Jumat, 16 September 2011

Benteng Portugis Itu Tinggal Nama

Oleh Sipri Seko


PRESIDEN pertama RI, Soekarno, punya pengalaman sendiri tentang Pulau Ende.  Dia pernah menulis sebuah drama yang kemudian dipentaskan bersama klub Toneel Kelimutu, semasa ia dibuang di Ende oleh Pemerintahan Kolonialisme Belanda.

Dari banyak literature tentang Soekarno, diketahui bahwa drama itu diberi Rendo Rate Rua. Mengapa harus Rendo Rate Rua? Rendo Rate Rua punya sejarah penting yang berhubungan dengan keberadaan bangsa Portugis di Pulau Ende. Ada banyak versi yang menceritakan tentang tahun keberadaan Portugis di Pulau Ende. Namun yang paling banyak disebut adalah tahun 1561.

Saat itu entah dalam perjalan penjajahan atau bisnis, bangsa Portugis singgah di Pulau Ende. Masyarakat Nampak sinis dengan keberadaan mereka, mengingat Belanda yang sedang menjajah sudah sudah menaburkan benih dengan mereka. Bule adalah lawan bagi masyarakat asli Pulau Ende. Hal itulah yang kemudian orang-orang  Portugis yang dipimpin Louis Fernando membangun sebuah benteng di Pulau tersebut atau tepatnya di Dusun Paderape, Desa Rendo Reta Rua.

Rendo Reta Rua sendiri, oleh berbagai cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat seperti diceritakan beberapa penduduk asli ketika ditemui, Senin (12/9/2011), adalah anak kandung dari Louis Fernando.  Anak gadis itu meninggal dalam sebuah pertikaian dengan penduduk asli setempat. Untuk mengenangnya, daerah tersebut kemudian diberi nama Rendaretarua hingga sekarang sudah menjadi sebuah desa.

Untuk mencapai Pulau Ende, terlebih dahulu kita harus berlayar dengan kapal motor kayu milik masyarakat dari Kota Endelebih kurang satu jam. Kapal akan bersandar di dermaga yang dikenal dengan nama Kemo. Dermaga ini saat ini sudah dibangun dengan dana APBN miliaran rupiah sehingga Nampak sangat megah.

Tak sulit untuk menemukan bekas benteng Portugis itu. “Anak liat pohon beringin itu? Turun dari pelabuhan sini langsung naik ke atas,” kata seorang ABK KM Al Amin menjelaskan.

Agak kesulitan memang menuju bekas benteng itu. Pasalnya, masyarakat setempat sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan benteng tersebut. Hal itu terbukti tak ada jalan masuk ke benteng itu. Untuk mencapainya, kita terpaksa harus masuk lewat samping rumah penduduk dan mendaki sebuah tanjakan lebih kurang 50 meter dari jalan raya.

Namun peninggalan bangsa asing yang sangat  bersejarah itu ternyata hanya tinggal nama. Nyaris sudah tak ada lagi tanda atau bekas bahwa di sana pernah ada benteng yang sangat terkenal.  Tak ada bangunan tembok yang kokoh disertai meriam seperti yang dibayangkan. Yang tampak hanya sebuah bekas tembok yang sudah runtuh. Yang tersisah hanya tembok setinggi dua meter dengan panjang dua meter lebih. Itupun sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan perdu sehingga nyaris tak nampak dari jarak lima meter.

Masyarakat setempat seperti Abidin, Fatah, Abdulah, Aminah dan lainnya mengaku sering melihat orang luar/turis datang untuk mencari bekas benteng Portugis tersebut. Namun masyarakat sendiri tak perduli lagi. “Di sini masyarakat hamper sudah lupa tentang cerita keberadaan benteng ini apalagi omong tentang nilai sejarahnya. Kami tahu bahwa pernah ada Portugis di sini yang dibuktikan dengan keberadaan bentengnya, namun pemerintah saja tidak perduli, apalagi dengan masyakarat biasa,” kata Abidin.

Rupanya pemerintah Portugal sudah memiliki upaya untuk menapaktilasi jejak perjalanan nenek moyangnya menaklukkan dunia.  Meski bekas bentengnya nyaris hilang, namun mereka masih ingat keberadaan Pulau Ende. Mereka sudah menurunkan banyak bantuan gratis kepada masyarakat di sana. Bak penampung air, sumur hingga WC sudah dibantu. “Kami di sini terima saja. Mungkin mereka teringat dengan keberaan nenek moyang mereka di sini sehingga bantu masyarakat,” kata Fatah.

Ende, memang terkenal dengan sejarah. Di sana ada keajaiban dunia. Di sana banyak lahir inspirasi. Entah karena mungkin sangat banyak peninggalan sejarah di Ende, pemerintah setempat sudah lupa yang lain. Apakah benteng ini hanya tinggal sejarah dalam cerita? Ataukah sudah saatnya sekarang kita abadikan bahwa Pulau Ende pernah menjadi pilihan hidup bangsa asing. Bukan tak mungkin masyarakat asli Pulau Ende ada karena dibawa bangsa Portugis? (bersambung)

Kamis, 15 September 2011

Warna Hijau Lebih Mahal

Oleh Sipri Seko

MATAHARI baru nongol dari peraduannya. Cahanya sudah memancarkan bias yang membuat dedaunan yang basah karena embun malam mulai menggeliat. Namun gunung yang tinggi menjulang, membuat sang pemilik siang itu tak leluasa menerangi semua permukaan bumi.

Di Pantai Penggajawa, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Umar, pria uzur berusia 75 tahun nampak sudah berkeringat. Peluh mengucur membasahi wajah dan badannya. Tubuhnya yang kurus dan renta masih kuat tegak ditopang kakinya yang masih tegar. Bajunya sudah ditanggalkan entah di mana. Hanya mengenakan sarung lusuh yang didalamnya nampak celana pendek coklat yang nongol dari lipatan kain, Umar tak peduli dengan deburan ombak yang terkadang nakal menyentuh mata kakinya.

Lalu lalang orang di sampingnya pun tak dipedulikan. Tangannya sibuk mengais kerikil-kerikil berwarna di tepi pantai. Terkadang dia harus menunggu beberapa saat, menunggu ombak yang naik, turun kembali ke laut untuk kemudian melanjutkan aktivitasnya. “Dia sedang mencari  batu hijau yang ceper,” kata Ibrahim.

Kelakuan Umar ini juga sama seperti Siti, Tua dan Ibrahim. Masyarakat di sekitar Pantai Penggajawa memang menggantungkan harapannya hidupnya dari mengumpulkan batu berwarna. Pantai ini dipenuhi beraneka batu warna, putih, hujau, kuning dan coklat. Sebenarnya, semua batu ini laku dijual. Namun, Umar dkk lebih memilih yang berwarna hijau. Mengapa demikian?

“Batu hijau lebih mahal. Tak hanya itu. Batu ini juga susah dipilih karena biasanya terselip di antara batu-batu  lainnya sehingga lama baru dikumpulkan dalam jumlah banyak. Kami biasanya jual semua jenis batu, namun karena yang ukuran dan jenis lainnya gampang diambil, saat ini kami pilih yang warna hijau saja. Nanti kalau ada informasi pembeli mau datang baru kami kumpul jenis yang lainnya,” jelas Umar dan Ibrahim.

Batu hijau berukuran ceper memang lebih mahal bila dibandingkan yang lainnya. Kalau batu berwarna lain dijual Rp 25 ribu per satu zak semen, batu hijau dijual Rp 25 ribu per ember. Satu zak semen biasanya berisi tiga ember. Artinya, satu zak semen batu hujau sudah menghasilkan Rp 75 ribu.

Mengaku tidak tahu hendak diapakan batu-batu tersebut oleh para pembeli,para pengumpul di Penggajawa mengaku berbisnis batu hijau cukup menjanjikan. Kepastian akan adanya uang selalu ada. Mereka hanya menunggu, bila ada kapal asal Surabaya yang bersandar di dermaga, berarti pasti ada pembeli yang datang. Di saat itu mereka akan menerima uang tunai. “Hampir semua batu yang kami kumpulkan di sini selalu habis terjual. Rata-rata semua pengumpul di sini sudah punya langganan pembeli,” kata Ibrahim.

Umar, Ibrahim dan lainnya tak pernah berpikir kapan batu berwarna ini habis. Saban pagi, saat ombak masih berdebur, meski di tempat yang sama, mereka terus memilih batu berwarna. Tak ada cerita mistik dari keberadaan batu berwarna yang diyakini tak akan pernah habis ini. Mereka hanya tahu bahwa batu berwarna ada karena kemurahan Tuhan memberikan reziki bagi umat-Nya.

Mereka juga tak peduli, apa pembeli yang datang sudah mengantongi izin dari pemerintah atau tidak. Mereka juga tak takut alam bakal rusak karena aktivitasnya. Tak perlu menggali, mereka cukup memilih di atas pasir hitam. Semoga indahnya batu berwarna di Pantai Penggajawa, terus memancarkan kesejahteraan. (habis)

Selasa, 13 September 2011

Kilauan Warna Kesejahteraan di Penggajawa

Oleh Sipri Seko

SEKRETARIS Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Ende, Emanuel Laba, bercerita dengan berapi-api soal potensi pertambangan di Kabupaten Ende. Kalau di Pulau Timor ada batu mangan, di Ende, kata Emanuel Laba,a da pasir besi. Batu mangan dan pasir besi adalah ‘dua saudara’ yang menghasilkan baja.

Mulai dari tambang galian C, pasir besi hingga batu berwarna, menurut mantan aktivis PMKRI NTT di Kupang ini mendatangkan pendapat yang cukup besar di Kabupaten Ende. Meski kalah bila dibandingkan dengan pariwisata, namun hasil tambang juga cukup menjanjikan. Salah satu bahan tambang yang ada di Ende adalah batu berwarna. Batu berwarna yang ada di Pantai Penggajawa, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, menyimpan cerita tersendiri.

Hamparan pantai sepanjang hampir 5 km tersebut menawarkan daya wisata yang memanjakan. Deburan ombak di atas karang ditambah pasir hitamnya yang bersih, membuat Pantai Penggajawa merupakan lokasi wisata alternatif bagi wisatawan domestic maupun mancanegara. Saban hari, selalu terlihat ‘bule-bule’ yang mandi laut sambil berjemur di pantai ini. Namun, daya tarik pantai ini tak hanya karena deburan ombak dan pasirnya.

Kilauan warna-warni yang terpancar dari bebatuan di Pantai Penggajawa menjadi daya magis tersendiri. Beraneka warna seperti kuning, putih, hijau dan coklat dipadu dengan pasir hitam dan buih putih dari ombang laut biru nampak membentang. Bebatuan inilah yang menjadi bahan tambang bagi masyarakat setempat. Batu berwarna inilah yang diceritakan Emanuel Laba, sudah menembus pasaran nasional dan dunia.

Untuk mencapai Pantai Penggajawa, kita harus menempuh jarak lebih kurang 30 km dari arah Ende menuju Kabupaten Nagekeo. Di sepanjang perjalanan, di tepi kiri dan kanan jalan membentang luas hamparan kelapa, kakao dan pisang milik masyarakat setempat. Kelapa, pisang dan kakao merupakan komoditi utama masyarakat, yang ditunjang hasil dari melaut. Jalan yang terjal dan berbelok-belok sudah di-hotmix. Tebing dan jurang terjal yang mencapai 20 meter lebih tak lagi menakutkan, tapi menyajikan pemandangan unik yang sangat menakjubkan. Pohon kelapa, kakao dan pisang memang sedikit menutup pemandangan ke laut.

Namun, tanda bahwa kita sudah memasuki pantai batu berwarna adalah karena para pengumpul menumpuk batu-batu itu di tepi jalan. Gundukan batu dari pemilik yang berbeda-beda di tumpuk sepanjang jalan di tepi pantai itu. Menumpuk batu di tepi jalan, pembeli tak lagi harus ke pantai tapi langsung mengangkutnya. Di sepanjang pantai ini, berjejer para pengumpul, pria/wanita, tua/muda yang mengumpulkan batu sepanjang hari. Batu berwarna memang menjadi sumber pendapatan masyarakat di Desa Penggajawa selain melaut.

Dari mengumpulkan bebatuan dari pantai, masyarakat setempat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak hanya untuk makan dan minum, dari bebatuan yang tak pernah habis meski terus diambil ini mereka bahkan mampu menyekolahkan anaknya hingga bangku perguruan tinggi.

Mengapa masyarakat tergiur dengan bisnis batu berwarna? Mahalkah batu berwarna? Apakah semua batu berwarna ini bisa dijual dengan harga mahal. Ada banyak pendapat dan tanggapan. Ada banyak temuan kejanggalan dan keunikan. Ikuti terus tulisan ini di seri berikutnya. (bersambung)

Rabu, 07 September 2011

Taman Renungan Bung Karno Merana

ENDE, sejak lama terkenal dengan Danau Kelimutu. Danau yang menjadi salah satu keajaiban dunia ini terkenal di seantero dunia. Namun, bagi Indonesia, di Ende, tak hanya Danua Kelimutu keindahan alam ciptaan Tuhan yang tiada dunia. Di Ende, Soekarno, presiden RI pertama melahirkan lima sila dari dasar negara kita, Pancasila. Hal inilah yang membuat Ende sangat terkenal dalam sejarah Indonesia.

Ende menjadi langkah awal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sana Soekarno pernah diasingkan pemerintah kolonial Belanda tahun 1934 hingga 1938.

Mengenang tempat yang sangat bersejarah, pemerintah kemudian membangun sebuah taman yang disebut Taman Renungan Bung Karno. Terletak di Jalan Soekarno, Ende, Taman Renungan Bung Karno dijadikan alternatif berwisata bagi mereka yang ingin merasakan bagaimana menariknya suasana pengasingan Bung Karno di zaman itu.

Memasuki kawasan ini, angan dan bayangan kita seperti dipacu. Semangat nasionalisme dilecut. Berada di sana, kita seolah-olah membayangkan perjuangan Bung Karno yang meski hidup di pengasingan, namun dia mampu melahirkan nilai-nilai sejarah yang tiada bandingnya. Di dalam Taman Renungan Bung Karno ini ada beberapa situs bersejarah.

Patung Bung Karno mengenakan setelah jas safari tampak gagah ketika dibalut warna emas. Patung tersebut tersebut seakan menjadi saksi bagaimana kerasnya perjuangan Bung Karno ketika diasingkan pada saat itu.Ada juga Tugu Peletakan Batu Pertama berbentuk kerucut, dengan batu berwarna abu-abu dan merah muda. Di tengah tugu, terdapat sebuah peta negara Indonesia terbingkai dalam frame batu berwarna ungu. Ada tulisan di tugu itu, yakni “ Di tugu ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Yang tak kalah penting disana, adalah Pohon Sukun. Di sekitar pohon sukun ini, Bung Karno mendapatkan inspirasi tentang lima butir Pancasila. Bagaimana kondisi Taman Renungan Bung Karno saat ini? Hanya sejarahnya yang bisa dibanggakan.

Taman yang begitu bernilai dan sangat keramat kini sudah tak terawat. Patung Bung Karno yang seharusnya berwarna keemasan, kini sudah pudar dan tak jelas warnanya. Kolam yang terletak di bawa dudukan patung, kini mengering dan tak setetes air pun berada di dalamnya.

Tugu Peletakan Batu Pertama yang seharusnya berwarna gading kini sudah kusam. Entah karena debu yang menempel karena diterbangkan angin dari lapangan Perse, tugu tersebut nampak kusam dan tak layak dibanggakan, kalau kita tidak tahu nilai sejarahnya.

Yang tampak masih berdiri megah adalah pohon sukun yang sangat rimbun. Buah pohon sukun itu nampak sangat rimbun dan beberapa di antaranya malah jatuh karena ditiup angin.

Bunga-bunga yang ditanam dalam taman pun mati kekeringan. Bunga pohon seperti palm, bonsai, bogenvile dan lainnya pun mulai mongering dan tinggal menunggu waktu untuk mati. Sampah dari dedaunan yang tumbuh rimbun dalam taman menumpuk tak dibersihkan. Saluran pembuangan air di tengah taman pun sudah dipenuhi sampah rumah tangga yang ditiup angin maupun dedaunan.

Meski demikian, pada petang hari taman tersebut selalu dipenuhi muda-mudi yang memadu cinta kasih. Mereka nampak tak peduli lagi dengan nilai sejarah dari semua yang ada dalam taman itu. Yang penting bagi mereka adalah, meski sudah kusam dan beberapanya sudah rubuh, namun bangku-bangku taman sangat cocok digunakan untuk bercengkrama.

Beberapa pengunjung yang ditemui mengaku prihatin dengan kondisi ini. Meski demikian, mereka terus memotret situs-situs yang ada di sana. Nampaknya harus ada perhatian khusus terhadap kondisi ini. Di saat hanya bisa membaca dan atau mendengar cerita orang tentang Situs Bung Karno, kita sepertinya apatis dan hanya mau berbangga di sebut orang Ende tanpa mau berbuat sesuatu untuk sesuatu yang sudah menjadi pembicaraan dunia. **

Jumat, 19 Agustus 2011

Merdeka Saat Masyarakat Belum Merdeka

DALAM sebuah kegiatan wartawan nasional, diagendakan pembahasan tentang nasib sepakbola Indonesia. Meski masuk dalam acara serba-serbi, namun para wartawan, terutama dari wilayah Indonesia Timur, tampak sangat antusias menunggu agenda ini. Tampaknya mereka ingin menumpahkan semua unek-unek masyarakat sepakbola di daerahnya. Semua sepakat bahwa salah satu penyebab mandeknya prestasi sepakbola Indonesia karena pembinaan hanya berpusat di Jawa. Hanya pemain di Jawa yang dipantau untuk diseleksi. Pemain-pemain asal wilayah Indonesia Timur diabaikan. Padahal prestasi klub sepakbola di wilayah ini secara nasional sangat bagus.

Tuntas sudah unek-unek itu disuarakan. Namun prestasi;sepakbola tak kunjung menghampiri Indonesia. Pembinaan masih status quo. Yang di sana tetap menguasai. Kita yang di sini hanya bisa menonton di televisi, padahal kaki gatal untuk ikut menendang karena punya kualitas.

Hari-hari ini, Bangsa Indonesia di seluruh pelosok sedang merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-66 Kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar perkasa di mana- mana. Semua sepakat, inilah harinya Indonesia. Hari di mana Indonesia bebas dari kolonialisme. Hari di mana rakyat Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri. Benarkah demikian?

Ada satu statemen menarik yang dilontarkan Manuel da Cruz, warga Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Manuel da Cruz dan Fernando Cardoso yang berada di perbatasan RI-RDTL, menilai, kemerdekaan  Republik Indonesia selama 66 tahun ini hanya berada di Jawa. Pasalnya, infranstruktur jalan, penerangan, perumahan dan air bersih bagi masyarakat di perbatasan belum dinikmati secara merata. Ke depan pemerintah perlu memperhatikan pembangunan perbatasan sehingga tidak tertinggal dengan masyarakat di perbatasan Timor Leste.

Manuel dan Fernando Cardoso tidak salah. Sama seperti rekan dan sanaknya yang lain, mereka memilih bergabung ke NKRI dengan harapan di sana tak hanya kemerdekaan yang diperoleh, tapi kesejahteraan pun dinikmati. Namun harapan itu tinggal harapan. Mereka hanya merdeka dari kolonialisme. Kolonialisme di Indonesia dan Timor Leste. Namun mereka tetap tidak merdeka dalam mengecap nikmatnya pembangunan, apalagi bicara kesejahteraan. Mereka masih dibiarkan merana. Tinggal di gubuk darurat yang terbuat dari daun gewang beratapkan gedek dari bambu. Kebutuhan lain seperti air dan apalagi listrik, hanya impian yang tak pasti. Kondisinya sudah demikian. Memang sudah saatnya kita bicara. Kita tidak boleh tinggal diam. Apa yang terjadi di lingkungan kita harus diketahui oleh dunia luar. Bisa saja pembangunan tidak menyentuh daerah-daerah tertentu karena informasi tidak sampai kepada para pengambil keputusan. Atau bisa saja mereka sudah tahu tapi berperilaku apatis. Untuk itu, bersuara agar didengar dan dilihat itu sangat penting.

Semua masyarakat NTT masih ingat ketika Presiden SBY dan puluhan pejabat negara menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, 7 Februari lalu. Presiden meminta semua perhatian negara diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama NTT. Malah, Presiden mengeluarkan statemen akan segera mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang percepatan pembangunan di NTT. Memang tidak serta merta semua itu terlaksana karena butuh proses. Namun di saat usia Indonesia sudah 66 tahun dan masih ada rakyat yang menjerit karena belum merasakan nikmatnya kemerdekaan, ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting.

Manuel dan Cardoso mungkin hanya mewakili ribuan suara lainnya. Di Papua, bendera bintang kejora malah dikibarkan saat perayaan HUT ke-66 Kemerdekaan RI. Hal ini harus diartikan sebagai protes dari sebuah ketidakadilan. Protes dari tidak meratanya pembangunan.  Pada kondisi seperti ini, pemerintah daerah harus berani bersikap. Berani  menyuarakan aspirasi demi kesejahteraan masyarakat banyak bukan sesuatu yang tabu. Bukan menuntut tapi itu hak kita. Jangan hanya mau dikuras tapi kita juga harus menikmatinya.  Suara masyarakat Silawan hanya untuk mengingatkan kita di saat semua rumah dan jalanan bendera merah putih berkibar megah. Mungkinkah tahun depan suara ini terdengar lagi? *

Sabtu, 02 April 2011

Atletik Awali Perjalanan ke Riau

PELAKSANAAN PON XVIII 2012 baru akan dilaksanakan di Pekanbaru, Riau, September 2012 nanti. Namun, untuk mencapainya, semua cabang harus menyeleksi atletnya melalui kualifikasi (Pra) PON.

Tanggal 21 Maret lalu, Ketua Harian KONI Propinsi NTT, Ir. Esthon Leyloh Foenay, M.Si, secara resmi membuka pelaksanaan pelatda Pra PON XVIII. Mungkin, dalam sejarah baru kali ini KONI Propinsi NTT melaksanakan pelatda secara serentak untuk semua cabang olahraga. Delapan cabang langsung direkomendasikan untuk mengikuti Pra PON karena prestasinya, sementara lima lainnya dipertimbangkan.

Dalam pelatda ini, KONI NTT membentuk sebuah satgas yang diketuai Ir. Benny Ndoenboey, M.Si. Satgas ini bertujuan untuk menyukseskan impian KONI NTT mencapai prestasi tinggi sama seperti PON XVI 2004 dengan meraih delapan medali emas, empat perak dan empat perunggu. Impian yang berat. Tapi tidak ada yang mustahil kalau ada keseriusan. Hanya satu prinsip, lawan berlatih, saya juga. Dia latihan satu kali, saya tiga kali atau lebih. Prinsip ini memang harus ditanamkan dalam diri atlet dan pelatih agar prestasi bukan lagi sesuatu yang mustahil tetapi bisa digapai.

Sanggupkah KONI Propinsi NTT menjalankan misi menggapai prestasi tinggi? Cabang atletik mengawali perjalanan kontingen NTT ke Pekanbaru, Riau. Tiga atlet, Oliva Sadi, Adriana Waru dan Mery Paijo langsung lolos. Sementara Adnan dan Fany Dede meski rangkingnya sudah masuk ketentuan, namun harus menunggu hingga akhir kualifikasi. Apakah ini langkah awal yang bagus?

Ketua Harian Pengprop PASI NTT, Drs. Ary Moelyadi, M.Pd, dengan optimis mengatakan tekadnya untuk mengembalikan kejayaan atletik NTT. Ia bertekad atletik kali ini akan pulang dengan medali emas, sama seperti tahun 2004 lalu. Tekad itu muncul bukan karena Oliva Sadi sudah kembali ke NTT, tapi Ary Moelyadi dkk sudah punya strategi baru memunculkan atlet lain yang akan membuat kejutan.

Bagaimana dengan cabang lain? Tantangan sesungguhnya untuk menyamai prestasi 2004 adalah di Pra PON. Bagaimana mengukur kualitas diri, persiapan dan kekuatan lawan, hasil kualifkasi harus jadi tolak ukur. Artinya, kita jangan dulu (hati- hati) bercerita atau berkoar kalau di Riau nanti, NTT akan mampu mencapai prestasi yang lebih tinggi dari 2004. Baru ada tiga atlet yang sudah pasti lolos. Itu pun mereka belum tentu bisa meraih medali emas. Karena itu, persiapan cabang lain harus terus diperketat.

Satgas yang dibentuk jangan hanya nama di atas kertas. Satgas yang ada harus benar-benar memantau persiapan yang dilakukan cabang-cabang. Satgas tidak boleh ego cabang. Satgas harus mengayomi dan memperhatikan semua cabang. Mengapa demikian? Karena untuk mencapai prestasi tinggi, tak mungkin hanya mengandalkan satu cabang untuk meraih prestasi. Terkadang, yang diandalkan pun akan keok, kalau lupa diri sehingga kalah akibat kurang persiapan.

Cabang kempo dan tinju misalnya. Selalu menyumbang medali emas dalam tiga PON terakhir, kali ini mereka kembali ditantang untuk berbuat lebih. Sebagai cabang super prioritas bersama atletik dan taekwondo, mereka akan menjadi rujukan prestasi bagi cabang lain. Artinya, kita tidak hanya bisa bertepuk dada dan bernostalgia bahwa saya dulu bisa merebut medali emas, tapi bangkitkan tekad yang dulu bisa juara meski tidak ada pelatda.

Mengapa demikian? Kalau merujuk dari prestasi yang diraih anak-anak NTT di kejuaraan-kejuaraan nasional maupun internasional, tampaknya meraih minimal sembilan medali emas bukanlah hal yang berat. Namun harus diingat bahwa suhu dan nuansa PON berbeda. Berlatih bertahun-tahun, hanya dalam hitungan detik, seorang atlet bisa saja kalah. Kondisi ini sudah banyak dialami anak-anak NTT.

Kalau demikian, selama pelatda ini faktor non teknis harus diperhatikan. Non teknis saat berlatih maupun kualifikasi. Seorang atlet juara sekalipun, bisa saja tidak lolos PON kalau pelatihnya tidak berhitung tentang lawan, wasit, panitia, penonton dan lainnya saat kualifikasi.

Kita tidak perlu berkecil hati. Keyakinan akan kualitas diri yang dimiliki dan harus menjadi yang terbaik akan menjadi motivasi tinggi untuk juara. Minim dana bukan jadi halangan untuk berprestasi. Oliva Sadi dkk harus diberi tekad untuk menjadi juara karena kualitas dirinya bukan karena jatah. Mereka harus diasah untuk mendapatkan kemampuan terbaiknya dengan tulus. *

Rabu, 16 Maret 2011

Kembalikan Tentara ke Barak

TRAGIS! Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu, meninggal di RS Wirasakti Atambua,  Minggu (13/3/2011). Mali diduga meninggal setelah dianiaya oknum anggota TNI dari  Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB), di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.

Tak cukup sampai di situ. Hari Selasa (15/3/2011), ibu kandung Charles Malli, Modesta Dau meninggal dunia. Modesta Dau sendiri yang mengantar anaknya ke Mayonif 744 untuk dibina, diduga merasa bersalah dan tak tahan melihat jazad anaknya sehingga ikut meninggal dunia.

Harian ini, Selasa (15/3/2011), memuat tentang beberapa perilaku oknum-oknum anggota TNI yang sempat diberitakan. Tragis memang. Jangankan seorang Charles Mali, Romo Bento pun kena hajar dari mereka. Kini, di Atambua,  masyarakat tak tinggal diam dengan tragedi ini.

Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) 744/SYB, Letkol (Inf), Asep Nurdin, mengatakan, tentu ada sebab dan akibat dari kasus itu. Kasus tersebut agar didudukkan sesuai fakta yang sesungguhnya sehingga tidak membias dan tidak saling memojokkan.

Dalam situasi seperti ini, selalu saja ada pihak yang berusaha membenarkan diri. Meski terkadang sudah tahu kesalahan, namun bertamengkan hukum, selalu saja berusaha 'menipiskan' kesalahan yang dibuat. Benar memang bahwa ada oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SBY) yang dikeroyok Charles Mali dkk.

Pertanyaan muncul ketika ada oknum anggota Yonif 744 yang menjemput kedua orangtua Charles Mali (Raymundus Mali dan Modesta Dau) dan memerintahkan keduanya untuk wajib lapor di Pos Tobir. Wajib lapor itu akan berlangsung hingga Charles Mali datang. Ibu Modesta Dau sendiri langsung menyerahkan Charles dan kakaknya Herry Mali ke Pos Tobir dan jaminan dari anggota provost di Pos Tobir bahwa keduanya bersama dengan teman-teman lainnya akan dibina, bukan dihajar sampai meninggal.

Namun apa mau dikata, anak usia belasan tahun tersebut disiksa di markas Yonif 744 hingga meninggal. Sadisnya lagi, Charles malah dipaksa berkelahi dengan Hery Mali, kakaknya. Apa tindakan ini benar? Atau sekadar unjuk kekuatan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri?

Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja.

Masih segar dalam ingatan masyarakat NTT, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melakukan tapak tilas dari Kupang hingga Tobir, Atambua. Presiden SBY ingin mengenang kembali masa-masa saat dia memimpin batalyon ini. Bermalam di tenda Tobir, berulang-ulang orang nomor satu di RI mengatakan bahwa tentara dan rakyat harus bersatu. Tentara hadir di tengah rakyat untuk melindungi mereka, bukan malah menyiksa rakyat. Bila ada kesalahpahaman, biarkan proses hukum yang menyelesaikannya.

Namun, pernyataan pemimpin tertinggi TNI di Indonesia ini mungkin tak berlaku bagi oknum-oknum anggota Batalyon 744 yang menyiksa Charles Mali dkk. Mereka rupanya punya hukum sendiri. Mereka sudah berlaku seperti aparat kepolisian sehingga memerintahkan wajib lapor, memaksa pelaku menyerahkan diri dan malah menyiksa orang.

Padahal, walaupun sakit karena ada rekannya yang dikeroyok, seharusnya mereka menyerahkan penyelesaiannya pada proses hukum di kepolisian. Biarkan aparat kepolisian dengan aturan yang ada memroses para pengeroyok bila mereka benar- benar bersalah. Kalau sudah seperti ini, siapa yang bersalah?

Kita semua tentu tak ingin kasus ini terus berlanjut. Bolehlah ada rasa sakit hati dan dendam yang muncul dari diri. Semua tentu tak ingin disakiti. Namun kita juga ingin kedamaian. Mungkin hari-hari ini rasa sakit hati karena dikeroyok atau sanaknya dianiayai hingga meninggal, namun kita harus tetap mawas diri. Pihak ketiga biasanya dengan mudah masuk dan memperkeruh suasana dengan provokasi murahan, meski kita tahu bahwa kasus ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga penyelesaiannya tidak akan mudah.

Apa yang perlu dilakukan sekarang? Para pimpinan gereja, pemerintah dan tentara harus duduk bersama-sama. Kesepakatan harus diambil. Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut yang bisa menimbulkan efek-efek yang bisa menimbulkan kerawananan sosial. **

Senin, 14 Maret 2011

Warga Atambua Tewas, Danyon Minta Maaf

KOMANDAN dan seluruh anggota Yonif 744/SYB di Atambua, meminta maaf atas tewasnya Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu, Minggu (13/3/2011). Charles Mali meninggal di RSU Wirasakti Atambua setelah dianiaya oknum anggota TNI dari  Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB), Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur.

Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Komandan Bataliyon 744/PSY, Kapten (Inf) Nuryanto, yang dihubungi Pos Kupang Minggu (13/3/2011) malam. "Kami meminta maaf kepada keluarga korban serta masyarakat Atambua atas kejadian itu. Terhadap anggota yang diduga melakukan penganiayaan akan diproses secara hukum," tegas Nuryanto.

Dia mengatakan, pihaknya sudah menyerahkan tujuh anggotanya yang diduga terlibat dalam pengiayaan itu kepada Sub Denpom Atambua untuk diproses secara hukum.

Pihak Yonif 744/PSY, kata Nuryanto, juga sudah melakukan pertemuan dengan keluarga korban yang difasilitasi pemerintah Kabupaten Belu yang dihadiri Assiten II Setda Kabupaten Belu. Pihak Yonif,  lanjutnya, akan menanggung proses pengobatan enam korban lain yang masih dirawat dan pemakaman Charles Mali.  "Sekali lagi kami mohon maaf. Para anggota itu pasti akan ditindak," tegasnya.

Keterangan yang dihimpun  Pos Kupang di Atambua, Minggu (13/3/2011), menyebutkan, Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Minggu (13/3/2011), tewas setelah  dianiaya oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SYB).  Korban dianiaya bersama enam rekan lainnya di Markas Yonif 744/SYB hingga sekarat dan sempat dilarikan ke Rumah Sakit Wirasakti, Atambua untuk mendapatkan perawatan medis, namun nyawa korban tidak tertolong. Penyebab kasus penganiayaan tersebut hingga kini masih simpang siur.

Menurut keterangan yang diperoleh, kasus penganiayaan terhadap Charles dan enam rekannya itu merupakan puncak dari salah paham dengan oknum anggota Yonif 744/SBY tanggal 5 Maret 2011. Diduga korban dan rekan-rekannya pernah mengganggu istri salah satu anggota TNI Yonif 744/SYB.

Karena kesal, istri anggota TNI itu melaporkan suaminya. Sejak kejadian itu, korban bersama rekan-rekannya menjadi incaran oknum TNI Yonif 744/SYB. Karena takut, korban dan rekan-rekannya menghilang sehingga orangtua para korban dijemput paksa sebagai jaminan sebelum korban dan rekan-rekannya menyerahkan diri ke Markas Yonif 744/SYB.

Sejak tanggal 5 Maret 2011, para orangtua korban dan rekan-rekannya melaporkan diri sejak pagi hari dan baru diperbolehkan pulang sekitar pukul 17.00 Wita dan tidak diberi makan. Para orangtua kemudian meminta korban dan rekan-rekannya agar menyerahkan diri secara baik-baik karena ada jaminan dari pihak TNI bahwa  mereka tidak diapa-apakan.

Namun, saat korban dan rekan-rekannya sudah berada di Mako Yonif 744/SYB, justru mereka dikeroyok oknum TNI hingga sekarat dan dibawa ke Rumah Sakit Wirasakti, Atambua. Korban Charles mengalami luka cukup serius sehingga nyawanya tidak dapat tertolong, sementara enam rekannya yang lain hingga kini masih dalam perawatan medis.

Secara terpisah keluarga korban tewas, Romo Leo Mali, Pr, ketika dikonfirmasi Pos Kupang, Minggu malam, menyayangkan kasus yang menimpa keponakan kandungnya itu. Romo Leo mengutuk oknum TNI yang menganiaya korban hingga tewas dan dia meminta pelaku supaya diambil tindakan tegas.

"Atas nama keluarga korban kami meminta petinggi TNI untuk mengambil sikap tegas terhadap kasus penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia ini. Bagaimanapun setiap kasus apa pun jenisnya harus diselesaikan secara akal sehat dan bukan dengan cara menganiaya hingga tewas. Keluarga korban akan menggelar musyawarah bersama dan segera mengambil sikap resmi meminta pertanggungjawaban terhadap kasus yang menimpa anak kami ini," tegas Romo Leo.

Kerabat korban, Charles Mali lainnya, Albert Mali, menambahkan, keluarga sudah bersepakat untuk mengawal kasus ini hingga diproses sesuai hukum yang berlaku. Untuk menjaga situasi yang tidak diinginkan, kata Albert, para orangtua di wilayah Fatubenao meminta para pemuda untuk menahan diri agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

"Situasi di Fatubenao aman dan kondusif. Para pemuda Fatubenao memang sudah diarahkan keluarga untuk menahan diri atas kejadian ini. Keluarga sudah menyerahkan penanganan kasus ini ke POM Atambua untuk diproses sesuai hukum yang berlaku," kata Direktur Atambua Corruption Watch (ACW) ini.

Secara terpisah, Komandan Batalyon Infanteri (Danyon) 744/SYB, Letkol (Inf) Asep Nurdin, ketika dikonfirmasi Pos Kupang mengaku sedang berada di Bandung mengikuti kegiatan dinas. Nurdin mengaku belum mengetahui secara jelas kronologi kasus yang dilakukan oknum anak buahnya itu.  "Maaf, saya ada di Bandung dan belum mendapatkan kronologi kasus itu. Saya baru rencana besok (Senin, 14/3/2011, Red) pulang ke Atambua," kata Nurdin dari balik telepon genggamnya.

Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez,  meminta Danyon 744 untuk memroses tuntas kasus yang dilakukan oknum anggota TNI itu. Bupati juga akan menyampaikan kepada danrem agar kasus ini diproses sesuai hukum yang berlaku.

Kepada keluarga korban dan seluruh warga Belu, Bupati Lopez meminta menahan diri dan tidak terpancing atau reaksi. Dia meminta semua pihak agar menyerahkan proses ini pada institusi yang berwenang untuk memrosesnya. (www.pos- kupang.com)

Kera Putih di Nausus

Oleh Sipri Seko

DOKTOR
Dikdik Jafar, M.Pd, Dosen FPOK UPI Bandung, yang juga adalah Sport Direktor SEA Games KONI/KOI tak ingin melepaskan moment langka di depan matanya. Kameranya terus diarahkan ke puncak Fatu (Batu) Nausus di Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, akhir Desember 2010 lalu.

Dia ingin merekam secara utuh tiga ekor kera putih yang yang tiba-tiba muncul di puncak Fatu Nausus. Meski nampak begitu kecil di puncak batu marmer setinggi lebih dari 100 meter tersebut, namun saya dan beberapa anggota rombongan, Ary Moelyadi (Kabid Keolahragaan Dinas PPO NTT), George Mella (Ketua Umum PASI TTS), Ferry Meko (Ketua Harian PASI TTS), para pelatih dan atlet atletik tertegun melihat fenomena itu.

"Kera Putih ini tidak sembarang ke luar. Hanya orang yang beruntung saja yang bisa melihat kera putih ini. Menurut kepercayaan di sini kalau kera putih muncul itu pertanda baik. Mungkin orang yang melihatnya akan mendapat rezeki dan lainnya," ujar seorang pemuda asal daerah itu, Buce Oematan.

Kera putih di atas Fatu Nausus menyimpan banyak cerita di daerah tersebut. Ada yang menyebut mereka sebagai jelmaan nenek moyang yang muncul bila ada tamu datang. Ada juga yang menyebut mereka sebagai penjaga alam dan beragam cerita mistis lainnya. Kera putih juga diceritakan akan murka bila Fatu Nausus ditambang menjadi marmer. Ada benarnya. Sebuah perusahaan penambangan dari luar NTT yang beberapa waktu lalu hendak menambang batu tersebut terpaksa harus menghentikan aktivitasnya. Hujan angin dan badai tiba-tiba datang bila mereka memaksa untuk melakukan penambangan.

Fatu Nausus dan batu-batu lainnya yang ada di daerah tersebut sejak dahulu oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai tempat tinggal nenek moyangnya. Di situ juga merupakan tempat bagi beberapa marga seperti Lassa, Banoet, Seko, Sunbanu, Tafui, Toto, Tanesib, Bnani dan lainnya untuk menyimpan harta kekayaannya. Kepercayaan itu terus dipegang hingga saat ini dimana masyarakat setempat masih yakin bahwa harta benda nenek moyang mereka masih tersimpan aman di Fatu Nausus.

Indahnya panorama dan kekayaan alam di tempat kelahiran orang tua saya tersebut memunculkan beragam tanya dalam benak. Sulit untuk diungkapkan, namun terus berkecamuk. Kekayaan alam berupa batu marmer membuat masyarakat terpecah. Ada yang pro penambangan, namun ada yang menolaknya. "Masyarakat butuh perubahan jadi kekayaan alam yang ada harus dieksploitasi." Namun ada yang bilang, "Ingat, alam untuk masa depan anak cucu."

Hati terasa pedih! Sebuah batu yang jaraknya tak lebih dari 100 meter dari areal pekuburan nenek moyang saya di Desa Tunua kini sudah rata dengan tanah. Keinginan melihat kera-kera bergantingan di dinding-dinding baru seperti masa kecil dulu tak kesampaian. Mungkinkah ini terus berlanjut hingga ada kera putih yang muncul kemudian murka mengutuk mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya?

Namun saya sedikit terhibur ketika Dr. Dikdik merekomendasikan daerah Fautkolen sangat cocok sebagai lokasi pemusatan latihan cabang atletik. "Daerah ini sangat cocok untuk pemusatan latihan. Suhunya lebih bagus dari Pangalengan, Jawa Barat," ujarnya.

Kampungku..! Haruskah Kera Putih muncul lagi agar kamu diberkati? **

SYALOM