"JANGAN kasihani kami! Perlakukan kami sama seperti warga negara lain!" Kata- kata ini diingat betul oleh pengurus KONI NTT, Ir. Andre W Koreh, M.T saat mengikuti kegiatan olahraga cacat, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Para atlet cacat tidak mau dilihat sebagai orang lemah. Mereka tidak mau dianggap sebagai benalu yang hanya bisa tergantung pada orang lain. Mereka ingin diberi kebebasan untuk berekspresi. Karena mereka yakin kalau mereka bisa berbuat atau berprestasi sama seperti atlet normal lainnya.
Andre Koreh tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat komitmen para atlet cacat. Dia trenyuh ketika melihat bagaimana atlet buta menjadi pemimpin upacara dan pembaca janji atlet. Seorang atlet berdiri memegang papan, dan seorang lainnya sambil meletaklan tangannya di atas huruf braille membaca janji atlet dengan lantang.
Artinya, meski istilah penyandang cacat sering diartikan sebagai setiap orang yang tidak mampu menjamin dirinya sendiri, seluruh atau sebagian sebagai hasil dari kecatatan mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya, namun mereka tidak ingin disepelekan. Simplisius Paji Abe dkk sudah menunjukkan bahwa mereka juga bisa merebut tiga medali emas, sama seperti atlet normal di PON XVII 2008.
Akan ada kebanggaan tersendiri yang muncul dari diri mereka, karena mereka sudah mendapat penghargaan yang sepantasnya. Pemerintah tidak bisa menutup mata dengan prestasi mereka. Mereka merebut medali emas, sama seperti yang direbut atlet PON, sehingga mereka juga harus mendapat perlakuan yang sama.
Pemerintah dan KONI Propinsi NTT memberikan bonus uang kepada atlet cacat peraih medali Porcanas XIII 2008, sama seperti yang diterima atlet PON XVII. Medali emas dihargai Rp 50 juta, perak Rp 35 juta dan perunggu Rp 25 juta. Dengan demikian, Simplisius Paji Abe yang merebut tiga medali emas harus menerima Rp 150 juta, Maria Kolloh Rp 35 juta dan Tanty Yosefa Rp 25 juta.
Jumlah itu adalah hak mereka sehingga harus diberikan. Mereka tidak beda dengan atlet normal lainnya. Mereka juga telah mengharumkan panji Flobamora di Tanah Air. Demikian pernyataan Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si, yang juga adalah Ketua Harian KONI Propinsi NTT ini.
Dalam sebuah deklarasi yang dicetuskan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi 3447 (XXX) tertanggal 9 Desember 1975 di New York disebutkan bahwa penyandang cacat memiliki hak-hak yang melekat untuk menghormati martabat kemanusiaan mereka. Penyandang cacat, apa pun asal usul, sifat, keseriusan, kecacatan dan ketidakmampuan mereka, memiliki hak-hak dasar yang sama dengan warga negara lain yang berusia sama, termasuk hak untuk menikmati kehidupan yang layak, senormal dan sepenuh mungkin.
Pemberian bonus dari pemerintah kepada atlet cacat maupun normal memang sudah seharusnya dilakukan. Tak ada warga yang akan protes ketika Simplisius Paji Abe yang kakinya tidak normal, mampu berlari dengan cepat untuk menjadi juara atau Maria Kolloh dan Tanty Yosefa yang bisu, berjuang demi nama NTT, diberi bonus.
Kita harus memberikan salut kepada Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) NTT, yang 'berani' memberikan bonus yang dalam sejarah olahraga NTT, adalah yang terbesar. Mereka tidak sedang mencari popularitas atau simpati karena baru saja memenangkan Pilkada Gubernur/Wagub NTT periode 2008-2013. Mereka tahu, seperti itulah sepantasnya penghargaan yang harus diberikan sebagai sebuah penghargaan atas prestasi yang mengharumkan nama daerah.
Penghargaan yang diberikan ini tidak sampai di situ saja. Sesuai instruksi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan), Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) NTT saat ini tengah mendata para atlet berprestasi untuk diproses pengangkatannya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Proses ini dilakukan untuk menjawab keluhan beberapa mantan atlet nasional yang merasa tidak dihargai lagi oleh pemerintah ketika pensiun. **