Selasa, 04 Februari 2014

Menata Pantai Kupang yang Kamomos

EMPAT ekor babi kampung, asyik mengerubuti sesuatu di pantai pagi itu. Babi-babi yang kotor berlumpur ini tak peduli dengan lalu lalang kendaraan maupun nelayan di antara Pantai Oesapa dan Nunsui.

Babi-babi ini nampak berebutan dengan lima ekor kambing dan beberapa ekor anjing untuk mendapatkan santapan 'nikmat' di antara bau sampah yang bertebaran di pantai. Hal ini sudah menjadi 'kelakuan' dan pandangan lumrah di sana. Pantai kotor dan bau, menjadi pemandangan 'biasa' beberapa titik pantai di Kota Kupang.

Lihat saja kondisi pantai di Namosain, Nunbaun Sabu, Fatubesi dan Oesapa yang merupakan daerah permukiman. Pantainya sangat jorok dan kotor. Sehari saja hujan, kawasan pantai menjadi kotor dan sangat jorok. Limbah rumah tangga dibawa banjir langsung ke laut. Gelombang besar akibat cuaca yang buruk, 'menolak' sampah-sampah itu sehingga kembali ke pantai. Akibatnya, pantai menjadi kotor dan jorok.

Kota Kupang, dikenal sebagai salah satu kota pantai di Indonesia. Pantainya membentang lebih kurang 25 km, mulai dari Kelurahan Alak hingga Lasiana. Pantai putihnya yang indah ditambah karang yang terjal di beberapa bagian, menampilikan keindahan yang tiada duanya.

Selain Lasiana yang sudah lama menjadi obyek wisata, di beberapa bagian, seperti Tedys, Ketapang Satu, Pasir Panjang, Paradiso, Nunsui dan Batunona, saat ini sudah mulai ditata menjadi obyek wisata. Beberapa fasilitas pendukung seperti lopo, tempat duduk dan tembok mulai dibangun. Memang, meski  masih terkesan asal dibangun tanpa penataan lanjutan, namun sudah nampak ada kepedulian terhadap potensi wisata yang ada.

Ketika munculnya kebijakan Pemerintah Kota Kupang untuk mengeluarkan izin pembangunan sejumlah hotel di kawasan pantai, ada kekhawatiran bahwa pantai Kota Kupang akan hilang. Tak akan ada lagi lautan dan pasir putih yang nampak, karena semuanya sudah menjadi milik gedung hotel.

Pembangunan jalan dan talud sepanjang pantai yang dilakukan berjalan cukup baik. Dari jalan ini, kita bisa menikmati keindahan pantai dan lautan dengan leluasa. Namun, sayangnya pantai di  Kota Kupang belum menjadi tempat yang nyaman untuk pemandian.

Yang lebih memprihatinkan adalah, tak ada satupun yang peduli dengan kondisi ini. Masyarakat yang tinggal di sana, melihat sampah ini sebagai hal biasa. Bahkan, beberapa oknum warga di antaranya terus membuang sampah bahkan buang air besar (BAB) di sana.

Kita harus mengakui, bahwa pantai di Kota Kupang masih dinikmati sendiri. Belum ada pemasukan bagi daerah yang signifikan. Belum ada turis asing yang mau betah dan berlama-lama mandi di pantai Kupang seperti di daerah lainnya. Yang ada hanya sekelompok warga yang membangun tenda-tenda darurat untuk menjual ikan hasil tangkapan, maupun jasa ikan bakar.

Di Pantai Nunsui, misalnya sudah dibangun tempat karaoke dan fasilitas bermain bagi anak. Hal ini sudah cukup bagus. Namun, sebenarnya kita ingin lebih dari itu. Kita tentu tak mau hanya menikmati keindahan alam yang tidak ada di daerah lain sendiri tanpa memberikan kontribusi yang berarti dan berkesinambungan.

Beberapa warga Fatubesi, Oesapa dan Nunsui, yang ditemui, mengaku sampah di pantai tidak hanya ada pada musim hujan. "Di sini, orang buang sampah sembarangan di pantai. Ada yang bahkan tidak ada WC sehingga BAB langsung di pantai," ungkap Jhoni, seorang warga Oesapa.

Lain halnya dengan Dian, warga Nunsui. Menurutnya, turis asing sering mengunjungi tempat itu. Namun tidak seperti di daerah lainnya, dimana mereka mandi atau berendam di laut. "Biasanya datang dan kalau liat pantai kotor, langsung pulang. Ada yang duduk dan minum bir, tapi tidak lama," ujar Dian.

Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan. Kita memiliki potensi yang bisa mensejahterakan rakyat. Pemerintah, masyarakat dan organisasi terkait harus duduk bersama untuk membicarakannya lebih mendalam.

Pantai Kupang yang membentang panjang, menawarkan keindahan yang tidak dimiliki tempat lain. Tawarkan ini kepada para tamu. Buatlah mereka betah dan mau berlama-lama di Kupang karena keindahan pantainya. Mungkinkah? **

SYALOM