Senin, 02 Maret 2009

Kata



...Kata-kata dibalas dengan kata-kata...

AKHIR bulan Juli 2007, isu panas menembus dinding Istana Merdeka. Isu itu digulirkan mantan Wakil Ketua DPR RI, Zaenal Maarif. Dalam jumpa pers di Gedung DPR RI, Senayan-Jakarta hari Kamis 26 Juli 2007, Zaenal yang baru saja di-recall dari keanggotaan DPR berbicara penuh semangat di hadapan para wartawan.

"Saya akan menyampaikan data-data bahwa SBY pun pernah menikah sebelum masuk Akmil (Akademi Militer). Karena itu, copot gelar dan jabatannya. Saya akan melaporkan data itu kepada DPD, DPR, MK, dan MPR. Dan, MPR akan menggelar sidang," katanya. Seperti dirilis detikcom saat itu, Zaenal bicara dengan nada berapi-api. Zaenal menambahkan, SBY bahkan memiliki anak dengan perempuan yang dinikahinya sebelum masuk Akmil. Dia tahu nama dan alamat perempuan itu.

Wartawan mana yang tidak tertarik dengan informasi semacam ini? Informasi tersebut mengandung unsur penting sekaligus menarik. Sumber berita bukan orang biasa. Dalam sekejap informasi itu menyebar luas. Menjadi berita utama media massa cetak dan elektronik di tanah air. Sejumlah media yang berbasis di Jakarta menggali lebih jauh keterangan dari beberapa sumber yang secara politis agaknya tidak sejalan dengan SBY guna menambahöbumbuö berita tentang orang paling berkuasa di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY diserang dengan garang. Sungguh membuat merah kuping dan hati panas.

Zaenal Maarif memang bukan orang pertama yang mengungkap isu tentang SBY menikah sebelum masuk Akmil tahun 1971. Sebelum pemilihan presiden tahun 2004, isu tersebut dilempar Jenderal (Purn) Hartono. Namun, bobotnya berbeda. Hartono meniupkan isu pada masa kampanye pemilihan umum sehingga dianggap cuma trik untuk meruntuhkan citra SBY. Buktinya SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden tahun 2004. Ketika Zaenal Maarif bernyanyi lagi tentang lagu yang sama tahun 2007, situasinya sudah berbeda. Apabila terbukti benar, SBY bisa lengser dari jabatan sebagai Presiden RI.

Poin yang mau beta sampaikan adalah sikap Presiden SBY menanggapi tudingan yang dapat menghancurkan bahtera rumah tangga, membunuh karakter bahkan jabatannya. Presiden SBY tidak mengadukan pemimpin redaksi atau penanggung jawab media massa yang memberitakan isu tersebut kepada aparat penegak hukum. Padahal berita sejumlah media sudah melewati batas kewajaran. Presiden SBY memilih cara elegan sesuai amanat Pasal 5 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers yaitu menggunakan hak jawab. SBY mengirim tanggapan tertulis kepada media massa yang memberitakan informasi dari Zaenal Maarif. Menurut UU Pers, yang dimaksudkan dengan hak jawab adalah Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Coba tuan dan puan bayangkan kejadian ini menimpa presiden pada masa Orde Baru? Media massa bakal dibredel dan pemimpin redaksi atau penanggung jawabnya dipastikan masuk penjara. Sikap Presiden SBY juga berbeda dengan presiden lain yang memimpin selama era reformasi.

SBY mengambil langkah hukum bukan terhadap jurnalis tetapi kepada sumber berita yaitu Zaenal Maarif. Proses hukum kemudian terbukti, isu yang ditiupkan Zaenal tidak benar dan posisi SBY sebagai presiden bertahan sampai hari ini.

Presiden SBY membuktikan komitmennya tidak mengganggu kemerdekaan pers di Indonesia. Prinsip yang dianut presiden adalah kesalahan jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Kata-kata dibalas dengan kata-kata. Bukan kuasa atau otot.

Untuk komitmennya itu, panitia Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2009 menganugerahkan Medali Emas Kemerdekaan Pers kepada SBY untuk kategori individu. Untuk kategori institusi, panitia HPN 2009 yang terdiri dari delapan komponen masyarakat pers nasional menyerahkan medali emas kepada lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI).

SBY dan TNI dinilai mendukung kemerdekaan pers dengan menggunakan mekanisme hak jawab saat berperkara dengan pers.

Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebagai individu yang sejak 2005 hingga 2008 paling banyak menggunakan hak jawab menanggapi kasus pemberitaan tentang dirinya di media massa. Demikian pula dengan lembaga TNI. Penghargaan medali emas kepada Presiden SBY diserahkan tokoh pers, Jakob Oetama pada puncak peringatan HPN 2009 di Tenis Indoor, Senayan-Jakarta 9 Februari 2009.

Sedangkan penghargaan kepada TNI yang diterima Panglima TNI, Jenderal TNI Djoko Santoso diserahkan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal. "Saya sungguh ingin menjadi bagian dari kuatnya kemerdekaan pers, dan saya hanya salah satu dari pelaku di negeri ini," tutur SBY ketika itu.

Panitia HPN 2009 tingkat pusat melibatkan para pemangku kepentingan pers, antara lain PWI, Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSNI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia.

Penghargaan Medali Emas Kemerdekaan Pers merupakan tradisi baru. Baru pertama dalam sejarah pers nasional. Menurut Ketua Umum PWI Pusat, Margiono, tradisi itu akan dipertahankan dengan terus menyempurnakan mekanisme penilaian terhadap individu maupun institusi di masa datang.

Tentu saja tradisi yang baik ini akan menular ke seluruh pelosok Nusantara, termasuk beranda rumah Flobamora. Mungkin tak lama lagi. Kata harus dibalas dengan kata. Bukankah kata-kata jauh lebih tajam daripada pedang? Kalau lebih tajam mengapa masih senang memakai otot? Mengapa masih doyan menggunakan teror? Kemerdekaan pers bukan bagi insan pers sendiri. Kemerdekaan pers adalah kebutuhan seluruh rakyat di negara demokrasi. Kata dibalas dengan kata..! (dionbata@poskupang.co.id)

Ikan Botok dan Gotong Royong Model Saluruk


NOELBAKI hanyalah sebuah desa kecil di pinggiran kota. Luasnya sekitar 20 kilometer persegi. Letaknya sekitar 17 kilometer arah timur Kota Kupang, ibukota Propinsi NTT. Meski desa ini kecil, namanya sudah telanjur 'besar' dan terkenal ke mana-mana. Desa ini dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Kabupaten Kupang.

Wilayah ini juga dikenal sebagai 'dapurnya' warga Kota Kupang, karena dari desa ini aneka sayuran dan buah-buahan diangkut ke sejumlah pasar di Kota Kupang.

Warga setempat umumnya bekerja sebagai petani sawah serta petani sayur dan buah. Ada juga peternak sapi paron atau ayam buras, buruh bangunan dan sisanya wiraswasta dan pegawai pemerintah (PNS).

Penduduk desa ini beraneka ragam. Sering disebut Desa Bhineka Tunggal Ika. Pasalnya, penduduknya terdiri dari warga lokal dan pendatang. Entah itu dari Sabang, Batak, Medan, Minangkabau, Pontianak, Jawa, Bali, Lombok, Makassar, Timor Leste (Eks Timor Timur), Ambon hingga Papua. Namun semuanya tetap hidup rukun dan damai.

Di desa kecil ini, saya menghabiskan masa kanak-kanak dan sebagian masa remaja. Pulang dari sekolah, saya dan teman-teman main kuti kelereng, main gala asing, atau main papan seluncur dari pelepah pinang atau pelepah kelapa di rafen (tebing curam, Red). Bosan main, kami beradu rezeki memancing ikan botok, mujair dan belut di sawah atau di danok (danau kecil, Red).

Kalau bosan, kami pergi fiti (menembak pakai katapel, Red) burung takek (betet, Red) di rumpun padi yang sudah menguning sambil bersembunyi di samping 'orang-orangan' yang berdiri menancap di tengah sawah. Kadang mete (begadang) fiti kabauk (kelelawar) yang curi buah pepaya dan pisang setengah masak atau buah kapuk yang masih muda.

Lain waktu, kami pergi jerat burung koak di pohon nunuk (beringin) pakai getah pohon dilak (buah Maja) atau jerat burung takukur (perkutut) dan burung pompa (merpati hutan, Red) serta burung puyuh pakai bulu ekor kuda. Atau main bola sepak jelang petang di tegalan sawah yang sedikit berlumpur. Masa kecil dan remajaku benar-benar indah.

Ada satu nilai kehidupan yang dianut warga Desa Noelbaki, yang sampai hari ini masih terus terpelihara dengan sangat baiknya. Yaitu semangat hidup bergotong royong. Pesta kenduri orang nikah, orang yang mati (kedukaan) atau bekerja di sawah, selalu dilakukan secara bergotong royong. Kalau ada orang yang ditimpa kedukaan, semua warga ramai-ramai 'kumpul keluarga', menyisihkan sedikit uang untuk meringankan beban keluarga yang berduka. Pemuda yang hendak melamar kekasihnya atau hendak menggelar pesta nikah, pasti warga datang untuk 'kumpul keluarga'. Bersihkan gereja atau masjid dilakukan bersama-sama.

Ada satu bentuk nilai dan model gotong royong yang sampai sekarang masih hidup di kalangan petani sawah di Noelbaki. Gotong royong model ini barangkali tidak ada di tempat lain. Yaitu gotong royong Saluruk. Saluruk adalah sebutan untuk sebuah wadah berbentuk bakul kecil. Biasanya terbuat dari anyaman daun lontar atau daun gewang.

Lalu bagaimana gotong royong model saluruk itu? Misalnya, ada warga yang hendak menanam benih padi di sawahnya atau hendak koruk padi di sawahnya, ia mengundang tetangga dan kerabatnya agar datang membantu. Mereka bergotong royong menanam benih padi (Nuk) di sawah atau Koruk (memotong batang padi pakai sabit) dan 'pukul padi' atau merontok bulir padi hingga jelang petang. Mereka bekerja bergotong royong sambil mendendangkan lagu-lagu yang indah atau melempar pantun di antara mereka, ditingkahi suara gemericik air dari pancuran dan jeritan burung angsa sawah. Benar-benar musik alam yang indah menawan hati.

Sampai hari terakhir panen, baru saluruk dikeluarkan oleh pemilik sawah. Saluruk ini diletakkan di tengah-tengah tumpukan gabah kering beralaskan tikar. Selanjutnya pemilik sawah menuangkan padi dalam saluruk hingga penuh. Padi dalam saluruk ini diberikan kepada kerabatnya yang datang membantu. Pemberian itu sebagai wujud penghargaan dan 'ucapan terima kasih' karena sudah membantu bekerja di sawah.

Sebut saja namanya Minah. Saat menanam, Minah membantu selama lima hari. Selanjutnya ketika koruk padi, Minah membantu selama lima hari. Berarti total 10 hari Minah membantu pemilik sawah. Satu hari kerja rata-rata Minah 'dihargai' dengan tiga saluruk. Berarti total Minah mendapat 30 saluruk atau setara empat karung putih penuh padi menjadi milik Minah untuk dibawa pulang ke rumahnya.

Dulunya, pemberian padi 'saluruk' ini semata-mata bernilai sosial religius daripada bernilai ekonomis. Dulunya, saluruk itu menjadi simbol perekat hubungan sosial dan kekerabatan antarwarga dalam kampung. Orang yang datang membantu pemilik sawah akan terus dikenang jasanya dan dianggap 'sodara dekat' karena sudah menghargai 'undangan' untuk datang membantu bekerja di sawah. Entah sekarang, mungkin nilai sosial religius pada saluruk ini sudah bergeser nilai menjadi sebatas upah kerja. Semoga tidak begitu. (Julianus Akoit)

SYALOM