Senin, 11 Agustus 2008

Jangan Kasihani Kami


Oleh Sipri Seko

"JANGAN kasihani kami! Perlakukan kami sama seperti warga negara lain!" Kata- kata ini diingat betul oleh pengurus KONI NTT, Ir. Andre W Koreh, M.T saat mengikuti kegiatan olahraga cacat, beberapa waktu lalu di Jakarta.

Para atlet cacat tidak mau dilihat sebagai orang lemah. Mereka tidak mau dianggap sebagai benalu yang hanya bisa tergantung pada orang lain. Mereka ingin diberi kebebasan untuk berekspresi. Karena mereka yakin kalau mereka bisa berbuat atau berprestasi sama seperti atlet normal lainnya.

Andre Koreh tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat komitmen para atlet cacat. Dia trenyuh ketika melihat bagaimana atlet buta menjadi pemimpin upacara dan pembaca janji atlet. Seorang atlet berdiri memegang papan, dan seorang lainnya sambil meletaklan tangannya di atas huruf braille membaca janji atlet dengan lantang.

Artinya, meski istilah penyandang cacat sering diartikan sebagai setiap orang yang tidak mampu menjamin dirinya sendiri, seluruh atau sebagian sebagai hasil dari kecatatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya, namun mereka tidak ingin disepelekan. Simplisius Paji Abe dkk sudah menunjukkan bahwa mereka juga bisa merebut tiga medali emas, sama seperti atlet normal di PON XVII 2008.

Akan ada kebanggaan tersendiri yang muncul dari diri mereka, karena mereka sudah mendapat penghargaan yang sepantasnya. Pemerintah tidak bisa menutup mata dengan prestasi mereka. Mereka merebut medali emas, sama seperti yang direbut atlet PON, sehingga mereka juga harus mendapat perlakuan yang sama.

Pemerintah dan KONI Propinsi NTT memberikan bonus uang kepada atlet cacat peraih medali Porcanas XIII 2008, sama seperti yang diterima atlet PON XVII. Medali emas dihargai Rp 50 juta, perak Rp 35 juta dan perunggu Rp 25 juta. Dengan demikian, Simplisius Paji Abe yang merebut tiga medali emas harus menerima Rp 150 juta, Maria Kolloh Rp 35 juta dan Tanty Yosefa Rp 25 juta.

Jumlah itu adalah hak mereka sehingga harus diberikan. Mereka tidak beda dengan atlet normal lainnya. Mereka juga telah mengharumkan panji Flobamora di Tanah Air. Demikian pernyataan Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si, yang juga adalah Ketua Harian KONI Propinsi NTT ini.

Dalam sebuah deklarasi yang dicetuskan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi 3447 (XXX) tertanggal 9 Desember 1975 di New York disebutkan bahwa penyandang cacat memiliki hak-hak yang melekat untuk menghormati martabat kemanusiaan mereka. Penyandang cacat, apa pun asal usul, sifat, keseriusan, kecacatan dan ketidakmampuan mereka, memiliki hak-hak dasar yang sama dengan warga negara lain yang berusia sama, termasuk hak untuk menikmati kehidupan yang layak, senormal dan sepenuh mungkin.

Pemberian bonus dari pemerintah kepada atlet cacat maupun normal memang sudah seharusnya dilakukan. Tak ada warga yang akan protes ketika Simplisius Paji Abe yang kakinya tidak normal, mampu berlari dengan cepat untuk menjadi juara atau Maria Kolloh dan Tanty Yosefa yang bisu, berjuang demi nama NTT, diberi bonus.

Kita harus memberikan salut kepada Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) NTT, yang 'berani' memberikan bonus yang dalam sejarah olahraga NTT, adalah yang terbesar. Mereka tidak sedang mencari popularitas atau simpati karena baru saja memenangkan Pilkada Gubernur/Wagub NTT periode 2008-2013. Mereka tahu, seperti itulah sepantasnya penghargaan yang harus diberikan sebagai sebuah penghargaan atas prestasi yang mengharumkan nama daerah.

Penghargaan yang diberikan ini tidak sampai di situ saja. Sesuai instruksi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan), Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) NTT saat ini tengah mendata para atlet berprestasi untuk diproses pengangkatannya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Proses ini dilakukan untuk menjawab keluhan beberapa mantan atlet nasional yang merasa tidak dihargai lagi oleh pemerintah ketika pensiun. **

Muka Tembok di Tembok China


Catatan dari Beijing

Laporan wartawan Surya Rusdi Amral

"JANGAN bilang pernah ke Tiongkok, kalau belum menginjak dan memanjat tembok raksasa," demikian goda pemandu wisata ketika kami kebingungan memilih obyek wisata yang paling menarik di negei tirai bambu ini, Minggu (10/8). Terlalu banyak obyek wisata yang layak dikunjungi karena Tiongkok memang kaya akan situs sejarah. Orang bilang, setiap jengkal tanah di Tiongkok menyimpan legenda sejarah.

Tiongkok memang sebuah negara yang mempunyai sejarah lama, kebudayaan gemilang dan kaya dengan sumber obyek wisata. Dengan 29 warisan alam dan warisan budaya dunia yang ada, Tiongkok telah memperlihatkan pada dunia bahwa rakyatnya sejak lama telah memiliki kecerdikan dan kerajinan membangun negaranya. Kini, Tiongkok tidak hanya tercatat sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya paling pesat, tapi juga mampu menggelar pesta Olimpiade yang paling spektakuler sepanjang sejarah.

Hujan deras menyambut kedatangan kami di tempat yang populer disebut The Great Wall itu. Berbekal jas hujan dan payung, kami menapak satu per satu anak tangga untuk mencapai puncak. Beruntung, di tengah jalan terdapat fasilitas cable car (kereta gantung) yang bisa membawa kami ke salah satu puncak tembok raksasa tanpa bersusah payah. Rasa ingin tahu terus mengganggu pikiran kami, apalagi obyek wisata ini telah mendapat cap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Selama ini kami hanya mengenal cerita tembok raksasa dari film, foto maupun lukisan serta buku sejarah. Obyek wisata ini memang luar biasa. Panjang temboknya saja mencapai 7.000 kilometer dan merupakan bangunan terpanjang dalam sejarah yang pernah dibuat manusia. Konon, inilah bangunan satu-satunya di dunia yang bisa dilihat dari bulan.

Tembok ini melintasi lima provinsi di Tiongkok, membentang dari kawasan Shanhai Pass di timur hingga Lop Nur di barat. Tinggi temboknya belasan meter, dengan lebar yang sama di bagian bawah dan atasnya sekitar lima meter. Dalam jarak setiap 180-270 meter terdapat semacam menara pengintai yang tingginya mencapai 11-12 meter.

Di Indonesia, tidak ada bangunan yang menyerupai tembok raksasa itu. Namun, sebutan muka tembok lumayan banyaknya. Muka tembok diasosiasikan sebagai orang yang tak punya malu untuk berbuat kecurangan, korupsi dan maksiat. Sebutan ini sering dilekatkan pada pejabat birokrat yang korupsi, politikus yang menghalalkan segala cara serta kalangan bisnis yang gemar menyuap pejabat. Di Tiongkok, sudah banyak koruptor dihukum mati, sedang di Indonesia baru sebatas hukuman penjara.

Tidak hanya di Indonesia, manusia julukan muka tembok juga ada di Tiongkok. Mereka adalah pedagang kaki lima yang ada di sepanjang anak tangga tembok raksasa itu. Tidak sedikit pengunjung di tempat ini merasa tertipu oleh ulah pedagang yang memaksa pengunjung membeli barang dagangannya dengan harga tinggi. Seorang pengunjung asal Banjarmasin, misalnya, terpaksa membayar cindera mata seharga 40 yuan, padahal harga barang itu hanya sekitar 10 yuan.

"Mereka (pedagang) menjebak saya setelah tawar menawar di atas tulisan kertas. Setelah barang diambil, pedagang minta barangnya dibeli dengan harga tinggi dan transaksi tidak dapat dibatalkan," keluhnya.

***
Memang pantas Tembok China disebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Rasanya, tidak ada lagi manusia yang bisa membangun tembok sepanjang itu. Dibutuhkan waktu lebih dari 2.000 tahun untuk membangun tembok raksasa yang dibuat dengan struktur yang berbeda-beda disesuaikan dengan permukaan bumi yang berbeda pula. Ini juga sekaligus memperlihatkan kepakaran dan kecerdikan bangsa Tiongkok telah lama ada dalam teknik bangunan.

Sebagai proyek pertahanan perang, tembok ini dibuat menurut tinggi rendah lereng gunung dan melintasi padang pasir, padang rumput dan tanah payau. Tembok besar umumnya dibangun di puncak gunung, di sebelahnya adalah lereng gunung terjal yang curam. Pihak musuh akan sukar untuk melancarkan serangan terhadap prajurit yang bertahan di tembok itu.

Tembok raksasa ini dibangun dengan batu dan batu bata panjang, serta tengahnya diisi dengan tanah atau bebatuan. Tinggi tembok umumnya belasan meter dan lebar di atasnya kira-kira lima meter, cukup untuk prajurit bermuda berjalan sejajar di atasnya, mengangkut senjata dan bahan makanan. Prajurit boleh turun dan naik menelusuri tangga dan pintu yang dibuat di sebelah dalam. Banyak kubu pertahanan dibuat sepanjang tembok itu.

Tembok China yang termasyhur ini bisa dimaknai sebagai semangat dan kehebatan bangsa Tiongkok. Bagi kita di Indonesia, semangat dan kehebatan itu bisa dijadikan inspirasi untuk membangun bangsa yang besar, tetapi sekali lagi tidak mencontoh kepalsuan-kepalsuan yang ada pada barang tiruan produk negeri tirai bambu itu. Ambil yang asli-asli saja. **

KURSI


Oleh Dion DB Putra

KURSI kembali membawa pesan menyenangkan. Menambah daftar ceria di tengah masa bulan madu politisi Nusantara. Siapa saja yang mendamba sapaan wakil rakyat yang terhormat, peluang meraih kursi kini terbuka semakin lebar. Banyak kursi kosong telah menanti untuk ditempati tuan dan puan. Pemilu 2009 diam-diam membuka lapangan kerja baru. Banyak orang akan naik status. Status sosial primadona sebuah negeri dengan jumlah partai terbanyak di dunia.

Berterima kasihlah kepada wakil rakyat hasil pemilu lalu yang membuat UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPD, DPR RI dan DPR(D) Propinsi/Kabupaten/Kota. Ini sungguh regulasi terbaru pembawa senyum. KPU Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui juru bicara Hans Ch Louk tanggal 8 Agustus 2008 mengumumkan tambahan jumlah kursi DPRD di sejumlah daerah Flobamora. Koran atau majalah yang mewartakan kabar gembira itu telah dikliping oleh para kandidat wakil rakyat!

Seperti diungkapkan Hans Louk, jumlah kursi DPRD di Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS), Manggarai Barat dan Lembata berubah pada Pemilu 2009. Keempat daerah itu masing-masing tambah jatah lima kursi. DPRD Kabupaten TTS naik dari 35 menjadi 40 kursi, Manggarai Barat naik dari 25 menjadi 30 kursi, Sumba Timur naik dari 25 menjadi 30 kursi dan Lembata naik dari 20 menjadi 25 kursi. Perubahan itu mengacu pada pertimbangan luas wilayah dan jumlah penduduk.

Regulasi terbaru juga tidak menyusahkan kabupaten induk. Tiga daerah di NTT yaitu Kabupaten Ngada, Sumba Barat dan Manggarai yang telah melahirkan kabupaten anak bernama Nagekeo, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Manggarai Timur, jumlah kursi DPRD masih seperti dulu. Tidak berkurang jumlahnya. Sama dengan Pemilu 2004. Luas wilayah dan jumlah penduduk yang nyata-nyata berkurang karena pemekaran tidak dipertimbangkan. Induk senang, sang anak senang. Prinsipnya sama-sama senang. Begitulah 'prestasi' wakil kita hasil pemilu empat tahun silam, selain piawai menambah jumlah partai peserta Pemilu 2009 hingga Anda bingung mengingat nama, logo dan benderanya karena beti alias beda tipis.

Secara keseluruhan terjadi penambahan jumlah kursi sebanyak 125 untuk semua DPRD kabupaten/kota se-NTT pada Pemilu 2009. Dalam Pemilu 2004, jumlah total kursi DPRD 480. Tahun depan jumlahnya 605 kursi. Bayangkan kalau 605 orang itu berkumpul. Dibutuhkan aula atau gedung dengan luas memadai agar bisa menampung mereka. Jumlah itu pun suatu kekuatan besar. Bila mereka berontak demi rakyat, berteriak lantang demi keadilan dan kemakmuran marhaen, gegerlah beranda Flobamora karena keceriaan. Apabila mereka diam dan main mata untuk kuasa dan harta, remuk-redamlah nusa tercinta. Kita terantuk lalu masuk lubang yang sama.

***
TAMBAH kursi tambah ongkos. Ongkos politik. Ongkos demokrasi. Itu konsekwensi ikutannya. Segera muncul tambahan pos biaya, daftar pengeluaran untuk ini dan itu. Mulai dari gaji bulanan, tunjangan rumah, kesehatan, tunjangan komunikasi, biaya studi banding dan macam-macam nama yang bakal muncul kemudian. Akan ada ruang kerja baru, mobil baru, kendaraan operasional baru bahkan gedung baru. Pokoknya serba baru.

Alokasi APBD dan ABPN bagi wakil rakyat jelas bertambah. Dengan regulasi pemilu yang baru, secara nasional akan terjadi penambahan jumlah anggota DPRD cukup signifikan. Negeri bhineka ini memasuki era multipartai nyaris tak terkendali. Republik seribu partai, seribu wajah wakil rakyat. Indonesia pun 'ramai rasanya'. Waspadalah!

Pramoedya Ananta Toer dalam novel Korupsi (Hasta Mitra, 2001) berkisah mengenai Bakir, seorang pejabat yang hidup sederhana bersama istri dan empat anaknya. Kendati memimpin sebuah kantor, biaya hidup keluarganya semata bersumber dari gaji dan tunjangan sebagai pegawai negeri. Belasan tahun hidupnya begitu-begitu saja. Anak buahnya di kantor malah lebih makmur. Tinggal di rumah mewah dan memiliki mobil mahal. Bakir tidak mendapat respek dari pegawai kecil di kantornya. Sebaliknya para kepala bagian yang adalah bawahan Bakir, justru lebih dihormati karena bisa membagi-bagikan uang kepada para pegawai kecil.

Lama-kelamaan Bakir tak tahan juga. Dia mulai berhubungan dengan seorang taoke yang selama ini punya hubungan dengan kepala bagian di kantornya. Sekali menikmati uang haram dari taoke, Bakir ketagihan. Dia kaya raya dalam tempo singkat. Gaya hidupnya berubah. Dia akrab dengan wanita, alkohol dan judi. Bakir cerai dan kawin lagi dengan wanita muda yang cantik. Di akhir cerita, Pramoedya menulis, Bakir tertangkap dan masuk penjara. Istri mudanya dibekuk bersama teman selingkuh karena menggandakan uang. Bakir menderita, menyesal dan bertobat. Akhir kisah yang idealis dari seorang Pramoedya.

Dalam kehidupan nyata, boleh jadi tidak selalu demikian. Seorang aktivis idealis terpilih menjadi wakil rakyat. Dua tahun pertama bersih, masih dapat kendalikan diri. Tahun ketiga sudah tak tahan. Larut dan lupa daratan. Maka sebagai rakyat, harapan beta dan Anda mungkin sama dan tidak amat banyak. Jumlah kursi DPRD boleh bertambah asal berkurang jumlah calo proyek, preman berdasi, koruptor berjas, pemeras dan penggarong yang sehari-hari bersidang di rumah rakyat.

(email: dionbata@poskupang.co.id)

Orang Kaya di Kota Terlarang


Catatan dari Beijing

Oleh Dodo Hawe

SEBAGAI obyek wisata paling menarik di dunia, Forbidden City atau Kota Terlarang bukan sekadar istana kerajaan di Tiongkok, tapi tempat berkumpulnya orang-orang kaya dari berbagai penjuru dunia. Mereka sedang menghamburkan uangnya bersama jutaan wisatawan mancanegara lainnya ke Beijing bersamaan dengan maraknya pesta olah raga musim panas Olimpiade ke-29 di Beijing, 8-24 Agustus 2008 ini.

Tidak semuanya yang hadir di istana ini orang kaya asli, ada juga orang kaya tiruan. Mereka umumnya menyesuaikan diri dengan kondisi di Tiongkok yang dikenal dengan produsen utama barang tiruan. Orang kaya dari Indonesia misalnya, banyak yang tampil mencolok dengan hiasan jam tangan mahal bermerek ”Rolex” yang di Tanah Air berharga sekitar Rp 40 juta. Belum lagi tas, sepatu dan pakaian dengan brand ternama di dunia ikut menghiasi pengunjung di tempat ini.

Barang-barang mewah tiruan ini memang mudah dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan di Kota Beijing, seperti di Yashow Market, Nanjang Road atau Yu Garden. Barang-barang mewah ini dapat dibeli dengan harga super miring atau satu persen dari harga aslinya.

Di Yashow Market misalnya, pusat perbelanjaan ini mirip Pusat Perbelanjaan Mangga Dua di Jakarta atau Pasar Atom di Surabaya yang harga barangnya bisa ditawar 70 sampai 90 persen dari harga yang ditawarkan. Tentu sangat menggiurkan bagi wisatawan untuk terus mencari dan menawar barang yang diinginkan.

Jam tangan ”Rolex” yang banyak digunakan pengunjung di Forbidden City misalnya, ditawarkan seharga 500 Yuan atau sekitar Rp 650.000. Namun, dengan sedikit kemampuan seni menawar, pedagang akan melepas jam tangan palsu itu hanya dengan harga 70 Yuan atau sekitar Rp 91.000. Tanpa terasa, sisa uang yang masih ditangan bisa habis dan diganti oleh barang-barang tiruan khas Tiongkok.

***

SELEPAS berbelanja di Yashow Market, tidak puas rasanya bila tidak mengunjungi Forbidden City yang letaknya persis di tengah kota kuno Beijing. Obyek wisata ini merupakan istana kerajaan selama periode Dinasti Ming dan Dinasti Qing. Di Tiongkok, lokasi tersebut umum dikenal dengan nama Gu Gong atau "bekas istana". Nama yang sekarang dikenal secara umum sebagai "Kota Terlarang" merupakan terjemahan dari Zijin Cheng yang berarti "Kota Terlarang Ungu".

Obyek wisata ini memiliki lahan seluas 72 hektar, jumlah kamarnya 9.999 ruang. Masing-masing kamar tergabung dalam beberapa bangunan megah dengan arsitektur asli Tiongkok yang menawan. Setiap bagian atap bangunan diukir dengan lukisan naga yang melambungkan kekuasaan sang kaisar. Kawasan yang dilengkapi parit dan tembok setinggi 10 meter itu terbagi dalam dua bagian. Di bagian depan yang ada di bagian selatan, berisi enam bangunan utama tempat para kaisar menjalankan kegiatan mengurus kerajaan. Sementara di belakangnya atau bagian utara merupakan tempat tinggal kaisar dan keluarganya.

Di tempat ini ada beberapa pintu masuk. Pintu utara biasa dijadikan para raja mencari selir-selir untuk dijadikannya sebagai pemuas nafsu. Pada zamannya, masing-masing raja dari suatu dinasti mempunyai 3.000 selir.

Menurut cerita, para selir saat menemui raja juga harus telanjang bulat, demi keselamatan sang raja. Bila para selir mengenakan pakaian dikhawatirkan bisa membawa senjata. ”Biasanya raja hanya menggunakan para selir beberapa kali saja. Bahkan saking banyaknya, ada yang tak sempat berhubungan seks dengan raja, sehingga akhirnya tua dan masih perawan,” urai Staly Lu, pemandu wisata di tempat itu. ***

SYALOM