Selasa, 17 Maret 2009

Menuju "Negeri di Awan" Hanya Dengan Rp10.000

Oleh Virna Puspa Setyorini

"...KAU mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan. Di mana kedamaian menjadi istananya ..."

Sepenggal lirik lagu milik Katon Bagaskara berjudul "Negeri di Awan" tersebut seolah mengiringi perjalanan pelajar dari SMK Paramita Jakarta ke tengah Rawa Pening, yang menggunakan lori di dataran tinggi Jawa Tengah.

Rangkaian lori berwarna putih milik PT Kereta Api (Persero) tersebut dengan perlahan membawa rombongan "membelah" rawa berukuran lebih dari 2.300 hektare yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Berangkat dari Stasiun Kereta Api Ambarawa, lori yang memuat lebih dari 30 anak-anak dan tujuh orang dewasa tersebut awalnya melewati rumah-rumah penduduk.

Suasana pedesaan tanah Jawa yang tetap sederhana walau mulai tersentuh modernisasi menyambut rombongan yang menumpang lori.

Setiap kali lori berkelok mengikuti rel kereta suara rombongan pelajar tersebut berteriak, "Heya, heya, heya". Dan disambung dengan tawa dan komentar-komentar khas remaja Ibukota.

Semakin jauh lori meninggalkan stasiun peninggalan Belanda tersebut, semakin beragam pula alam Ambarawa menampilkan raut wajahnya yang tidak membosankan untuk dinikmati.

Jajaran Gunung Merbabu, Telomoyo, Ungaran seperti membentengi semua orang yang berada di lori dan rawa yang hampir dipenuhi eceng gondok tersebut.

Sebelumnya hamparan sawah hijau yang di beberapa bagian menguning melengkapi pemandangan pegunungan yang berwarna abu-abu gelap dikejauhan.

Semakin lori mendekati pusat Rawa Pening, pemandangan tampak semakin sempurna dengan kombinasi sawah hijau, diikuti air rawa yang terlihat di kejauhan, gunung, awan putih, dan langit biru.

Rombongan pelajar kelas satu SMK Paramita yang awalnya riuh mulai tak bersuara. Entah apa yang ada di isi kepala mereka saat itu, namun yang jelas pemandangan tersebut tidak mereka temui di keseharian mereka.

Lori terus menyusuri rawa hingga pada akhirnya hanya air lah yang mendominasi. Dan lori seperti berjalan di atas air.

Pada posisi ini lah "Negeri di Awan" yang digambarkan Katon dalam lagunya seolah berada di depan mata. Damai seketika menyeruak, waktu seperti enggan berlalu.

Kawasan ini pula yang dijadikan tempat pengambilan gambar klip video lagu "Negeri di Awan" Katon.

Tapi, perjalanan lori kali ini tidak sampai Stasiun Tuntang, karena harus kembali karena tidak kuat mengangkut beban.

"Wah sayang nggak sampai Tuntang. Padahal ke arah sana juga ada pemandangan bagus," ujar Sugayo, salah satu penumpang yang sudah kesekian kalinya melalui salah satu jalur tertua kereta api di Indonesia tersebut.

Jika dalam kondisi normal biasanya lori memang akan membawa penumpang sampai Stasiun Tuntang. Melintas di bawah jembatan yang menghubungkan Ungaran dan Salatiga, sehingga akan terlihat oleh mereka yang hendak melintas ke Kota Solo atau Semarang.

Perjalanan satu jam menuju "Negeri di Awan" ini tidak memakan biaya besar. Hanya dengan uang Rp10.000 seseorang sudah bisa menikmati pemandangan nan elok dari alam Ambarawa dan rawa yang dikenal dengan legenda Baru Klinting.

Bagian jalur tertua

Setelah merasakan sendiri menyusuri "Negeri di Awan" dengan lori yang seolah berjalan di atas air, bisa jadi penumpang bertanya-tanya siapa yang begitu cemerlang mempunyai ide membuat jalur kereta di tengah rawa.

Jalur lintasan di Rawa Pening merupakan sambungan dari lintasan rel kereta api pertama di Indonesia, yang pangkalnya dikerjakan pada 7 Juni 1864 di desa Kemijen, Semarang.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1861-1866) Baron Sloet Van Den Beele sendiri yang mencangkul tanah sebagai penanda dimulainya pembangunan rel kereta api di desa Kemijen.

Butuh waktu tiga tahun sampai jalur rel sepanjang 25 km dari Semarang ke Tanggung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tersambung.

Perusahaan kereta api "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV NISM) yang dipimpin Ir J P de Bordes merupakan perusahaan perkeretaapian swasta yang membangun jalur tertua tersebut di Indonesia.

Jika pembangunan jalur rel kereta api Tanggung diteruskan hingga Solo atas dasar perekonomian. Maka alasan membuka jalur Semarang-Yogyakarta melalui Kedungjati dan Ambarawa merupakan bagian dari pertahanan sekaligus ekonomi.

Jalur tersebut bermula dari Kemijen, Semarang, melalui stasiun kecil yakni Brumbung yang menjadi titik perpisahan kereta menuju timur (Surabaya) dengan kereta menuju selatan (Solo), dan stasiun tertua lainnya yakni Tanggung.

Jalur dilanjutkan ke stasiun Kedungjati berukuran lebih besar dan mewah di jamannya. Dari sini perjalanan dilanjutkan ke stasiun Bringin dan menuju ke Tuntang.

Sampai akhirnya melewati "Negeri di Awan" alias Rawa Pening menuju Stasiun Willem I di Ambarawa, yang kini menjadi Museum Api dengan koleksi 24 kereta uap.

Kini jalur bersejarah tersebut tidak lagi dilalui secara penuh. Dari stasiun Ambarawa menuju Semarang hanya dapat dilalui lori hingga Tuntang, sedangkan arah Yogyakarta menggunakan kereta uap bergerigi hanya sampai stasiun Bedono.

Dua lokomotif uap buatan Jerman tahun 1902 dengan seri B2503 dan B2502 menjadi kereta uap yang masih aktif melayani jalur wisata Ambarawa-Bedono tersebut.

Dengan biaya Rp3,5 juta maka 40 orang wisatawan domestik maupun mancanegara dapat merasakan nostalgia kejayaan kereta api uap di tanah Jawa tersebut. *

Mbatakapidu dan Keladi Putih

Oleh Adiana Ahmad

MBATAKAPIDU
berada dalam wilayah Kecamatan Kota Waingapu. Daerahnya berbukit, memiliki satu sumber mata air yang menyokong kebutuhan air bersih Kota Waingapu. Mbatakapidu berada di pinggiran Kota Waingapu. Luasnya 288 kilometer persegi, dihuni oleh 322 kepala keluarga atau 1.495 jiwa.

Meski berada di pinggiran kota, mayoritas penduduk wilayah ini petani. Dari 322 kepala keluarga yang ada di Mbatakapidu, 265 KK berprofesi sebagai petani. Jarak Kota Waingapu ke pusat Desa Mbatakapidu sekitar 11 kilometer.

Jika kita menjelajahi seluruh wilayah desa ini, kita akan menemukan dua kondisi yang sangat kontras. Di bagian barat wilayahnya sangat subur, sementara di bagian Timur sangat gersang. Bahkan beberapa waktu yang lalu di wilayah ini terdapat beberapa anak dan balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang. Ini terjadi karena asupan gizi rendah sebagai dampak dari kekurangan pangan. Pada umumnya masyarakat yang mengalami gizi kurang atau rawan pangan bermukim di antara bukit, terisolir dan sulit dijangkau oleh pelayanan umum.

Makanan pokok masyarakat di bagian timur desa ini adalah jagung. Bila memasuki masa paceklik, masyarakat masuk hutan untuk mencari iwi (ubi hutan). Ubi hutan merupakan makanan alternatif pengganti jagung. Bagi orang luar, iwi identik dengan kelaparan. Padahal bila dikelola dengan baik, maka iwi bisa menghasilkan berbagai makanan dengan rasa yang cukup lezat.

Kondisi alam yang kurang bersahabat ini membangkitkan rasa solider dari masyarakatnya. Mereka membentuk kelompok dan setiap hasil panen sebagiannya disisihkan ke lumbung pangan desa atau lumbung pangan kelompok. Jagung yang disimpan di lumbung kelompok ini, selain untuk mengantisipasi kesulitan pangan pada masa paceklik, juga untuk benih ketika masuk musim tanam tahun berikutnya.

Sementara masyarakat di bagian Barat Mbatakapidu lebih beruntung karena daerahnya subur. Di sini terdapat mata air dan beberapa sungai. Sumber mata air ini yang menyuplai air bersih untuk Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur.

Masyarakatnya hidup berkelompok. Sampai tahun 2008, terdapat enam kelompok tani di daerah ini. Masing-masing kelompok tani memiliki saung atau tempat pertemuan. Di saung inilah berbagai masalah kelompok dibicarakan, termasuk rencana program kelompok dalam satu tahun.

Satu hal menarik yang bisa kita temukan di desa ini yakni semangat masyarakat untuk kembali membudidayakan pangan lokal. Mulai dari jagung, singkong, ganyo dan terakhir talas atau keladi putih.

Melihat antusiasme masyarakat untuk kembali ke pangan lokal, pemerintah daerah Sumba Timur kemudian mencanangkan Mbatakapidu sebagai pusat pengembangan pangan lokal. Dari Mbatakapidu pemerintah Kabupaten Sumba Timur akan memperluas ke wilayah lain di daerah itu.

Sampai dengan awal tahun 2009, sudah 31.750 anakan keladi putih ditanam di Kabupaten Sumba Timur di atas 17,7 ha hamparan (25.000 anakan/ ha, bukan 25.000 ha). Sebanyak 9.250 anakan dari jumlah tersebut ditanam di Desa Mbatakapidu.

Untuk mempermudah pemeliharaannya, pemerintah memberikan bibit kepada petani dengan pola penanaman secara tumpang sari. Menurut penyuluh yang mendampingi para petani di desa itu, Lukas R Malo, keladi putih memiliki keunggulan karena diminati oleh semua lapisan masyarakat, sekali tanam panen berkali-kali, tidak dimakan ternak dan ditanam secara tumpang sari.

Keladi putih juga tahan terhadap serangan penyakit, berguna untuk konservasi lahan, produk tahan lama dan prospek pasar cukup cerah. Mbakapidu, katanya, merupakan salah satu desa yang cukup potensial untuk pengembangan pangan lokal seperti keladi putih, selain karena alamnya cocok juga karena semangat masyarakatnya yang cukup tinggi untuk mengembangkan tanaman ini dan berbagai tanaman pangan lokal.

Karena itu, Lukas mengatakan, pihaknya akan terus mendorong masyarakat di desa itu melalui pendampingan-pendampingan hingga suatu saat Mbatakapidu menjadi daerah sentra pangan lokal untuk Sumba Timur. (*)

SYALOM