Kamis, 27 November 2008

Leluhur Masih Marah

Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (3)

Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad

MALAM sebelum pemakaman dilakukan hamayang (sembahyang) oleh ama bokol hama (pendeta marapu). Doa persiapan ini berlangsung di uma bokul, rumah besar milik almarhum. Keluarga anamburung menyiapkan seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk disembelih.

Hati babi dan tali perut ayam dibaca oleh ama bokol hama untuk mengetahui pesan-pesan almarhum, pesan-pesan leluhur untuk keluarga yang ditinggalkan. Hati babi dimasak pada tungku di dekat katoda dan ayamnya dibakar untuk diletakkan di tempat sesajian bersama nasi yang disebut uhu mange'ijing agar leluhur bisa menyantapnya.

Ada lima ekor ayam yang harus disembelih, masing-masing seekor untuk almarhum, seekor untuk umbu tamo (nenek moyang yang namanya digunakan oleh almarhum), seekor untuk nenek moyang, seekor untuk papanggang atau hambanya alrmahum dan seekor untuk marapu. Khusus untuk almarhum ayamnya harus berbulu merah. Ayam itu bisa jantan semua, bisa betina semua, bisa campur-campur antara jantan dan betina.

Juru bicara keluarga anamburung, Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha yang ditemui di sela-sela upacara pemakaman, menuturkan, ayam itu hanya bisa disembelih oleh ama bokol hama (pendeta marapu) atau pendampingnya. Yang menyembelih babi bisa dari salah satu ama bokol hama.

Hasil penglihatan ama bokol hama,di hati babi terdapat tanda khusus. Sedangkan tali perut ayam menunjukkan marapu memberi izin, umbu tamo juga memberi izin, almarhum sendiri ada izin, dia sudah siap menuju Parai Marapu (surga) dan papanggang atau hamba juga siap mendampingi almarhum. Yang tidak memberikan izin adalah nenek moyang yang ditandai dengan noda pada hati babi. Itu berarti masih ada akibatnya, baik keluarga dalam maupun keluarga luar. Keluarga perlu membuat upacara lagi untuk memohon ampun setelah penguburan. Jika belum diselesaikan, setiap hati babi yang disembelih pasti tetap ada tanda. Keluarga harus mencaritahu terus sampai mengetahui persoalannya mengapa nenek moyang marah. Upacara adat ini harus tuntas sehingga arwah almarhum tenang dan diterima penguasa jagat raya.

Jika diabaikan keluarga akan mendapat pahala. Seperti apa pahalanya? Baik ama bokol hama maupun tua adat lainnya tidak dapat meramalkan. Menurut Umbu Maramba Hau, pengalaman selama ini, pahalanya bisa berupa sakit, kebakaran, banjir, disambar petir bahkan kematian. Untuk menghindari hal-hal ini, keluarga akan berunding lagi dan melakukan upacara permohonan maaf kepada nenek moyang dengan menyembelih babi dan hamayang oleh ama bokol hama. Tapi untuk upacara permohonan maaf, baru akan dilakukan setelah amarah nenek moyang itu redah. Sama seperti manusia, disaat dia sedang marah sebaiknya kita jangan dulu meminta maaf, karena amarahnya akan mendidih bahkan akibatnya fatal. Bisa jadi emosinya tidak dapat dikendalikan lalu terjadi tindakan di luar yang diinginkan.

Masyarakat Sumba Timur meyakini suasana seperti itu, juga terjadi pada arwah nenek moyang. Untuk itu, dalam melakukan upacara permohonan maaf, butuh waktu jedah. Jika emosi seseorang sudah redah, mudah memaafkan. Saat itulah upacara itu dapat dilakukan. Keluarga dalam menyelenggarakan upacara permohonan maaf kepada leluhur yang marah, juga akan membaca suasana hati leluhur tersebut.

Perpisahan dan pemberian makan oleh keluarga kepada arwah orang yang meninggal dan arwah leluhur yang datang dengan cara memotong ayam (manu kanjiku reti) dan hamayang sebelum jenazah diberangkatkan ke liang lahat, merupakan penghormatan terakhir. Selain ayam, juga kuda (njara ndangang) sebagai kurban. Hati kuda diambil untuk diramal lalu dimasak pada tungku dekat uma bokul untuk dibuat sesajian, memberi makan kepada roh leluhur yang siap menjemput kedatangan arwah almarhum.

Umbu Maramba Hau menuturkan, almarhum Umbu Mehang Kunda sama sekali tidak meninggalkan pesan kepada keluarga. Keluarga juga tidak mendapat firasat kalau beliau akan meninggal dunia. Untuk itu, keluarga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi sehingga leluhur masih marah saat dilangsungkannya tata upacara pemakaman. Kesan umum yang keluarga terima, almarhum orangnya penyayang, tidak pernah dendam, mudah memaafkan dan sederhana. Semasa hidupnya tidak pernah marah kepada keluarga. Kalaupun marah, sebentar saja, lalu memaafkannya dengan cara guyon.

Itu yang membuat keluarga betul-betul kehilangan seorang bapak, seorang tokoh panutan. Kesan seperti ini, mungkin juga dirasakan pegawai negeri di lingkup Setda Sumba Timur dan masyarakat daerah itu umumnya. (bersambung)

Selasa, 25 November 2008

Menunggu Keseriusan Polisi di NTT

Oleh Dion DB Putra
KETIKA sebagian warga masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) mungkin telah lupa dan kehabisan harapan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghidupkan kembali harapan akan datangnya keadilan di bumi Flobamora. Sesuai cara kerja mereka yang tak banyak cakap, KPK datang ke Kupang dan melakukan gelar perkara penanganan kasus-kasus korupsi di Propinsi NTT.

Empat kasus korupsi yang sebelumnya dihentikan penyidikannya oleh aparat kepolisian di NTT bakal dibuka kembali oleh KPK. Penyidikan ditangani bersama KPK dan Polda NTT. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Resese Kriminal Kepolisian Daerah NTT, AKBP Mohamad Slamet, dua dari empat kasus yang digelar hari Kamis (20/11/2008), terdapat di Kabupaten Kupang. Dua kasus lainnya di Kota Kupang dan Belu.

Keempat kasus tersebut adalah kasus korupsi pengadaan kapal ikan di Kabupaten Kupang yang merugikan negara Rp 294 juta lebih yang diduga melibatkan Bupati Kupang, Drs. IA Medah. Kasus korupsi dana operasional di DPRD Kabupaten Kupang tahun 1999-2004 yang merugikan negara Rp 1 miliar, kasus korupsi dana operasional DPRD Kota Kupang tahun anggaran (TA) 1999-2004 senilai Rp 2,5 miliar, dan kasus korupsi dana tunjangan anggota DPRD Belu TA 1999-2004 senilai Rp 954.683.382. Total kerugian negara dari keempat kasus tersebut bukan jumlah yang sedikit.

Bukan pertama kali media massa lokal NTT dan media massa nasional memberitakan kasus dugaan korupsi tersebut. Dalam catatan kita, media massa memberi ruang yang cukup memadai terhadap berita tersebut. Perkembangannya dilaporkan secara rutin. Dalam spirit transparansi dan demi penegakan hukum, pers mengungkap fakta dan data. Sejumlah komponen masyarakat juga mendukung kerja polisi dengan memberikan data pendukung serta dukungan moril. Namun, semua tahu dan maklum. Setelah BAP-nya bolak-balik sekian kali, kasus-kasus tersebut berakhir dengan SP3. Prosesnya berhenti tanpa penjelasan memadai mengapa berhenti.

Masyarakat pencari keadilan sebatas tahu bahwa penyidikan suatu kasus dihentikan (SP3) karena tidak ditemukan cukup bukti. Apabila ingin membuka kembali kasus tersebut, penyidik membutuhkan novum atau bukti baru. Seperti diakui Slamet, peluang membuka kembali kasus itu terbuka lebar sepanjang ada novum.

Menurut pandangan kita, KPK telah menunjukkan keseriusannya untuk membuka kembali kasus ini bersama penyidik Polda. Kehadiran KPK di Kupang tidak sekadar menjalani tugas rutin. Lembaga itu telah meraih kepercayaan publik yang luar biasa besar karena sikap profesional yang mereka tunjukkan. Mereka telah menunjuk bukti berupa daftar panjang para koruptor yang masuk penjara karena menggarong uang rakyat. KPK akan memantau kinerja penyidik kepolisian di NTT dalam menangani kasus-kasus tersebut.

Penyidik Polri di sini hendaknya tidak tinggal diam karena masyarakat menunggu kelanjutan aksi yang lebih konkret. Tentu dibutuhkan kerja keras dan kerja secara cerdas untuk mendapatkan bukti baru. Korupsi merupakan kasus yang rumit dan pelik. Banyak cara yang harus ditempuh guna mengumpulknan bukti agar seseorang dapat diproses atau tidak.

Menangani kasus korupsi pun menghadapi banyak kendala, cobaan dan godaan. Jika mudah putus asa dan enteng tergoda , maka kehadiran KPK menggelar ulang kasus dugaan korupsi di atas tidak ada manfaatnya apa-apa. Kita akan kembali ke persoalan yang sama yakni penyidikan kasus korupsi jalan di tempat dan mereka yang diduga terlibat hidup bebas merdeka.

Kiranya diingat bahwa catatan penegakan hukum di Nusa Tenggara Timur selama era reformasi masih jauh dari menggembirakan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Khsus kasus tindak pidana korupsi, tidak sedikit pejabat publik yang lolos dari jeratan hukum. Kenyataan seperti itu tidak boleh terulang. Yang bersalah harus diproses secara hukum agar keadilan sungguh ditegakkan di tengah masyarakat Flobamora. **

Menangislah Bila Harus Menangis

Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia
Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis,
dan manusia pun bisa mengambil hikmah

KAPAN
kali Anda menangis? Saat menonton film sedih, saat bertengkar dengan kekasih, atau sudah lama tidak menangis? Seharusnya Anda tak perlu takut mencucurkan air mata. Seperti sepenggal lirik dari lagu Air Mata yang dinyanyikan oleh grup band Dewa di atas. Sebagai manusia, wajar jika kita menangis, baik pria maupun wanita. Apalagi, menangis banyak manfaatnya.

Menurut penelitian, perempuan menangis sekitar 47 kali dalam setahun, sedangkan laki-laki hanya tujuh kali. Tingginya hormon prolaktin dalam tubuh wanita diduga jadi penyebabnya.

Sebuah penelitian yang dilakukan para ahli di Amerika Serikat menyebutkan, 9 dari 10 orang mengaku merasa lebih lega setelah menangis. Bahkan, para ahli juga percaya kalau menangis bisa menyembuhkan sakit dan meningkatkan kadar hormon adrenalin.

"Menangis adalah pelepasan emosi yang paling tepat saat kita tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata," kata Dr Simon Moore, psikolog dari London Metropolitan University. Menurut Profesor William Frey, ahli tangis dari AS, air mata yang dikeluarkan saat kita sedang emosional mengandung hormon endorphin atau stres sehingga bisa membuat perasaan lebih plong. Menangis juga diketahui bisa menurunkan tekanan darah dan denyut nadi.

Bila ada yang masih takut disebut cengeng karena menangis, sebaiknya simak manfaat dari mencucurkan air mata berikut ini.

* Minta tolong
Tak semua hal bisa diungkapkan lewat kata-kata. Demikian juga saat kita sedang membutuhkan bantuan orang lain. Saat air mata mengalir, ini bisa jadi tanda Anda butuh dibantu. Tangisan juga kerap menimbulkan rasa iba orang lain.

* Melepas stres
Setelah menangis hati yang sesak pun langsung terasa lega. Penelitian pun menunjukkan bahwa air mata yang keluar bisa melegakan rasa stres.

* Meredakan sakit
Sebuah studi yang dilakukan di Jepang menunjukkan, orang yang lebih sering menangis lebih jarang mengalami sakit encok. Para ahli menduga hal itu berkaitan dengan dikeluarkannya hormon endorphins atau hormon antisakit saat kita menangis.

* Lebih kuat
Selama dan setelah menangis kita akan menarik napas dalam sehingga kadar oksigen dalam darah meningkat. Hal ini akan membuat mental dan fisik terasa lebih kuat.

Melihat banyaknya manfaat dari tangisan, para peneliti di AS kini merekomendasikan terapi menangis untuk orang-orang tertentu, terutama mereka yang punya kesulitan dalam mengekspresikan emosinya. (the sun)

Tinggal Sesaat Kami Melihat Tuan...

Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (2)

Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad

PENGANUT kepercayaan marapu meyakini kematian sebagai peristiwa penting dalam kehidupan seseorang menuju kebahagiaan sejati. Walau sudah dibaptis menjadi penganut Kristen, baik Protestan maupun Katolik, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, masih meyakini kepercayaan warisan leluhur itu, sehingga setiap kematian, tata upacara pemakaman dilakukan secara marapu.

Ada yang melakukan seremoni itu secara sederhana, ada pula yang spektakuler dengan memotong ratusan ekor hewan, dihadiri ratusan rombongan adat. Semuanya tergantung strata sosial di masyarakat. Yang jelas tata upacara pemakaman umbu maramba berbeda dengan hamba atau papanggang. Jika yang meninggal dunia keturunan bangsawan atau raja, apalagi ekonomi sanak keluarga tergolong mampu, maka tata upacaranya betul-betul spektakuler. Meriah, gegap gempita. Prestise keluarga dipertaruhkan.

Bagi pemeluk marapu, upacara pemakaman atau penguburan merupakan saat-saat penting untuk melapangkan jalan arwah ke Parai Marapu (surga). Diyakini seseorang tidak dapat menuju Parai Marapu jika tidak ada pertolongan dari leluhur sehingga perlu dilakukan upacara menurut adat istiadat di tanah seribu batu kubur itu. Besarnya arti kematian dapat dilihat dari megahnya kubur megalitik atau batu kubur. Kemewahan sebuah upacara penguburan bervariasi, tergantung status sosial orang yang meninggal dan kemampuan ekonomi keluarga yang menyelenggarakan upacara pemakaman itu. Semakin mampu keluarga yang meninggal semakin megah batu kuburnya dan semakin mahal ongkosnya.

Walau peradaban bangsa ini sudah maju, masyarakat Sumba Timur khususnya dan Sumba umumnya, tetap melestarikan tata upacara pemakaman warisan leluhur tanah marapu itu. Kepercayaan terhadap tata upacara pemakaman marapu tak pernah memandang jabatan, pangkat dan status sosial semasa hidup. Bagi masyarakat Sumba Timur, kematian adalah urusan keluarga, urusan marga sehingga embel-embel jabatan yang diemban semasa hidup ditanggalkan, apalagi strata sosial orang yang mati berasal dari keluarga bangsawan atau turunan raja seperti Ir. Umbu Mehang Kunda, Bupati Sumba Timur periode 2005-2010 yang meninggal dunia Sabtu 2 Agustus 2008 lalu.

Jenazah Umbu Mehang Kunda disimpan selama 102 hari di uma bokul (rumah besar) di Kampung Prai Awang, Rende, dan baru dimakamkan Senin, 10 November 2008, melalui prosesi adat marapu pemakaman raja-raja Sumba. Semalam sebelum jazad almarhum dihantar ke liang lahat, dilantunkan kisah hidup dan silsilah almarhum Umbu Mehang Kunda melalui nyanyian oleh para wunang (juru bicara) diikuti tangisan papanggang (hamba) perempuan di samping kiri dan kanan jenazah yang disemayamkan di uma bokul (rumah adat).

Para wunang duduk berjejer di balai-balai uma bokul, tepat di pintu masuk menuju tempat persemayaman jenazah. Syair-syair adat dengan bahasa yang dalam dan sulit diterjemahkan terus dilantunkan. Iramanya seperti kidung kematian diawali dengan nada yang sangat tinggi, semakin larut malam nadanya semakin menurun, merdu dan haru. Koor dan solo sahut menyahut diiringi gong irama kandaki manaih.

Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, juru bicara keluarga anamburung, nyanyian para wunang selain mengisahkan turun temurun dan perjalanan hidup almarhum, juga memohon kepada Mawulu Tau Maji Tau (sang pencipta manusia yang digambarkan sebagai perempuan yang disebut Ina Pakawurungu (ibu sejagat raya) dan Ama Pakawurungu yang disebut ama ndaba (bapak sejagat raya). Masyarakat Sumba Timur yang masih meyakini kepercayaan marapu percaya kalau Ina mbulu dan Ama ndaba adalah orang yang bermata dan bertelinga besar, Na mabakulu wua mata-na ma mbalaru kahilu, yang dapat melihat dan mendengar dengan sempurna apa yang dikatakan atau permohonan orang hidup dan mengetahui setiap perbuatan manusia. Mereka itulah yang memberikan kesuburan dan kesejahteraan di bumi sandelwood.

Sedangkan tangisan papanggang wanita menyesali mengapa armarhum meninggal. Bagaimana sudah? "Kami tak berkuasa melepas kepergian tuan, kami hanyalah manusia biasa, kami hanyalah orang tak berdaya, yang kami miliki hanyalah tangisan." Saat menangis para papanggang juga memohon kepada Ina mbulu dan Ama ndaba untuk mendengar keluh kesah dan melihat duka nestapa yang mereka alami. Mereka sudah tak berdaya karena ditinggal pergi sang raja, tuan yang dihormati dan disegani, tuan yang mengayomi mereka. Tangisan ini dilantunkan sejak jenazah almarhum disemayamkan di uma bokul.

Semalam sebelum jenazah dihantar ke liang lahat, para papanggang semakin sedih. "Tinggal semalam kami menyembah tuan, tinggal sesaat kami melihat tuan, sebentar lagi tuan akan pergi, pergi meninggalkan kami. Kami siap mengantar tuan menuju alam yang sejahtera."

Menurut Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha, itulah isi singkat dari nyanyian para wunang dan tangisan papanggang menjelang hari pemakaman jenazah almarhum. Nyanyian dan tangisan ini, katanya, bukan hanya untuk almarhum Umbu Mehang Kunda, tapi untuk kematian bangsawan atau raja-raja lain. Cuma pesan yang disampaikan sesuai dengan kesan semasa hidup.

Almarhum Umbu Mehang Kunda adalah orang yang menentang pemberlakukan kasta antara bangsawan dengan papanggang atau hamba. Sejak almarhum menjabat Bupati Sumba Timur tahun 2000, dia melarang kultur pemakaman raja-raja yang diikuti dengan papanggang atau hamba, karena melanggar hak asasi manusia. Ini dibuktikan ketika beliau dimakamkan. Tidak ada papanggang atau hamba setia yang ikut dikuburkan bersama beliau.

Menurut Umbu Maramba Hau, semasa hidupnya Mehang Kunda melarang raja-raja di Sumba Timur mati membawa hamba atau papanggang. Beliau meminta keluarga anamburung memberikan contoh. Apalagi keluarga anamburung telah mengharamkan itu sejak nenek moyang mereka. Keluarga anamburung sangat menghormati dan menghargai sesama manusia sehingga tidak membiasakan raja mati diikuti hamba setia.

Kembali ke nyanyian para wunang dan tangis papanggang. Kidung-kidung yang dilantunkan para wunang juga memohon ampun atas salah dan dosa almarhum semasa hidup dan meminta sang penguasa jagat memberikan jalan yang lebar agar arwahnya tak terhambat saat menuju Prai Marapu (surga).

Malam itu juga disembelih seekor babi jantan dan lima ekor ayam untuk dilihat hati dan tali perutnya. Hati babi dan tali perut ayam Ama bokol hama (Pendeta Marapu) untuk mengetahui isi hati almarhum kepada sanak keluarga yang ditinggalkan. Jika almarhum atau nenek moyang marah, hati babi atau tali perut ayam memberi tanda khusus. Seperti apa hasilnya? (bersambung)

Wasit: Berkuasa dan Dicerca

DI Inggris sedang ada kampanye besar-besaran untuk menghormati wasit. Sebuah ide mulia dan memang seharusnya, tetapi juga sebuah absurditas mengingat evolusi atau bahkan revolusi yang telah terjadi dalam dunia sepakbola.

Sepakbola, seperti juga permainan lain, awalnya adalah sebuah permainan untuk sekadar bersenang-senang, melupakan rutinitas kehidupan sehari-hari. Sebuah permainan untuk membantu membangun karakter pribadi dan kolektif. Selesai bertanding orang boleh tidak puas, puas, menggerutu, bergembira, bersedih, tapi kemudian melupakan semuanya dan kembali ke kehidupan sesungguhnya. Kembali ke rutinitas sehari-hari.

Tetapi kini sepakbola bagi mereka yang terlibat dalam dunia sepakbola ini adalah kehidupan itu sendiri. Sepakbola telah menjadi ekspresi pribadi, sosial, politik, dan ekonomi. Nilai kehidupan tergantung padanya.

Dalam situasi ini sangatlah absurd bila hakim, administrator, arbitrator, penentu hitam putihnya di lapangan, masih juga dipegang tunggal oleh wasit -- kecuali kalau wasit adalah entitas maha sempurna tentunya.

Setiap pekan kita bisa melihat sendiri bagaimana wasit sering melakukan kesalahan. Murni bukan kesengajaan. Entah karena lalai, tidak melihat dengan jelas, pemain yang dengan cerdik berpura-pura, dan berbagai sebab lain.

Para komentator sepakbola ataupun penonton televisi diuntungkan oleh replay yang kadang sampai berulang-ulang dengan sudut beragam, tetapi wasit tidak punya kemewahan itu dan harus mengambil keputusan seketika. Betapa susahnya.

Bayangkan perumpamaan ekstrim ini. Dalam pertandingan penentuan degradasi Premier League seorang wasit memutuskan tendangan penalti di detik terakhir dan menjadi penentu kemenangan-kekalahan sebuah tim. Kalau keputusan itu benar tidak akan menjadi masalah. Atau menjadi masalah tetapi dengan dimensi yang lain. Tetapi bagaimana kalau salah?

Satu keputusan salah itu jutaan poundsterling nilainya. Juga bisa merupakan garis tipis dipecat tidaknya seorang manajer, hengkangnya para pemain bagus dari klub bersangkutan, menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi mereka yang terlibat menjalankan kehidupan keseharian klub. Belum lagi berbicara dampak psikologis kolektif bagi pendukung yang kalah secara tidak adil.

Para sejarawan sepakbola tentu tidak akan melupakan babak kualifikasi Piala Dunia 1970 antara Honduras dan El Savador tahun 1969. Ketegangan antara dua negara bertetangga di Amerika Tengah yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola itu akhirnya menjadi perang terbuka, setelah kedua negara ini bertanding sepakbola. Bayangkan peran dan perasaan wasit di pertandingan itu.

Dengan taruhan yang begitu besar dan kemampuan wasit yang sangat terbatas tetapi keputusannya sangat amat menentukan, tak pelak wasit mudah sekali menjadi sasaran tembak ketidakpuasan. Terutama sekali pemain, manajer, dan penonton, serta tak ketinggalan komentator sepakbola, tidak pernah berberat tangan untuk menghujat mereka. Itulah sebabnya kampanye agar wasit dan keputusannya dihormati 100 persen adalah sebuah absurditas konyol.

Para manajer mengatakan mereka akan menghormati wasit kalau wasit bisa konsisten dan sempurna. Ini kekonyolan dalam bentuk lain. Ini seperti menuntut manusia untuk selalu sempurna setiap saat. Padahal apakah pemain juga bersikap sempurna kalau mereka sering berpura-pura menjatuhkan diri, menarik kaos lawan, dan memprotes keputusan yang sudah sempurna? Apakah manajer juga bersikap sempurna ketika menerima keputusan wasit yang salah tetapi menguntungkan timnya, tetapi begitu dirugikan segala macam perbendaharaan makian mereka keluarkan?

Masih beruntung menjadi wasit di Eropa atau di Inggris ini, coba kalau di Indonesia. Bukan sekadar hujatan yang diterima, bogem mentah dan ketupat bengkulu pun sering dilontarkan. Mengerikan. (dtc)

Senin, 24 November 2008

Rombongan Adat, Simbol Kebangsawanan

Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (1)

Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad

SABTU
, 2 Agustus 2008, pukul 01.00 Wita. Bumi Matawai Amahu Pada Njara Hamu, trenyu. Ringkik kuda sandel sesaat diam. Goyang rumput sabana terhenti. Umbu, Rambu, Maramba, Hamba, menangis. Sumba Timur diselimuti kabut duka. Duka nestapa atas berpulangnya, Ir. Umbu Mehang Kunda, kepada Sang Khaliq. Lonceng gereja dibunyikan, imam masjid mengumumkan kepada umat bahwa pemimpin yang familiar, komunikatif berada di tengah semua golongan, semua suku dan semua agama telah meninggal dunia.

Ir. Umbu Mehang Kunda bukan hanya seorang bupati di Sumba Timur. Mehang Kunda adalah keturunan Raja Rende. Karenanya tata upacara pemakaman dilakukan secara adat marapu pemakaman raja-raja. Hasil urung rembug keluarga anamburung, marga almarhum sepakat jenazahnya dimakamkan di kampung adat Prai Awang, Rende, 10 November 2008.

Mulai Sabtu (8/11/2008), rangkaian tata upacara pemakaman dilangsungkan. Diawali dengan ibadah syukuran, karena Umbu Mehang Kunda telah dibaptis sebagai penganut agama Kristen Protestan. Semua rangakaian upacara berlangsung di Kampung Prai Awang, tempat ayah almarhum, Umbu Windi Pandji Djawa alias Umbu Nai Hiwa dimakamkan.

Pada hari itu, saya dan Diana (wartawati Pos Kupang di Sumba Timur) menuju Kampung Prai Awang, sekitar 70 kilometer arah timur Kota Waingapu. Kurang lebih dua jam perjalanan, kami memasuki kawasan kampung adat itu. Kami menyaksikan sekitar tanah lapang depan gang masuk kampung, berdiri tegak tenda-tenda untuk tempat makan para tamu. Di tanah lapang itu, juga telah disiapkan tempat parkir. Di samping barat gang masuk ke kampung itu, terdapat sebuah kandang besar yang dipagari batu gunung, tempat pengikatan kuda dan kerbau. Banyak orang berpakaian khas Sumba hilir mudik ke sana ke mari, menyiapkan segala keperluan untuk acara adat pemakaman.

Kampung seluas kurang lebih 0,5 hektar, itu diapiti 23 rumah adat di sisi timur dan barat. Di tengah-tengah kampung terdapat 11 batu kubur besar dan beberapa batu kubur kecil. Salah satu batu kubur besar masih kosong. Batu kubur megalitik yang megah dengan berat 31 ton itu yang disiapkan keluarga anamburung untuk pemakaman jenazah almarhum Umbu Mehang Kunda. Di tengah kampung, dekat batu kubur yang kosong, terdapat sebuah tenda besar yang sudah dipadati jemaat, para PNS lingkup Setda Sumba Timur, sanak keluarga anamburung dan sahabat kenalan almarhum. Sebuah altar kecil dan sound system tersusun rapi. Rupanya hari itu ada jadwal kebaktian syukur menjelang pemakaman almarhum Umbu Mehang Kunda yang telah dibaptis sebagai penganut agama Kristen Protestan.

Begitu kami mengambil tempat duduk di tenda, langsung disuguhkan kuta dan winnu (sirih pinang) pada baola pahapa (tempat sirih pinang). Walau tidak biasa makan sirih pinang, kami menjamah saja sebagai wujud penghargaan kepada tuan rumah. Menyuguhkan kuta dan winnu merupakan penghormatan tuan rumah terhadap setiap tamu di Sumba Timur. Tuan rumah tersinggung jika tamunya menolak makan atau menjamah baola pahapa yang disuguhkan.

Sekitar pukul 17.00 Wita, kebaktian dimulai, dipimpin langsung Ketua GKS, Pdt. David Umbu Dingu, S.Th. Kebaktian berlangsung sekitar satu jam, dilanjutkan sekapur sirih dari keluarga yang diwakili Umbu Lili Pekualing, adik kandung almarhum Umbu Mehang Kunda, dan makan bersama.

Kami langsung mencari tokoh adat untuk dijadikan narasumber yang bisa menceritakan tata upacara pemakaman raja-raja Sumba. Beberapa orangtua didekati tapi mengaku tidak berhak berbicara. Umbu Lili Pekualing yang adalah adik kandung almarhum, juga mengaku tidak mengetahui secara detail tentang tata upacara itu dan menyarankan menemui juru bicara keluarga anamburung. Ada yang mengaku tahu dan mengerti tapi status mereka yera (ipar) dari almarhum atau status ipar dalam keluarga anamburung. Ada yang tahu tata upacara tapi status sebagai papanggang atau hamba.

Belum menemukan narasumber, kami memilih bergabung dengan tamu lain di bale-bale uma bokul (rumah besar) tempat jenazah almarhum Umbu Mehang Kunda disemayamkan. Di sana kami bertemu Om Cyrilus, sahabat kental almarhum yang sudah dianggap sebagai keluarga oleh marga anamburung. Om Cyrilus sangat mengenal orang-rang di kampung itu, mengenal baik kerabat dan sanak keluarga almarhum Umbu Mehang Kunda. Dia mengajak kami ke sebuah rumah adat di sebelah timur uma bokul. Di sana kami dipertemukan dengan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha.

Umbu Maramba Hau yang saat itu cukup sibuk mengatur lalu lintas dan tata upacara pemakaman, menuturkan, penyimpanan jenazah, terutama jenazah para raja di Sumba Timur umumnya dan Kampung Prai Awang khususnya, itu hal biasa. Lamanya penyimpanan jenazah tergantung ekonomi. Jika ekonomi keluarga kuat, penyimpanan jenazah paling lama satu tahun langsung dimakamkan. Jika ekonomi keluarga kurang kuat penyimpanannya bisa 5-10 tahun, karena keluarga yang menyelenggarakan pemakaman harus bekerja menyiapkan segala kebutuhan, terutama hewan dan batu kubur.

Biasanya, jadwal pemakaman diambil berdasarkan musyawarah kabihu (rumpun keluarga atau marga). Khusus almarhum Umbu Mehang Kunda, hanya 102 hari penyimpanan, lalu dimakamkan, mengingat beliau punya jasa dan ekonomi keluarganya kuat. Untuk itu, keluarga anamburung mengundang 150 rombongan adat yang terdaftar dan 50 rombongan adat cadangan. Keluarga anamburung sudah siapkan balasan kepada rombongan adat yang membawa kerbau, babi, mamoli dan kain.

Setiap pembawaan rombongan adat akan dibalas sesuai silsila adatnya. Jumlah rombongan adat, pembawaan dan balasan merupakan simbol kebangsawanan orang yang meninggal dan keluarga yang menyelenggarakan pemakaman. Jenis barang bawaan dan balasan harus diurut secara benar untuk melapangkan jalan arwah almarhum menuju Parai Marapu (surga). Penganut marapu meyakini simbol adat yang dilakukan dalam tata upacara pemakaman, berlangsung juga di Parai Marapu. (bersambung)

Minggu, 23 November 2008

Sex Humor The Sequel

(Josh Chen – Global Citizen)

Following Mamak's petunjuk and try to start with a bit of English, so I sent this to complement Pak WES with The Sequel..... enjoy.... http://community.kompas.com/read/artikel/879

A judge asked a woman on why she wanted a divorce.
She answered, "Your Honor, he knew I'm a vegetarian
and yet he still insists on putting his meat in my mouth."

Woman: Doctor, ant entered my vagina, please take it out.
Doctor removes her panties and start making love.
Woman: What are you doing?
Doctor: This is the only way to drown the bastard!

Question: What is the closest thing similar to a woman's period?
Answer: YOUR SALARY. It comes once a month last 3 - 4 days & if it doesn't come you are in deep trouble!

A lady visited her doctor again, Doctor said: You look more sick & exhausted then before. Are u having 3 meals a day as I advised?
Lady: WHAT? I thought u said 3 MALES a day!!!!

Women asked God to make The Penis Pretty.
GOD Said "No way; Now As It Is, The Penis is so
ugly & you still suck it. If I make it Pretty You'll Eat It up!!

A nun went for a urine test. The sample got mixed up. When the doctor told her she was pregnant, she cried n said," Shit, we can't even trust cucumber anymore!

A boy pulls down his pants in front of a girl & asked "Do you have this?
The girl lifted up her skirt & said,"My mom said with this I can have a lot of THAT!"

Schoolgirl: I do not want to take the SEX EDUCATION.
Class Teacher: Why not?
Schoolgirl: Someone told me the FINAL EXAM would be ORAL!"

Mother asks daughter, how is married life? Daughter shyly says like BRITISH AIRWAYS ad.
Mother reads the ad and is shocked " 7 DAYS A WEEK,TWICE A DAY, BOTH WAYS!

What is the STRONGEST muscle? Answer: TONGUE- It can raise a woman's hip with just one lick!
The weakest muscle? Answer: PENIS! It can be raised by a woman's tongue!

Lady Immigration officer asked a Korean tourist: Name? Answer the Touris: Park Yu.
The 0fficer become angry & shouted back: F**K YOU! Now what's your full name?
Korean replied: PARK YU TOO!!

Man to wife: Business is bad if you learn to cook we can remove servant.
Wife: A***HOLE! If you learn how to f**k, we can remove driver, gardener & watchman..

COCK say to his two BALLS: I am going to take you with me to a party.
BALLS said: You big f***g liar. You always get INSIDE and leave us waiting OUTSIDE!

A baby dog asked mama dog how papa look like?
Mama dog reply: How I know. Your papa came from behind & I didn't have chance to see his face" !

What's the difference between stress, tension & panic?
Stress is when wife is pregnant, Tension is when girlfriend is pregnant, PANIC is when both are pregnant....

J dan Sex Humor

WARNING:

* Baca ini jangan sambil minum, makan atau apa, keselek di luar tanggung jawab pengirim
* Pegangan kuat-kuat di kursi, nanti guling-guling di lantai urusan pembaca sendiri....


Satu hari Sultan merasa sungguh "boring n bete abis", jadi dia tanya Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"

"Abunawas" jawab Bendahara. Sultan pun manggil Abunawas n baginda
bertitah: "Kalau kamu pandai, coba buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata
mesti dimulai dengan huruf 'J'.

Terperanjat Abunawas, tapi setelah berpikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng Juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya - Jakarta. Jamu jagoannya: jamu jahe.

"Jamu-jamuuu ... jamu jahe - jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan.

Jariknya jatuh, Juminten jatuh jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh ..." Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.

Juminten jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo. Jantungnya Jeng Juminten judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jealous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny.

Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten.

Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten. Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil! !!" Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, jebreeet ..., Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jendol, jadi jontor juga jendol ... jeleekk. "John, jangan jahilin Juminten ...! " jerit Jack. Jantungnya Johny jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji Johnny jera," jawab Johny. Jack jadikan Johny join jualan jajan jejer Juminten.

Johny jadi jongosnya Jack - Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan Jogja - Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny

"Jolly-jolly Jumper." Jumpalagi, jek........! !!

Jeringatan : Jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja ...!!! JUSAH...!!!

Gemuruh Hati Leticia

Oleh Rosalina Langa Woso

WAJAH perempuan berkepala lima itu tampak kusut. Garis-garis ketuaan melingkar hampir di seluruh kelopak matanya. Sambil tersenyum dengan kepala sedikit merunduk, Leticia menyodorkan selembar sertifikat kepada Ara. Lety, begitulah sapaannya, menatap penuh harap. Lima juta rupiah bisa diperolehnya saat itu dengan menggadaikan sertifikat tanah.

Lahan seluas tiga ratus meter persegi dengan bangunan permanen, harus dijual di bawah tangan. Paling tidak, sudah ada modal awal pernikahan putrinya Sonya dengan Andy. Pemuda asal Oepoli, yang melamar via service masage system (SMS) itu nekad buat pahe (paket hemat). Satu minggu ambil cuti, langsung pinang dan bersanding di pelaminan.

Andy, perjaka yang bekerja sebagai buruh pada sebuah perkebunan kelapa sawit di Riau Pekanbaru, Sumatera telah mencuri hati Sonya. Setiap pesan yang masuk melalui handphone, hati karyawan pada sebuah supermarket kenamaan di Kota Kupang itu luluh lantah. Maklum. Andy akan 'memberondong' dengan segudang pertanyaan. Sangat mirip dengan iklan pacar posesif yang terpampang di sudut kota. "Di mana? Dengan siapa? Sudah makan atau belum? Jam berapa kerja? Jam berapa pulang? Siapa yang jemput? Sudah tidur atau belum?" Deretan pertanyaan yang membuat hati Sony geli dan tertawa panjang.

Cinta memang mampu menembus ruang dan waktu. Kedua hatinya rekat hanya melalui pesan yang sebenarnya salah nyasar. Lety tersenyum kecut, bila mengenang wajah Sonya yang ceria dan semangat, menceritakan kisah-kasihnya bersama Andy.

Awalnya, Andy mengirim pesan lamaran itu kepada Rani, teman kelas esempe dulu. Maklum, nomor Rani dan Sony bedanya tiga dan empat di angka terakhir. Pesan melalui dua belas digit itu seharusnya ditujukan kepada Rani, serta nyasar. Pesan itu pun berlalu tanpa dikendalikan.

Sonya yang sibuk layani pembeli dibuat ketar-ketir saat membaca pesan lewat SMS itu. "Kamu sudah siap untuk dilamar? Dua bulan lagi saya pulang." Itulah pesan yang menjadi awal kisah kasih mereka berdua. "Siapa ya? Nomor ini tidak tercatat," balas Sonya tidak kalah tegas.

Lety tersentak. Ara yang dikenalnya dalam kelompok arisan satu kampung itu belum siap menyatakan kesediaan untuk memberikan pinjaman. Padahal, sejak sepuluh menit yang lalu, ayah dua anak itu telah bolak-balik membaca sertifikat rumahnya yang beralamatkan di pesisir pantai Kelurahan Oesapa. Jantungnya berdegup kencang manakalah Ara dengan mesra memanggil istrinya. "Teto..." suara Ara lembut. Agatha tergopoh-gopoh menghampiri suaminya. Dua kali Ara memanggil sebutan itu, pangilan sayang untuk perempuan yang menyimpan berbal- bal cinta untuknya. Cinta tanpa batas, tanpa pamrih yang telah memberinya status ayah dua anak.

"Teto. Ini ada Tanta Lety, mau pinjam uang dengan gadaikan sertifikat tanah," ujar Ara tenang sambil menatap istrinya yang duduk bersisian. "Kenapa tanta harus repot-repot antar sertifikat segala, kalau pun ada uang pasti kami bantu," timpal Agatha.

Agatha sangat mengerti. Perempuan yang nyaris beringsut di hadapan mereka itu telah putus asa untuk mendapatkan uang. Jauh-jauh hari, Sonya telah bercerita, kalau dirinya akan dilamar dan menikah. Tidak heran, ibunya harus pusing tujuh keliling untuk menyiapkan acara resepsi.

Lety bukan perempuan biasa. Tiga puluh tahun silam, dia adalah pemilik tubuh sintal dengan leher jangkung. Rambut hitam legam, panjang terurai sebatas bahu. Dia tampak sempurna dengan bulu mata lentik memagari bola matanya yang bundar, bening dan meneduhkan. Senyumnya menebar pesona dan tertawa lebar sambil memperlihatkan giginya yang gingsul.

Pesona itu masih ada, tersimpan rapi dalam batinnya yang setia dan ramah menyapa siapa saja. Ia lebih banyak diam saat berada dalam pertemuan keluarga, arisan ataupun bersama tetangga menikmati rujak cingur.

Kesulitan mencari lembaran rupiah untuk menyekolahkan tiga buah hati membuatnya lebih bijak dan mandiri. Garis-garis ketuaan di wajahnya yang bundar, merupakan saksi hidup baginya bahwa ia lebih banyak didera kesulitan ekonomi rumah tangga.

Satu persatu kekayaan miliknya ludes tergadai, saat terhimpit kebutuhan rumah tangga. Sofa lusuh satu set berwarna merah yang dideretkan ruang tamu menjadi satu-satunya barang mewah. Ruas jendela yang dipetak-petak dengan kaca nako tampak retak sana sini.

Sementara plafon rumahnya yang terbuat dari tripleks kian lusuh, sobekannya menjuntai nyaris menutupi lampu neon di langit-langit kamar yang disesaki banyak tamu. Sekuat tenaga, perempuan asal Sabu itu membangun tiga petak rumah untuk dijadikan kos-kosan yang sampai saat ini belum berdaun pintu dan jendela.

Rumah induk yang kini dihuni, sebagiannya dikontrakkan kepada mahasiswa, pengantin baru, para pendatang dari pulau seberang. Sementara di sudut dipannya sendiri, berdiri mesin jahit singer yang kusam. Deru mesin tua itu, terdengar ngos-ngosan saat merakit baju, kain pintu, gorden ataupun taplak meja langganannya. Deru mesin yang setia menemani hingga tengah malam, bahkan menjelang subuh saat pesanan jahitan menumpuk.

Lety bekerja serabutan untuk menghidupi hari-harinya yang panjang dan menggetirkan. Tujuh tahun silam, ibu tiga anak itu, pernah tertangkap tangan saat mengisi kayu cendana kelas satu asal SoE dalam tas pakaian.

Aroma santalum album yang terancam punah itu, membuatnya harus satu jam diadili petugas perbatasan. Dia kecewa harus pulang dengan tangan hampa. Tas itu ringan tanpa isian barang selundupan. Padahal, batinnya berbunga-bunga. Sepuluh kilogram kayu cendana itu bisa dijual untuk uang semester anaknya di Universitas Nusa Cendana

Dia sadar, dirinya hanyalah janda yang tidak memiliki kekuatan lobi untuk lolos dalam pemeriksaan itu. Ia pun digiring dan dicerca seperti penjahat perang dengan belasan pertanyaan yang menghina dan menyudutkan bathin. Padahal, dalam ingatannya yang mulai rapuh, dia banyak dengar ada banyak pejabat dan pengusaha lolos membawa berton-ton hasil hutan ke luar daerah.

Lety tersenyum sambil memperbaiki posisi duduknya. Lembaran rupiah berhasil diboyong dari hasil gadaian sertifikat. Dia tersenyum kecil bila mengenang peristiwa itu. Sony telah menyandang gelar sarjana. Pekan depan, perempuan yang mewarisi wajah suaminya itu resmi menjadi nyonya Andy, lelaki yang sebentar lagi memboyongnya ke perkebunan kelapa sawit.

Hari itu, Lety mengenakan kebaya merah hati dipadu dengan sarung sabu, motif lontar dibagian kakinya tampak jelas dipadu dengan sendal slof senada dengan kebaya. Dia anggun dengan sanggul moderen, diapit kembang melati. Mentari kemuning mulai rebah di kaki langit, menjemput sang malam untuk kembali keperaduannya. Wajahnya sedikit gugup, saat Master Ceremony (MC) memintanya untuk berdiri untuk mengapit putrinya menuju kediaman menantunya di Oepoli.

"Poly...," guman Lety dalam hati. Langkahnya gamang saat keluar dari ruang tamu. Tubuhnya nelangsa, bathinnya bergemuruh menahan gejolak yang mendera-dera sepanjang hari itu. "Kamu biarkan saya sendiri mengantar Sonya," ujar Lety sambil menebar senyum kepada penghuni tenda biru.

Pikirannya jauh menembus gedung kokoh di hadapannya. Jemarinya diremas-remas untuk menghalau kegalauan hati. Wajah Poly menari-nari, merasuk sukma, membangkitkan semua kenangan bersama di rumah tua itu. Lelaki yang dikenalinya di sebuah pesta keluarga, dua puluh lima tahun silam.

Kala itu, Poly tampil tenang dan tampan. Rambut cepak rapi dengan kulit wajah hitam manis. Tubuhnya atletis. Ia gagah mengenakan baju coklat berlengan pendek, dadanya bidang dipenuhi rambut, menyembul, saat dua kancing dibiarkan terbuka. Dandannya rapi. Lety tidak berdaya, manakala bola mata lelaki itu mengejarnya tanpa kedip. Memberinya kehangatan dan api cinta.

"Kamu pernah nonton acara balapan, ada yang harus mendahului garis finish. Itu tidak berarti, yang kemudian tidak mencapai garis finish kan ? Sama halnya dengan cinta yang kita rajut. Balapan itu ibaratnya menuju samudra cinta, kau dan aku sama-sama menuju ke garis finish itu," tukas Poly yang bertandang ke rumahnya, saat Lety masih berusia tiga puluh dua tahun.

Lety terdiam. Tubuhnya nyaris tak bergerak, saat Poly mendekapnya dalam-dalam. Lengan kokoh itu terlalu kukuh untuk ditepiskan. Ia biarkan, bibir yang ditumbuhi kumis terawat, mengulum mesra. Gelora cinta mendayu-dayu, menjalar sepanjang tubuh. Merintih, lalu tergolek dalam diam, setelah melepas semua himpitan dalam satu tarikan nafas yang amat panjang.

Mereka terbangun, saat hangat mentari pagi menjilati tumit lewat daun jendela yang tersingkap. Lety terperangkap dalam benih cinta, dia terlanjur dipantuli cahaya. Diam dan pasti, dibiarkan cahaya itu merasuk dalam sukmanya. Ditahtahkan jauh menjalar lewat nadinya yang setia berdenyut. Ia baru sadar, ketika buah hatinya tumbuh dalam rahimnya. Lelaki yang membuahinya itu bukanlah perjaka ting-ting. Ia telah beristri dan beranak tiga.

"Trimakasih, atas kesediaan untuk tidak sentimentil. Kamu bukan perempuan biasa. Ketenanganmu dalam bicara, kemurahan hati dan diam dalam tindakan, membuatku selalu nyaman bersamamu," puji Poly di lain saat, sambil mendekapnya ke dalam dadanya yang bidang.

Pujian itu adalah cemeti baginya untuk tidak terlalu cengeng saat melewati ribuan jam tanpa suami. Tubuhnya nelangsa, ia takut hari-hari hidupnya akan menimpa putra-putrinya. "Tidak, cukup aku saja yang melewati kegetiran ini. Sonya tidak bersalah, ia terlahir dari dua hati kami yang saling mencintai," tepis Lety dalam hati sambil beranjak dari tempat duduknya.

Aku sudah terlanjur mencintai Poly. Cintanya harus kupahami bukan sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum. Ia telah mati terkubur dengan nisan yang mulai kabur termakan usia. Jenazahnya sudah menyatu dengan tanah liat, di pekuburan umum yang kini masih jadi polemik akan terjadi pencemaran air bawah tanah.

Didekapnya Sony kuat-kuat, detak jantungnya berpacu lebih cepat. "Pergilah... Andy sangat mencintaimu. Engkau akan merasakan betapa indahnya hidup ini, bila hidup bersanding dengan lelaki yang lebih mencintai daripada dicintai," ujar Lety menahan haru.

Malam itu, akhir November. Cahaya rembulan masih berpendar di atas batu karang, pucuk ilalang muncul setelah sepuluh bulan rebah, hilang di telan bumi. Remang-remang, deru mobil menghilang meninggalkan tenda biru, membawa pergi buah hati. "Poly, kau adalah sebuah kata cinta yang tak bisa kumaknai sampai kapanpun," bathin Lety bergemuruh. *

Kebo Lewa Sawe

Oleh Dion DB Putra

LIO mungkin tak lagi asing bagi telinga sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT). Lio adalah salah satu suku di Pulau Flores yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Ende sekarang. Yang kerap disapa Ata Lio (orang Lio) juga ada di Kabupaten Sikka yaitu di wilayah Paga, Maulo'o dan sebagian Magepanda.

Seperti umumnya penduduk NTT, kehidupan Ata Lio sangat bergantung pada usaha pertanian lahan kering. Mereka menganut sistem patrilineal agraris. Harta adalah hak milik laki-laki dan keturunan laki-laki. Secara tradisi ada pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mengurus rumah tangga. Laki-laki mencari nafkah dan menjalani peran publik. Namun, dalam mengerjakan ladang, laki-laki dan perempuan Lio melakukan secara bersama.

Saya mau menceritakan peran perempuan Lio berkaitan dengan kebo (artinya lumbung pangan). Sebagian suku Lio menyebut lewa. Bangunan kebo terbuat dari bahan lokal seperti bambu, kayu, tali ijuk dan alang-alang atau ijuk untuk atap. Letaknya dekat dengan rumah pemiliknya di kampung. Kebo juga dibangun di kebun ladang bersama mbe'i (pondok).

Sekalipun menganut patrilineal, suku Lio menghargai peran perempuan sebagai penyimpan hasil panen, penjaga lumbung dan pengelola dapur. Hal itu tercermin antara lain dalam ungkapan lesu usu wuni kai kebo bela, tau jila lika banga waja.

Perempuan Lio merupakan manajer kebo yang andal. Dialah yang mengatur isi kebo demi ketahanan pangan keluarga tetap terjamin, baik pada masa surplus maupun paceklik. Semua hasil panen dari kebun seperti padi, jagung, umbi-umbian, sorgum, kacang-kacangan, wijen, timun, labu besi disimpan dalam kebo. Sebagai "penguasa" kebo, perempuan Lio dituntut cerdas dan bijak dalam mengatur penggunaannya. Khusus untuk benih, perempuan Lio memberi perhatian khusus. Hasil panen untuk benih disimpan dalam tempat khusus dan terpisah dengan bagian panenan untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Saya masih ingat pada masa kecil dulu melihat mamo (nenek) menyimpan semua benih semisal terung, kacang- kacang, ketimun, labu dalam ruas bambu betho (betung) tua dan kering. Bambu ditutup rapat agar benih tidak rusak diserang lembab. Ketika musim tanam tiba, benih dikeluarkan untuk ditanam. Biasanya diawali dengan upacara adat khusus.

***
KISAH tentang kebo dan peran perempuan Lio sebagai manajer pangan yang andal itu agaknya tinggal kenangan. Ketika menelusuri sejumlah kampung di Lio selatan dan utara pada bulan September dan awal November 2008, saya tak lagi menemukan kebo di kampung dan kebun ladang.

"Eda, kebo lewa sawe do nala," kata Stefanus Eko, paman saya di Kampung Pemo, Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru, pekan lalu. Kebo lewa (hilang) sawe. Eksistensi lumbung pangan sudah lama memudar dan nyaris hilang dari kehidupan masyarakat petani di Lio. Kalaupun masih ada, jumlahnya sangat sedikit dan fungsinya tak lagi sama seperti dulu. Perempuan Lio masa kini tak lagi akrab dengan kebo. Mereka membeli benih di pasar atau toko. Tidak banyak lagi rumah tangga petani yang memiliki benih tanaman pangan sendiri. Peran perempuan Lio bergeser dari penjaga lumbung menjadi pemegang uang. Mereka lebih mudah mendapatkan uang dari menjual komoditi perdagangan hasil tanaman umur panjang seperti kemiri, kakao, cengkeh, vanili atau jambu mete, dan uang dipakai membeli benih. Pengetahuan tentang benih lokal pun sangat minim. Coba tanyakan kepada perempuan dan laki-laki Lio masa kini, saya yakin tak banyak dari mereka yang tahu benih unggul lokal.

Seperti diakui Stefanus Eko dan Firmus Dawa di Watuneso, Kecamatan Lio Timur, ladang ditanami padi, jagung, sorgum dan kacang-kacangan demi kedaulatan pangan keluarga tidak lagi menjadi perhatian utama. Mereka memilih tanaman perdagangan karena hasil lebih baik dan mudah mendapat uang. "Kami cuma buka kebun baru, tanam padi buat urusan adat. Kalau tidak sempat, beras bisa dibeli di pasar," kata Dawa. Ketergantungan petani Lio pada pasokan pangan dari luar sangat tinggi sehingga masuk akal bila eksistensi kebo tidak penting lagi. Benih tanaman pangan lokal yang unggul pun mereka tinggalkan. Dengan enteng mereka berkata, uma leka rega-rega (artinya, kebun sebagai sumber pangan ada di pasar- pasar. Mudah mendapatkannya asal ada uang). Sungguh sebuah "kehilangan" yang besar. Saya kira bukan hanya terjadi di kampung masyarakat Lio. Masyarakat Flobamora umumnya telah kehilangan warisan bernas itu.

Dulu, leluhur kita tak butuh pasar untuk dapat makan dan minum, demi mempertahankan kelangsungan hidup. Sumber makanan bergizi mereka petik dari hasil kebun sendiri. Mereka berdaulat atas isi perut sendiri. Hari ini, kebutuhan pangan sangat bergantung dari pihak lain. Dan, belum tentu pangan yang sehat.

Kembali menata kampung yang berdaulat dalam hal pangan kiranya menjadi pekerjaan rumah siapa saja. Busung lapar dan gizi buruk yang menjadi "bencana tahunan" Flobamora boleh jadi karena kita telah melupakan kebo. Ya, kebo lewa sawe! (dionbata@poskupang.co.id)

Rabu, 19 November 2008

Tu'u" Belis di Nusa Lontar

SELAMA beratus tahun, kematian dan pernikahan di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, adalah pesta pora. Bukan pesta biasa, tetapi ritual minum dan makan daging berhari-hari. Puluhan hingga ratusan domba, babi, sapi, atau kuda dikorbankan.

Bagi keluarga bangsawan, itulah waktunya ”mengerahkan” sumber daya untuk pesta bernilai ratusan juta rupiah.

Kemeriahan pesta adalah mutlak, tak peduli empunya pesta si kaya atau miskin. Kemeriahan tak mengenal status ekonomi. Semakin tinggi status sosial keluarga, pesta makin meriah. Seperti dialami keluarga Tolasik, salah seorang bangsawan di Kota Ba’a (sekarang nama ibu kota kabupaten).

Ratusan ternak dikorbankan bagi pesta kematian. Tiada hari tanpa makan daging dan minum. ”Dari keluarga menyiapkan 60 ekor kerbau dan babi, belum termasuk ternak sumbangan,” kata Meslik Tolasik, salah satu cucu mendiang, ketika dikunjungi Kompas dan tim dari World Vision Indonesia (WVI) akhir September 2008.

Secara adat, ”genderang” pesta kematian ditabuh saat buka neneik (tikar), sesaat setelah ada anggota keluarga meninggal. Berhari-hari, kerabat, kenalan, dan tokoh sebaya anggota keluarga yang meninggal duduk- duduk, ngobrol, dan berpantun mengenang mendiang.

Sementara itu, rangkaian pesta pernikahan dimulai saat kedua keluarga calon mempelai memastikan tanggal pernikahan. Saat itulah besaran belis (mas kawin) diketahui.

Umumnya, belis mencapai Rp 20 jutaan, yang ditanggung keluarga besar melalui serangkaian pertemuan tu’u belis (kumpul ongkos kawin). Tahapan itu untuk memastikan kesanggupan kerabat soal besaran sumbangan.

Sumbangan, baik uang maupun ternak, dicatat; nama penyumbang, jumlah uang, hingga kondisi ternak (lingkar perut atau gemuk-tidaknya ternak). Pada setiap tahapan tu’u, pesta daging tak pernah absen.

Setidaknya ada tiga tahapan tu’u belis, yakni tu’u daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang), tu’u kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan), dan tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan). Barulah puncak acara tiba; pesta nikah.

Nama penyumbang dan sumbangan disimpan rapi untuk pengembalian. Mengembalikan sumbangan wajib hukumnya. Kalau tidak? ”Yang bersangkutan akan dipermalukan dengan pengumuman saat pesta,” kata Maneleo (kepala suku) Nusak Ba’a John Ndolu (45).

Saling sumbang bernilai jutaan rupiah menjerumuskan warga pada jeratan utang, yang bahkan diwariskan. Dengan kata lain, mempelai langsung menanggung utang secara adat.

Di Rote, tak sedikit kasus putus sekolah karena tak ada biaya. Namun, jangan sampai tak ada uang untuk menyumbang pesta.

Untuk pesta kematian atau pernikahan, tak ada istilah miskin. Warga lebih malu tiada pesta daripada anak-anaknya putus sekolah. ”Bisa dibilang, orang pergi bekerja bukan untuk uang sekolah, tetapi membayar ketentuan adat,” kata Kepala Desa Oelunggu Adrianus Tulle.

Angin perubahan
Beratus tahun eksis, berembus angin perubahan budaya tu’u belis kematian dan pernikahan. Kelompok pembaru atau perevitalisasi budaya muncul.

John Ndolu, Maneleo Nusak Ba’a, adalah tokoh di balik itu. ”Kami hanya menyederhanakan praktik-praktik budaya yang berlebihan. Nilai-nilainya tetap bertahan,” kata maneleo, pilihan warga pada Januari 2006 itu.

Revitalisasi budaya didukung WVI, organisasi nirlaba yang di antaranya mendukung pendidikan dan nutrisi anak. Pesta pora kematian dan pernikahan melanggengkan kemiskinan. ”Kesejahteraan warga dan pendidikan anak-anak terkena dampaknya,” kata Manajer WVI Program Rote Sugiyarto. Cikal bakal WVI di Rote hampir 15 tahun lalu.

Revitalisasi budaya memangkas ongkos pesta belasan juta rupiah. Mas kawin yang dulunya Rp 20 jutaan, disepakati warga cukup Rp 3,65 juta. Pesta pun disepakati sekali dengan menyembelih satu hewan besar dan satu hewan kecil. Dulu, minimal puluhan ekor! ”Pesta pada saat ucapan syukur,” kata John.

Pesta daging pada setiap kumpul keluarga pun ditiadakan. Jika ada, cukup kue dan teh.

Penerimaan warga di luar dugaan, termasuk kerelaan hati memutihkan piutang ternak yang dulu mereka sumbangkan. Sanksi pun diatur, berupa denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Contoh pelanggaran, menyembelih ternak berlebihan, atau menyediakan daging mentah untuk dibawa pulang.

”Beberapa orang pernah mencoba melanggar, termasuk menyuap saya dengan bawaan daging mentah. Saya tolak!” kata John. Perlahan tetapi pasti, revitalisasi dipatuhi.

Sejak tahun 2003
Revitalisasi budaya di Rote dimulai tahun 2003. Gerakan itu makin kuat ketika John Ndolu terpilih sebagai Maneleo Nusak Ba’a. Ia memimpin lima leo (kumpulan marga), setara dengan sekitar 1.200-an keluarga.

Dimulai komunitas warga Kunak, lima tahun lalu, kini tiga nusak mengadopsi (nusak Lole, Ba’a, dan Lelain atau Lobalaen). Rote Ndao terdiri atas 19 nusak.

Saat ini, sejumlah nusak mulai merevitalisasi meskipun belum sepenuhnya. Namun, lebih banyak nusak yang masih menolak. Beberapa warga asli Rote di luar pulau pun masih ada yang menolak. Satu alasan, warisan leluhur patut terus dijaga.

Sebenarnya, pesta kematian dan pernikahan masih dijalankan warga ”Nusa Lontar”. Mereka hanya ingin memutus rantai kemiskinan. (kompas.com)

Hemat Listrik Rp 3 Miliar Per Tahun

Oleh Hermina Pello

SAAT ini daya mampu mesin-mesin di PLTD Tenau hanya sekitar 25 megawatt (MW). Jika semua mesin berfungsi sementara pemakaian pada waktu beban puncak, mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00 Wita, maka daya itu mencapai 25,5 MW. Setelah pukul 22.00 Wita, ketika ada warga mulai istirahat sehingga mematikan televisi, lampu dan lainnya, barulah daya yang terpakai mulai berkurang.

"Sudah lama PLN mengampanyekan hemat energi dengan cara mengganti lampu TL atau lampu pijar dengan lampu hemat energi. Juga mematikan dua mata lampu saja untuk setiap pelanggan. Tapi itu belum dituruti secara baik," kata Kepala PLN Cabang Kupang, Willer Marpaung, di ruang kerjanya, Selasa (18/11/2008).

Menurut dia, mematikan dua mata lampu di mana satu mata lampu 25 watt, jika dua mata lampu dipadamkan, maka akan ada 50 watt yang dipadamkan. Hitung saja, ada 53.000 pelanggan PLN, maka jika masing-masing memadamkan lampu 50 watt, berarti ada sekitar 1.650.000 watt atau 1,6 MW yang dihemat.

Pemadaman yang terjadi sekarang ini, katanya, sebesar 3,5 MW. Jadi, kalau ada penghematan 1,6 MW, maka daya yang digunakan hanya 1,9 MW saja. Jika rata- rata pelanggan PLN dayanya 900 voltampere (vA), maka dari daya sebesar 1,6 MW itu bisa digunakan untuk sekitar 2.000 pelanggan.

Akan tetapi, lanjut Marpaung, kalau hanya satu atau dua orang yang memadamkan dua mata lampu, maka itu tidak akan berarti. Namun, jika semua pelanggan secara bersama-sama melakukan pemadaman dua mata lampu, maka akan sangat berarti bagi pelanggan lainnya.

Kalau dikalkulasi, demikian Marpaung, jumlah penghematan dari segi pembayaran rekening tidak besar. Namun, kalau mematikan lampu 50 watt selama empat jam, berarti 200 watt/hari dikali dengan 30 hari, maka hasilnya 6 KW.

Satu kilowatt itu, kata Marpaung, tarifnya Rp 500 sehingga dalam satu bulan hanya menghemat Rp 3.000,00. Bukan nilai rekeningnya yang dihitung, tetapi bagaimana pelanggan ikut merasakan pemadaman tatkala orang lain mengalami pemadaman sementara yang lain tidak padam.

Menurut dia, ada banyak cara untuk hemat listrik. Tapi itu semua kembali pada diri sendiri, matikan televisi tidak ada yang menonton, atau komputer, jika tidak ada yang menggunakannya dan masih banyak lagi. Atau bagi pelanggan PLN yang mampu, yang memiliki AC namun tidak menghidupkannya AC pada waktu beban puncak, maka banyak orang lain yang bisa terbantu.

Seandainya ada 1.000 unit AC berdaya 1,5 PK yang menggunakan daya listrik sebesar 1.000 watt, maka kalau saja tidak dinyalakan, berarti 1.000 pelanggan PLN lainnya tidak perlu mengalami pemadaman, karena daya yang tidak digunakan itu bisa disalurkan kepada orang lain.

Prinsip hemat energi ini, kata Marpaung, perlu dipahami oleh orang-orang yang duduk di pemerintahan. Karena penghematan energi itu sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008 tentang Penghematan Energi dan Air. Pemerintah Propinsi NTT semasa Gubernur Piet A Tallo, S.H, juga pernah mengeluarkan surat meminta semua pihak, baik pemerintah kota/kabupaten maupun masyarakat melakukan penghematan energi. Namun sampai sekarang surat itu sepertinya tidak digubris.

Contohnya, jika Anda berjalan pada malam hari di Jalan EL Tari II, maka Anda akan bangga bahwa kota Kupang terang benderang sebab lampu jalan menggunakan lampu merkuri 250 watt. Tapi terangnya lampu jalan itu merupakan bagian dari pemborosan.

Data PLN Cabang Kupang, menyebutkan di Kota Kupang ini terpasang 3.175 lampu jalan merkuri sebesar 250 watt, lampu TL sebanyak 745 unit, ada juga sembilan lampu jalan yang terbuat dari lampu halogen sebesar 250 watt, ada 61 lampu hias dan enam lampu pijar.

Penghematan bisa dilakukan dengan mengganti lampu merkuri atau lampu halogen dengan lampu hemat energi 85 wat. Jika itu yang dilakukan, maka ada penghematan daya 165 watt/lampu. Bila dikalkulasikan maka terjadi penghematan daya 523.875 watt atau sekitar 0,5 MW. Kalau pelanggan PLN kategori rumah tangga memasang daya 450 watt, maka dengan penghematan tersebut sekitar 1.000 pelanggan tidak perlu mengalami pemadaman.

Penghematan itu tidak hanya energi, tetapi juga dalam pembayaran rekening. Pemerintah harus membayar lampu jalan yang menggunakan merkuri atau halogen sebesar Rp 119.065/bulan untuk satu mata lampu. Tetapi kalau diganti dengan lampu hemat energi, maka pemerintah hanya membayar Rp 23.815/bulan.

Itu berarti ada selisih uang Rp 95.250,00/bulan untuk setiap mata lampu. Nilai sebesar Rp 95.250 jika dikalikan dengan 3.175 lampu, maka pemerintah bisa berhemat Rp 302.418.750/bulan dan dalam satu tahun, pemerintah bisa berhemat lebih dari Rp 3 miliar.

Dana sebesar Rp 3 miliar itu, lanjut Marpaung, bisa dialokasikan untuk kesehatan, atau pendidikan atau untuk pembuatan infrastruktur seperti jalan dan lainnya untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah.

Menurut Marpaung, mengganti lampu merkuri atau halogen itu butuh dana, tetapi dalam waktu dua bulan, dana itu sudah bisa tertutupi karena untuk mengganti satu mata lampu membutuhkan dana sekitar Rp 150.000,00. "Tapi kalau dilihat dari selisih pembayaran rekening, dalam waktu dua bulan saja, pemerintah sudah bisa mengganti lampu tersebut," ujar Marpaung.

Dia menyebutkan, terkait permintaan mengganti merkuri dengan lampu hemat energi itu, PLN Cabang Kupang telah melayangkan surat ke semua bupati/walikota yang termasuk dalam daerah pelayanan PLN Cabang Kupang pada 12 September 2008. Namun keseriusan pemerintah itu hingga kini belum diwujudkan secara optimal. (ira)

Senin, 17 November 2008

Sui Wu'u, Lauk yang Terlupakan

Oleh Rosalina Langa Woso

SECARA geografis Desa Mangulewa menempati posisi tertinggi Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Alam Mangulewa yang dingin, dibalut kabut hampir separuh waktu, membuat warga cenderung 'malas' menyingkap selimut di pagi hari. Banyak aktivitas tertunda. Memindahkan kuda (dheso jara) ke rumput hijau tertunda. Pergi ke kebun (dua uma) pun tertunda.

Tetapi kondisi alam kampungku yang dingin itu dikenal subur. Sayur wortel manis dan segar, pucuk labu, buncis kepompong yang gurih, sawi dan kol berjejer di rebis rumah. Sayur-sayuran itu sangat laris di pasar-pasar tradisional, menembus pasaran Ende, Maumere bahkan Kupang.

Kampungku tidak hanya dikenal sebagai 'gudang sayur'. Ada sumber protein hewani yang diolah oleh nenek moyang sejak tempo dulu. Cara meramu lauk tradisional itu mencegah lahirnya generasi kurang gizi. Sui wu'u menjadi lauk pauk yang digemari masyarakat setempat.

Proses pengawetan sui wu'u tidak menggunakan zat kimia. Daging segar yang tidak habis dikonsumsi dalam suatu pesta perkawinan, pesta adat reba atau acara adat lainnya, dipotong dadu dengan ketebalan 5 cm. Daging itu dibilas hingga bersih lalu ditiriskan hingga kering.

Para ibu rumah tangga selalu menyisihkan tepung jagung (jagung yang ditumbuk pakai lesung) untuk dijadikan bahan pengawet. Tepung jagung yang ditampi warnanya kuning, terasa halus saat dipilin dengan kedua jari tangan. Daging yang telah ditiriskan itu digulung rata dengan tepung jagung. Hampir sama seperti menggulung tepung panir pada menu udang, cumi-cumi ataupun ayam goreng di restoran-restoran kota.

Daging yang terbungkus tepung jagung lalu disimpan dalam tuku (tiga ruas bambu tua) yang kulitnya telah disapih. Ruas bambu dipilih harus sudah tua. Dindingnya dihaluskan dengan sayatan pisau, bagian ujungnya diberi penutup. Fungsinya untuk mengurangi keluar masuknya udara, sehingga daging tidak cepat rusak.

Biasanya tuku yang berisi daging disimpan di dinding sekitar tungku api. Bila dinding dapur tidak luas, biasanya digantung para-para tepat di atas tiga tungku dapur. Pelan tapi pasti, dinding tuku berisi sui wu'u diterpa asap yang mengepul dari tungku api.

Sambil menyelam minum air, itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan proses pengawetan sui wu'u di kampungku. Api yang dinyalakan para ibu rumah tangga tidak hanya untuk menanak nasi, tetapi turut menghangatkan sui wu'u. Daging akan awet sepanjang waktu dengan kehangatan api setiap hari.

Meski daging awet selama beberapa bulan, sui wu'u harus segera dikonsumsi agar aman dan nilai gizinya tetap memenuhi standar kesehatan.

Su'i wu'u biasanya diracik untuk persediaan lauk di masa penceklik atau sebagai bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Warga setempat harus meninggalkan perkampungan menuju dataran Zeu (ladang padi dan jagung) yang terkenal subur di Kecamatan Golewa.

Saat ini sui wu'u mulai ditinggalkan. Bisa dihitung dengan jari, masih ada warga Mangulewa yang setia meramunya sebagai lauk keluarga. Kelupaan masyarakat akan sui wu'u dapat dimaklumi karena pesatnya teknologi seperti kulkas, yang mampu mengawetkan daging segar. Padahal, sebelum kulkas hadir dan merajai kota Bajawa, sui wu'u salah satu lauk yang dijamin nyaman untuk konsumsi.

Rasa sui wu'u sama seperti daging yang baru disembelih. Hanya, dalam segi aroma lebih tajam karena diselingi tepung jagung. Sui wu'u akan membangkitkan selera makan bila dibakar dalam bara panas.

Daging ini ditusuk dengan lidi atau kawat kecil, mirip membakar sate. Bara api yang panas membakar seluruh permukaan tepung jagung, aroma menyengat hidung lalu menebar ke atap dapur. Minyak daging yang menetes akan sedap disantap bila dibiarkan jatuh membasahi permukaan helai daun pepaya muda.

Konon daun pepaya akan hilang pahitnya karena telah diluluhlantakkan oleh khasiat minyak sui wu'u. Daging yang telah masak itu diiris sebesar ruas ibu jari. Sui wu'u lalu dibungkus daun pepaya, dicelupkan dalam koro bara lai (lombok yang diberi irisan tomat).

Hem...lebil lezat lagi bila dimakan dengan jagung goreng. Menu ini terasa lengkap kalau diakhiri dengan secangkir tua bhara (tuak putih), yang disadap dari pohon nira di pagi hari.

Kebiasaan untuk meracik sui wu'u bukan sekadar untuk melestarikan budaya nenek moyang. Sejak dulu sui wu'u dijadikan sarana silaturahmi di ladang. Para tamu yang 'gotong royong' menyiangi rumput bisa disuguhi lauk ini. Bila daun pepaya tidak disajikan, sui wu'u nyaman kalau dilahap bersama daun kacang, pucuk labu yang 'dilemaskan' dalam air panas.

Sambil menikmati jagung goreng, sui wu'u dengan seteguk tuak, semua pekerjaaan tanam menanam terasa ringan dan mudah dirampungkan. Usai berladang, mereka duduk bersila (be'i benga) membentuk lingkaran di atas bheja (lantai panggung yang terbuat dari bambu cincang). Punggung disandarkan santai sambil menikmati sui wu'u.

Ada harapan lain yang tersimpan. Agar generasi tidak dicap sebagai generasi kurang gizi, seperti gizi buruk yang terjadi dewasa ini. Sui wu'u, lauk yang bergizi, nyaman, praktis disantap. Sayang, nasibnya menjadi lauk yang terlupakan. *

Cumpe, Rumah di Atas Batu

Oleh Agus Sape

CUKUP lama saya diledek teman-teman sekolah gara-gara kampungku ini. Kampungku dianggap kolot dan tidak berkembang, karena hanya terdiri dari tujuh rumah dan dikelilingi batu-batu. Sakit rasanya diledek seperti itu.

Tetapi, ketika belajar di perguruan tinggi, saya berani membalikkan anggapan-anggapan jelek itu. Kepada teman- teman saya memproklamirkan bahwa sesungguhnya kampungku itu polis -- sama seperti polis Athena, Sparta, dan seterusnya di Yunani, dari mana lahir para filsuf, pemikir hebat. Socrates, Aristoteles, dan sebagainya.

Dengan gaya agak joak, sekali lagi saya memproklamirkan kepada teman-teman bahwa kampungku itu juga sudah melahirkan filsuf. Sekurang-kurangnya saya sendiri. Teman- temanku yang biasa meledek kampungku ini pada bengong.

Kampungku ini namanya Cumpe. Masuk dalam wilayah Desa Golo, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Kalau Anda berangkat dari Pagal, ibukota Kecamatan Cibal, ke timur menuju pusat paroki Rii di Beamese, maka kampung pertama yang Anda lewati adalah Cumpe. Jaraknya tidak sampai 5 km dari Pagal.

Kampungku itu memang kecil saja. Terletak di lereng. Sampai dengan tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah di SDK Golo, kampung ini hanya terdiri dari tujuh buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun mengelilingi halaman (natas) kampung.

Halaman kampung ini berfondasikan batu cadas. Supaya rata
dan bertambah luas, batu-batu disusun rapi (kota) di sisi utara dan selatan halaman. Di bagian barat (paang), dekat kaki lereng, terdapat batu-batu besar yang memagari sekaligus memisahkan halaman kampung dari jalan umum. Sedangkan di bagian timur (ngaung), terdapat sejumlah batu raksasa. Kampung ini memang dikelilingi batu-batu raksasa. Kalau dihitung dari dasar, ada yang tingginya mencapai puluhan meter. Gamang kalau belum biasa.

Batu-batu itu berfungsi sebagai benteng dan penopang bagi penghuni kampung. Salah satu batu dengan ketinggian belasan meter memiliki permukaan rata. Luasnya bisa mencapai tiga kali luas lapangan tenis. Tapi, bagian lainnya yang menghadap ke halaman (natas) agak landai. Di bagian ini orang bisa turun naik dengan leluasa.

Saya berani mengklaim batu ini sebagai salah satu keajaiban dunia. Bagaimana tidak, di salah satu sisi permukaan batu itu berdiri kokoh sebuah rumah papan (mbaru pesek). Ketika saya lahir pada akhir 1960-an, rumah itu sudah ada. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu lokal diletakkan saja di atas permukaan batu. Belum pernah rumah itu goyah dihantam angin.

Bagian terbesar dari permukaan batu itu dijadikan halaman. Dari halaman itu warga bisa memandang jauh ke berbagai arah. Kalau cuaca cerah, permukaan laut di pantai utara (Reo) bisa dilihat dari batu ini. Deretan bukit yang membanjar dari utara ke selatan di wilayah Lambaleda dan Elar bisa dilihat dengan jelas.

Sempai dengan usia SD, saya dan teman-teman bermain dan berlari-lari di atas batu itu. Kami tidak takut jatuh.

Saya ingat dua anak pernah jatuh ke jurang batu itu. Tapi, aneh bin ajaib, tidak jatuh sampai di tanah. Yang satu tertahan pada tumbuhan yang menempel di jurang batu. Satu lagi tertahan pada seutas tali yang sangat rapuh. Keduanya berhasil diselamatkan tanpa cedera dan masih hidup sampai sekarang.

Pagi-pagi, sebelum cahaya matahari mencapai bumi, bolanya yang muncul dari balik bukit di wilayah Elar langsung bisa dilihat dari atas batu ini. Maka, saya pun sering menyebut kawasan kampung ini dan sekitarnya sebagai "negeri matahari".

Warga setempat biasa menjemur padi dan kopi langsung di atas permukaan batu itu. Kalau cuaca cerah, dalam tempo dua hari saja kopi sudah kering.

Kampung ini diselimuti pohon-pohon kopi, kemiri dan pohon buah-buahan lainnya. Di bagian yang lebih rendah dari lereng kampung ini terdapat hamparan sawah. Sawah-sawah itu mendapat air dari sejumlah kali yang menuruni lereng. Ada kali Wae Keseng, Wae Nampar dan Wae Munta. Sejumlah kali itu bermuara di Wae Kebong, kali paling besar. Di Wae Kebong warga membangun bendung dan membuka dam untuk mengalirkan air ke sawah.

Sebelum menanam padi pada musim hujan, petak-petak sawah ditanami dengan jagung. Padi ditanam setelah memanen jagung.

Saya tidak mengklaim tanah di kampungku ini subur. Yang pasti warga di kampung ini bisa memenuhi sendiri kebutuhan makan minumnya sepanjang tahun. Mereka punya padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-sayuran di kebun. Bahkan mereka bisa menjualnya pada hari pasar di Pagal. Mereka punya kopi, kemiri, jeruk, pisang dan sebagainya.

Tetapi pada tahun 2007, pada saat jatuh korban tanah longsor di Gapong dan Golo Gega, warga kampungku turut mengungsi ke Pagal. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai anak kampung, saya sedih mendengar warga kampungku lari terbirit-birit takut tertindis tanah longsor.

Memang kampungku sekarang sudah banyak berubah. Kampungku yang dulu gerbangnya dipagari batu-batu besar sudah disingkirkan semuanya untuk membuka jalan raya dari Pagal menuju Beamese. Jalan itu dirintis sejak akhir 1980-an dan sekarang sudah diaspal. Sejak jalan raya dibuka, perlahan- lahan warga keluar dari kampung itu, membangun rumah di pinggir-pinggir jalan raya.

Tetapi yang terancam ditindis longsor pada tahun 2007 itu justru rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Bahkan pada awal tahun 2008 ini, sebuah rumah dan mesin giling tertindis batu yang runtuh dari tebing jalan.

Saya pun sadar, ternyata para pendiri kampungku tidak bodoh. Bahkan mereka boleh disebut pemikir. Ternyata kampungku kecil bukan karena tidak berkembang, tetapi memang bagian yang cocok untuk pemukiman hanya seluas itu. Dulu mereka tidak pernah membangun rumah langsung di kaki lereng atau di sepanjang jalan. Saya pastikan batu-batu yang pernah diletakkan di gerbang kampung justru untuk membendung batu yang mungkin terguling dari atas lereng bukit.

Untuk menampung perkembangan penduduk pada waktu itu, dibangunlah kampung Mawe disusul Wune, dua atau tiga kilometer dari kampung ini. Bukti bahwa warga di dua kampung itu berasal dari kampungku ini, dalam urusan adat dan pemerintahan mereka masih bersama-sama. Kebun mereka juga di lokasi yang sama. (email:asape_2005@yahoo.co.id)

Menyikapi Tawuran Antar-Pelajar

Oleh Sipri Seko

PANITIA
turnamen sepakbola antar-pelajar dan mahasiswa Faperta Undana Cup beberapa tahun lalu memberikan sanksi larangan berpartisipasi kepada tim SMKN 2 (STM) Kupang. Mereka dinilai telah mencemarkan visi dan misi Faperta Cup, yakni menjalin kebersamaan antar-sesama pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang sambil menggapai prestasi.

Saat tim kalah, suporternya sering membuat ulah dengan menyerang suporter lain. Bahkan mereka tak segan-segan merusak kelengkapan pertandingan. Sanksi tersebut diberikan agar mereka benar-benar jera dan menghargai semangat sportivitas, mengakui adanya kekalahan dan kemenangan.

Dalam satu pekan terakhir ini tawuran antar-pelajar terjadi di Kota Kupang. Pada hari Jumat (7/11/2008), siswa SMA Negeri 5 dan SMK Negeri 4 Kupang saling lempar batu. Dalam kejadian itu, kaca jendela enam ruangan kelas SMK Negeri 5 pecah berantakan.

Perseoalannya sepele, karena kesalahpahaman. Namun akibatnya, beberapa jendela SMK Negeri 4 juga pecah berantakan dan beberapa orang terluka akibat pecahan kaca. Selain itu, kepala sekolah dua sekolah tersebut dipanggil aparat kepolisian untuk diambil keterangannya.

Tak sampai sepekan, pada Rabu (12/11/2008), sejumlah siswa dari SMAN 1, SMKN 2, SMAN 2 dan SMA PGRI Kupang terlibat tawuran di halaman depan SMAN 1 Kupang. Tak diketahui pasti apa motifnya, namun para siswa bakupukul sehingga harus diamankan pihak kepolisian.

Apa pun motifnya, tawuran antar-pelajar merupakan fenomena sosial yang sangat menarik. Ada banyak pandangan untuk menilai sebab-sebab terjadinya tawuran antar-pelajar. Ada yang menyebutnya karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya, mereka mudah tertekan. Ada juga yang bilang karena pelajar sekarang sudah sangat agresif, sementara even untuk mengeksploitasi dirinya sangat minim.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perkembangan zaman yang sangat kompleks dan beragam memberikan rangsangan yang sangat kuat terhadap para pelajar. Akibatnya, kalau mereka tidak mampu memanfaatkannya untuk memajukan dirinya, maka yang terjadi adalah melakukan hal-hal negatif seperti tawuran, mabuk-mabukan, bahkan bukan tidak mungkin akan menjurus kepada free sex dan penggunaan narkotik dan obat-obat terlarang lainnya.

Lalu, bagaimana mengatasinya? Faktor dasarnya adalah pola pembinaan. Pembinaan terhadap anak dari rumah hingga sekolah akan menjadi tolok ukur kepribadian seorang pelajar. Nilai-nilai budi pekerti dan kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial harus ditanamkan sejak dini. Pasalnya, saat dia bergabung dalam sebuah lingkungan, biasanya dia akan menyerahkan dirinya secara total. Di sini kalau sudah terlambat diberikan, sementara para pelajar sendiri sudah masuk dalam lingkup yang beragam, mereka biasanya akan sukar untuk memilih. Dan, di saat bingung seperti ini godaan-godaan negatif akan mudah membuat mereka terjerumus.

Ada yang menarik dari peristiwa tawuran antar-pelajar yang terjadi di Kota Kupang. Para pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Bahkan SMA Negeri 1 Kupang adalah salah satu sekolah contoh di NTT. Pertanyaannya adalah, apakah fasilitas komplit yang dimiliki sekolah tak mampu menjadikan para siswanya sedikit betah untuk belajar daripada keluyuran di jalanan?

Tampaknya, operasi penertiban yang dilakukan aparat polisi pamong praja harus terus dilakukan. Siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan saat jam sekolah harus ditertibkan. Berikan sanksi dan teguran tegas kepada mereka. Arahkan mereka agar mencintai pelajaran di sekolah demi masa depannya.

Ketika para pelajar bakulempar atau bakupukul, kita tidak boleh menyebut itu sebagai sebuah kenakalan remaja. Sebagai seorang pelajar, biasanya mereka terlibat dalam sebuah even karena sedang berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kalau dia senang berkelahi, itu mungkin karena dia ingin disegani di antara rekan- rekannya.

Untuk itu, pembinaan sikap dan mental pelajar harus terus digalakkan. Keberhasilan dan prestasi sebuah sekolah tidak hanya terletak dari persentase lulusannya, tapi apakah lulusannya mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tidak. Atau apakah para pelajar memiliki moral yang baik atau tidak. Pasalnya, kelulusan bisa diukur dengan persentasi, tapi moral yang baik hanya bisa dibuktikan dalam tingkah laku anak didiknya. Ketika para pelajar saling tawuran, itu berarti sekolah belum mampu menanamkan sikap moral yang baik kepada siswanya. *

Sabtu, 08 November 2008

Catatan dari JPI dan BPAP 2008 (3)

Perhatikan Pemuda NTT

Oleh Sipri Seko


NIKSON
Zakarias punya obsesi yang hingga kini belum tercapai. Kemahirannya memainkan alat musik sasando dengan sempurna membuat dia sudah berulangkali diajak tampil dalam berbagai even, dalam negeri hingga di Australia dan Jepang.

Namun, Nikson masih tergantung pada orang lain. Padahal dia sudah ingin mandiri. Dia punya mimpi suatu saat harus menggelar konser tunggal. Dia ingin memiliki manajemen sendiri. Dia ingin menjadi pemusik tradisional yang profesional. Dia yakin bahwa kalau potensi yang dimilikinya diatur oleh manajemen yang baik pasti akan mendatangkan penghasilan yang besar.

Yang menjadi ganjalan dalam diri Nikson adalah karena dia belum mendapatkan orang yang tepat. Selama ini dia mengisi berbagai acara karena diajak orang. "Paling banyak adalah orang pemerintah yang ajak, sehingga paling-paling saya hanya dapat uang saku," ujar Nikson.

Karena kemampuannya itulah Nikson kemudian diajak Lembaga Pemuda Flobamora (LPF) sebagai panitia Jambore Pemuda Indonesia (JPI) dan Bakti Pemuda Antar Propinsi (BPAP) tingkat Propinsi NTT. Nikson membayar kepercayaan itu dengan tuntas. Dia bukan hanya menghipnotis penonton, tapi juga membuat NTT bangga karena mampu bersaing di tingkat nasional

***
Ada banyak yel-yel yang sering digunakan oleh para orator, pemakalah atau pejabat yang memberikan sambutan untuk menyebut identitas pemuda. Pemuda sering mereka sebut sebagai pilar bangsa, tulang punggung negara, aset negara, masa depan bangsa dan lainnya. Mereka adalah elemen yang harus diberdayakan, karena tanpa mereka maka semua sendi pembangunan tidak akan berjalan normal.

Kehadiran Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora) diikuti pembentukan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) di NTT merupakan angin segar pembinaan kepemudaan di NTT. Posisi pemuda yang selama ini baru sebatas dipuja-puji dalam yel-yel pidato, akan mendapat porsi yang berimbang dengan sektor pembangunan lainnya.

Perhatian pemerintah pusat terhadap pemuda ditunjukkan dengan kehadiran RUU Kepemudaan yang dalam bulan Desember ini akan ditetapkan menjadi undang-undang. Anak-anak muda yang menjadi pencetus semangat kebangkitan nasional dengan melahirkan Sumpah Pemuda harus mendapat pengayoman.

Apakah pemuda NTT sudah dianggap sebagai elemen pembangunan? Agak susah untuk menjawabnya. Okelah kalau selama ini sudah ada pendampingan terhadap para pemuda, namun harus diakui kalau itu belum merata. Masih banyak kaum muda yang belum tersentuh, padahal mereka memiliki potensi alamiah yang kalau dieksploitasi dengan total, akan menjadi modal pembangunan yang tak terhingga nilainya.

Sebut saja keinginan Nikson untuk menjadikan potensi dirinya menjadi lahan usaha yang mandiri. Atau ketika anak-anak NTT tampil memukau di Jambore Pemuda Indonesia. Ajang kreativitas para pemuda harus terus digelar. Kalau di Indonesia ada JPI dan BPAP tak ada salahnya kita di NTT menggelar Jambore Pemuda NTT atau Bakti Pemuda Antar Kabupaten.
Kegiatan-kegiatan seperti ini akan lebih bermanfaat ketimbang kita mengumpulkan para pemuda lalu berpidato atau menasehati mereka agar jangan memakai narkoba, tawuran dan lainnya. Mereka yang terbaik dipilih mewakili NTT ke JPI dan BPAP tingkat nasional.

Usai mengikuti JPI dan BPAP, bulan Desember nanti wakil-wakil NTT akan kembali ke daerahnya masing-masing. Bagi yang kuliah akan kembali ke kampus. Tapi bagi mereka yang tidak, akan kembali duduk termenung di rumah. Mereka baru akan bisa ber-ja'i, dolo-dolo atau gawi kalau ada pesta. Kegirangan mereka saat memukau pemuda se-Indonesia di Cibubur hanya akan menjadi cerita kenangan yang membanggakan.

Haruskah kita biarkan mereka kembali berjalan sendirian? Jangan! Dispora sebagai instansi pemerintah penanggung jawab pembinaan kepemudaan di NTT harus diberi keluasan kreasi untuk mengeksploitasi potensi pemuda di NTT. Sebagai pemimpin yang memiliki pengalaman dalam organisasi kepemudaan, pasangan Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si, seharusnya sudah tahu apa yang mesti dilakukan.

Jangan pernah sepelekan pemuda hanya karena mereka tidak pernah diberi kesempatan mengekspresikan diri. Potensi dan daya saing pemuda NTT dalam keragaman budaya dan agamanya harus dimaksimalkan, kalau kita tidak ingin NTT terus tertinggal. (habis)

Catatan dari JPI dan BPAP 2008 (2)

NTT Indonesia Mini

Oleh Sipri Seko

ADA rasa risih ketika melihat penampilan anak-anak NTT saat pembukaan Jambore Pemuda Indonesia (JPI) dan Bakti Pemuda Antar Propinsi (BPAP) di lapangan sepakbola Taman Wiladatika, Cibubur-Jakarta, 25 Oktober 2008 lalu. Saat wakil dari daerah lain tampil dengan pakaian seragam kedaerahannya, anak-anak NTT justru memakai baju motif dengan aneka corak yang berbeda-beda.

Tidak adakah dana sehingga penampilan mereka harus demikian? Tida bolehkah mereka memakai pakaian seragam sama seperti daerah lain? Ataukah karena persiapan yang sangat singkat sehingga panitia tidak punya cukup waktu untuk mengadakan pakaian seragam? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut baru terungkap usai acara pembukaan.

Penyelenggaraan JPI dan BPAP diawali ide untuk menyatukan kebhinekaan pemuda-pemuda Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dari kebhinekaan yang ada, para pemuda disatukan untuk menjadi motor utama penggerak pembangunan mulai dari tingkat bawah. Tak heran kalau Lembaga Pemuda Flobamora (LPF) sebagai panitia yang menyiapkan peserta JPI dan BPAP ingin menampilkan kebhinekaan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di NTT ada etnis Flores, Sumba, Timor dan Alor (Flobamora) yang sudah sangat terkenal. Kebhinekaan tersebut harus dimunculkan. Ketika tema JPI dan BPAP yang diangkat, maka keragaman budaya juga yang harus ditampilkan. Ada motif Sumba, Timor, Flores, Rote, Sabu, Alor dan lain-lain yang nampak sangat mencolok di antara 33 propinsi peserta lainnya.

Kebhinekaan NTT yang sangat nampak dari NTT adalah agamanya. Dikenal sebagai daerah mayoritas kristen, justru ada anggota kontingen NTT yang memakai jilbab terselip di antara topi ti'i langga. Tak heran kalau kemudian muncul pertanyaan dari peserta daerah lain, "Betulkah di NTT banyak orang asli yang beragama Islam?"

Di bawah koordinasi Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) NTT, LPF tak salah saat merekrut 24 wakil NTT. Keragaman budaya NTT makin nampak ketika anak-anak NTT bernyanyi dan menari di stand pamerannya. Mulai dari lagu Flobamora, Dapa Usir, Kuan SoE, Kuan Amarasi, Owa Kewa, Ovalangga, Bo Lele Bo dan lain-lain, dinyanyikan dengan lancar. Sementara tarian ja'i, gawi, dolo-dolo dan sebagainya ditampilkan tanpa cela.

Tak heran kalau kemudian stand NTT menjadi paling ramai dikunjungi. Mereka tidak hanya datang untuk melihat barang pajangan dalam stand, tapi mereka datang belajar menari dan menyanyi tarian dan lagu daerah NTT. Bagaimana tidak, diiringi alunan musik sasando yang dimainkan Zakarias, anak-anak NTT bisa bernyanyi sambil menari ja'i, dolo-dolo, gawi dan lain-lainnya.

Saat NTT tampil dalam malam pagelaran seni dan budaya, ratusan penonton di bawah panggung pun ikut bergoyang ja'i mengikuti irama anak-anak NTT.

"Keanekaragaman ini yang membuat NTT tahun lalu keluar sebagai juara pertama. Saat tampil mereka bisa membawakan lima lagu dan tarian daerah hanya dalam waktu sepuluh menit, hal yang tidak bisa dilakukan daerah lain. Mereka harus serba bisa. Pemuda Belu harus tahu adat Lamaholot, begitu pula sebaliknya untuk semua daerah," jelas Kepala Seksi Kepemudaan Dispora NTT, Rony Fernandez, S.E.

Mungkin yang paling tenar di antara semua anggota kontingen NTT selama JPI adalah Nikson Zakarias. Pemuda kelahiran Rote ini menjadi idola peserta lainnya. Kemahirannya memainkan alat musik sasando membuat para pengunjung selalu ingin pose bersamanya.

Pesona Nikson Zakarias tidak hanya sampai di situ. Saat tampil dalam acara peragaan pembuatan produk daerah, dia berhasil menghipnotis penonton. Waktu yang diberikan panitia kepada Zakarias adalah 60 menit untuk memperagakan cara pembuatan alat musik sasando. Zakarias ternyata hanya butuh tak lebih dari 30 menit untuk menyelesaikan tugasnya. Dibantu enam orang rekannya yang menyiapkan daun lontar, obeng, tang, paku, lem, senar, pewarna dan lain-lain, Zakarias melaksanakan tugasnya dengan sangat terampil.

Belum selesai! Usai membuat sasando, Zakarias langsung memainkan lagu Ovalangga. Penonton yang terhipnotis ikut bergoyang. "Apakah alat musik sasando hanya bisa mengiringi lagu-lagu daerah," tanya seorang penonton. Zakarias tak menjawab, tapi langsung memainkan sebuah lagu berirama country, diikuti sebuah lagu milik John Bon Jovi. Tepuk tangan dan aplaus penonton mengiringi alunan musik sasando yang dimainkan Zakarias.

***
Potensi brilian! Kata-kata itu sangat cocok dialamatkan kepada pemuda-pemuda NTT. Mereka membalikkan stigma nasional yang hanya melihat keterbelakangan NTT dari sisi materi. Mereka menunjukkan kualitas dan daya saing di era global, saat mana budaya tradisional sudah mulai pudar.

"Pemuda NTT sangat potensial. Ada banyak pemuda NTT yang juara dan ahli di semua bidang. Setiap tahun anggota kontingen yang kita bawa selalu menampilkan kualitas yang berbeda. Mereka hanya kurang diekspose sehingga banyak yang belum mengenalnya. Kami sebagai pengelola dan fasilitator akan berusaha untuk membuat mereka tampil dengan nuansa baru setiap tahun. Saat tampil, oleh daerah lain, NTT disamakan dengan Indonesia mini. Banyak budaya, banyak suku, ras, agama dan sebagainya, namun sangat kompak," kata Kadispora NTT, Drs. Muhammad Wongso.

Lalu, apakah mereka hanya cukup sampai di JPI dan BPAP? Apakah mereka harus kembali ke jalanan dan nongkrong di terminal, halte atau deker karena tak tahu apa yang harus dikerjakannya setelah pulang ke NTT?

"Budaya yang mereka pelajari di daerah lain harus membuat mereka bisa mandiri. Pemuda harus mampu berusaha sendiri tanpa atau dengan dukungan pihak lain. Itu tujuan yang harus kita capai," ujar Muhammad Wongso. (bersambung)

Catatan dari JPI dan BPAP Cibubur 2008 (1)

Bermodalkan Status Juara Bertahan

Oleh Sipri Seko

KEPALA Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) NTT, Drs. Muhammad S Wongso menginginkan Gubernur atau Wakil Gubernur NTT berdialog dengan wakil NTT yang akan dibawa ke Jambore Pemuda Indonesia (JPI) dan Bakti Pemuda Antar Propinsi (BPAP) 2008 di Cibubur, Jakarta, 24-29 Oktober 2008. Dia sangat yakin, motivasi dan kreativitas para pemuda akan meningkat kalau bisa berdialog atau bertatap muka dengan pemimpinnya.

Muhammad Wongso tahu bahwa dengan spirit, motivasi dan semangat kecintaan terhadap daerahnya, generasi muda akan memiliki pijakan yang kuat dalam menjalankan perannya di tengah tarikan percaturan global. Dia ingin agar para pemuda dari berbagai etnis dan latar belakang itu pulang dengan membawa kebanggaan, pernah masuk di ruang kerja pemimpinnya.

Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si, yang adalah aktivis organisasi kepemudaan, rupanya sangat paham dengan motivasi ini. Dia yakin, pemuda NTT akan menjadi pilar utama pembangunan kalau dimaksimalkan potensinya. Karena itu saat berdialog dengan utusan JPI dan BPAP di ruang kerjanya, Esthon meminta mereka agar tidak hanya bisa menuntut, tetapi juga harus sanggup menampilkan potensi dan daya saing.

"Pemuda NTT harus tahu daerahnya. Dia harus tahu sekarang ini di NTT sudah ada berapa kabupaten. Dia juga harus tahu siapa pengarang lagu Flobamora itu. Jangan sampai nanti mengaku sebagai wakil NTT, namun nilai-nilai dasar budaya NTT saja tidak diketahuinya. Pemuda NTT harus mampu menunjukkan potensi dan daya saing, baru menuntut haknya," kata Esthon.

****
Mempersiapkan para pemuda untuk mengikuti JPI dan BPAP memang bukan hal yang mudah. Mereka yang dikirim harus mengenal budayanya. Dia harus tahu tarian daerahnya, lagu daerahnya, adat istiadat dan potensi daerahnya. Tak heran kalau Dispora NTT menggandeng Lembaga Pemuda Flobamora (LPF) sebagai panitia. LPF bertugas melatih 24 pemuda NTT yang ikut JPI dan BPAP agar tahu tarian dan lagu daerah, juga dilatih membuat produk khas daerah.

Persiapan peserta JPI dan BPAP dengan waktu hanya sepuluh hari memang tidak maksimal. Apalagi menurut pengakuan penanggung jawab kegiatan, Rony Fernandes, S.E dan Wakil Ketua LPF, Yuliana Loak, ST, ada daerah yang apatis menanggapi surat permintaan agar mengirim wakilnya. "Daerah menanggung biaya pengiriman ke Kupang, tapi nantinya akan diganti panitia sebab semua biaya peserta sudah disiapkan pemerintah. Namun hal itu tidak ditanggapi, sehingga ada beberapa kabupaten yang tidak mengirim utusannya," kata Rony Fernandes yang adalah Kepala Seksi Kepemudaan Dispora NTT itu.

Setelah berkoordinasi dengan beberapa organisasi kepemudaan, Dispora dan LPF mendapatkan 24 orang pemuda bersama delapan orang pendamping yang akan menjadi utusan NTT. Waktu untuk persiapan menjadi berkurang, namun itu bukan masalah. Dengan bermodalkan status sebagai juara bertahan yang direbutnya tahun 2007 lalu, para pemuda dilatih berbagai tarian dan lagu daerah. Mereka juga diberikan pemahaman tentang bagaimana bergaul dan berbaur dengan masyarakat di daerah dengan budaya dan agama yang berbeda.

Apa saja yang dilakukan di JPI dan BPAP? Saat JPI yang berlangsung di Taman Wiladatika, Cibubur-Jakarta itu, para pemuda mengikuti pameran produk daerah. Mereka juga harus tampil di atas panggung membawakan tarian dan lagu daerah. Mereka juga harus memperagakan bagaimana membuat produk khas daerahnya. Dalam JPI ini, para pemuda tidur di tenda-tenda perkemahan.

Untuk BPAP, utusan NTT dibagi dalam tiga kelompok, masing-masing terdiri dari delapan orang. Mereka akan dikirim ke Propinsi Jawa Timur, Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat. NTT sendiri harus menerima wakil dari Propinsi Jawa Timur, Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat yang kegiatannya dipusatkan di Atambua, Belu. Usai pelaksanaan JPI, pada tanggal 29 Oktober pemnuda utusan NTT langsung di berangkatkan ke daerah tujuannya.

Selama 45 hari di daerah tujuannya, para pemuda tersebut harus mengenal semua budaya di sana. Mereka harus berbaur dan bergaul dengan masyarakat di daerah tujuannya. "Indonesia terkenal dengan kebhinekaananya. Kebhinekaan tersebut harus diketahui oleh semua komponen masyarakatnya. Dan, karena pemuda adalah generasi penerus pembangunan bangsa, maka kepada mereka sejak dini sudah harus diberi tahu tentang budaya daerah lain agar nantinya mereka mencintai Indonesia secara utuh," ujar staf Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Drs. Thobias Thubulau. (bersambung)

Kamis, 06 November 2008

Sehari di Beranda Oepoli (3)

Posisi di Pohon Asam

Oleh Benny Dasman
DI
OELBINOSE. Angin senja menusuk kulit. Dingin. Tarsi, pengendali roda empat, menepikan kendaraan. Dia memberi pengumuman singkat. "Sebentar lagi kita memasuki kawasan di luar jangkauan. Ini tempat sinyal terakhir. Lebih baik te kita telepon memang. Waktunya 15 menit."

Tarsi langsung beraksi. Sambil menikmati horison sore dan 'moleknya' Gunung Mutis, kegiatan pencet-memencet hand phone (HP) melemaskan jemari yang kaku. Ber-SMS ria, telepon. Asyik sendiri-sendiri.

Romo Bento tak ketinggalan. Berhalo-halo dengan kolega di Kefamenanu dan Kupang. Mengabarkan rute perjalanan sudah sampai di Oelbinose, Miomaffo Barat. Juga mengecek kendaraan yang membawa genzet dan bahan bangunan lainnya apakah sudah keluar dari Kefamenanu atau belum. Rencananya berjalan berbarengan. Kelangkaan BBM (solar) di Kefamenanu saat itu membuat skenario perjalanan gagal.

Silvester, lain lagi. Ogah ber-SMS, telepon. Si kepala plontos itu memanfaatkan waktu bercuap-cuap melalui handy talky (HT). Bermain kata-kata dengan teman lama di pos-pos perbatasan. Bahasa Tetum, Porto, campur aduk. Romo Bento juga ikut nimbrung. Ternyata yang bercuap-cuap di baliknya teman lama di Naibonat. Bertemu lagi, meski lewat udara. Betapa senangnya.

Dead line waktu yang diberikan Tarsi sudah habis. "Ayo kita cabut lagi," Tarsi mengingatkan. HP diamankan. Tak diutak-atik lagi sampai di Oepoli. Selepas Oelbinose, Tarsi berujar lagi, "Kita sudah memasuki kawasan di luar jangkauan. Aman, orang tidak mengganggu kita lagi. Kita nikmati perjalanan ini."

Selepas Aplal, saya mencoba mengaktifkan HP. Ternyata benar, tak ada sinyal. Komunikasi putus. Tarsi benar, kawasan itu benar-benar di luar jangkauan. Diksi 'di luar jangkauan' pun menjadi bumbu perjalanan. "Coba di Kefa tadi kita beli memang dengan sinyal bae, pasti tidak di luar jangkauan. Sekarang ini di luar jangkauan semua. Bagaimana kalau ha'rim saya telepon," Silvester membuka guyonan. "Kalau pun ada sinyal, jawab saja di luar jangkauan. Sebab ini kawasan di luar jangkauan," Tarsi menjawab sahabat karibnya itu.

Saya menyela. Di Manggarai lain lagi. Kalau orang membeli HP, baba pemilik toko menanyakan kepada si pembeli. "Di tempatmu ada sinyal atau tidak. Jangan sampai di luar jangkauan." Dasar pembeli, sudah kebelet memiliki HP. "Kalau baba ada jual sinyal, bungkus sekalian saja dengan HP-nya," jawab si pembeli. Ha..ha..ha. Semuanya terbahak.

***
DI OEPOLI, situasi tetap prihatin, di luar jangkauan. HP dibuka, yang nongol SMS. Tak bisa dibalas. "Hari sudah malam. Besok saja baru kita balas SMS-nya. Pergi di pohon asam sana, pohon sinyal. Lima kilometer arah barat Oepoli ini," ujar Romo Bento, Senin (13/10/2008) malam.

'Penderitaan' Oepoli semakin lengkap. Semuanya terisolasi. Darat, laut dan udara. Malam gelap gulita. Tak ada listrik. Andalkan lampu teplok. Bangun pagi hidung berasap, hitam.

"Kami di sini benar-benar menderita. Kalau mau telepon, SMS, berkeringat dulu. Jalan jauh pergi ke tempat sinyal di pohon asam. Kalau saya telepon Pak Benny di Kupang, misalnya, posisi saya saat itu di pohon asam. Kalau kita sudah di pohon asam, ya bisa habiskan waktu sampai satu jam. Balas SMS, telepon dan sebagainya," kenang Romo Bento.

Romo Bento mengakui, sekitar 3.000 pelanggan potensial di Oepoli jika telkomsel melebarkan jangkauannya. "Ya, cukup migrasikan satu Base Transceiver Station (BTS) di sini, kerinduan warga Oepoli bisa terjawab. Ini peluang bagi telkomsel atau operator lainnya. Tapi, kendalanya itu tadi, sarana transportasi sangat buruk. Orang bangun BTS di sini makan ongkos. Pikir-pikir juga," katanya.

Tak ingin berlarut dalam litani keprihatinan Romo Bento, Tarsi, Silvester, Frangky pergi 'menemui' sinyal di pohon asam. Melepas kangen dan rindu di sana. Hari itu, Selasa (14/10/2008), saya dan Romo Bento beragenda lain. Bertamu di rumah Frans Bria di Pantai Oepoli. Mendengar curhat para prajurit penjaga Pulau Batek. Mereka tak mengeluh soal komunikasi. "Di Batek sinyal bagus. Tak ada masalah. Persoalannya kalau kami kehabisan BBM (solar). Genzet tak bisa dihidupkan. HP tak bisa di-cash. Itu saja," ujar Joanico dos Santos, penembak jitu.

Hari Rabu (15/10/1008) pagi, ditemani Tarsi, saya berkesempatan 'bertamu' di pohon asam, pohon sinyal. Dua kilometer selepas Oepoli, ada kawasan ditumbuhi pohon asam. Berbuah lebat. "Sinyalnya bukan di pohon asam yang ini, pak. Ke barat lagi, tiga kilometer," ujar Tarsi menjawab pertanyaanku.

Tarsi menepikan kendaraan. Sudah sampai. "Ini dia pak pohon asamnya," katanya. Pemandangan dari tempat ini sangat tampan. Pulau Batek bersanding jelas. Gulungan ombak Pantai Oepoli terlihat garang. "Jalan ini terus ke Naikliu. Berabu tebal. Sampai di sana abunya tebal begini," Tarsi menjelaskan.

Duduk di bawah pohon asam, pohon sinyal, jari-jemari beraksi. Saya dan Tarsi asyik sendiri-sendiri. Ber-SMS, telepon. Tak ada yang rahasia. Saya berhalo-halo ke Kupang. Biasa, mengabarkan kepulangan kepada maitua. Tapi tak masuk, di luar jangkauan. Ganti SMS, bisa. Tarsi pun tak kalah. Telepon ke Kefamenanu dan sebagainya. Lebih lama. Sepertinya kami sedang mengikuti perlombaan telepon. Semua bersuara keras.

Tak langsung pulang, saya dan Tarsi mengamat-amati situasi di sekitar pohon sinyal itu. Pohon asam itu rindang, berbuat lebat. Asyik untuk berteduh. Di bawah pohon itu ada bekas bakaran api. "Biasa, untuk menghangatkan badan kalau orang datang ke sini malam-malam," ujar Tarsi yang mengaku sudah beberapa kali mendatangi pohon sinyal itu.

Di sekitar pohon sinyal itu ada kebun. "Dulu, kebun ini ada pagarnya. Tapi sekarang tak ada. Kayu-kayunya sudah dicopot untuk bakar di bawah pohon ini. Dilakukan oleh orang yang datang bertelepon malam-malam," tutur Tarsi.

Setiap hari, aku Tarsi, orang mendatangi pohon sinyal itu. Banyak orang datang berkelompok. Tentara-tentara penjaga perbatasan, kata Tarsi, juga datang ke pohon sinyal ini untuk berkomunikasi. "Lebih banyak datang siang atau sore hari. Kalau malam hari, orang datang berkelompok. Sendirian takut," cerita Tarsi.

"Mengapa? Ada penunggunya? Jin?" tanyaku. Tarsi menyebut alasannya. Pernah, katanya, seorang pemuda datang sendirian ke pohon sinyal ini. Malam hari. "Ketika sang pemuda itu mulai menelepon dan menyapa halo, dari atas pohon terdengar suara jawaban, halo.... Suara perempuan. Tapi orangnya tak ada. Sampai beberapa kali perempuan itu menjawab," kisah Tarsi.

Sang pemuda itu pun tak melanjutkan temu kangennya. Dengan ha'rim. Dia memilih langkah seribu meninggalkan lokasi. "Pemuda itu lari terbirit-birit, ketakutan. Siapa pun kalau mengalami keanehan seperti itu, pasti takut. Bisa-bisa mati konyol karena menabrak pohon-pohon yang ada di sekitar sini. Lari tanpa arah takut jin," ujar Tarsi sambil tertawa.

Berita ini cepat tersiar di seantero Oepoli. Dan, orangpun ogah menemui pohon sinyal itu sendirian pada malam hari. "Percaya atau tidak, ceritanya begitu. Tapi, saya yakin pohon asam ini ada penunggunya. Jin perempuan," tukas Tarsi. Bulu kudukku berdiri.

Pohon sinyal, episod terakhir petualangan saya di Oepoli. Keterpencilan, keterisolasian, membuat semuanya bermakna. "Halo..., posisi saya di pohon asam sekarang," Romo Bento membuka percakapan ketika menelepon saya dari Oepoli, Senin (3/11/2008) lalu. Memoriku tentang Oepoli disegarkan kembali. Saya pun menjawab Romo Bento, "Ke Oepoli aku kan kembali." (habis)

SYALOM