signifikan. Lalu dari tahun 2001 sampai semester I 2003 kenaikan tidak begitu besar.

Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk di NTT dan kecenderungan perkembangan wilayah perkotaan dan banyaknya pembangkit tenaga listrik sampai di kota kecamatan bahkan desa, dipastikan jumlah pelanggan listrik PLN Wilayah NTT sudah jauh lebih banyak dari posisi tahun 2003.

Sayangnya, kecepatan pertumbuhan jumlah pelanggan ini tidak bisa mengimbangi kecepatan naiknya persediaan daya listrik dari PLN. Lagi pula produksi listrik masih mengandalkan tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan bahan bakar solar. Ketika harga BBM cenderung meningkat, beban biaya PLN semakin berat. Sementara itu mesin-mesin pembangkit milik PLN semakin tua, tanpa segera diikuti pengadaan mesin-mesin baru.

Kondisi ini sangat terasa ketika memasuki jam puncak antara pukul 18.00 - 22.00, daya listrik di rumah-rumah cenderung drop. Lebih buruk lagi, ketika PLN melakukan pemadaman bergilir, sebagaimana sedang kita alami saat ini, baik di Kota Kupang maupun beberapa daerah di luar Kota Kupang.

Sebagai pelanggan kita pasti kecewa. Tetapi, mungkin tidak berimbang kalau kita semata-mata mempersalahkan PLN. Kita juga harus bisa menyadari perilaku kita dalam memanfaatkan energi listrik. Kita seringkali menggunakan listrik untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.

Sementara itu, pemanfaatan listrik di rumah-rumah kita pun sudah mengalami diversifikasi. Listrik tidak lagi hanya untuk penerangan malam, tetapi juga untuk menghidupkan televisi, tape recorder, setrika, freezer, kompor listrik, charger handphone, komputer dan lain-lain.

Kalau melihat perluasan pemanfaatan energi listrik ini, kita mesti bersyukur bahwa memasuki usia 50 tahun NTT kita sudah bisa menikmati energi listrik sekian jauh, lebih jauh daripada ketika propinsi ini dibentuk 50 tahun lalu.

Yang perlu kita lakukan pada tahun emas ini adalah, bagaimana kita mencari dan mengembangkan energi alternatif. Kita tidak cukup mengandalkan produksi listrik dari PLTD yang menggunakan bahan bakar solar. Selain karena harga BBM terus melonjak, kita pun perlu mengikuti trend, yakni mengurangi pemakaian bahan bakar yang menimbulkan pencemaran lingkungan.

PLN sendiri, selain terus melakukan pengembangan transmisi, juga terus melakukan eksplorasi panas bumi (geothermal), tenaga uap dan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Sudah lama PLN mengeksplorasi potensi panas bumi (PLTP) di Ulumbu, Manggarai, yang berkapasitas 1 X 2,5 MW, PLTP Mataloko 1 X 2,5 MW dan PLTU Atapupu 2 X 5 MW.

Pada tanggal 15 April 2008, Dirut PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar, meresmikan pembangunan PLTU Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Dengan kapasitasnya 2 X 7 MW, PLTU ini bisa memenuhi kebutuhan listrik wilayah Ende, Sikka dan Flores Timur.

Di Desa Nurabelen, Flores Timur, PT PLN bekerja sama dengan Pemda Flores Timur membangun listrik tenaga batu bara dengan kapasitas 14 MW.

PLN Wilayah NTT juga mengeksplorasi energi air untuk memproduksi listrik. Beberapa tempat yang sudah diketahui potensinya adalah PLTM Reo, Kabupaten Manggarai (6 MW), PLTM Ndungga di Kecamatan Ndona-Ende (3 MW), PLTM Mbuliloo di Kecamatan Wolowaru, Ende (0,1 MW), PLTM Wolodesa di Kecamatan Paga, Sikka (1 MW).

Energi listrik yang cukup menjanjikan di masa depan adalah energi angin. Dari suvai PT PLN, potensi listrik tenaga angin terdapat di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dengan potensi energi angin 0,1 MW. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTT juga sudah membangun dua unit kincir angin di Rote pada tahun 2005. Di TTS juga sudah dibangun sejumlah kincir angin kerja sama dengan Australia. Potensi yang sama terdapat di Sumba.

Melihat perkembangan di NTT akhir-akhir ini, tampaknya potensi listrik tenaga angin akan semakin menjanjikan. Angin kencang yang terus melanda wilayah NTT akhir-akhir ini kiranya tidak semata-mata dilihat sebagai gangguan. Kita pun bisa menangkap nilai positifnya dengan menjadikannya sebagai sumber tenaga listrik.

Keunggulan listrik tenaga angin sudah dirasakan oleh beberapa negara di Eropa dan Australia. Di Australia, misalnya, dibangun di Bald Hill, daerah South Gippsland, Negara Bagian Victoria. Di kawasan berbukit Bald Hill telah dibangun 84 kincir angin dengan tinggi masing-masing 125 meter. Kincir angin sebanyak itu mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas 104 megawatt. Listrik yang dihasilkan kincir angin ini melayani kebutuhan 60.000 rumah tangga di Negara Bagian Victoria.

Kondisi di Bald Hill sebenarnya tidak lebih hebat dari kondisi NTT. Daerah kita yang terdiri dari bukit-bukit sangat potensial untuk pembangunan kincir-kincir angin. Yang paling penting ada di antara kita yang memberi perhatian terhadap potensi ini. Investor dari Belanda saja sudah melihat potensi energi angin di wilayah Kota Kupang dengan mulai menjalin kerja sama dengan Pemkot Kupang.

Yang tidak kalah menjanjikan adalah pembangunan listrik tenaga surya. Banyak pihak swasta di NTT sudah merintis pembangunan listrik tenaga surya ini. Hal ini mestinya terus dikembangkan ke arah kapasitas yang lebih besar melihat potensi sinar matahari selama 12 jam di NTT. Ketika wilayah NTT diprediksikan bakal menjadi daerah padang gurun, mestinya tidak semata-mata mencemaskan kita, tetapi di pihak lain menjadi sinyal bahwa daerah akan menjadi pusat pengembangan energi matahari di masa mendatang.

Untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi-potensi energi listrik ini, tentu saja kita jangan semata-mata mengharapkan peran PT PLN yang selama ini mendominasi pelayanan listrik dari wilayah kita. Kita membutuhkan peran aktif dari pemerintah daerah dan swasta untuk mengembangkan hal ini. UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memberi peluang kepada instansi selain PLN untuk mengembangkan energi listrik, tentu saja setelah memenuhi sejumlah syarat. Dengan cara demikian, kenapa tidak, NTT akan mampu mengatasi masalah keterbatasan energi listrik, yang akan membawah masyarakat NTT menuju kesejahteraan. **

Ndauk

Oleh Kanis Jehola

LANGKAH
nenek Martha Ndinde (alm) terlihat berpacu cepat. Tak berapa lama ia sudah memasuki tangga rumah yang saya tinggal. "Tok.. tok.. tok.., " nenek Martha Ndinde mengetuk pintu dapur sambil menyapa nia ngaok (apa kabar). Ia pun masuk ke dalam dapur rumah yang saya tinggal dan langsung duduk di samping mamaku (mama besar) yang memeliharaku.

"Mai cee gite bo kudut tegi hi nana ngo lompong le mbaru to'ong/saya datang meminta izin (sama mama besar) supaya nana (panggilan untuk laki-laki di Manggarai, red) makan di rumah sebentar," kata nenek Martha Ndinde.

Mendengar permintaan itu, hati saya berbunga-bunga. Sebab biasanya, kalau dipanggil seperti itu pasti ada makanan yang enak. Ya, biasanya makan daging, ikan atau setidaknya makanan jenis lain yang rasanya enak ala kampung. Sebab saya adalah cucu sulung dari putra nenek yang sulung. Dan, saat itu, tinggal bersama mama besar. Rasanya memang sangat beruntung. Dimanja di mana-mana.

Setelah permintaan dikabul, saya pun tak lama menunggu. Mohon izin mama besar dan langsung angkat kaki. Hanya dalam tempo hitungan menit, saya sudah berada di rumah nenek yang jaraknya hanya sekitar 25 meter dari rumah yang saya tinggal.

"Mai ga (masuk sudah)," kata nenek Ndinde mempersilahkan saya masuk. Baru semenit duduk, nenek Ndinde membawa dua buah piring ke hadapan saya. Satu piring berisi nasi putih (ndauk bakok sebutan warga setempat), dan satu piring berisi mie yang baru dimasaknya. Hang ga (makan sudah). Saya pun langsung memakannya.

Saat itu memang belum semua warga di kampung yang rutin makan ndauk sehari. Tapi bagi kami -- setidaknya saat saya mulai mengenal makan -- makan ndauk bukan hal baru. Itu makanan kami sehari-hari. Maklum di kampung itu, keluarga kami tergolong yang punya sawah cukup banyak. Yang beda cuma karena ndauk yang disuguhkan sang nenek adalah ndauk bakok. Rasanya lebih lembut, karena hasil penggilingan. Sedangkan ndauk yang kami makan sehari-hari adalah ndauk dari beras tumbuk di lesung. Sudah tentu rasanya beda. Dan, yang istimewa, karena ndauk bakok yang dimakan saat itu disuguhkan bersamaan dengan mie.

Itulah kondisi yang terjadi di Kampung Rentung, Desa Goreng Meni, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai, sekitar tahun 1970-an. Saat itu saya belum masuk SD. Kehidupan di kampung saat itu masih tergolong susah. Makan ndauk dari beras hasil penggilingan termasuk barang langka. Ndauk tersebut tidak bisa didapatkan di desa atau di ibukota kecamatan, karena saat itu belum ada kios. Begitu pun mie, minyak goreng, ikan kering dan berbagai jenis makanan enak lainnya.

Untuk mendapatkan barang tersebut, orang harus pergi ke Ruteng, Ibu Kota Kabupaten Manggarai atau ke Reo. Untuk ke Ruteng atau ke Reo biasanya harus jalan kaki sepanjang hari dari pagi sampai sore. Dan, untuk ke Ruteng atau ke Reo pun kalau ada perlu penting. Misalnya, saat menjual kacang hijau, kemiri atau kopi.

Dan, ketika mencium aroma goreng ikan kering atau melihat orang makan mie, bisa dipastikan bahwa ada di antara keluarga tersebut yang baru pulang dari Kota Ruteng atau dari Reo. Kalau tidak, di rumah tersebut ada tamu istimewa. Dan, urusan goreng menggoreng saat itu tidak sembarang orang. Masih sebatas orang tertentu, orang yang dipandang cukup 'berada' di kampung.

Itu cerita masa lalu. Cerita puluhan tahun yang lalu. Kehidupan masyarakat di kampung itu saat ini sudah jauh berbeda. Urusan goreng menggoreng dan makan mie bukan lagi barang yang istimewa atau luar biasa. Juga bukan lagi makanan keluarga tertentu yang dinilai 'berada.' Barang tersebut juga bukan lagi termasuk barang langka. Semuanya dengan mudah didapat. Kios-kios di kampung sudah bertumbuh. Persaingan usaha antar satu keluarga dengan keluarga lain sangat terasa.

Mendapat penerangan listrik bukan lagi sekadar mimpi. Mereka sudah bisa menikmatinya karena sudah bisa membeli genset sendiri. Beras putih hasil penggilingan pun tidak lagi sulit didapatkan. Di kampung sudah ada mesin giling. Gabah kering yang baru dipanen langsung digiling untuk mendapatkan beras. Ibu-ibu dan nona- nona kini sudah bermanja. Tidak lagi harus capek menumbuk padi. Tangan mereka tidak lagi melepuh karena memegang alu menumbuk padi. Semuanya digiling. Untuk pembayarannya, tergantung negosiasi dengan pemilik mesin giling. Dibayar dengan uang atau dibarter dengan beras.

Makan ndauk, kini bukan lagi hanya dirasakan oleh keluarga yang punya sawah. Warga yang tidak punya sawah pun sudah rutin makan ndauk bakok. Meski masih makan jagung dan ubi-ubian, tapi rasanya belum cukup kalau setiap kali makan mereka belum makan ndauk. Untuk mendapatkan ndauk, mereka berlomba- lomba mencari uang. Caranya macam-macam. Bisa dengan menjadi tenaga buruh pada proyek-proyek pemerintah, juga bisa dengan menjadi pedagang. Singkat cerita, untuk mendapatkan ndauk mereka bisa bekerja apa saja, asalkan setia hari makan ndauk. *


Sabtu, 27 September 2008

Mitos-mitos Seputar Orgasme Wanita

MITOS adalah sesuatu yang dipercaya oleh banyak orang namun tidak terbukti kebenarannya. Ini adalah sebagian mitos seputar orgasme wanita yang beredar di masyarakat dan masih banyak dipercaya.

Orgasme dengan berhubungan intim lebih baik

Belum tentu. Wanita tidak selamanya mendapatkan kepuasan seksual dengan berhubungan intim. Banyak juga wanita yang meraih orgasme dengan melakukan oral seks.


Wanita membutuhkan orgasme sekadar melepas kepenatan

Anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Wanita yang bisa berorgasme tentu mendapatkan banyak manfaat, di antaranya melepas kondisi tegang di dalam tubuh, mendapatkan puncak kenikmatan seksual, dan merasa lebih dekat dengan pasangan, hingga keharmonisan kehidupan berumah tangga lebih terjamin. **

Jumat, 26 September 2008

Bersama Hijaukan Kota

Oleh Damianus Ola

SETIAP
kota harus mempunyai ruang terbuka hijau (RTH), yakni ruang-ruang terbuka (open spaces) yang diisi tumbuhan, tanaman dan vegetasi yang memberi rasa nyaman, sejuk dan indah. RTH bisa berbentuk alami (habitat liar-alami atau kawasan lindung) dan RTH non alami seperti taman kota, pertanian kota, lapangan olahraga dan pemakaman. Dari sisi sifat dan karakter ekologisnya, bisa berupa RTH kawasan dan RTH jalur. Adapula RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan pemukiman, RTH kawasan pertanian.

Dengan konsep ini mari kita melihat kota yang kita huni. Kota Kupang misalnya. Kawasan mana yang bisa pantas disebut sebagai RTH? Pantai? Ah, rasanya semakin sumpek. Bentangan pantai mulai dari wilayah Kecamatan Alak sampai Lasiana tidak bisa lagi disebut sebagai sabuk hijau kota ini. Kawasan ini tidak kita jaga dengan baik sehingga habitat alaminya tercemar (di)rusak dari tahun ke tahun. Rumah-rumah penduduk, toko-toko, hotel dan restoran mewah sudah dibangun di kawasan itu. Sejatinya, pantai sebagai salah satu kawasan publik harus bisa diakses warga kota kapan saja. Mendirikan bangunan yang menghalangi pemandangan warga kota ke pantai, itu saja sudah sangat tidak nyaman bagi warga kota.

Taman kota? Sejumlah titik dalam kota yang diklaim sebagai taman kota pun rasanya belum pas disebut sebagai taman. Tanaman bunga berebutan tumbuh meranggas bersama rumput-rumput liar. Yang sedikit lebih terurus hanyalah pepohonan/tanaman yang tumbuh di antara jalan dua jalur (El Tari I sampai El Tari II).

Pusat-pusat perdagangan dan kawasan industri tak menyisakan cukup areal untuk kawasan hijau. Pusat- pusat pemukiman, kompleks-kompleks perumahan pun nyaris tak memberi ruang untuk itu. Kota Kupang yang dari sono-nya memang sudah sangat panas, menjadi bertambah panas.

Maka tepatlah gebrakan yang kini gencar dilakukan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, untuk menyelamatkan paru-paru kota Kupang. Dalam kunjungannya ke kantor Redaksi Surat Kabar Harian Pos Kupang, Rabu (24/9/2008), Walikota Adoe menegaskan, menghijaukan kota tidak harus dengan uang. Tidak perlu proyek. Setiap pimpinan dinas/instansi lingkup Kota Kupang diwajibkan menanam/memelihara pohon di halaman kantornya. "Tanam dan rawat sampai tumbuh. Kalau tidak kenaikan pangkat dipertimbangkan". Begitu cara Walikota Adoe "membangunkan" aparatnya dari sikap yang tadinya kurang peduli menjadi peduli dan bertanggung jawab terhadap penghijauan kota.

Kita harus memberi apresiasi dan dukungan atas gebrakan walikota ini. Kita juga berharap agar apa yang dilakukan Walikota Kupang ini bisa ditiru kepala daerah lainnya di NTT.

Kita sepakat bahwa menghijaukan kota tidak harus menguras dana APBD melalui proyek-proyek yang sama kita ketahui lebih banyak "mudaratnya" ketimbang manfaatnya.

Banyak cara bisa ditempuh pemerintah untuk menggalang partisipasi warga kota dalam menghijaukan kotanya. Sebut misal, untuk setiap mengurus IMB (izin mendirikan bangunan), pemohon IMB diwajibkan menyediakan cukup lahan untuk menanam tanaman/pohon. Melalui RT/RT, setiap KK diwajibkan menanam minimal satu atau dua pohon di halaman rumahnya. Dan itu dikontrol-awasi secara serius melalui perangkat sanksi yang disepakati bersama warga di tingkat RT/RW.

Butuh ketegasan dan keseriusan semua pihak dalam menghijaukan kota. Sebab, menanam pohon/tanaman, juga terkait kebiasaan (budaya?). Contoh praktis bisa kita lihat setelah musim panen. Begitu jagung atau padi dipanen, kebun-kebun milik warga langsung "tamat riwayatnya", tak ada sisa sebatang pohon/tanaman ekonomis yang ada di dalam kebun. Ini menandakan bahwa warga kita mungkin belum terbiasa menanam pohon/tanaman ekonomis lainnya.

Menghijaukan kota harus dimengerti sebagai gerakan semua penghuni kota. Jika pemerintah melalui pendekatan proyeknya gagal, maka setidaknya pepohonan di setiap halaman warga bisa menyelamatkan paru-paru kota. Menghijaukan kota harus menjadi gerakan bersama. *

Tanpa Pendampingan, Percuma!

Membangun Kemandirian Lokal


Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

NAMA Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).

Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.

Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.

Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman-temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.

Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.

Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita- citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.

Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.

Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.

Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.

Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.

Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.
***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.

Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa. "Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.

Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.

Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.

Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.

"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini. "Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.

Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.

Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.

Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.

Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.

Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.

Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan. "Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema.(habis)

Jurus Menolak Ajakan Bercinta


BERCINTA dengan kondisi badan letih tentu saja mustahil dilakukan oleh pasangan wanita ataupun pria. Tetapi tak jarang mereka pun tetap menerima ajakan bercinta dari pasangannya karena ingin menyenangkan hatinya.

Menurut Askmen, pasangan yang kelelahan karena beban pekerjaan sebaiknya menunda melakukan aktivitas bercinta untuk sementara. Hal ini penting dilakukan agar hubungan seksual yang dilakukan menjadi lebih maksimal kelak.

Nah, kini Anda pun tak perlu bingung mencari cara untuk menolak ajakan bercinta dari pasangan. Berikut ini ada lima jurus ampuh yang bisa Anda praktikkan.


Pura-pura tidur
Wanita kerap menggunakan trik ini ketika pasangannya hendak merebahkan tubuh di atas ranjang atau memberikan sinyal-sinyal khusus saat mengajaknya bercinta. Alhasil, niat pasangan untuk mengajaknya bercinta pun menjadi tidak terlaksana.

Pura-pura datang bulan
Tidak selamanya pasangan mengecek berapa lama Anda mengalami masa menstruasi, tetapi hal ini bisa Anda jadikan sebagai salah satu alasan untuk menghindari kegiatan bercinta. Apabila dia masih tidak percaya, Anda bisa berpura-pura sakit perut seperti orang yang sedang datang bulan.

Sibuk sendiri

Ketika pasangan sudah menunjukkan tanda-tanda untuk mencumbu tubuh Anda, tunjukkanlah beberapa aktivitas yang sangat mengganggu, seperti sibuk mengerjakan pekerjaan kantor ataupun sibuk menonton acara televisi. Apabila pasangan tidak sabar, mungkin dia pun bosan dan lekas tidur.

Tidak memperhatikan penampilan

Setiap pria sering kali tergoda saat melihat istrinya berpenampilan seksi dan tubuhnya pun beraroma wangi saat di ranjang. Biasanya mereka pun tak sabar ingin segera mengajak pasangannya bercinta.

Tetapi kini Anda sudah mempunyai jawaban bagaimana menolak ajakan pasangan bercinta. Anda cukup berpenampilan seadanya dengan daster dan rambut tanpa di sisir rapi.
Tidur belakangan

Biarkan pasangan terlebih dahulu merebahkan badannya di atas ranjang, dan katakanlah kepadanya Anda akan segera menyusul setelah pekerjaan rumah selesai. Pastikan dia sudah terlelap sehingga Anda tak perlu mencari alasan untuk menolak ajakannya bercinta. **

Menaklukkan Wanita Tangguh di Ranjang


SEBAGIAN besar pria merasa senang ketika memiliki pasangan yang tangguh dan pantang menyerah dalam segala hal. Tapi bagaimana jika hal itu terjadi pada kehidupan seks rumah tangga Anda? Apakah para wanita juga pantang menyerah dan selalu mendominasi setiap 'permainan' di ranjang?

Menurut Askmen, wanita dengan kondisi badan sedang fit memang berkesempatan mendominasi setiap 'permainan' cinta di ranjang. Lain cerita ketika kondisi badannya sedang letih akibat beban pekerjaan, dia pun tidak melarang pasangannya untuk lebih agresif memberikan rangsangan seksual.

Tapi kenyataannya, tidak semua pria menginginkan pasangannya mendominasi setiap 'permainan' cinta. Pria tetap berupaya menjadi 'pemain' utama di ranjang.

Apa yang harus pria lakukan untuk menaklukkan wanita tangguh ini?
Jaga stamina

Stamina yang bagus merupakan kata kunci yang wajib dimiliki oleh setiap pria ketika bercinta dengan pasangannya. Apabila staminanya menurun, maka pria jangan berharap bisa memenangkan 'permainan' cinta di ranjang.

Posisi tubuh Anda tetap berada di atas

Anda bisa dengan mudah mendominasi setiap 'permainan' cinta. Caranya, Anda jangan sekali-sekali membiarkannya untuk mengambil posisi berada di atas tubuh Anda. Karena dengan begitu dia sudah berhasil membatasi ruang gerak Anda dan bisa jadi dialah yang akan memenangkan 'permainan' cinta tersebut. **

Kamis, 25 September 2008

Dari Makan dan Minum

Membangun Kemandirian Lokal

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

PEMBANGUNAN mulai dari makan. Demikian dikatakan Matzui Kashiza. Mengapa? "Karena makan merupakan kegiatan manusia yang paling pokok. Manusia harus makan untuk hidup dan sehat. Makanan yang sehat menciptakan manusia yang sehat. Selanjutnya, daerah yang sehat menciptakan negara yang sehat. Dan, negara menjadi sehat jika daerahnya sehat," kata Matzui memberi alasan.

Matzui betul. Kita hidup tidak hanya untuk makan. Tetapi untuk hidup, kita membutuhkan makanan. Karena makanlah kita bisa bekerja produktif. Karena terpenuhinya kebutuhan gizi, maka kita bisa mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi diri, daerah dan bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, kita tahu bahwa orang-orang lapar cenderung destruktif. Karena laparlah, maka orang bisa bermata gelap dan tidak bisa menghasilkan karya apa-apa.

Matzui lantas memberi pertanyaan lanjutan yang membuat peserta diskusi terperangah. Sederhana formulasinya, tapi bermakna dalam. Masyarakat sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan untuk dikonsumsi/dimakan oleh siapa?

Semua kita tahu bahwa NTT adalah daerah pertanian. Ada sekitar 80 persen masyarakat NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Umumnya mereka tinggal di desa-desa. Tapi soal mengurus pertanian, kita melakukannya tapi tidak secara serius. Sektor pertanian kita abaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan soal pembangunan pertanian. Tidak heran kalau NTT sering dilanda kelaparan. Dan, itu terjadi terus menerus seolah-olah menjadi ciri khas daerah berpenduduk 4 juta jiwa ini. Kita sendiri lebih percaya hal-hal dari luar ketimbang hal-hal yang kita punya.

Makanya kita terima makanan dari luar tapi tidak mau bikin makanan sendiri. Sekarang, warga sudah tidak menyimpan jagung, kacang dan ubi. Yang ada di rumah adalah supermi dan sebagainya yang siap saji. Yang serba instan. Kalau supermi dan jagung diletakkan di meja lalu disuruh memilih, seorang anak pasti memilih supermi. "Supermi lebih enak," demikian komentar anak-anak!

Sektor pertanian betul-betul diabaikan. Selama ini kita selalu berpikir sepotong-sepotong apabila membicarakan pembangunan pertanian. Kalaupun ada produk pertanian yang dihasilkan, tidak untuk dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang dijual, uang yang diperoleh digunakan membeli handphone (HP), televisi, judi dan mabuk-mabukan. Semestinya digunakan untuk menghidupkan usaha tani dan membangun wadah meningkatkan pendapatan petani. Karena, biarpun tidak ada uang petani bisa hidup dengan mengonsumsi hasil pertanian sendiri. Hubungan antara petani/nelayan di desa dan konsumen di kota juga tidak indah. Orang kota selalu menganggap orang desa tidak berarti.

Matzui sungguh menggugah. Dia mengritik pola makan kita. Menurutnya, pola makan kita tidak sesuai dengan ilmu gizi. Saat makan biasanya yang paling banyak diambil adalah nasi, sementara lauknya sedikit. Sesuatu yang sangat berbeda dengan orang Jepang. Untuk orang Jepang, yang paling banyak diambil adalah lauk, bukan nasi.

Kita jujur mengakui bahwa selama ini memang kita mengandalkan beras sebagai pangan pokok. Bagi masyarakat NTT ternyata selain dijadikan sebagai sumber karbohidrat, beras juga menjadi sumber protein. Akibat kemiskinan dan krisis ekonomi, banyak penduduk tidak bisa mengonsumsi pangan sumber protein (daging, ikan dan telur) secara cukup. Akhirnya, beras menjadi sasaran untuk dijadikan pangan sumber protein yang makin banyak dikonsumsi.

Dari berbagai latar belakang itu, mau tidak mau perhatian terhadap makanan harus diberikan. Kita punya potensi pangan lokal. Andai saja kita fokus, maka pasti ada makanan khas daerah yang dihasilkan dan menjadi produk unggulan.

"Saya mau tanya, Gubernur NTT makan beras apa? Siapa yang bikin? Sayurnya itu siapa yang bikin? Kenapa saya mengatakan begitu, karena apa pun yang petani bikin, dikonsumsi oleh gubernur bukanlah hal yang begitu besar. Berarti petani dianggap teladan yang menghasilkan beras yang bagus karena bisa diterima oleh gubernur. Ini sangat bermanfaat dan mendorong semangat petani. Yang terpenting dari makan adalah kita membahagiakan masyarakat," kata Matzui.

Sementara Romo Maxi Un Bria memperkenalkan gagasan pembangunan mulai dari minum, dengan bercermin dari kisah kemandiran masyarakat Desa As Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Belu.

Desa As Manulea berada di dataran tinggi. Masyarakatnya mengalami kesulitan air bersih sejak ratusan tahun. Di sekitar daerah itu, memang ada sumber air, tetapi letaknya berada di dataran rendah yang jarak jangkauan dari rumah penduduk 2-5 km. Anak-anak sekolah dasar, kaum perempuan termasuk para ibu hamil, harus menghabiskan 2 sampai 6 jam setiap hari untuk mengambil air dari sumber air di dataran rendah menuju tempat pemukiman yang semuanya berada di dataran tinggi.

Air itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum. Sudah pasti mereka yang malas tidak turun ke dataran rendah, mereka cukup membasuh wajah dengan embun atau air hujan yang kebetulan ditampung. Kekurangan air bersih turut membuat anak-anak sekampung merasa minder jika ada tamu yang datang ke desa itu. Tubuh mereka kotor karena tidak mandi.

Kesulitan air mendorong masyarakat As Manulea untuk mengatasinya. Muncul inisiatif yang ditindaklanjuti dengan membentuk wadah sebagai forum urun rembuk warga. Bagaimana menghadirkan air bagi masyarakat As Manulea? "Kami sepakat bahwa masyarakat harus mulai dari diri sendiri. Bergerak membangun secara swadaya. Panitia bersinergi dengan gereja, masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat termotivasi dan akhirnya secara swadaya masing- masing kepala keluarga menyumbangkan dana Rp 250 ribu. Dari 640 KK masyarakat 4 desa, terhimpunlah dana sebesar Rp 160 juta," kata Romo Maxi.

Inisiatif masyarakat As Manulea direspons pemerintah kabupaten dengan memberi bantuan stimulan berupa 1 genset listrik. Semenjak itu masyarakat secara swadaya membangun rumah genset, membeli pipa dan membangun bak penampung utama.

Para tua adat mengawali pengerjaan penarikan air bersih mulai dari pembersihan lokasi sumber air masyarakat adat, pemindahan alur sungai sampai selesainya pekerjaan dengan menggunakan ritus-ritus adat. Banyak pihak juga mulai ikut berpartisipasi, hingga selesai dan diresmikan pada tanggal 13 Januari 2005.

Sejak hadirnya air -- sekarang sudah tiga tahun -- masyarakat Desa As Manulea mengalami perubahan pola hidup. Pembangunan rumah-rumah dilengkapi langsung dengan toilet. Anak- anak sudah lebih ceria dan bersih. Ada cukup waktu bagi anak-anak untuk bermain dan belajar, tidak harus membuang banyak waktu untuk mengambil air. Kaum perempuan juga dapat menggunakan waktu secara produktif untuk menenun dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Air juga dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Pekarangan ditata dan ditanami tanaman penghasil pangan sehingga jarang terdengar kabar masyarakat As Manulea rawan pangan.

Kisah kemandirian masyarakat As Manulea dalam mendekatkan air dari dataran rendah ke dataran tinggi telah menggugah sebagian orang untuk datang dan belajar di Desa As Manulea. "Ternyata kita bisa membangun desa mulai dari makan dan minum. Apa yang kita makan dan minum? Menaman tanaman tidak untuk mendapatkan uang dan membeli makanan. Tetapi menghasilkan makanan untuk kita makan. Ini menjadi penting untuk pembelajaran. Berpikir untuk maju satu langkah. Kembali ke dasar, bukan berarti kembali ke belakang," kata Farry Francis, moderator dikusi. (bersambung)

Rabu, 24 September 2008

Berawal dengan Cinta

Membangun Kemandirian Lokal

Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape

INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.

NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.

Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.

"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.

Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.

Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.

Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.

Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.

Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.

Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.

"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.

"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.

Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.

Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.

Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.

"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.

Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.

Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal- hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.

Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik. (bersambung)

Emas OSN Momentum Kebangkitan Kita

Oleh Apolonia Matilde Dhiu

GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.

Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.

Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.

Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.

Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.

Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.

Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.

Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.

Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.

Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya.

Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!

Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. **

El Tari Cup 2008 Ditunda

TURNAMEN sepakbola El Tari Memorial Cup (ETMC) 2008 yang rencananya akan digelar di Bajawa-Ngada ditunda pelaksanaannya hingga tahun depan. Alasannya karena ada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di delapan kabupaten, lapangan yang belum siap dan persiapan panitia yang tidak maksimal. Demikian dikatakan Sekretaris Pengprop PSSI NTT, Drs. Marthinus Meowatu di Kupang, Senin (22/9/2008).

Menurut Meowatu, pembatalan penyelenggaraan ETMC 2008 diungkapkan langsung oleh Bupati Ngada, Piet Nuwa Wea, kepada Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Pak Bupati Ngada sendiri yang menemui Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur untuk menunda pelaksanaan EL Tari Cup. Pak Bupati sendiri yang mengakui bahwa persiapan di sana belum maksimal untuk saat ini dan tidak bisa ditunda untuk bulan November," jelas Meowatu.

Atas permintaan tersebut, kata Meowatu, pihaknya sudah melakukan konsultasi dengan KONI Propinsi NTT yang juga menyetujuinya. "Tahun depan baru akan digelar. Untuk tempatnya apakah masih di Bajawa atau di daerah lain, akan dibicarakan lagi," ujarnya.

Mengenai event penggantinya, Meowatu mengatakan, direncanakan akan digelar turnamen kelompok umur pada bulan November di Kupang. Namun, rencana tersebut belum ditindaklanjuti karena masih harus menunggu keputusan dari Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Saya masih berusaha untuk menemui Pak Gubernur untuk meminta tanggapannya. Kalau dia memutuskan untuk digelar di Kupang, Pengprop PSSI siap menggelarnya. Mengenai formatnya, akan dibicarakan setelah ada keputusan dari gubernur," ujarnya.

Sebelumnya, pelatih Persebata Lembata, Simone Langoday yang menghubungi Pos Kupang dari Lewoleba mengatakan harapannya agar Pengprop PSSI NTT, konsisten dalam pelaksanaan program terutama jadwal turnamen. Pasalnya, dengan jadwal yang berubah-ubah, pihaknya kesulitan untuk melakukan persiapan tim. (eko)

Jems dan Roland Terbaik


MotoPrix Turangga I SoE

PEMBALAP Jason Racing Team (JRT) Kupang, Jems Buan dan pembalap tuan rumah, Roland Laning menjadi yang terbaik dalam kejuaraan MotoPrix Turangga I SoE. Dalam lomba di sirkuit kompleks Kantor Bupati TTS, Jems keluar sebagai juara umum kategori open, sedangkan Roland menjadi juara umum kategori lokal.

Sesuai data yang diperoleh dari panitia pelaksana, Cha Rais, Jems menjadi yang terbaik setelah menjuarai kelas sport 2T tune up s/d 135 cc dan kelas bebek 125 cc 2T standart. Sementara Roland Laning dari Flamboyan Motor Club, menjuarai kelas bebek 125 cc 2T standard dan kelas bebek 125 cc 4T tune up. Roland juga menempatkan dirinya di posisi kedua kelas bebek 4T 125 cc tune up.

"Jems dan Roland meraih poin tertinggi sehingga berhak atas tropi kategori open dan lokal. Keduanya memang tampil sangat konsisten sejak babak penyisihan sehingga layak menjadi yang terbaik," jelas Cha Rais.

Turnamen ini ditutup secara resmi oleh Benny Litelnoni. Benny dalam kesempatan tersebut mengatakan harapannya agar prestasi para peserta terus dipupuk sehingga bisa bermanfaat bagi keharuman nama daerah di event yang lebih tinggi. Benny juga menantang generasi muda untuk terus menggelar event-event olahraga agar menggairahkan masyarakat dalam mendukung pembangunan. Ia menyarankan agar kalau bisa segera digelar turnamen sepakbola antar-klub di TTS.

Panitia penyelenggara dari Turangga Event Action (TEA), Yusinta Nenobahan secara terpisah mengatakan terima kasihnya kepada sponsor yang mendukung kesuksesan event tersebut. Ia berharap jalinan kerja sama terus dibangun pada event lainnya. (eko)

Tidak Cukup Satu Turnamen

Catatan Yang Tersisa

Oleh Sipri Seko

PEMAIN Kristal FC, Rafael Lexi Tethun, tak pernah bermimpi akan jadi pemain terbaik turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008. Tak heran kalau dia sangat terkejut ketika namanya diumumkan sebagai pemain terbaik. "Saya terkejut, karena tidak pernah menyangka akan menjadi pemain terbaik," ujarnya.

Saking sukacitanya, Lexi, bahkan mengantar beberapa anggota panitia yang mengikuti syukuran juara Kristal FC di Hotel Kristal, Minggu (14/9/2008), hingga tempat parkir. Dengan bahasa Timor yang sangat fasih, Lexi, berulang-ulang mengucapkan terima kasihnya karena dipilih menjadi pemain terbaik. Dia berharap gelar itu menjadi motivasi baginya untuk bermain lebih baik.


Menjadi pemain terbaik, top skore, atau pun juara memang sangat membanggakan. Betapa tidak, diikuti semua pemain terbaik di NTT yang tergabung dalam 16 klub, hanya seorang pemain dan satu klub yang menjadi terbaik. Ada rasa sukacita dan kebanggaan. Ada pesta dan perayaan, juga ada doa dan syukur.

Namun, terkadang sukacita dan kebanggaan tersebut membuat pemain atau klub lupa diri. Ada buktinya! Dari empatkali penyelenggaraan Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup, setiap tahun selalu ada juara baru. Pemain terbaik dan top skore pun selalu berganti orang. Apakah itu karena persaingan yang merata, ataukah karena ketika menjadi yang terbaik mereka lupa diri sehingga luapan kegembiraannya berlebihan. Keduanya bisa dibenarkan. Klub-klub yang bertanding di turnamen ini menampilkan kualitas permainan yang hampir setara. Namun, yang beruntung adalah yang mempersiapkan diri dengan baik.

Hal lainnya adalah saat menjadi juara, mereka biasanya langsung menganggap remeh klub lainnya. "Kami yang terbaik. Kamu tidak ada apa-apanya." Begitu kata mereka. Mereka lalu memproklamirkan dirinya sebagai yang terbaik dari semua yang terbaik. Lihat saja Edi Atolan (Qhanasex/2005), David Pramono (SSB Tunas Muda/2006) dan Yusuf Mahemba (Britama Kupang/2007), yang langsung tenggelam di penampilan berikutnya. Yusuf Mahemba malah sering dicadangkan pelatihnya, Mathias Bisinglasi, karena kerap melakukan blunder, bahkan terkadang melakukan aksi-aksi provokasi yang tidak terpuji.

Kualitas klub, pemain, wasit, lapangan, hingga penyelenggaraan memang harus menjadi perhatian penyelenggara. Mitra Sportindo Event Organizer harus terus melakukan evaluasi untuk pembenahan penyelenggaraan. Ketegasan aturan yang ditetapkan bersama harus terus dipertahankan demi peningkatan kualitas permainan. Klub peserta di luar delapan tim yang sudah lolos otomatis harus diseleksi dengan ketat. Ide menjaring empat klub lewat play-off ada baiknya. Selain bisa mengakomodir keinginan banyak klub, mereka juga dituntut untuk mempersiapkan diri dengan baik.

Gebyar dan gempita penyelenggaraan turnamen sepakbola antar-klub terbesar di NTT, Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008 telah berakhir. Ada klub yang pulang dengan linangan air mata, namun ada yang pulang membawa prestasi membanggakan. Sudah cukupkah sampai disitu?

Sangat berat menjawab pertanyaan ini. Apakah hanya dengan satu turnamen dalam setahun, lalu kita bisa mengatakan bahwa usaha pembinaan prestasi sepakbola sudah dilaksanakan? Menurun dan tidak stabilnya prestasi pemain juga adalah akibat minimnya turnamen yang digelar. Para pemain kemudian terjebak dalam turnamen sepakbola mini, yang tidak bermanfaat untuk peningkatan prestasi.

Ini harus menjadi tugas bersama. Pekerjaan rumah ini harus diselesaikan dalam tahun ini. Jangan terlalu berharap pada PSSI yang akan membuat gebrakan. Turnamen sebesar El Tari Memorial Cup saja mereka enggan melaksanakannya. Siapa yang tertantang atau tersinggung bila disebut tak mampu berbuat apa-apa, harus berani memberi bukti. Tantangan ini hanya untuk menggugah mereka yang punya niat suci memajukan sepakbola bukan sekadar untuk gagah-gagahan.

Sudahkah tradisi bola sudah berhasil dibentuk oleh Dji Sam Soe dan Pos Kupang? Bukan pesimis, tapi nampaknya masih jauh dari harapan. Antusiasme dan potensi itu sudah ada. Namun nampaknya kita masih hanya bisa bermimpi kalau suatu saat Bambang Pamungkas dkk bermain di Stadion Oepoi, kalau hanya mengharapkan satu turnamen. Sampai jumpa tahun depan! (habis)

Sabtu, 20 September 2008

Ronny Pattinasarany, Kapten yang Penuh Kasih

ERA 70-an hingga 80-an, sepakbola Indonesia menjadi salah satu raksasa di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia. Orang yang ikut melambungkan nama tim merah-putih itu adalah Ronny Pattinasary.

Pria berdarah Ambon yang lahir di Makassar itu menorehkan namanya sebagai sosok pemain papan atas. Buktinya, dia bukan cuma mendapat kehormatan untuk memakai ban kapten tim nasional, namun dirinya juga menyabet beberapa trofi.

Penghargaan yang diperolehnya seperti Pemain All Star Asia tahun 1982, Olahragawan Terbaik Nasional tahun 1976 dan 1981, Pemain Terbaik Galatama tahun 1979 dan 1980, dan meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.

Menjadi bintang sepakbola merupakan obsesi Ronny sejak dia masih kanak-kanak. Karena mendapat dukungan semangat dari ayahnya, Nus Pattinasarany, yang dikenal sebagai pesepakbola tangguh di era sebelum kemerdekaan, dia pun bisa mewujudkan impiannya tersebut.

Perjalanan kariernya sebagai pemain bola dimulai bersama PSM Junior pada tahun 1966. Tak perlu waktu lama bagi pria kelahiran 9 Februari 1949 itu untuk menembus level senior tim PSM Makassar, karena dua tahun berselang dia sudah masuk skuad "Ayam Jantan dari Timur".

Dari Makassar, Ronny hengkang ke klub Galatama, Warna Agung, yang dibelanya dari tahun 1978 hingga 1982. Nah, di sinilah kariernya mulai menanjak sehingga dia pun terpilih masuk timnas--dan jadi kapten--, serta menyabet beberapa penghargaan.

Tahun 1982, Ronny hengkang ke klub Tunas Inti. Hanya setahun di sana, dia pun memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.

Ada beberapa klub yang pernah merasakan sentuhan tangannya, yakni Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Petrokimia Gresik, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara dan Persija Jakarta. Namun prestasi terbaik yang pernah ditorehkan Ronny adalah ketika menangani Petrokimia Putra.

Pasalnya, dia sukses mempersembahkan beberapa trofi bagi klub tersebut yang saat ini sudah bubar dan melebur dalam Gresik United (GU). Ya, Ronny membawa Petrokimia meraih Juara Surya Cup, Petro Cup, dan runner-up Tugu Muda Cup.

Tapi kariernya sebagai pelatih tak berlangsung lama karena dia dihadapkan pada sebuah dilema: tetap berkarier atau memikirkan masa depan anak-anaknya. Ya, dua putranya yang sedang terjerat dunia narkoba perlu bimbingan sang ayah agar bisa keluar dari masalah tersebut.

Akhirnya, Ronny memutuskan untuk berhenti sebagai pelatih demi mengapteni keluarganya. Dia meletakkan jabatannya sebagai pelatih Petrokimia dan konsentrasi menyembuhkan anak keduanya, Henry Jacques Pattinasarany yang akrab disapa Yerry, yang menjadi pecandu narkoba jenis putaw--waktu itu Yerry baru berusia 15 tahun.

"Saya dihadapkan dua pilihan yang sangat sulit, sepak bola atau anak. Saya akhirnya memutuskan meninggalkan sepakbola meski saat itu tidak tahu apa yang akan saya lakukan," kenang Ronny.

Setelah Yerry sembuh, badai kembali menghampiri keluarga Ronny. Kali ini putra pertamanya, Robenno Pattrick Pattinasarany yang akrab dipanggil Benny, juga jatuh ke jurang yang sama. Bahkan Benny lebih lagi karena memakai narkoba di luar rumah.

Meskipun demikian, Ronny tetap sabar dan penuh kasih membimbingnya. Dia menganggap semua itu sebagai cobaan sekaligus teguran. Menurut pria yang memperistrikan Stella Maria tersebut, selama berkarier di dunia sepakbola, dia merasa menjauh dari sang Pencipta.

Setelah kesadarannya itu muncul, Ronny pun mendekatkan dirinya lagi kepada Tuhan. Benny dan Yerry pun dituntun untuk lebih mendalami kehidupan rohani dan usaha tersebut berhasil, karena kehidupan keluarganya kembali seperti dulu.

Dari sana, Ronny kembali terjun ke sepakbola, dunia yang membesarkan namanya. Meskipun bukan sebagai pelatih lagi, namun dia aktif dalam kegiatan yang mendukung kemajuan sepakbola Indonesia, seperti menjadi Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI (2006), Wakil Ketua Komdis (2006) dan Tim Monitoring Timnas (2007).

Tapi kinerja Ronny yang termasuk perokok berat itu terganggu oleh penyakit yang menggerogotinya. Dia terserang kanker hati sehingga sejak bulan Desember 2007, Ronny harus menjalani pengobatan di Guangzhou dan sudah empat kali ke kota yang terletak di China tersebut.

Sayang, Tuhan berkehendak lain. Meskipun segala upaya telah dilakukan, tetapi maut akhirnya menjemput pria yang gencar melawan narkoba tersebut dan keluarganya pun telah ikhlas melepas kepergian sang pahlawan.

Pada Jumat (19/9) sekitar pukul 13.30 WIB, Ronny meregang nyawa di Rumah Sakit Omni Medical Center Pulomas, Jakarta Timur. Jenazahnya akan disemayamkan di rumah duka, Jalan Pulomas Blok III B/9, Pulomas, Jakarta Timur, selanjutnya akan dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat, pada Minggu (21/9).

Selamat jalan Ronny, jasamu kan selalu dikenang dan perjuangan hidupmu semoga bisa menjadi inspirasi untuk kemajuan sepakbola Indonesia. (LOU)

Profil singkat

Nama: Ronny Pattinasarany
Lahir: 9 Februari 1949

Karier

- Pemain: PSM Junior (1966)
PSM Makassar 1968-1976
Timnas (1979-1985)
Warna Agung (1978-1982)
Tunas Inti (1982)

- Pelatih: Persiba Balikpapan
Krama Yudha Tiga Berlian
Persita Tangerang
Petrokimia Gresik
Makassar Utama
Persitara Jakarta Utara
Persija Jakarta

- Lain-lain: Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI 2006
Wakil Ketua Komdis 2006
Tim Monitoring Timnas 2007

Prestasi

- Pemain: Pemain Asia All Star (1982)
Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981)
Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980)
Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981)

- Pelatih: Petrokimia Juara Surya Cup
Petrokimia Juara Petro Cup
Petrokimia menjadi runner-up Tugu Muda Cup

Mitologi "Cinta" Batu di Mazoola

”DAPAT menciptakan telekomunikasi secara telepati dengan seseorang begitu mudahnya, terutama jika keduanya memegang batu ini.” Begitu tertulis di secarik kertas berlapis plastik yang dipasang berdampingan dengan kristal berwarna biru kemilau tertimpa sorotan lampu.

Kynite Blade, nama kristal itu seperti tertulis pada kertas pemandu. Data soal kristal ini dilengkapi pula dengan unsur yang terkandung dalam batu ini. Begitu pula dengan asal batunya, yaitu dari Brasil, Swiss, Myanmar, dan Kenya. Kristal ini tersimpan dalam lemari kaca terkunci, dipercantik dengan sorotan ringan lampu.


Di sisi-sisinya juga terdapat batu lain yang tak kalah cantik. Namun, ada pula batu yang bentuknya tidak beraturan dan warnanya tak semenarik Kynite Blade. Batu-batu itu hanya sebagian kecil dari bebatuan yang dipamerkan di Gems Stone Gallery di Maharani Zoo dan Gua Lamongan (Mazoola), Jawa Timur.

”Batu-batu ini membuat saya bisa bersyukur. Menyaksikan warna-warna indah ini menunjukkan kekuasaan Tuhan,” kata Pujiono Suryanto (34), warga Tlogoanyar, Lamongan, yang mengunjungi Mazoola akhir Agustus lalu.

Referensi

Pujiono yang berkunjung bersama 11 anggota keluarganya ini terpesona dengan Gems Stone Gallery meski di Mazoola juga terdapat kebun binatang dan ruang diorama satwa. Bagi Pujiono, daya tarik terbesar terletak pada aneka bentuk batu yang jarang ditemui. Apalagi, di batu-batu itu juga dilengkapi dengan mitos yang mengiringi.

Sebut saja, misalnya, Rose Quarts Sphere berbentuk kristal trigonal, Fuschite, dan Rough Variscite. Serupa dengan Kynite Blade, di sisi batu-batu ini terpampang pula keterangan singkat. Rose Quarts Sphere disebut-sebut mampu memberi energi cinta, kelembutan, dan perasaan tenang. Singkat kata, dalam diri seseorang akan timbul rasa cinta jika berada di dekat kristal ini.

Kristal lainnya, Fuschite asal India, disebut-sebut menimbulkan energi positif yang tinggi. Bekerja dengan batu ini bisa mendorong seseorang menggunakan kelebihan pikiran dan dipandu oleh hati yang bijaksana. Kalau sedang butuh kedamaian hati, cinta, kejelasan, dan penyembuhan emosi, Rough Variscite bisa menjadi referensi. Setidaknya, begitulah yang tertera dalam petunjuk yang menyertai kristal tersebut.

Selain kristal dan bebatuan berwarna, di galeri ini juga bisa ditemui sejumlah fosil, seperti trilobite, sejenis binatang berbuku-buku (segmented creature) yang hidup sekitar 535 juta tahun lalu. Batu-batu dalam lemari kaca bening menciptakan kesan apik berbalut suasana gua alamiah yang eksotis.

Pengelola Mazoola, Ma’mun (35), mengungkapkan, koleksi batu di Gems Stone Gallery mencapai 430 buah. Batuan ini 60 persen milik investor Mazoola, sedangkan sisanya dipinjamkan oleh sejumlah kolektor. Masuknya unsur mitologi di galeri bebatuan ini tidak terlepas dari upaya untuk mengisahkan batu yang tidak sekadar batu. Ada makna di balik bebatuan itu. Dipajanglah narasi yang menggugah pengunjung untuk mengenal lebih dalam, tidak sekadar tertarik dengan warna-warni belaka.

Cerita di balik batu ini, yakni seputar cinta, kedamaian, telepati, dan kebijaksanaan, bukan dibuat sembarangan. Semua melalui riset dan penelitian. Sumbernya bisa dari ensiklopedia dan situs internet. ”Makanya, kalau kami belum dapat data tentang batu itu, belum ada referensi yang dipasang. Takut malah bikin malu kalau salah. Apalagi, kalau memberi informasi yang salah kepada anak- anak yang study tour ke sini,” kata Ma’mun.

Apalagi, Mazoola memang memiliki target pasar sebagai obyek wisata edukasi. Pengunjung, selain diajak berekreasi, juga diberi tambahan pengetahuan. Konsep ini juga tampak dari penataan kebun binatang dan ruang diorama satwa. Wahana andalan lain dari Mazoola itu memanfaatkan keaslian Gua Maharani.

Wahana lain

Kebun binatang yang dikonsep dengan warna mencolok ini menawarkan kedekatan pengunjung dengan hewan di sana. Pagar pembatas tidak terlalu tinggi sehingga memudahkan pengunjung menyaksikan tindak-tanduk hewan tersebut. Meski demikian, keamanan tetap terjaga dengan menilik sifat setiap hewan. Misalnya, area orangutan diberi pagar pembatas dan kawat beraliran listrik, dikelilingi dengan pembatas air karena biasanya hewan ini tidak menyukai air.

Namun, hingga menjelang akhir Agustus, di kebun binatang ini masih didominasi papan bergambar hewan dengan tulisan ”akan segera hadir”. Kandangnya sudah siap, tetapi hewan-hewan penghuninya belum tiba. Wahana belajar juga bisa didapat dari diorama satwa. Sebagian tulang-belulang dan hewan yang sudah diawetkan bisa disaksikan di ruang kecil tetapi padat ini.

Belulang ikan paus, replika belulang dinosaurus, serta sejumlah jenis macan dan kura-kura yang sudah diawetkan juga bisa ditemukan di wahana ini. Sayangnya, belum ada petunjuk singkat mengenai sejarah dan cerita unik di balik hewan- hewan ini. ”Ini memang sengaja karena kami akan menyediakan pemandu. Nanti mereka yang cerita supaya ada interaksi,” ujar Anna (20-an), petugas jaga di ruang diorama satwa.

Menurut Ma’mun, Mazoola yang terkoneksi dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL) dan Tanjung Kodok memiliki nilai jual masing-masing. Agar tidak saling memakan pangsa pasar, bidikan pasarnya dibuat berbeda, tetapi saling dukung. WBL yang berada persis di depan Mazoola menawarkan ”Dunia Fantasi” ala Lamongan, dengan keterbatasan alat, tetapi kaya imajinasi. Wisata ini memanfaatkan potensi pantai meski pengelola mereklamasi sebagian garis pantai. Pangsa pasar bidikan WBL lebih kepada keluarga yang berlibur, sedangkan Mazoola membidik siswa sekolah dengan mengedepankan unsur edukasi dan wisata.

Dengan interkoneksi ini, Mazoola membidik pasar dari Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah bagian timur. Lokasi wisata seluas 3,2 hektar ini cukup strategis, berada di tepi Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Mazoola bisa ditempuh 1,5 jam dari Surabaya, sekitar 50 menit dari Kota Lamongan, dan sekitar 40 menit dari Tuban.

Sejak diresmikan akhir Mei 2008, pengunjung dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, dan Ungaran (Kabupaten Semarang) juga sudah mulai berdatangan. ”Untuk mendukung konsep ini, kami sedang menyusun buku panduan tentang semua isi Mazoola. Nanti akan dibagikan kepada pengunjung,” kata Ma’mun.

Tentu, dengan demikian, pengunjungnya tidak sekadar mendapat mitologi ”cinta” batu, tetapi juga mendapat pengetahuan dan kesenangan, berbalur narasi unik di dalamnya.


Sumber : Kompas Cetak

Danding

Oleh Hyeron Modo

HENTAKAN
kaki ditingkahi syair lagu berbalas pantun memecah kesunyian malam. Suara laki-laki dan perempuan dalam pentas danding membangunkan saya di tengah malam ketika sedang tertidur lelap. Itulah suasana di kampungku Ngusu, Desa Rana Mbeling, Kecamatan Kota Komba.

Suasana itu saya alami ketika masih duduk di sekolah dasar (SD) di tahun 1970-an. Saya dan teman-teman sebayaku pun berbaur bersama anak-anak muda, orang tua laki-laki dan perempuan, ikut danding (tandak). Danding biasanya dimainkan saat Ghan Woja (bahasa Manggarai versi Manus) atau dalam bahasa Manggarai umum disebut Penti. Upacara adat Ghan Woja atau Penti biasanya dilaksanakan setelah panen padi dan jagung di ladang atau sawah. Acara ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas anugerahNya, panen padi dan jagung berhasil. Tetapi, danding di wilayah Manus tidak hanya saat Ghan Woja.

Di kampung saya, Ngusu, danding biasanya dipentaskan warga kampung setiap akhir pekan ketika musim panen usai. Pentas tarian tradisional usai panen ini sambil menunggu penentuan bulan pelaksanaan acara tradisional Ghan Woja. Pentas tandak menjelang pesta adat Ghan Woja ini disebut danding marang.

Danding dilakukan pada malam hari hingga menjelang subuh. Peserta danding, laki-laki dan perempuan, tua dan muda berdiri membentuk lingkaran. Jika peserta banyak, biasanya dibentuk dua lingkaran dengan konfigurasi peserta perempuan dan laki-laki selang-seling. Para peserta sambil memegang tangan bernyanyi berbalas pantun dengan hentakan kaki mengikuti irama lagu. Salah seorang yang cukup mahir memandu acara, berdiri di tengah lingkaran dan memegang giring-giring untuk memberi aba-aba kapan hentakan kaki dilakukan bersama sambil menjawab syair lagu yang dinyanyikan kaum perempuan atau laki-laki dalam lingkaran itu. Pemandu atau komando acara juga berperan untuk menggantikan syair lagu berikutnya dengan cara poka (jeda) dan sako (solo).

Pementasan danding ini menjadi tontonan menarik bagi warga kampung yang tidak mengambil bagian dalam pentas tradisional tersebut. Ketika warga di kampung saya sedang asyik mementaskan danding sekelompok warga dari kampung tetangga datang untuk mengikuti danding. Syair-syair lagu yang dinyanyikan saat danding tidak sekadar acara hiburan. Syair-syair lagu dalam danding sarat makna dan mengandung pesan moral yang luar biasa. Ada syair lagu danding yang mengingatkan dan mengajak sesama warga untuk saling membantu dalam hidup bermasyarakat. Jadi, danding merupakan forum kritik sosial dengan cara menghibur (dalam bentuk nyanyi berbalas pantun). Dalam perkembangan dewasa sekarang, danding lebih dipahami sebagai selebrasi muda-mudi di kampung.

Salah satu syair lagu yang mengandung pesan moral dan bermakna peringatan dan atau ajakan, misalnya, waeng koe e e, waeng koe e wake'n a o o u u wake'n waeng koe/melo ga a e e a a kala melo ga. Artinya, sirih sudah layu perlu disiram sehingga segar kembali. Jika dimaknai secara luas, maka syair lagu danding tersebut bermakna mengajak sesama warga untuk membantu sesama warga lainnya dalam kampung yang mengalami kesusahan atau kesulitan hidup dalam hal apa saja.

Syair lagu Waeng koe wake'n waeng koe/Melo ga kala melo ga, juga bermakna ajakan melestarikan lingkungan hidup. Sebab, lingkungan telah memberi kehidupan bagi manusia. Karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian lingkungannya. Pendekatan yang disampaikan melalui syair-syair lagu danding lebih diterima oleh warga di kampung saya ketimbang pendekatan formal yang dilakukan pemerintah. Tetapi, apakah danding masih menjadi salah satu kearifan lokal untuk mendorong atau mengajak partisipasi masyarakat dalam pembangunan? Semuanya kembali kepada masyarakat itu sendiri, terutama generasi penerus untuk melestarikan budaya yang diturunkan nenek moyang. (hyeron_modo@yahoo.co.id)

Stop Stigma Propinsi TKI

Oleh Yosep Sudarso

DURANTE degli Alighieri, alias Dante (1 Juni 1265 - 13/14 September 1321), penyair dari Firenze, Italia, itu pernah berkata, "Kalau Anda memberi orang cahaya, ia akan menemukan jalannya sendiri." Menjelang usia emas NTT Desember nanti, petuah Dante ini bisa memberi inspirasi terutama dihubungkan dengan fakta 98.230 penganggur masih menyebar di 20 kabupaten/kota se-NTT (data Dinas Nakertrans NTT per 13 September 2008).

Persoalan tenaga kerja memang bukan persoalan NTT semata melainkan permasalahan global. Rasio yang tidak seimbang antara lapangan kerja yang tersedia dengan penambahan usia produktif menjadi penyebab utama masalah ini. Di NTT, rata-rata lowongan kerja setiap tahun hanya mampu menyerap sekitar belasan ribu tenaga kerja. Itu pun sebagiannya disumbangkan dari pos penerimaan CPNSD.

Walaupun demikian, data dari Dinas Nakertrans NTT juga memperlihatkan fakta lain yang menarik. Di tengah-tengah kesulitan pencari kerja mendapatkan pekerjaan, ternyata hingga September masih ada 206 lowongan kerja pada sektor swasta yang belum terisi.

Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Nakertrans NTT, Lanang Ardike, berpendapat, lowongan kerja yang belum terisi ini disebabkan antara lain tidak tersedianya tenaga sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kontraktor, misalnya, membutuhkan tenaga sopir alat-alat berat, namun di NTT berlimpah sopir angkot dan bus. Demikian pula tenaga-tenaga khusus untuk mencuci mutiara masih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang mutiara di NTT.

Merujuk pada penjelasan ini, ternyata persoalan tidak terserapnya sejumlah lowongan terkait erat dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Tentang hal ini, saya teringat pada ucapan Frans Seda, salah satu tokoh nasional asal NTT. Pada sebuah kesempatan di Hotel Kristal, ketika menemani Direktur Kelomok Kompas Gramedia (KKG), Yacob Utama, ia berucap, pemerintah dan seluruh rakyat sebaiknya memfokuskan perhatian pada pendidikan, entah formal maupun informal. Dengan topografi NTT seperti ini, menurutnya, sumber dana yang terbatas sebaiknya "diboroskan" pada peningkatan SDM.

Seda, saat itu, menyoroti perlunya disiapkan tenaga-tenaga terampil pada bidang yang cocok dengan alam NTT, seperti tenaga PPL pertanian, peternakan dan kelautan. Tetapi ia juga tidak lupa menggarisbawahi pentingnya ditanamkan keuletan bekerja, semangat gotong royong, pola hidup sederhana dan gemar menabung. Watak-watak ini dibutuhkan dalam membentuk karakter seseorang agar berdaya saing dan survive dalam persaingan dewasa ini.

Problematika tenaga kerja di NTT dewasa ini memang jauh lebih kompleks dari beberapa dekade lalu. Di kampung-kampung di beberapa kabupaten seperti Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Ende, persoalan tenaga kerja sudah hampir sama usianya dengan perjalanan propinsi ini. Tidak ada dokumen tertulis, tetapi pengalaman menunjukkan di daerah-daerah itu fakta pengiriman tenaga kerja (baca: merantau) sudah berlangsung sejak tahun enam puluhan. Nama-nama tempat seperti Tawau, Kinabalu, Johor tidak lagi asing bagi warga-warga di pedalaman Adonara, Flores Timur, di daerah timur Sikka ataupun di sebagian wilayah Lio, Ende.

Awalnya, perantauan dilakukan oleh segelintir orang tetapi sejak dasawarsa 70-an hingga saat ini, perantauan sudah menjadi tren yang digemari warga NTT tidak saja dari kabupaten-kabupaten yang disebutkan tadi. Beberapa tahun terakhir, dengan agak gampang kita menyaksikan pengiriman tenaga kerja baik legal maupun ilegal dari kabupaten lain di daratan Timor, Sumba, Alor, Rote Ndao serta Manggarai, Ngada dan Nagekeo di Pulau Flores.

Bila dicermati lebih jauh, perantauan atau dalam bahasa birokrasi pengiriman TKI adalah strategi untuk mengatasi kemelut ekonomi. Artinya, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama keputusan seorang perantau pergi ke Tawau ataupun kebijakan pemerintah setempat mengirim TKI. Data terakhir menunjukkan, selama 2008 sudah 7.476 TKI (di antaranya 6.558 perempuan) yang dikirim ke luar negeri. Jumlah yang tidak jauh berbeda, terjadi setiap tahun dalam lima tahun belakangan.

Tetapi pada titik ini, kita dihadapkan dengan sebuah ironi. Setiap tahun, tidak kecil juga jumlah orang dari daerah lain di negeri ini yang menyerbu NTT. Para pedagang bakso dari Jawa, pengusaha rumah-rumah makan dari Padang, pedagang beras dan kayu dari Makassar adalah fakta di depan mata kita bahwa bumi NTT ternyata masih bisa memberikan kehidupan, bahkan berlimpah, kepada anak- anaknya.

Di saat kita merayakan emas NTT, bisakah ironi ini menjadi pijak permenungan kita bersama? Mengapa kita tidak berani membalikkan kebijakan untuk tidak terlalu gencar mengampanyekan pengiriman TKI? Bukankah persoalan perantauan tidak sedikit meninggalkan pula ekses sosial dalam rumah tangga dan masyarakat?

Radzi Saleh, dalam bukunya, "Breaking Fee, Harga Sebuah Kesuksesan," mengisahkan perjuangannya sebagai seorang anak desa yang mampu membawa ribuan orang mencapai impiannya masing-masing. Mengutip Denis Waitley, ia menulis, dalam hidup ini hanya ada dua pilihan: menerima keadaan hidup sebagaimana adanya atau menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan itu. "Kunci sukses saya, ialah, saya memilih yang kedua, bahkan saya merasa bertanggung jawab untuk selalu mendorong siapa pun untuk memilih hal itu-- menerima tanggung jawab untuk mengubah keadaan hidup kita," kata Radzi Saleh.

Jiwa enterpreneur. Semangat kewirausahaan. Barangkali inilah kekurangan kita rakyat NTT. Tidak perlu semua tenaga kerja produktif memiliki jiwa ini. Namun dari 4 juta lebih penduduk NTT, sekiranya satu sampai lima persen di antaranya berjiwa wirausaha, bisa dipastikan taraf dan mutu hidup masyarkat kita jauh lebih baik.

Tidak fair bila ikhtiar ini kita bebankan semata pada pemerintah. Meskipun duet Lebu Raya-Esthon Foenay ketika dalam kampanye mencari simpati masyarakat sudah menjanjikan membuka lapangan kerja, tanggung jawab mestinya tetap dibebankan pada pundak kita bersama. Tentu untuk satu tujuan: demi generasi NTT lima puluh tahun ke depan. (Pos kupang/19/9/2008)

Stadion Butuh Pembenahan

Catatan Yang Tersisa

Oleh Sipri Seko

KEPALA Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) NTT, Drs. Muhamad Wongso komit pada janjinya bahwa tanggal 20 Agustus, pengerjaan lintasan sintetis di Stadion Oepoi Kupang akan rampung. Pengerjaan lintasan dikebut agar penyelenggaraan turnamen sepakbola Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008, terlaksana sesuai jadwal tanggal 23 Agustus.

Lintasan sintetis tuntas dikerjakan, namun permukaan lapangan menimbulkan masalah. Tumpukan tanah yang belum dikeraskan membuat permukaan lapangan menjadi labil. Tumpuan untuk berlari atau menendang bola menjadi tidak stabil. Akibat lainnya, para pemain sering terjatuh. Ada upaya untuk menanam rumput di atasnya, namun tidak cukup membantu karena baru ditanam satu minggu sebelum turnamen digelar.

Stadion Oepoi memang sedang direhab. Namun, yang diperbaiki adalah tembok pagar, atap tribun, pintu masuk, pintu ruangan dan lainnya. Permukaan lapangan tidak termasuk dalam item pengerjaan tersebut. "Butuh dana besar untuk pengerjaan permukaan lapangan. Kami sudah pernah melakukan presentasi di hadapan Dewan, namun belum ada rekomendasi untuk pengalokasian dana. Kalau permukaan lapangan bisa direhab, ditambah lampu stadion, saya yakin stadion kita ini akan menjadi salah satu yang terbaik di wilayah Indonesia Timur," ujar Kasubdin Sarana dan Prasarana Dispora NTT, Drs. Patris Cole.

Dibanding stadion lain di NTT seperti Golodukal di Manggarai, Batunirwala di Alor atau Haliwen di Belu, Stadion Oepoi jelas kalah. Namun, sebagai stadion pertama di NTT yang letaknya ada di ibukota propinsi, Stadion Oepoi memiliki nilai kebanggaan tersendiri bagi para pemain sepakbola. Menurut mereka, prestasi pemain sepakbola di NTT tidak lengkap kalau belum bermain di Stadion Oepoi. Tak heran kalau gengsi turnamen akan menjadi naik kalau pertandingannya digelar di Stadion Oepoi.

Dji Sam Soe dan Pos Kupang pun sama. Mereka tidak mau Mitra Sportindo Event Organizer menggelar turnamen yang disponsorinya di lapangan sepakbola lain selain Stadion Oepoi. "Gengsinya beda," kata Pimpinan Area Marketing PT HM Sampoerna Tbk Kupang, Danang Pamungkas.

Dengan kondisi 'harap maklum' turnamen tetap dilaksanakan di Stadion Oepoi. Sarana dan prasarana olahraga di NTT memang belum mendapat perhatian yang baik dari pemerintah. Padahal, untuk mendapatkan atlet berprestasi sarana olahraga yang representatif adalah tuntutan utama. Tidak hanya itu, dengan stadion yang bagus, kita juga bisa menggelar event-event tingkat nasional.

Seharusnya kita protes kepada PSSI mengapa kita tidak pernah menjadi tuan rumah pra PON cabang sepakbola. Kita memang tidak punya alasan kuat untuk itu. Stadion kita dinilai belum layak menggelar event nasional. Kalaupun Batunirwala dan Golodukal pernah menggelar Divisi II Liga Indonesia, itu karena sudah masuk dalam standard minimal, sementara Stadion Oepoi sama sekali tidak layak.

Tahun depan, Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup pasti kembali digelar. Semua pemain bola dan penonton partai final antara Britama melawan Kristal mendengar janji Ketua Bidang Organisasi KONI Propinsi NTT, Ir. Andre Koreh, M.T, saat penutupan bahwa dia akan mengusulkan ke Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya agar dialokasikan dana perbaikan permukaan lapangan. Kalau ini benar-benar terwujud, maka keinginan akan makin banyak turnamen yang digelar hampir pasti akan tercapai.

Lintasan atletik di Stadion Oepoi 'menggoda' para atlet atletik untuk berlatih lebih keras. Ada harapan prestasi atletik NTT akan meningkat. Mungkinkah bila permukaan lapangan ikut diperbaiki, maka sepakbola NTT bisa berbicara di level nasional? Kita semua menunggu! (bersambung)

SYALOM