Jumat, 16 September 2011

Benteng Portugis Itu Tinggal Nama

Oleh Sipri Seko


PRESIDEN pertama RI, Soekarno, punya pengalaman sendiri tentang Pulau Ende.  Dia pernah menulis sebuah drama yang kemudian dipentaskan bersama klub Toneel Kelimutu, semasa ia dibuang di Ende oleh Pemerintahan Kolonialisme Belanda.

Dari banyak literature tentang Soekarno, diketahui bahwa drama itu diberi Rendo Rate Rua. Mengapa harus Rendo Rate Rua? Rendo Rate Rua punya sejarah penting yang berhubungan dengan keberadaan bangsa Portugis di Pulau Ende. Ada banyak versi yang menceritakan tentang tahun keberadaan Portugis di Pulau Ende. Namun yang paling banyak disebut adalah tahun 1561.

Saat itu entah dalam perjalan penjajahan atau bisnis, bangsa Portugis singgah di Pulau Ende. Masyarakat Nampak sinis dengan keberadaan mereka, mengingat Belanda yang sedang menjajah sudah sudah menaburkan benih dengan mereka. Bule adalah lawan bagi masyarakat asli Pulau Ende. Hal itulah yang kemudian orang-orang  Portugis yang dipimpin Louis Fernando membangun sebuah benteng di Pulau tersebut atau tepatnya di Dusun Paderape, Desa Rendo Reta Rua.

Rendo Reta Rua sendiri, oleh berbagai cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat seperti diceritakan beberapa penduduk asli ketika ditemui, Senin (12/9/2011), adalah anak kandung dari Louis Fernando.  Anak gadis itu meninggal dalam sebuah pertikaian dengan penduduk asli setempat. Untuk mengenangnya, daerah tersebut kemudian diberi nama Rendaretarua hingga sekarang sudah menjadi sebuah desa.

Untuk mencapai Pulau Ende, terlebih dahulu kita harus berlayar dengan kapal motor kayu milik masyarakat dari Kota Endelebih kurang satu jam. Kapal akan bersandar di dermaga yang dikenal dengan nama Kemo. Dermaga ini saat ini sudah dibangun dengan dana APBN miliaran rupiah sehingga Nampak sangat megah.

Tak sulit untuk menemukan bekas benteng Portugis itu. “Anak liat pohon beringin itu? Turun dari pelabuhan sini langsung naik ke atas,” kata seorang ABK KM Al Amin menjelaskan.

Agak kesulitan memang menuju bekas benteng itu. Pasalnya, masyarakat setempat sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan benteng tersebut. Hal itu terbukti tak ada jalan masuk ke benteng itu. Untuk mencapainya, kita terpaksa harus masuk lewat samping rumah penduduk dan mendaki sebuah tanjakan lebih kurang 50 meter dari jalan raya.

Namun peninggalan bangsa asing yang sangat  bersejarah itu ternyata hanya tinggal nama. Nyaris sudah tak ada lagi tanda atau bekas bahwa di sana pernah ada benteng yang sangat terkenal.  Tak ada bangunan tembok yang kokoh disertai meriam seperti yang dibayangkan. Yang tampak hanya sebuah bekas tembok yang sudah runtuh. Yang tersisah hanya tembok setinggi dua meter dengan panjang dua meter lebih. Itupun sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan perdu sehingga nyaris tak nampak dari jarak lima meter.

Masyarakat setempat seperti Abidin, Fatah, Abdulah, Aminah dan lainnya mengaku sering melihat orang luar/turis datang untuk mencari bekas benteng Portugis tersebut. Namun masyarakat sendiri tak perduli lagi. “Di sini masyarakat hamper sudah lupa tentang cerita keberadaan benteng ini apalagi omong tentang nilai sejarahnya. Kami tahu bahwa pernah ada Portugis di sini yang dibuktikan dengan keberadaan bentengnya, namun pemerintah saja tidak perduli, apalagi dengan masyakarat biasa,” kata Abidin.

Rupanya pemerintah Portugal sudah memiliki upaya untuk menapaktilasi jejak perjalanan nenek moyangnya menaklukkan dunia.  Meski bekas bentengnya nyaris hilang, namun mereka masih ingat keberadaan Pulau Ende. Mereka sudah menurunkan banyak bantuan gratis kepada masyarakat di sana. Bak penampung air, sumur hingga WC sudah dibantu. “Kami di sini terima saja. Mungkin mereka teringat dengan keberaan nenek moyang mereka di sini sehingga bantu masyarakat,” kata Fatah.

Ende, memang terkenal dengan sejarah. Di sana ada keajaiban dunia. Di sana banyak lahir inspirasi. Entah karena mungkin sangat banyak peninggalan sejarah di Ende, pemerintah setempat sudah lupa yang lain. Apakah benteng ini hanya tinggal sejarah dalam cerita? Ataukah sudah saatnya sekarang kita abadikan bahwa Pulau Ende pernah menjadi pilihan hidup bangsa asing. Bukan tak mungkin masyarakat asli Pulau Ende ada karena dibawa bangsa Portugis? (bersambung)

Kamis, 15 September 2011

Warna Hijau Lebih Mahal

Oleh Sipri Seko

MATAHARI baru nongol dari peraduannya. Cahanya sudah memancarkan bias yang membuat dedaunan yang basah karena embun malam mulai menggeliat. Namun gunung yang tinggi menjulang, membuat sang pemilik siang itu tak leluasa menerangi semua permukaan bumi.

Di Pantai Penggajawa, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Umar, pria uzur berusia 75 tahun nampak sudah berkeringat. Peluh mengucur membasahi wajah dan badannya. Tubuhnya yang kurus dan renta masih kuat tegak ditopang kakinya yang masih tegar. Bajunya sudah ditanggalkan entah di mana. Hanya mengenakan sarung lusuh yang didalamnya nampak celana pendek coklat yang nongol dari lipatan kain, Umar tak peduli dengan deburan ombak yang terkadang nakal menyentuh mata kakinya.

Lalu lalang orang di sampingnya pun tak dipedulikan. Tangannya sibuk mengais kerikil-kerikil berwarna di tepi pantai. Terkadang dia harus menunggu beberapa saat, menunggu ombak yang naik, turun kembali ke laut untuk kemudian melanjutkan aktivitasnya. “Dia sedang mencari  batu hijau yang ceper,” kata Ibrahim.

Kelakuan Umar ini juga sama seperti Siti, Tua dan Ibrahim. Masyarakat di sekitar Pantai Penggajawa memang menggantungkan harapannya hidupnya dari mengumpulkan batu berwarna. Pantai ini dipenuhi beraneka batu warna, putih, hujau, kuning dan coklat. Sebenarnya, semua batu ini laku dijual. Namun, Umar dkk lebih memilih yang berwarna hijau. Mengapa demikian?

“Batu hijau lebih mahal. Tak hanya itu. Batu ini juga susah dipilih karena biasanya terselip di antara batu-batu  lainnya sehingga lama baru dikumpulkan dalam jumlah banyak. Kami biasanya jual semua jenis batu, namun karena yang ukuran dan jenis lainnya gampang diambil, saat ini kami pilih yang warna hijau saja. Nanti kalau ada informasi pembeli mau datang baru kami kumpul jenis yang lainnya,” jelas Umar dan Ibrahim.

Batu hijau berukuran ceper memang lebih mahal bila dibandingkan yang lainnya. Kalau batu berwarna lain dijual Rp 25 ribu per satu zak semen, batu hijau dijual Rp 25 ribu per ember. Satu zak semen biasanya berisi tiga ember. Artinya, satu zak semen batu hujau sudah menghasilkan Rp 75 ribu.

Mengaku tidak tahu hendak diapakan batu-batu tersebut oleh para pembeli,para pengumpul di Penggajawa mengaku berbisnis batu hijau cukup menjanjikan. Kepastian akan adanya uang selalu ada. Mereka hanya menunggu, bila ada kapal asal Surabaya yang bersandar di dermaga, berarti pasti ada pembeli yang datang. Di saat itu mereka akan menerima uang tunai. “Hampir semua batu yang kami kumpulkan di sini selalu habis terjual. Rata-rata semua pengumpul di sini sudah punya langganan pembeli,” kata Ibrahim.

Umar, Ibrahim dan lainnya tak pernah berpikir kapan batu berwarna ini habis. Saban pagi, saat ombak masih berdebur, meski di tempat yang sama, mereka terus memilih batu berwarna. Tak ada cerita mistik dari keberadaan batu berwarna yang diyakini tak akan pernah habis ini. Mereka hanya tahu bahwa batu berwarna ada karena kemurahan Tuhan memberikan reziki bagi umat-Nya.

Mereka juga tak peduli, apa pembeli yang datang sudah mengantongi izin dari pemerintah atau tidak. Mereka juga tak takut alam bakal rusak karena aktivitasnya. Tak perlu menggali, mereka cukup memilih di atas pasir hitam. Semoga indahnya batu berwarna di Pantai Penggajawa, terus memancarkan kesejahteraan. (habis)

Selasa, 13 September 2011

Kilauan Warna Kesejahteraan di Penggajawa

Oleh Sipri Seko

SEKRETARIS Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Ende, Emanuel Laba, bercerita dengan berapi-api soal potensi pertambangan di Kabupaten Ende. Kalau di Pulau Timor ada batu mangan, di Ende, kata Emanuel Laba,a da pasir besi. Batu mangan dan pasir besi adalah ‘dua saudara’ yang menghasilkan baja.

Mulai dari tambang galian C, pasir besi hingga batu berwarna, menurut mantan aktivis PMKRI NTT di Kupang ini mendatangkan pendapat yang cukup besar di Kabupaten Ende. Meski kalah bila dibandingkan dengan pariwisata, namun hasil tambang juga cukup menjanjikan. Salah satu bahan tambang yang ada di Ende adalah batu berwarna. Batu berwarna yang ada di Pantai Penggajawa, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, menyimpan cerita tersendiri.

Hamparan pantai sepanjang hampir 5 km tersebut menawarkan daya wisata yang memanjakan. Deburan ombak di atas karang ditambah pasir hitamnya yang bersih, membuat Pantai Penggajawa merupakan lokasi wisata alternatif bagi wisatawan domestic maupun mancanegara. Saban hari, selalu terlihat ‘bule-bule’ yang mandi laut sambil berjemur di pantai ini. Namun, daya tarik pantai ini tak hanya karena deburan ombak dan pasirnya.

Kilauan warna-warni yang terpancar dari bebatuan di Pantai Penggajawa menjadi daya magis tersendiri. Beraneka warna seperti kuning, putih, hijau dan coklat dipadu dengan pasir hitam dan buih putih dari ombang laut biru nampak membentang. Bebatuan inilah yang menjadi bahan tambang bagi masyarakat setempat. Batu berwarna inilah yang diceritakan Emanuel Laba, sudah menembus pasaran nasional dan dunia.

Untuk mencapai Pantai Penggajawa, kita harus menempuh jarak lebih kurang 30 km dari arah Ende menuju Kabupaten Nagekeo. Di sepanjang perjalanan, di tepi kiri dan kanan jalan membentang luas hamparan kelapa, kakao dan pisang milik masyarakat setempat. Kelapa, pisang dan kakao merupakan komoditi utama masyarakat, yang ditunjang hasil dari melaut. Jalan yang terjal dan berbelok-belok sudah di-hotmix. Tebing dan jurang terjal yang mencapai 20 meter lebih tak lagi menakutkan, tapi menyajikan pemandangan unik yang sangat menakjubkan. Pohon kelapa, kakao dan pisang memang sedikit menutup pemandangan ke laut.

Namun, tanda bahwa kita sudah memasuki pantai batu berwarna adalah karena para pengumpul menumpuk batu-batu itu di tepi jalan. Gundukan batu dari pemilik yang berbeda-beda di tumpuk sepanjang jalan di tepi pantai itu. Menumpuk batu di tepi jalan, pembeli tak lagi harus ke pantai tapi langsung mengangkutnya. Di sepanjang pantai ini, berjejer para pengumpul, pria/wanita, tua/muda yang mengumpulkan batu sepanjang hari. Batu berwarna memang menjadi sumber pendapatan masyarakat di Desa Penggajawa selain melaut.

Dari mengumpulkan bebatuan dari pantai, masyarakat setempat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak hanya untuk makan dan minum, dari bebatuan yang tak pernah habis meski terus diambil ini mereka bahkan mampu menyekolahkan anaknya hingga bangku perguruan tinggi.

Mengapa masyarakat tergiur dengan bisnis batu berwarna? Mahalkah batu berwarna? Apakah semua batu berwarna ini bisa dijual dengan harga mahal. Ada banyak pendapat dan tanggapan. Ada banyak temuan kejanggalan dan keunikan. Ikuti terus tulisan ini di seri berikutnya. (bersambung)

Rabu, 07 September 2011

Taman Renungan Bung Karno Merana

ENDE, sejak lama terkenal dengan Danau Kelimutu. Danau yang menjadi salah satu keajaiban dunia ini terkenal di seantero dunia. Namun, bagi Indonesia, di Ende, tak hanya Danua Kelimutu keindahan alam ciptaan Tuhan yang tiada dunia. Di Ende, Soekarno, presiden RI pertama melahirkan lima sila dari dasar negara kita, Pancasila. Hal inilah yang membuat Ende sangat terkenal dalam sejarah Indonesia.

Ende menjadi langkah awal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sana Soekarno pernah diasingkan pemerintah kolonial Belanda tahun 1934 hingga 1938.

Mengenang tempat yang sangat bersejarah, pemerintah kemudian membangun sebuah taman yang disebut Taman Renungan Bung Karno. Terletak di Jalan Soekarno, Ende, Taman Renungan Bung Karno dijadikan alternatif berwisata bagi mereka yang ingin merasakan bagaimana menariknya suasana pengasingan Bung Karno di zaman itu.

Memasuki kawasan ini, angan dan bayangan kita seperti dipacu. Semangat nasionalisme dilecut. Berada di sana, kita seolah-olah membayangkan perjuangan Bung Karno yang meski hidup di pengasingan, namun dia mampu melahirkan nilai-nilai sejarah yang tiada bandingnya. Di dalam Taman Renungan Bung Karno ini ada beberapa situs bersejarah.

Patung Bung Karno mengenakan setelah jas safari tampak gagah ketika dibalut warna emas. Patung tersebut tersebut seakan menjadi saksi bagaimana kerasnya perjuangan Bung Karno ketika diasingkan pada saat itu.Ada juga Tugu Peletakan Batu Pertama berbentuk kerucut, dengan batu berwarna abu-abu dan merah muda. Di tengah tugu, terdapat sebuah peta negara Indonesia terbingkai dalam frame batu berwarna ungu. Ada tulisan di tugu itu, yakni “ Di tugu ini kutemukan lima butir mutiara. Di bawah pohon sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Yang tak kalah penting disana, adalah Pohon Sukun. Di sekitar pohon sukun ini, Bung Karno mendapatkan inspirasi tentang lima butir Pancasila. Bagaimana kondisi Taman Renungan Bung Karno saat ini? Hanya sejarahnya yang bisa dibanggakan.

Taman yang begitu bernilai dan sangat keramat kini sudah tak terawat. Patung Bung Karno yang seharusnya berwarna keemasan, kini sudah pudar dan tak jelas warnanya. Kolam yang terletak di bawa dudukan patung, kini mengering dan tak setetes air pun berada di dalamnya.

Tugu Peletakan Batu Pertama yang seharusnya berwarna gading kini sudah kusam. Entah karena debu yang menempel karena diterbangkan angin dari lapangan Perse, tugu tersebut nampak kusam dan tak layak dibanggakan, kalau kita tidak tahu nilai sejarahnya.

Yang tampak masih berdiri megah adalah pohon sukun yang sangat rimbun. Buah pohon sukun itu nampak sangat rimbun dan beberapa di antaranya malah jatuh karena ditiup angin.

Bunga-bunga yang ditanam dalam taman pun mati kekeringan. Bunga pohon seperti palm, bonsai, bogenvile dan lainnya pun mulai mongering dan tinggal menunggu waktu untuk mati. Sampah dari dedaunan yang tumbuh rimbun dalam taman menumpuk tak dibersihkan. Saluran pembuangan air di tengah taman pun sudah dipenuhi sampah rumah tangga yang ditiup angin maupun dedaunan.

Meski demikian, pada petang hari taman tersebut selalu dipenuhi muda-mudi yang memadu cinta kasih. Mereka nampak tak peduli lagi dengan nilai sejarah dari semua yang ada dalam taman itu. Yang penting bagi mereka adalah, meski sudah kusam dan beberapanya sudah rubuh, namun bangku-bangku taman sangat cocok digunakan untuk bercengkrama.

Beberapa pengunjung yang ditemui mengaku prihatin dengan kondisi ini. Meski demikian, mereka terus memotret situs-situs yang ada di sana. Nampaknya harus ada perhatian khusus terhadap kondisi ini. Di saat hanya bisa membaca dan atau mendengar cerita orang tentang Situs Bung Karno, kita sepertinya apatis dan hanya mau berbangga di sebut orang Ende tanpa mau berbuat sesuatu untuk sesuatu yang sudah menjadi pembicaraan dunia. **

SYALOM