Posisi di Pohon Asam
Oleh Benny Dasman
DI OELBINOSE. Angin senja menusuk kulit. Dingin. Tarsi, pengendali roda empat, menepikan kendaraan. Dia memberi pengumuman singkat. "Sebentar lagi kita memasuki kawasan di luar jangkauan. Ini tempat sinyal terakhir. Lebih baik te kita telepon memang. Waktunya 15 menit."
Tarsi langsung beraksi. Sambil menikmati horison sore dan 'moleknya' Gunung Mutis, kegiatan pencet-memencet hand phone (HP) melemaskan jemari yang kaku. Ber-SMS ria, telepon. Asyik sendiri-sendiri.
Romo Bento tak ketinggalan. Berhalo-halo dengan kolega di Kefamenanu dan Kupang. Mengabarkan rute perjalanan sudah sampai di Oelbinose, Miomaffo Barat. Juga mengecek kendaraan yang membawa genzet dan bahan bangunan lainnya apakah sudah keluar dari Kefamenanu atau belum. Rencananya berjalan berbarengan. Kelangkaan BBM (solar) di Kefamenanu saat itu membuat skenario perjalanan gagal.
Silvester, lain lagi. Ogah ber-SMS, telepon. Si kepala plontos itu memanfaatkan waktu bercuap-cuap melalui handy talky (HT). Bermain kata-kata dengan teman lama di pos-pos perbatasan. Bahasa Tetum, Porto, campur aduk. Romo Bento juga ikut nimbrung. Ternyata yang bercuap-cuap di baliknya teman lama di Naibonat. Bertemu lagi, meski lewat udara. Betapa senangnya.
Dead line waktu yang diberikan Tarsi sudah habis. "Ayo kita cabut lagi," Tarsi mengingatkan. HP diamankan. Tak diutak-atik lagi sampai di Oepoli. Selepas Oelbinose, Tarsi berujar lagi, "Kita sudah memasuki kawasan di luar jangkauan. Aman, orang tidak mengganggu kita lagi. Kita nikmati perjalanan ini."
Selepas Aplal, saya mencoba mengaktifkan HP. Ternyata benar, tak ada sinyal. Komunikasi putus. Tarsi benar, kawasan itu benar-benar di luar jangkauan. Diksi 'di luar jangkauan' pun menjadi bumbu perjalanan. "Coba di Kefa tadi kita beli memang dengan sinyal bae, pasti tidak di luar jangkauan. Sekarang ini di luar jangkauan semua. Bagaimana kalau ha'rim saya telepon," Silvester membuka guyonan. "Kalau pun ada sinyal, jawab saja di luar jangkauan. Sebab ini kawasan di luar jangkauan," Tarsi menjawab sahabat karibnya itu.
Saya menyela. Di Manggarai lain lagi. Kalau orang membeli HP, baba pemilik toko menanyakan kepada si pembeli. "Di tempatmu ada sinyal atau tidak. Jangan sampai di luar jangkauan." Dasar pembeli, sudah kebelet memiliki HP. "Kalau baba ada jual sinyal, bungkus sekalian saja dengan HP-nya," jawab si pembeli. Ha..ha..ha. Semuanya terbahak.
***
DI OEPOLI, situasi tetap prihatin, di luar jangkauan. HP dibuka, yang nongol SMS. Tak bisa dibalas. "Hari sudah malam. Besok saja baru kita balas SMS-nya. Pergi di pohon asam sana, pohon sinyal. Lima kilometer arah barat Oepoli ini," ujar Romo Bento, Senin (13/10/2008) malam.
'Penderitaan' Oepoli semakin lengkap. Semuanya terisolasi. Darat, laut dan udara. Malam gelap gulita. Tak ada listrik. Andalkan lampu teplok. Bangun pagi hidung berasap, hitam.
"Kami di sini benar-benar menderita. Kalau mau telepon, SMS, berkeringat dulu. Jalan jauh pergi ke tempat sinyal di pohon asam. Kalau saya telepon Pak Benny di Kupang, misalnya, posisi saya saat itu di pohon asam. Kalau kita sudah di pohon asam, ya bisa habiskan waktu sampai satu jam. Balas SMS, telepon dan sebagainya," kenang Romo Bento.
Romo Bento mengakui, sekitar 3.000 pelanggan potensial di Oepoli jika telkomsel melebarkan jangkauannya. "Ya, cukup migrasikan satu Base Transceiver Station (BTS) di sini, kerinduan warga Oepoli bisa terjawab. Ini peluang bagi telkomsel atau operator lainnya. Tapi, kendalanya itu tadi, sarana transportasi sangat buruk. Orang bangun BTS di sini makan ongkos. Pikir-pikir juga," katanya.
Tak ingin berlarut dalam litani keprihatinan Romo Bento, Tarsi, Silvester, Frangky pergi 'menemui' sinyal di pohon asam. Melepas kangen dan rindu di sana. Hari itu, Selasa (14/10/2008), saya dan Romo Bento beragenda lain. Bertamu di rumah Frans Bria di Pantai Oepoli. Mendengar curhat para prajurit penjaga Pulau Batek. Mereka tak mengeluh soal komunikasi. "Di Batek sinyal bagus. Tak ada masalah. Persoalannya kalau kami kehabisan BBM (solar). Genzet tak bisa dihidupkan. HP tak bisa di-cash. Itu saja," ujar Joanico dos Santos, penembak jitu.
Hari Rabu (15/10/1008) pagi, ditemani Tarsi, saya berkesempatan 'bertamu' di pohon asam, pohon sinyal. Dua kilometer selepas Oepoli, ada kawasan ditumbuhi pohon asam. Berbuah lebat. "Sinyalnya bukan di pohon asam yang ini, pak. Ke barat lagi, tiga kilometer," ujar Tarsi menjawab pertanyaanku.
Tarsi menepikan kendaraan. Sudah sampai. "Ini dia pak pohon asamnya," katanya. Pemandangan dari tempat ini sangat tampan. Pulau Batek bersanding jelas. Gulungan ombak Pantai Oepoli terlihat garang. "Jalan ini terus ke Naikliu. Berabu tebal. Sampai di sana abunya tebal begini," Tarsi menjelaskan.
Duduk di bawah pohon asam, pohon sinyal, jari-jemari beraksi. Saya dan Tarsi asyik sendiri-sendiri. Ber-SMS, telepon. Tak ada yang rahasia. Saya berhalo-halo ke Kupang. Biasa, mengabarkan kepulangan kepada maitua. Tapi tak masuk, di luar jangkauan. Ganti SMS, bisa. Tarsi pun tak kalah. Telepon ke Kefamenanu dan sebagainya. Lebih lama. Sepertinya kami sedang mengikuti perlombaan telepon. Semua bersuara keras.
Tak langsung pulang, saya dan Tarsi mengamat-amati situasi di sekitar pohon sinyal itu. Pohon asam itu rindang, berbuat lebat. Asyik untuk berteduh. Di bawah pohon itu ada bekas bakaran api. "Biasa, untuk menghangatkan badan kalau orang datang ke sini malam-malam," ujar Tarsi yang mengaku sudah beberapa kali mendatangi pohon sinyal itu.
Di sekitar pohon sinyal itu ada kebun. "Dulu, kebun ini ada pagarnya. Tapi sekarang tak ada. Kayu-kayunya sudah dicopot untuk bakar di bawah pohon ini. Dilakukan oleh orang yang datang bertelepon malam-malam," tutur Tarsi.
Setiap hari, aku Tarsi, orang mendatangi pohon sinyal itu. Banyak orang datang berkelompok. Tentara-tentara penjaga perbatasan, kata Tarsi, juga datang ke pohon sinyal ini untuk berkomunikasi. "Lebih banyak datang siang atau sore hari. Kalau malam hari, orang datang berkelompok. Sendirian takut," cerita Tarsi.
"Mengapa? Ada penunggunya? Jin?" tanyaku. Tarsi menyebut alasannya. Pernah, katanya, seorang pemuda datang sendirian ke pohon sinyal ini. Malam hari. "Ketika sang pemuda itu mulai menelepon dan menyapa halo, dari atas pohon terdengar suara jawaban, halo.... Suara perempuan. Tapi orangnya tak ada. Sampai beberapa kali perempuan itu menjawab," kisah Tarsi.
Sang pemuda itu pun tak melanjutkan temu kangennya. Dengan ha'rim. Dia memilih langkah seribu meninggalkan lokasi. "Pemuda itu lari terbirit-birit, ketakutan. Siapa pun kalau mengalami keanehan seperti itu, pasti takut. Bisa-bisa mati konyol karena menabrak pohon-pohon yang ada di sekitar sini. Lari tanpa arah takut jin," ujar Tarsi sambil tertawa.
Berita ini cepat tersiar di seantero Oepoli. Dan, orangpun ogah menemui pohon sinyal itu sendirian pada malam hari. "Percaya atau tidak, ceritanya begitu. Tapi, saya yakin pohon asam ini ada penunggunya. Jin perempuan," tukas Tarsi. Bulu kudukku berdiri.
Pohon sinyal, episod terakhir petualangan saya di Oepoli. Keterpencilan, keterisolasian, membuat semuanya bermakna. "Halo..., posisi saya di pohon asam sekarang," Romo Bento membuka percakapan ketika menelepon saya dari Oepoli, Senin (3/11/2008) lalu. Memoriku tentang Oepoli disegarkan kembali. Saya pun menjawab Romo Bento, "Ke Oepoli aku kan kembali." (habis)
Kamis, 06 November 2008
Sehari di Beranda Oepoli (2)
Seharusnya 'Oelupa' atau 'Oepilu'
Oleh Benny Dasman
SAYA 'menyapa' bumi Oepoli dari bukit Tataum-Netemnanu. Hamparan sawah tak bertepi membentang luas di hadapanku. Subur. Pun laut biru berarus garang. Sebuah ikon untuk melegendakan Oepoli sebagai 'tanah terjanji.'
'Dikawal' Romo Bento dan Servas, warga Tataum, saya berusaha melengkapi koleksi tentang Oepoli. Di utara memperlihatkan rumah-rumah warga Netemnanu beratapkan daun rumbia. Berdinding bebak. Sejuk di musim panas, prihatin di musim hujan. Bocor!
Panorama yang memperlihatkan buah keterpencilan dan keterisolasian. Membiarkan warga melakoni hidup dengan karakter keras. Tak cukup sebagai magnet untuk menarik perhatian sang 'bos' di singgasana. Padahal butuh sedikit sentuhan saja, eksotisme Oepoli, yang kini berhabitat alamiah, akan berubah menjadi 'surga.' Banyak orang merebutnya.
"Sentuhan dari siapa. Pejabat saja jarang ke sini. Sehabis panen lahan sawah ini 'libur' karena ketiadaan air. Kalaupun ada yang mengelolanya untuk menanam sayur, dia pasti kewalahan untuk menjaga ternak liar. Hanya sekali panen saja. Tapi hasilnya bisa memenuhi kebutuhan dua tahun ke depan," ujar Servas, Selasa (14/10/2008) pagi.
Servas menggelengkan kepala. Tanda keprihatinan. Menatap jauh memandang tanah kelahiran yang membentang luas di hadapannya. "Kami begini saja, bertani sekenanya. Tak ada penyuluhan-penyuluhan. Berdasarkan apa yang kami tahu. Kalau sudah panen, ya hasilnya dijual, murah. Yang lainnya disimpan," tuturnya.
Pemandangan di Netemnanu Selatan tak jauh berbeda. Tak ada profil rumah mentereng. Citra keterbatasan dan keterpencilan semakin tampak. Tapi mereka bukan orang 'terpencil.' Mereka tampil agresif menangkap 'mangsa' seperti rusa, babi hutan, 'mencabik-cabik' dagingnya, menampilkan profil manusia yang berpotensi. Daya jelajah memburu rusa menampilkan daya pukau yang luar biasa.
Sayang, keterbatasan sarana dan prasarana serta keuangan memaksa lahan subur Oepoli masih "menggigil kedinginan." Menanti sentuhan teknologi. Padahal, dengan sedikit saja polesan 'gincu' teknologi, potensi-potensi yang masih tidur itu sejatinya sangat layak dijual. Realitasnya memang seperti itu. Tapi fakta berbicara lain. Komoditi dijual murah, menyerah di tangan renternir. Itu potensi di darat.
***
Pesona laut, lebih wah lagi. Eksotik, Bentangan laut dihiasi batu-batu warna dan pasir putih yang bersih. Aset wisata itu makin disempurnakan keberadaan hijauan bakau. Sangat tepat dikunjungi oleh para wisatawan pecinta burung. "Di sini bisa dijumpai ratusan spesies burung di mana beberapa jenis di antaranya bersifat endemik. Belum lagi di Pulau Batek," ujar Frans Bria, warga Oepoli.
Dari deretan panjang potensi wisata itu ternyata semuanya masih 'menggigil.' Tak banyak yang terekspos ke permukaan. Nyaris tak terdengar. Tak banyak dijamah. Melengkapi penderitaan Oepoli sebagai kawasan perbatasan terpencil.
Pemkab Kupang dan masyarakat setempat belum mampu menangguk berkah pariwisata itu secara optimal. Gemerincing dolar sangat jauh dari kesan riuh. Bahkan, bisa disebut sunyi senyap. Ini tantangan besar bagi Pemkab Kupang untuk mendandan Oepoli sebagai kawasan perbatasan pesona wisata.
Bahwa masih ada 'surga' pariwisata lain selain Taman Nasional Komodo. Dan, surga itu adalah Oepoli. Ini bukan mimpi.
"Pantai Oepoli ini sangat berpotensi untuk 'disulap' menjadi obyek wisata. Apalagi dekat Pulau Batek. Kalau orang ke Oepoli, pasti ke Batek juga. Bisa dikemas sepaket," ujar Yan Benu, warga Kefamenanu, pengawas proyek di Batek.
Yan Benu tidak bombastis. Sebuah pernyataan murni lahir dari rasa kekaguman menyata. Ternyata Pantai Oepoli bisa menaut hati para wisatawan yang maniak berpetualang. "Karena keterbatasan struktur-infrastruktur, khususnya akses jalan menuju Oepoli, potensi wisata yang ada masih tertidur pulas. Jangankan dikunjungi wisatawan, nama obyek itu saja belum sampai ke telinga mereka," kata Yan Benu dengan nada getir.
Ya, Oepoli, menyembulkan daratan yang subur. Pantai yang eksotik. Sayang, perlu perjuangan berat untuk menikmatinya menjadi berharga. Jalan akses menuju Oepoli sangat jauh dari kesan layak karena kurang dijelajahi kendaraan umum. "Kami memang sangat miskin infrastruktur. Ini kendala terberat kami dalam membangun Oepoli sehingga tetap terisolir," ujar Romo Bento jujur.
***
Selain Oepoli, di wilayah Kabupaten Kupang masih terdapat bentangan dataran rendah yang cukup luas dan subur. Sebut saja dataran rendah Tarus, Oesao, Nunkurus, Pariti, dan Sulamu. Juga masih tertidur pulas. Tapi, dari semuanya, Oepoli menyimpan keprihatinan yang mendalam. Padahal wilayah di Kecamatan Amfoang Timur itu berbatasan langsung dengan Distrik Ambenu, Negara Timor Leste, menebarkan aroma budaya yang unik. Juga lahan wisata.
Berdasarkan penuturan sejarah dari tokoh adat masyarakat Netemnanu Utara, penduduk Distrik Ambenu (Negara Timor Leste) merupakan bagian atau masih memiliki hubungan kekeluargaan. Kondisi ini dapat dibuktikan melalui upacara adat-istiadat yang sama dan juga pada acara-acara perkawinan.
Setiap tahun, sebelum terjadi gejolak kemerdekaan tahun 1999, prosesi adat pasca panen masih tetap dilaksanakan dalam bentuk upacara-upacara adat untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan tersebut, masyarakat Amfoang menyerahkan sebagian lahan di Naktuka kepada masyarakat Ambenu. Pasca kemerdekaan Timor Leste, kegiatan tersebut terhenti disebabkan oleh penjagaan ketat kedua negara. Prosesi budaya ini belum menyembul ke permukaan. Masih menggigil.
Penyebabnya hanya satu. Akses ke wilayah seluas 273,03 kilometer persegi itu cukup sulit, masih terisolasi. Posisinya jauh dari jantung Kota Kupang. Pun kondisi geografisnya tidak menguntungkan. Kondisi ini menyebabkan transportasi melalui darat sangat sulit karena harus melewati banyak sungai yang belum dilengkapi fasilitas jembatan.
Buntutnya, Oepoli tetap nomor buntut. Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sampai kapan? "Kalau melihat kondisi yang ada, Oepoli seharusnya bernama Oe..lupa atau Oe..pilu..!" kata Servas berguyon. Pilu dan terlupakan. Benar juga. (bersambung)
Oleh Benny Dasman
SAYA 'menyapa' bumi Oepoli dari bukit Tataum-Netemnanu. Hamparan sawah tak bertepi membentang luas di hadapanku. Subur. Pun laut biru berarus garang. Sebuah ikon untuk melegendakan Oepoli sebagai 'tanah terjanji.'
'Dikawal' Romo Bento dan Servas, warga Tataum, saya berusaha melengkapi koleksi tentang Oepoli. Di utara memperlihatkan rumah-rumah warga Netemnanu beratapkan daun rumbia. Berdinding bebak. Sejuk di musim panas, prihatin di musim hujan. Bocor!
Panorama yang memperlihatkan buah keterpencilan dan keterisolasian. Membiarkan warga melakoni hidup dengan karakter keras. Tak cukup sebagai magnet untuk menarik perhatian sang 'bos' di singgasana. Padahal butuh sedikit sentuhan saja, eksotisme Oepoli, yang kini berhabitat alamiah, akan berubah menjadi 'surga.' Banyak orang merebutnya.
"Sentuhan dari siapa. Pejabat saja jarang ke sini. Sehabis panen lahan sawah ini 'libur' karena ketiadaan air. Kalaupun ada yang mengelolanya untuk menanam sayur, dia pasti kewalahan untuk menjaga ternak liar. Hanya sekali panen saja. Tapi hasilnya bisa memenuhi kebutuhan dua tahun ke depan," ujar Servas, Selasa (14/10/2008) pagi.
Servas menggelengkan kepala. Tanda keprihatinan. Menatap jauh memandang tanah kelahiran yang membentang luas di hadapannya. "Kami begini saja, bertani sekenanya. Tak ada penyuluhan-penyuluhan. Berdasarkan apa yang kami tahu. Kalau sudah panen, ya hasilnya dijual, murah. Yang lainnya disimpan," tuturnya.
Pemandangan di Netemnanu Selatan tak jauh berbeda. Tak ada profil rumah mentereng. Citra keterbatasan dan keterpencilan semakin tampak. Tapi mereka bukan orang 'terpencil.' Mereka tampil agresif menangkap 'mangsa' seperti rusa, babi hutan, 'mencabik-cabik' dagingnya, menampilkan profil manusia yang berpotensi. Daya jelajah memburu rusa menampilkan daya pukau yang luar biasa.
Sayang, keterbatasan sarana dan prasarana serta keuangan memaksa lahan subur Oepoli masih "menggigil kedinginan." Menanti sentuhan teknologi. Padahal, dengan sedikit saja polesan 'gincu' teknologi, potensi-potensi yang masih tidur itu sejatinya sangat layak dijual. Realitasnya memang seperti itu. Tapi fakta berbicara lain. Komoditi dijual murah, menyerah di tangan renternir. Itu potensi di darat.
***
Pesona laut, lebih wah lagi. Eksotik, Bentangan laut dihiasi batu-batu warna dan pasir putih yang bersih. Aset wisata itu makin disempurnakan keberadaan hijauan bakau. Sangat tepat dikunjungi oleh para wisatawan pecinta burung. "Di sini bisa dijumpai ratusan spesies burung di mana beberapa jenis di antaranya bersifat endemik. Belum lagi di Pulau Batek," ujar Frans Bria, warga Oepoli.
Dari deretan panjang potensi wisata itu ternyata semuanya masih 'menggigil.' Tak banyak yang terekspos ke permukaan. Nyaris tak terdengar. Tak banyak dijamah. Melengkapi penderitaan Oepoli sebagai kawasan perbatasan terpencil.
Pemkab Kupang dan masyarakat setempat belum mampu menangguk berkah pariwisata itu secara optimal. Gemerincing dolar sangat jauh dari kesan riuh. Bahkan, bisa disebut sunyi senyap. Ini tantangan besar bagi Pemkab Kupang untuk mendandan Oepoli sebagai kawasan perbatasan pesona wisata.
Bahwa masih ada 'surga' pariwisata lain selain Taman Nasional Komodo. Dan, surga itu adalah Oepoli. Ini bukan mimpi.
"Pantai Oepoli ini sangat berpotensi untuk 'disulap' menjadi obyek wisata. Apalagi dekat Pulau Batek. Kalau orang ke Oepoli, pasti ke Batek juga. Bisa dikemas sepaket," ujar Yan Benu, warga Kefamenanu, pengawas proyek di Batek.
Yan Benu tidak bombastis. Sebuah pernyataan murni lahir dari rasa kekaguman menyata. Ternyata Pantai Oepoli bisa menaut hati para wisatawan yang maniak berpetualang. "Karena keterbatasan struktur-infrastruktur, khususnya akses jalan menuju Oepoli, potensi wisata yang ada masih tertidur pulas. Jangankan dikunjungi wisatawan, nama obyek itu saja belum sampai ke telinga mereka," kata Yan Benu dengan nada getir.
Ya, Oepoli, menyembulkan daratan yang subur. Pantai yang eksotik. Sayang, perlu perjuangan berat untuk menikmatinya menjadi berharga. Jalan akses menuju Oepoli sangat jauh dari kesan layak karena kurang dijelajahi kendaraan umum. "Kami memang sangat miskin infrastruktur. Ini kendala terberat kami dalam membangun Oepoli sehingga tetap terisolir," ujar Romo Bento jujur.
***
Selain Oepoli, di wilayah Kabupaten Kupang masih terdapat bentangan dataran rendah yang cukup luas dan subur. Sebut saja dataran rendah Tarus, Oesao, Nunkurus, Pariti, dan Sulamu. Juga masih tertidur pulas. Tapi, dari semuanya, Oepoli menyimpan keprihatinan yang mendalam. Padahal wilayah di Kecamatan Amfoang Timur itu berbatasan langsung dengan Distrik Ambenu, Negara Timor Leste, menebarkan aroma budaya yang unik. Juga lahan wisata.
Berdasarkan penuturan sejarah dari tokoh adat masyarakat Netemnanu Utara, penduduk Distrik Ambenu (Negara Timor Leste) merupakan bagian atau masih memiliki hubungan kekeluargaan. Kondisi ini dapat dibuktikan melalui upacara adat-istiadat yang sama dan juga pada acara-acara perkawinan.
Setiap tahun, sebelum terjadi gejolak kemerdekaan tahun 1999, prosesi adat pasca panen masih tetap dilaksanakan dalam bentuk upacara-upacara adat untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan tersebut, masyarakat Amfoang menyerahkan sebagian lahan di Naktuka kepada masyarakat Ambenu. Pasca kemerdekaan Timor Leste, kegiatan tersebut terhenti disebabkan oleh penjagaan ketat kedua negara. Prosesi budaya ini belum menyembul ke permukaan. Masih menggigil.
Penyebabnya hanya satu. Akses ke wilayah seluas 273,03 kilometer persegi itu cukup sulit, masih terisolasi. Posisinya jauh dari jantung Kota Kupang. Pun kondisi geografisnya tidak menguntungkan. Kondisi ini menyebabkan transportasi melalui darat sangat sulit karena harus melewati banyak sungai yang belum dilengkapi fasilitas jembatan.
Buntutnya, Oepoli tetap nomor buntut. Tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sampai kapan? "Kalau melihat kondisi yang ada, Oepoli seharusnya bernama Oe..lupa atau Oe..pilu..!" kata Servas berguyon. Pilu dan terlupakan. Benar juga. (bersambung)
Sehari di Beranda Oepoli (1)
Pembalut, Susah Dicari...
Oleh Benny Dasman
MENIKMATI 'lekuk tubuh' Oepoli melalui poros Kefamenanu-Eban-Noelelo, terasa 'menyiksa.' Badan pegal. Melelahkan. Tapi saya tidak berprasangka buruk. Apalagi terburu-buru mencoret wilayah di Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, itu dari daftar petualangan. Semangat tetap empat lima.
Siang itu, Senin (13/10/2008). Terik membakar Kota Kefamenanu. Agenda pertama bertemu Wakil Bupati (Wabup) Timor Tengah Utara (TTU), Raymundus Fernandes, S.Pt. Pertemuan di rumah jabatan itu berlangsung akrab. Pak Ray, demikian wabup disapa, bercerita banyak tentang upayanya memakmurkan petani di Bumi Biinmafo itu.
Tak bosan-bosannya pria energik itu mengunjungi para petani di ladang sekadar memberi motivasi, apalagi musim tanam 2008 segera menjelang. "Para petani TTU wajib mengolah sehektar lahan. Untuk mengetahui apakah lahan itu sudah disiapkan, saya melakukan sidak. Di tempat terpencil pun, saya jalan. Sebab, ada petani yang nakal, mengaku lahan sudah diolah padahal belum," cerita Pak Ray.
Saya 'memantik' soal poros Kefamenanu-Oepoli. Pak Ray mengakuinya masih jelek. Khususnya ruas Eban-Oepoli. "Kita mengupayakan perbaikannya secara bertahap," ujarnya. Ending cerita Pak Ray membuat saya deg-deg-an. "Pak Benny harus siap fisik. Medannya lumayan berat," tantang Pak Ray.
Tak mau petualangan ke Oepoli batal gara-gara mabuk, Romo Bento menyarankanku beristirahat. "Kaka istirahat dulu. Siap fisik. Jalan ke Oepoli parah. Jam empat sore baru kita cabut," ujar Romo Bento. Saya pun beristirahat di rumah Ibu Ana, kakak perempuan Romo Bento. Di rumah, sebelum beristirahat, Ibu Ana juga 'menakutkanku.' "Pak harus siap fisik, istirahat dulu. Sore baru jalan," Ibu Ana wanti-wanti. "Wah, jalan ke Oepoli benar-benar parah. Payah," gumamku. Saat itu kondisi fisikku memang belum fit.
Semalam, di rumah ini, saya pun tidur lebih awal. Pukul 22.00 wita. Padahal tuan rumah menyuguhkan saya TNI (Tua Nakaf Insana). Disoda madu asli Amfoang. Untuk memulihkan stamina yang loyo setelah berkendaraan Kupang-Kefamenanu. Romo Bento menyaranku tidak berteman 'TNI'. "Lebih baik kaka istirahat. Jangan sampai TNI membuat tambah loyo. Besok jalan jauh," nasihatnya.
***
PUKUL 17.00 wita. Molor satu jam dari rencana semula. Gara-gara Kefamenanu kehabisan BBM, solar. Petualangan ke Oepoli dimulai. Tarsi, 'pengendali' roda empat diangkat sebagai pemandu. Menjawabi instruksi Romo Bento.
"Harus ada sesuatu yang direkam dalam perjalanan ini. Jalankah, apakah... Terserah wartawan saja," ujar Romo Bento seolah-olah mengingatkanku agar safari ini jangan dilewatkan begitu saja.
Horison sore dari barat membuat perjalanan poros Kefamenanu-Eban terasa menyenangkan. Jalan mulus. Berkelok-kelok menyusuri Bijaepasu, Tuabatan, Haulasi, Fatutasu, Saenam. Disuguhi pemandangan alam yang hijau ditingkahi kicauan burung di balik pohon-pohon kelapa, kemiri dan mangga berbuah lebat.
Di Tuabatan, alam desa beraroma kental. Petani-petani membalik tanah, menyambut musim tanam. Terdengar siulan, jenaka, menghalau kejenuhan. Alam desa yang masih 'perawan' menyemangati petani mengakrabi profesi. Memoriku puluhan tahun silam seperti disegarkan kembali. Tatkala selepas sekolah dasar mencangkul kebun, di musim-musim seperti ini. "Menjadi petani itu mulia. Bukan profesi rendahan," gumamku.
Tak terasa, dinginnya hawa Eban menusuk kulit. Pohon-pohon jeruk 'menyapa.' Mentari kembali ke peraduannya. Puncak Mutis diselimuti awan. Jalan mulai bergelombang, berlubang, oleng kiri, oleng kanan. Maju kena, mundur kena. "Kita putar lagu ja'i saja supaya iramanya pas. Mulai dari sini sampai Oepoli jalannya parah. Kita goyang terus. Makanya pilih musik yang pas," Tarsi memainkan peranannya. "Atur sa bu," Silvester, si kepala pelontos, menyela.
Di Oelbinose. Mata mulai disuguhi ketandusan dan kegersangan tanpa batas. Kesan pertama yang tertangkap, memang sebuah suasana alam yang kurang bersahabat, serba kritis dan cenderung 'kejam.' Jalan mulai 'dipagari' topografi kemiringan. Mata pun terpaku pada kondisi jalan yang rusak parah, lekak-lekuk, berbatu-batu. Konsentrasi penuh.
Jika tak punya cukup nyali menjelajahi poros Eban-Noelelo, bisa-bisa 'menceburkan' diri ke jurang, meski mata dimanjakan oleh suasana alam desa nan eksotik. Tapi, Tarsi sudah 'makan garam' melintasi poros ini. "Santai saja, kita nikmati musik," ujarnya.
Di Aplal, asap mengepul. Api membara di atas lahan yang dibakar. Tampak kehitam-hitaman. Di kiri kanan ruas jalan. Tandus, gersang. Pohon-pohon meranggas. Semuanya terekam jelas tatkala mobil berjalan seperti bekicot. Kondisi jalan semakin parah. As jalan berbentuk seperti parit. Pada musim hujan semakin parah. Jalan raya itu menjadi selokan air.
Di jalan itu, warga yang melintasinya ngos-ngosan. Berkeringat. Terlihat mereka memikul beras berkarung putih. Beras raskin. "Mereka pulang terima raskin. Biar jalan mendaki, yang penting dapat raskin," ujar Tarsi mengomentasi sesama 'bangsanya.'
Sungai Aplal dilewati tanpa hambatan. Berjalan di antara bebatuan dan pasir yang tak berair. Air sungai yang bersumber dari Gunung Mutis itu hampir kering. Gara-gara kemarau. Di musim hujan, kata Romo Bento, ceritanya lain. Kendaraan tak bisa lewat. Penumpang harus menunggu berjam-jam sampai air surut. "Kalau penumpang lapar, pemilik kendaraan harus siapkan makan. Kalau musim hujan nanti pemilik kendaraan harus bawa beras dan sayur. Kalau jalan rusak menunggu diperbaiki, sungai banjir menunggu redah, atau bus rusak, ya penumpang masak nasi dan sayur untuk makan bersama. Itu cerita menarik melawati ruas jalan ini. Saya pernah mengalaminya. Dari Kefamenanu sampai Oepoli bisa seminggu," ujar Romo Bento.
Cerita Romo Bento 'melupakan' terjalnya jalan dari Aplal hingga Naekake. Guncangan semakin hebat. Mulai loyo. Melepas lelah, kami beristirahat di sebuah kios, depan Gereja Naekake. Menikmati lemet. Tolakannya kopi dan teh. Gratis. Maklum jalan dengan pastor. Bayarannya terima kasih.
Pulih, petualangan dilanjutkan. Menapaki Naekake. Kami berhenti di kawasan tempat dibangunnya rumah layak huni untuk masyarakat terpencil. Tepatnya di Naekake B. "Pak Benny foto dulu. Ini rumah-rumah belum rampung. Tapi kontraktor melapornya ke Kupang 100 persen. Lihat, hampir semuanya belum berdinding. Ada yang belum beratap. Kayu-kayu bangunan disiapkan masyarakat, padahal dananya ada," Romo Bento memberi informasi. Saya mencatatnya.
Ruas Naekake menuju Noelelo menantang maut. Jalan berlubang-lubang. Menyusur perlahan menuruni tebing-tebing curam. Tapi suasana mengasyikkan. Terang rembulan. Petualangan semakin bergairah. Menikmati rembulan, kami beristirahat di Sungai Noelelo yang kering. Sungai yang membatasi wilayah Kabupaten TTU dengan Kabupaten Kupang. "Kemarau tahun ini memang sangat kejam. Sungai Noelelo ini sampai kering. Padahal tidak biasanya," ujar Romo Bento. Momen ini kami abadikan dengan pose bersama.
***
PUKUL 21.05 wita. Petualangan memasuki wilayah Kabupaten Kupang. Dari Noelelo mendaki membelah bukit yang dipenuhi pepohonan. Mobil melaju, jalan beraspal. Di beberapa titik ada perbaikan, pengerasan, dilapisi aspal baru. Meski hari telah malam, para pekerja terlihat masih mengkrabi linggis dan skop.
Romo Bento berkomentar lagi. "Pengawasan pengerjaan proyek di daerah terpencil ini harus lebih sering dilakukan. Jangan-jangan karena keterpencilannya, orang mengabaikan mutu. Apalagi kalau pengawas tinggal di tempat. Lebih parah lagi," tegas Romo Bento.
Di kawasan hutan di wilayah ini, ditemukan atrasi warga yang memrihatinkan. Hutan dibabat, dibakar, dijadikan lahan pertanian. Tak ada terasering. Malam itu, kondisi ini menjadi tontonan menarik. Melukai pesona keindahan alam pegunungan yang seharusnya menjadi primadona lingkungan.
Di Pos Sungai, panorama kesuburan Oepoli mulai terlihat. Ada irigasi mengalirkan air ke lokasi persawahan yang membentang luas. Romo Bento memberi garansi potensi alam Oepoli dengan tingkat kerusakan yang relatif kecil sangat menjanjikan. Teramat banyak pilihan bagi siapa saja untuk membangun Oepoli, asalkan dengan hati yang tulus. Pasalnya, 'sekujur tubuh' Oepoli menyimpan aura kesuburan yang tidak terbantahkan. Di Pos Tengah, areal sawah Oepoli mulai membentang luas. Banyak lahan-lahan tidur masih 'pulas.' Belum tergarap.
Pukul 22.34 wita, kami tiba di Pastoran Oepoli. Duduk-duduk sebentar di teras. Melemaskan raga yang kaku kelamaan duduk. Menuturkan lagi cerita-cerita 'aneh' seputar transportasi Kefamenanu-Oepoli bak 'neraka.' Lebih banyak cerita duka di musim hujan. "Kalau musim hujan Oepoli ini sangat terisolasi. Yang sengsara ibu-ibu kalau persediaan pembalut habis. Kalau Om Niko Ledoh, sopir bus Merpati ke Kefamenanu, banyak ibu-ibu titip uang beli pembalut. Saat hujan, barang itu susah cari di Oepoli, habis dibeli untuk stok," ujar Silvester, teman seperjalanan mengangkat angle menarik. Om Niko? Mengamininya. Pun beras dan sayur untuk 'pesta' di jalan. (bersambung)
Oleh Benny Dasman
MENIKMATI 'lekuk tubuh' Oepoli melalui poros Kefamenanu-Eban-Noelelo, terasa 'menyiksa.' Badan pegal. Melelahkan. Tapi saya tidak berprasangka buruk. Apalagi terburu-buru mencoret wilayah di Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, itu dari daftar petualangan. Semangat tetap empat lima.
Siang itu, Senin (13/10/2008). Terik membakar Kota Kefamenanu. Agenda pertama bertemu Wakil Bupati (Wabup) Timor Tengah Utara (TTU), Raymundus Fernandes, S.Pt. Pertemuan di rumah jabatan itu berlangsung akrab. Pak Ray, demikian wabup disapa, bercerita banyak tentang upayanya memakmurkan petani di Bumi Biinmafo itu.
Tak bosan-bosannya pria energik itu mengunjungi para petani di ladang sekadar memberi motivasi, apalagi musim tanam 2008 segera menjelang. "Para petani TTU wajib mengolah sehektar lahan. Untuk mengetahui apakah lahan itu sudah disiapkan, saya melakukan sidak. Di tempat terpencil pun, saya jalan. Sebab, ada petani yang nakal, mengaku lahan sudah diolah padahal belum," cerita Pak Ray.
Saya 'memantik' soal poros Kefamenanu-Oepoli. Pak Ray mengakuinya masih jelek. Khususnya ruas Eban-Oepoli. "Kita mengupayakan perbaikannya secara bertahap," ujarnya. Ending cerita Pak Ray membuat saya deg-deg-an. "Pak Benny harus siap fisik. Medannya lumayan berat," tantang Pak Ray.
Tak mau petualangan ke Oepoli batal gara-gara mabuk, Romo Bento menyarankanku beristirahat. "Kaka istirahat dulu. Siap fisik. Jalan ke Oepoli parah. Jam empat sore baru kita cabut," ujar Romo Bento. Saya pun beristirahat di rumah Ibu Ana, kakak perempuan Romo Bento. Di rumah, sebelum beristirahat, Ibu Ana juga 'menakutkanku.' "Pak harus siap fisik, istirahat dulu. Sore baru jalan," Ibu Ana wanti-wanti. "Wah, jalan ke Oepoli benar-benar parah. Payah," gumamku. Saat itu kondisi fisikku memang belum fit.
Semalam, di rumah ini, saya pun tidur lebih awal. Pukul 22.00 wita. Padahal tuan rumah menyuguhkan saya TNI (Tua Nakaf Insana). Disoda madu asli Amfoang. Untuk memulihkan stamina yang loyo setelah berkendaraan Kupang-Kefamenanu. Romo Bento menyaranku tidak berteman 'TNI'. "Lebih baik kaka istirahat. Jangan sampai TNI membuat tambah loyo. Besok jalan jauh," nasihatnya.
***
PUKUL 17.00 wita. Molor satu jam dari rencana semula. Gara-gara Kefamenanu kehabisan BBM, solar. Petualangan ke Oepoli dimulai. Tarsi, 'pengendali' roda empat diangkat sebagai pemandu. Menjawabi instruksi Romo Bento.
"Harus ada sesuatu yang direkam dalam perjalanan ini. Jalankah, apakah... Terserah wartawan saja," ujar Romo Bento seolah-olah mengingatkanku agar safari ini jangan dilewatkan begitu saja.
Horison sore dari barat membuat perjalanan poros Kefamenanu-Eban terasa menyenangkan. Jalan mulus. Berkelok-kelok menyusuri Bijaepasu, Tuabatan, Haulasi, Fatutasu, Saenam. Disuguhi pemandangan alam yang hijau ditingkahi kicauan burung di balik pohon-pohon kelapa, kemiri dan mangga berbuah lebat.
Di Tuabatan, alam desa beraroma kental. Petani-petani membalik tanah, menyambut musim tanam. Terdengar siulan, jenaka, menghalau kejenuhan. Alam desa yang masih 'perawan' menyemangati petani mengakrabi profesi. Memoriku puluhan tahun silam seperti disegarkan kembali. Tatkala selepas sekolah dasar mencangkul kebun, di musim-musim seperti ini. "Menjadi petani itu mulia. Bukan profesi rendahan," gumamku.
Tak terasa, dinginnya hawa Eban menusuk kulit. Pohon-pohon jeruk 'menyapa.' Mentari kembali ke peraduannya. Puncak Mutis diselimuti awan. Jalan mulai bergelombang, berlubang, oleng kiri, oleng kanan. Maju kena, mundur kena. "Kita putar lagu ja'i saja supaya iramanya pas. Mulai dari sini sampai Oepoli jalannya parah. Kita goyang terus. Makanya pilih musik yang pas," Tarsi memainkan peranannya. "Atur sa bu," Silvester, si kepala pelontos, menyela.
Di Oelbinose. Mata mulai disuguhi ketandusan dan kegersangan tanpa batas. Kesan pertama yang tertangkap, memang sebuah suasana alam yang kurang bersahabat, serba kritis dan cenderung 'kejam.' Jalan mulai 'dipagari' topografi kemiringan. Mata pun terpaku pada kondisi jalan yang rusak parah, lekak-lekuk, berbatu-batu. Konsentrasi penuh.
Jika tak punya cukup nyali menjelajahi poros Eban-Noelelo, bisa-bisa 'menceburkan' diri ke jurang, meski mata dimanjakan oleh suasana alam desa nan eksotik. Tapi, Tarsi sudah 'makan garam' melintasi poros ini. "Santai saja, kita nikmati musik," ujarnya.
Di Aplal, asap mengepul. Api membara di atas lahan yang dibakar. Tampak kehitam-hitaman. Di kiri kanan ruas jalan. Tandus, gersang. Pohon-pohon meranggas. Semuanya terekam jelas tatkala mobil berjalan seperti bekicot. Kondisi jalan semakin parah. As jalan berbentuk seperti parit. Pada musim hujan semakin parah. Jalan raya itu menjadi selokan air.
Di jalan itu, warga yang melintasinya ngos-ngosan. Berkeringat. Terlihat mereka memikul beras berkarung putih. Beras raskin. "Mereka pulang terima raskin. Biar jalan mendaki, yang penting dapat raskin," ujar Tarsi mengomentasi sesama 'bangsanya.'
Sungai Aplal dilewati tanpa hambatan. Berjalan di antara bebatuan dan pasir yang tak berair. Air sungai yang bersumber dari Gunung Mutis itu hampir kering. Gara-gara kemarau. Di musim hujan, kata Romo Bento, ceritanya lain. Kendaraan tak bisa lewat. Penumpang harus menunggu berjam-jam sampai air surut. "Kalau penumpang lapar, pemilik kendaraan harus siapkan makan. Kalau musim hujan nanti pemilik kendaraan harus bawa beras dan sayur. Kalau jalan rusak menunggu diperbaiki, sungai banjir menunggu redah, atau bus rusak, ya penumpang masak nasi dan sayur untuk makan bersama. Itu cerita menarik melawati ruas jalan ini. Saya pernah mengalaminya. Dari Kefamenanu sampai Oepoli bisa seminggu," ujar Romo Bento.
Cerita Romo Bento 'melupakan' terjalnya jalan dari Aplal hingga Naekake. Guncangan semakin hebat. Mulai loyo. Melepas lelah, kami beristirahat di sebuah kios, depan Gereja Naekake. Menikmati lemet. Tolakannya kopi dan teh. Gratis. Maklum jalan dengan pastor. Bayarannya terima kasih.
Pulih, petualangan dilanjutkan. Menapaki Naekake. Kami berhenti di kawasan tempat dibangunnya rumah layak huni untuk masyarakat terpencil. Tepatnya di Naekake B. "Pak Benny foto dulu. Ini rumah-rumah belum rampung. Tapi kontraktor melapornya ke Kupang 100 persen. Lihat, hampir semuanya belum berdinding. Ada yang belum beratap. Kayu-kayu bangunan disiapkan masyarakat, padahal dananya ada," Romo Bento memberi informasi. Saya mencatatnya.
Ruas Naekake menuju Noelelo menantang maut. Jalan berlubang-lubang. Menyusur perlahan menuruni tebing-tebing curam. Tapi suasana mengasyikkan. Terang rembulan. Petualangan semakin bergairah. Menikmati rembulan, kami beristirahat di Sungai Noelelo yang kering. Sungai yang membatasi wilayah Kabupaten TTU dengan Kabupaten Kupang. "Kemarau tahun ini memang sangat kejam. Sungai Noelelo ini sampai kering. Padahal tidak biasanya," ujar Romo Bento. Momen ini kami abadikan dengan pose bersama.
***
PUKUL 21.05 wita. Petualangan memasuki wilayah Kabupaten Kupang. Dari Noelelo mendaki membelah bukit yang dipenuhi pepohonan. Mobil melaju, jalan beraspal. Di beberapa titik ada perbaikan, pengerasan, dilapisi aspal baru. Meski hari telah malam, para pekerja terlihat masih mengkrabi linggis dan skop.
Romo Bento berkomentar lagi. "Pengawasan pengerjaan proyek di daerah terpencil ini harus lebih sering dilakukan. Jangan-jangan karena keterpencilannya, orang mengabaikan mutu. Apalagi kalau pengawas tinggal di tempat. Lebih parah lagi," tegas Romo Bento.
Di kawasan hutan di wilayah ini, ditemukan atrasi warga yang memrihatinkan. Hutan dibabat, dibakar, dijadikan lahan pertanian. Tak ada terasering. Malam itu, kondisi ini menjadi tontonan menarik. Melukai pesona keindahan alam pegunungan yang seharusnya menjadi primadona lingkungan.
Di Pos Sungai, panorama kesuburan Oepoli mulai terlihat. Ada irigasi mengalirkan air ke lokasi persawahan yang membentang luas. Romo Bento memberi garansi potensi alam Oepoli dengan tingkat kerusakan yang relatif kecil sangat menjanjikan. Teramat banyak pilihan bagi siapa saja untuk membangun Oepoli, asalkan dengan hati yang tulus. Pasalnya, 'sekujur tubuh' Oepoli menyimpan aura kesuburan yang tidak terbantahkan. Di Pos Tengah, areal sawah Oepoli mulai membentang luas. Banyak lahan-lahan tidur masih 'pulas.' Belum tergarap.
Pukul 22.34 wita, kami tiba di Pastoran Oepoli. Duduk-duduk sebentar di teras. Melemaskan raga yang kaku kelamaan duduk. Menuturkan lagi cerita-cerita 'aneh' seputar transportasi Kefamenanu-Oepoli bak 'neraka.' Lebih banyak cerita duka di musim hujan. "Kalau musim hujan Oepoli ini sangat terisolasi. Yang sengsara ibu-ibu kalau persediaan pembalut habis. Kalau Om Niko Ledoh, sopir bus Merpati ke Kefamenanu, banyak ibu-ibu titip uang beli pembalut. Saat hujan, barang itu susah cari di Oepoli, habis dibeli untuk stok," ujar Silvester, teman seperjalanan mengangkat angle menarik. Om Niko? Mengamininya. Pun beras dan sayur untuk 'pesta' di jalan. (bersambung)
Kenali Caleg yang Hendak Dipilih
Oleh Sipri Seko
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT dan KPU tingkat kabupaten/kota di NTT akhirnya mengumumkan daftar calon tetap (DCT) anggota legistlatif yang akan mengikuti pemilihan umum tahun 2009. Sebanyak 44 partai politik peserta pemilu dengan jumlah calon anggota legislatif (caleg) yang mencapai ribuan orang akan berebut kursi yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh untuk setiap daerah pemilihan. Untuk DPRD Propinsi NTT, hampir seribu orang caleg akan memperebutkan 55 buah kursi.
Pada Pemilu 2009 ini, di 20 kabupaten/kota di NTT jumlah pemilih mencapai 2.769.845 orang. Jumlah ini terdiri dari pemilih laki-laki 1.340.221 dan pemilih perempuan 1.421.524 orang. Untuk tingkat Propinsi NTT dibagi dalam tujuh daerah pemilihan, dimana jumlah kursinya disesuaikan dengan sebaran pemilih yang ada.
Dengan ditetapkannya DCT ini, maka para caleg harus mulai lebih intens melakukan sosialisasi diri. Waktu yang tersisa sebelum pelaksanaan Pemilu 2009 untuk sosialisasi diri tinggal enam bulan lagi, sehingga sosialisasi harus lebih diintensifkan. Dengan jumlah partai yang berjibun seperti ini, sosialisasi dan keterkenalan sosok diri caleg dengan para pemilih menjadi penting.
Berbeda dengan sistem pemilu yang lalu-lalu, sampai saat ini KPU pusat belum menetapkan desain surat suara yang akan digunakan dalam Pemilu 2009. Untuk sementara, KPU pusat menyiapkan desain surat suara di mana kolom nama partai dipersempit untuk memberikan ruang yang lebih lebar bagi kolom nama dan foto caleg. Artinya, kalau ini yang digunakan, seorang caleg harus benar-benar dikenal oleh pemilihnya. Ini beda dengan pengalaman lalu dimana dengan mengusung nama besar partai, sebuah partai sudah memiliki pemilih tradisional sehingga meski tidak melakukan sosialisasi, calegnya sudah pasti terpilih.
Hal lainnya adalah, kalau dulu surat suara dicoblos, maka kemungkinan untuk Pemilu 2009 saat memilih, foto dan nama caleg yang dipilih dicentang. Di sini, peran caleg untuk memberikan pemahanan kepada pendukungnya sangat penting. Sebab kalau salah, suara akan dianggap cacat yang tentu saja merugikan dirinya dan partai.
Lalu, bagaimana sikap pemilih menghadapi penetapan dan pengumuman DCT ini? Pemilih harus kritis! Jangan memilih kucing dalam karung. Artinya, caleg yang dipilih, harus benar-benar dikenal. Komitmen caleg untuk kesejahteraan masyarakat harus jadi acuannya. Caleg yang dipilih adalah mereka yang mencalonkan diri bukan karena ingin mencari sesuap nasi. Track record atau perjalanan karya caleg harus diketahui dengan pasti. Artinya, meski seorang caleg masih ada hubungan keluarga, sahabat, kenalan atau pernah menjadi pejabat birokrat penting, namun kalau tidak memiliki idealisme membangun kesejahteraan masyarakat, jangan dipilih.
Mengumumkan nama-nama caleg lewat media massa tujuannya adalah dikenal pemilih. Bukan hanya caleg yang menjadi perhatian. Visi dan misi partai harus diketahui dengan jelas. Partai besar dengan slogan dan promosi besar-besaran, belum tentu memiliki visi dan misi yang memihak rakyat, demikian sebaliknya.
Ada banyak komentar dan tanggapan yang bermunculan tentang DCT ini. Positif atau negatif komentar dan tanggapan itu harus tetap dilihat sebagai bagian dari demokrasi. Kesadaran politik masyarakat sudah mulai terbentuk seiring banyaknya regulasi baru yang diterbitkan pemerintah. Saatnya nanti mereka akan mengetahui caleg mana yang harus dipilih. Pemilih sekarang juga tahu caleg mana yang saat pemilu rajin memberikan bantuan kepada masyarakat, namun akan menghilang bila sudah terpilih. Itu artinya, siapa yang sudah ada di hati mereka, pasti tetap dipilih, meski ada lain yang datang memberikan bantuan.
Enam bulan masa sosialisasi adalah waktu yang harus dimaksimalkan oleh semua kita yang memiliki hak pilih maupun dipilih. Mengambil hati pemilih harus dilakukan dengan maksimal. Tapi, harus diingat bahwa masyarakat sekarang membutuhkan bukti-bukti bukan janji.
Memilih adalah hak yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, sebagai warga negara yang bertanggungjawab terhadap kesinambungan pembangunan, hak pilih harus digunakan. Untuk itu, sebagai pemilih yang baik, tidak salah kalau sejak sekarang kita sudah mengenal para caleg. Dengan mengenal mereka, maka kita tidak akan salah memilih. Sekali mencoblos atau mencentang, maka nasib masyarakat akan ditentukan untuk lima tahun mendatang. *
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT dan KPU tingkat kabupaten/kota di NTT akhirnya mengumumkan daftar calon tetap (DCT) anggota legistlatif yang akan mengikuti pemilihan umum tahun 2009. Sebanyak 44 partai politik peserta pemilu dengan jumlah calon anggota legislatif (caleg) yang mencapai ribuan orang akan berebut kursi yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh untuk setiap daerah pemilihan. Untuk DPRD Propinsi NTT, hampir seribu orang caleg akan memperebutkan 55 buah kursi.
Pada Pemilu 2009 ini, di 20 kabupaten/kota di NTT jumlah pemilih mencapai 2.769.845 orang. Jumlah ini terdiri dari pemilih laki-laki 1.340.221 dan pemilih perempuan 1.421.524 orang. Untuk tingkat Propinsi NTT dibagi dalam tujuh daerah pemilihan, dimana jumlah kursinya disesuaikan dengan sebaran pemilih yang ada.
Dengan ditetapkannya DCT ini, maka para caleg harus mulai lebih intens melakukan sosialisasi diri. Waktu yang tersisa sebelum pelaksanaan Pemilu 2009 untuk sosialisasi diri tinggal enam bulan lagi, sehingga sosialisasi harus lebih diintensifkan. Dengan jumlah partai yang berjibun seperti ini, sosialisasi dan keterkenalan sosok diri caleg dengan para pemilih menjadi penting.
Berbeda dengan sistem pemilu yang lalu-lalu, sampai saat ini KPU pusat belum menetapkan desain surat suara yang akan digunakan dalam Pemilu 2009. Untuk sementara, KPU pusat menyiapkan desain surat suara di mana kolom nama partai dipersempit untuk memberikan ruang yang lebih lebar bagi kolom nama dan foto caleg. Artinya, kalau ini yang digunakan, seorang caleg harus benar-benar dikenal oleh pemilihnya. Ini beda dengan pengalaman lalu dimana dengan mengusung nama besar partai, sebuah partai sudah memiliki pemilih tradisional sehingga meski tidak melakukan sosialisasi, calegnya sudah pasti terpilih.
Hal lainnya adalah, kalau dulu surat suara dicoblos, maka kemungkinan untuk Pemilu 2009 saat memilih, foto dan nama caleg yang dipilih dicentang. Di sini, peran caleg untuk memberikan pemahanan kepada pendukungnya sangat penting. Sebab kalau salah, suara akan dianggap cacat yang tentu saja merugikan dirinya dan partai.
Lalu, bagaimana sikap pemilih menghadapi penetapan dan pengumuman DCT ini? Pemilih harus kritis! Jangan memilih kucing dalam karung. Artinya, caleg yang dipilih, harus benar-benar dikenal. Komitmen caleg untuk kesejahteraan masyarakat harus jadi acuannya. Caleg yang dipilih adalah mereka yang mencalonkan diri bukan karena ingin mencari sesuap nasi. Track record atau perjalanan karya caleg harus diketahui dengan pasti. Artinya, meski seorang caleg masih ada hubungan keluarga, sahabat, kenalan atau pernah menjadi pejabat birokrat penting, namun kalau tidak memiliki idealisme membangun kesejahteraan masyarakat, jangan dipilih.
Mengumumkan nama-nama caleg lewat media massa tujuannya adalah dikenal pemilih. Bukan hanya caleg yang menjadi perhatian. Visi dan misi partai harus diketahui dengan jelas. Partai besar dengan slogan dan promosi besar-besaran, belum tentu memiliki visi dan misi yang memihak rakyat, demikian sebaliknya.
Ada banyak komentar dan tanggapan yang bermunculan tentang DCT ini. Positif atau negatif komentar dan tanggapan itu harus tetap dilihat sebagai bagian dari demokrasi. Kesadaran politik masyarakat sudah mulai terbentuk seiring banyaknya regulasi baru yang diterbitkan pemerintah. Saatnya nanti mereka akan mengetahui caleg mana yang harus dipilih. Pemilih sekarang juga tahu caleg mana yang saat pemilu rajin memberikan bantuan kepada masyarakat, namun akan menghilang bila sudah terpilih. Itu artinya, siapa yang sudah ada di hati mereka, pasti tetap dipilih, meski ada lain yang datang memberikan bantuan.
Enam bulan masa sosialisasi adalah waktu yang harus dimaksimalkan oleh semua kita yang memiliki hak pilih maupun dipilih. Mengambil hati pemilih harus dilakukan dengan maksimal. Tapi, harus diingat bahwa masyarakat sekarang membutuhkan bukti-bukti bukan janji.
Memilih adalah hak yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, sebagai warga negara yang bertanggungjawab terhadap kesinambungan pembangunan, hak pilih harus digunakan. Untuk itu, sebagai pemilih yang baik, tidak salah kalau sejak sekarang kita sudah mengenal para caleg. Dengan mengenal mereka, maka kita tidak akan salah memilih. Sekali mencoblos atau mencentang, maka nasib masyarakat akan ditentukan untuk lima tahun mendatang. *
Langganan:
Postingan (Atom)