Sabtu, 26 Juli 2008

Bonus, Penghargaan Atas Prestasi

PRESTASI atlet-atlet NTT pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII 2008 di Kalimantan Timur tidak setinggi PON XVI 2004 lalu di Palembang, Sumatera Selatan. Kali ini, 47 atlet NTT dari tujuh cabang olahraga membawa pulang tiga medali emas, empat perak dan enam medali perunggu. Tahun 2004 lalu, NTT merebut delapan emas, empat perak dan empat perunggu.
Tapi, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, ketika melepas para atlet ke Kaltim tidak menargetkan berapa medali yang harus dibawa pulang. Lebu Raya hanya menjanjikan bonus Rp 50 juta untuk satu keping medali emas, Rp 35 juta untuk perak dan Rp 25 juta untuk perunggu.
Kala itu, semua atlet bersukacita. Besarnya bonus yang dijanjikan ini adalah yang terbesar dalam sejarah pemberian bonus kepada atlet yang berprestasi. Tapi, Lebu Raya dan Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si tidak hanya sampai di situ. Kejutan kembali dibuat saat akan menyerahkan bonus yang dijanjikan itu.
Menggandeng masyarakat olahraga dan pengusaha di NTT, bukan hanya uang yang diberikan kepada tiga peraih medali emas, tapi satu unit rumah tipe 38 pun diberikan.
Tidak hanya itu, Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, yang juga Ketua Umum Pengprop TI NTT ikut memberikan bonus kepada dua atlet taekwondo peraih medali perunggu. Pemkab TTU pun ikut memberikan bonus kepada Ana Yunita Gelu yang merebut medali emas cabang kempo. Danrem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel (Inf) Winston Simanjuntak sebagai Ketua Umum Pengprop Pertina NTT juga ikut memberikan bonus uang kepada atlet tinju peraih medali.
Bonus bagi seorang atlet adalah penghargaan. Mereka memang atlet amatir yang tujuannya adalah mengejar prestasi, bukan uang. Mereka berolahraga karena hobi yang mengantar mereka menjadi berprestasi, bukan karena profesi. Tapi ketika mereka tampil di arena, nama daerah dikumandangkan, NTT ada di antara deretan nama daerah lain di Indonesia.
Kita tidak pernah tahu dengan apa mereka pergi ke tempat latihan. Kita juga tidak pernah tahu bahwa mereka rela meninggalkan rekan sebayanya untuk sekadar bersenda gurau atau keluarganya, bahkan mungkin sekolah atau kuliahnya untuk berlatih. Kita tidak pernah tahu berapa waktu dan berapa biaya yang mereka keluarkan untuk mencapai prestasi demi nama NTT ini. Kita biasanya hanya melihat mereka kalau sudah ada di arena pertandingan.
Mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe, tak tanggung-tanggung memberikan rumah kepada Eduard Nabunome, Hermensen Ballo dan Tersiana Riwu Rohi yang merebut medali di PON XIII 1993. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Musakabe juga mengangkat Hermensen Ballo, Tersiana Riwu, George Hadjoh dan lainnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pengangkatan atlet berprestasi tidak hanya sampai di situ. Berikutnya, Yakoba Lobang, Melky Blegur, Anton Fallo, Isak Petruzs, Yohanes Naben, Nelci Tolaik dan lainnya diperjuangkan pengangkatannya menjadi PNS.
Artinya, ketika para pejabat ini memberikan bonus kepada para atlet, mereka bukan sedang mencari sensasi. Mereka tidak sedang mencari nama atau ketenaran, tapi mereka sadar bahwa sudah seharusnya mereka lakukan hal itu. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mendukung apa yang sudah dilakukan Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si ini. Undang- undang ini menekankan bahwa anggaran dari APBD untuk olahraga termasuk di dalamnya untuk pembinaan dan bonus kepada atlet berprestasi sifatnya adalah wajib.
Bonus, adalah penghargaan. Bonus bukan memanjakan para atlet. Bonus diberikan untuk memacu prestasi. Ketika Pemprop NTT mengalokasikan Rp 500 juta saja untuk bonus, maka kita harus mendukungnya. Artinya, lebih baik uang diberikan kepada mereka yang berhak mendapatkannya daripada habis dikorupsi atau digunakan untuk sesuatu yang tidak ada guna gananya. *

SYALOM