Rabu, 19 November 2008

Tu'u" Belis di Nusa Lontar

SELAMA beratus tahun, kematian dan pernikahan di Pulau Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, adalah pesta pora. Bukan pesta biasa, tetapi ritual minum dan makan daging berhari-hari. Puluhan hingga ratusan domba, babi, sapi, atau kuda dikorbankan.

Bagi keluarga bangsawan, itulah waktunya ”mengerahkan” sumber daya untuk pesta bernilai ratusan juta rupiah.

Kemeriahan pesta adalah mutlak, tak peduli empunya pesta si kaya atau miskin. Kemeriahan tak mengenal status ekonomi. Semakin tinggi status sosial keluarga, pesta makin meriah. Seperti dialami keluarga Tolasik, salah seorang bangsawan di Kota Ba’a (sekarang nama ibu kota kabupaten).

Ratusan ternak dikorbankan bagi pesta kematian. Tiada hari tanpa makan daging dan minum. ”Dari keluarga menyiapkan 60 ekor kerbau dan babi, belum termasuk ternak sumbangan,” kata Meslik Tolasik, salah satu cucu mendiang, ketika dikunjungi Kompas dan tim dari World Vision Indonesia (WVI) akhir September 2008.

Secara adat, ”genderang” pesta kematian ditabuh saat buka neneik (tikar), sesaat setelah ada anggota keluarga meninggal. Berhari-hari, kerabat, kenalan, dan tokoh sebaya anggota keluarga yang meninggal duduk- duduk, ngobrol, dan berpantun mengenang mendiang.

Sementara itu, rangkaian pesta pernikahan dimulai saat kedua keluarga calon mempelai memastikan tanggal pernikahan. Saat itulah besaran belis (mas kawin) diketahui.

Umumnya, belis mencapai Rp 20 jutaan, yang ditanggung keluarga besar melalui serangkaian pertemuan tu’u belis (kumpul ongkos kawin). Tahapan itu untuk memastikan kesanggupan kerabat soal besaran sumbangan.

Sumbangan, baik uang maupun ternak, dicatat; nama penyumbang, jumlah uang, hingga kondisi ternak (lingkar perut atau gemuk-tidaknya ternak). Pada setiap tahapan tu’u, pesta daging tak pernah absen.

Setidaknya ada tiga tahapan tu’u belis, yakni tu’u daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang), tu’u kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan), dan tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan). Barulah puncak acara tiba; pesta nikah.

Nama penyumbang dan sumbangan disimpan rapi untuk pengembalian. Mengembalikan sumbangan wajib hukumnya. Kalau tidak? ”Yang bersangkutan akan dipermalukan dengan pengumuman saat pesta,” kata Maneleo (kepala suku) Nusak Ba’a John Ndolu (45).

Saling sumbang bernilai jutaan rupiah menjerumuskan warga pada jeratan utang, yang bahkan diwariskan. Dengan kata lain, mempelai langsung menanggung utang secara adat.

Di Rote, tak sedikit kasus putus sekolah karena tak ada biaya. Namun, jangan sampai tak ada uang untuk menyumbang pesta.

Untuk pesta kematian atau pernikahan, tak ada istilah miskin. Warga lebih malu tiada pesta daripada anak-anaknya putus sekolah. ”Bisa dibilang, orang pergi bekerja bukan untuk uang sekolah, tetapi membayar ketentuan adat,” kata Kepala Desa Oelunggu Adrianus Tulle.

Angin perubahan
Beratus tahun eksis, berembus angin perubahan budaya tu’u belis kematian dan pernikahan. Kelompok pembaru atau perevitalisasi budaya muncul.

John Ndolu, Maneleo Nusak Ba’a, adalah tokoh di balik itu. ”Kami hanya menyederhanakan praktik-praktik budaya yang berlebihan. Nilai-nilainya tetap bertahan,” kata maneleo, pilihan warga pada Januari 2006 itu.

Revitalisasi budaya didukung WVI, organisasi nirlaba yang di antaranya mendukung pendidikan dan nutrisi anak. Pesta pora kematian dan pernikahan melanggengkan kemiskinan. ”Kesejahteraan warga dan pendidikan anak-anak terkena dampaknya,” kata Manajer WVI Program Rote Sugiyarto. Cikal bakal WVI di Rote hampir 15 tahun lalu.

Revitalisasi budaya memangkas ongkos pesta belasan juta rupiah. Mas kawin yang dulunya Rp 20 jutaan, disepakati warga cukup Rp 3,65 juta. Pesta pun disepakati sekali dengan menyembelih satu hewan besar dan satu hewan kecil. Dulu, minimal puluhan ekor! ”Pesta pada saat ucapan syukur,” kata John.

Pesta daging pada setiap kumpul keluarga pun ditiadakan. Jika ada, cukup kue dan teh.

Penerimaan warga di luar dugaan, termasuk kerelaan hati memutihkan piutang ternak yang dulu mereka sumbangkan. Sanksi pun diatur, berupa denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Contoh pelanggaran, menyembelih ternak berlebihan, atau menyediakan daging mentah untuk dibawa pulang.

”Beberapa orang pernah mencoba melanggar, termasuk menyuap saya dengan bawaan daging mentah. Saya tolak!” kata John. Perlahan tetapi pasti, revitalisasi dipatuhi.

Sejak tahun 2003
Revitalisasi budaya di Rote dimulai tahun 2003. Gerakan itu makin kuat ketika John Ndolu terpilih sebagai Maneleo Nusak Ba’a. Ia memimpin lima leo (kumpulan marga), setara dengan sekitar 1.200-an keluarga.

Dimulai komunitas warga Kunak, lima tahun lalu, kini tiga nusak mengadopsi (nusak Lole, Ba’a, dan Lelain atau Lobalaen). Rote Ndao terdiri atas 19 nusak.

Saat ini, sejumlah nusak mulai merevitalisasi meskipun belum sepenuhnya. Namun, lebih banyak nusak yang masih menolak. Beberapa warga asli Rote di luar pulau pun masih ada yang menolak. Satu alasan, warisan leluhur patut terus dijaga.

Sebenarnya, pesta kematian dan pernikahan masih dijalankan warga ”Nusa Lontar”. Mereka hanya ingin memutus rantai kemiskinan. (kompas.com)

Hemat Listrik Rp 3 Miliar Per Tahun

Oleh Hermina Pello

SAAT ini daya mampu mesin-mesin di PLTD Tenau hanya sekitar 25 megawatt (MW). Jika semua mesin berfungsi sementara pemakaian pada waktu beban puncak, mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00 Wita, maka daya itu mencapai 25,5 MW. Setelah pukul 22.00 Wita, ketika ada warga mulai istirahat sehingga mematikan televisi, lampu dan lainnya, barulah daya yang terpakai mulai berkurang.

"Sudah lama PLN mengampanyekan hemat energi dengan cara mengganti lampu TL atau lampu pijar dengan lampu hemat energi. Juga mematikan dua mata lampu saja untuk setiap pelanggan. Tapi itu belum dituruti secara baik," kata Kepala PLN Cabang Kupang, Willer Marpaung, di ruang kerjanya, Selasa (18/11/2008).

Menurut dia, mematikan dua mata lampu di mana satu mata lampu 25 watt, jika dua mata lampu dipadamkan, maka akan ada 50 watt yang dipadamkan. Hitung saja, ada 53.000 pelanggan PLN, maka jika masing-masing memadamkan lampu 50 watt, berarti ada sekitar 1.650.000 watt atau 1,6 MW yang dihemat.

Pemadaman yang terjadi sekarang ini, katanya, sebesar 3,5 MW. Jadi, kalau ada penghematan 1,6 MW, maka daya yang digunakan hanya 1,9 MW saja. Jika rata- rata pelanggan PLN dayanya 900 voltampere (vA), maka dari daya sebesar 1,6 MW itu bisa digunakan untuk sekitar 2.000 pelanggan.

Akan tetapi, lanjut Marpaung, kalau hanya satu atau dua orang yang memadamkan dua mata lampu, maka itu tidak akan berarti. Namun, jika semua pelanggan secara bersama-sama melakukan pemadaman dua mata lampu, maka akan sangat berarti bagi pelanggan lainnya.

Kalau dikalkulasi, demikian Marpaung, jumlah penghematan dari segi pembayaran rekening tidak besar. Namun, kalau mematikan lampu 50 watt selama empat jam, berarti 200 watt/hari dikali dengan 30 hari, maka hasilnya 6 KW.

Satu kilowatt itu, kata Marpaung, tarifnya Rp 500 sehingga dalam satu bulan hanya menghemat Rp 3.000,00. Bukan nilai rekeningnya yang dihitung, tetapi bagaimana pelanggan ikut merasakan pemadaman tatkala orang lain mengalami pemadaman sementara yang lain tidak padam.

Menurut dia, ada banyak cara untuk hemat listrik. Tapi itu semua kembali pada diri sendiri, matikan televisi tidak ada yang menonton, atau komputer, jika tidak ada yang menggunakannya dan masih banyak lagi. Atau bagi pelanggan PLN yang mampu, yang memiliki AC namun tidak menghidupkannya AC pada waktu beban puncak, maka banyak orang lain yang bisa terbantu.

Seandainya ada 1.000 unit AC berdaya 1,5 PK yang menggunakan daya listrik sebesar 1.000 watt, maka kalau saja tidak dinyalakan, berarti 1.000 pelanggan PLN lainnya tidak perlu mengalami pemadaman, karena daya yang tidak digunakan itu bisa disalurkan kepada orang lain.

Prinsip hemat energi ini, kata Marpaung, perlu dipahami oleh orang-orang yang duduk di pemerintahan. Karena penghematan energi itu sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 5 Mei 2008 tentang Penghematan Energi dan Air. Pemerintah Propinsi NTT semasa Gubernur Piet A Tallo, S.H, juga pernah mengeluarkan surat meminta semua pihak, baik pemerintah kota/kabupaten maupun masyarakat melakukan penghematan energi. Namun sampai sekarang surat itu sepertinya tidak digubris.

Contohnya, jika Anda berjalan pada malam hari di Jalan EL Tari II, maka Anda akan bangga bahwa kota Kupang terang benderang sebab lampu jalan menggunakan lampu merkuri 250 watt. Tapi terangnya lampu jalan itu merupakan bagian dari pemborosan.

Data PLN Cabang Kupang, menyebutkan di Kota Kupang ini terpasang 3.175 lampu jalan merkuri sebesar 250 watt, lampu TL sebanyak 745 unit, ada juga sembilan lampu jalan yang terbuat dari lampu halogen sebesar 250 watt, ada 61 lampu hias dan enam lampu pijar.

Penghematan bisa dilakukan dengan mengganti lampu merkuri atau lampu halogen dengan lampu hemat energi 85 wat. Jika itu yang dilakukan, maka ada penghematan daya 165 watt/lampu. Bila dikalkulasikan maka terjadi penghematan daya 523.875 watt atau sekitar 0,5 MW. Kalau pelanggan PLN kategori rumah tangga memasang daya 450 watt, maka dengan penghematan tersebut sekitar 1.000 pelanggan tidak perlu mengalami pemadaman.

Penghematan itu tidak hanya energi, tetapi juga dalam pembayaran rekening. Pemerintah harus membayar lampu jalan yang menggunakan merkuri atau halogen sebesar Rp 119.065/bulan untuk satu mata lampu. Tetapi kalau diganti dengan lampu hemat energi, maka pemerintah hanya membayar Rp 23.815/bulan.

Itu berarti ada selisih uang Rp 95.250,00/bulan untuk setiap mata lampu. Nilai sebesar Rp 95.250 jika dikalikan dengan 3.175 lampu, maka pemerintah bisa berhemat Rp 302.418.750/bulan dan dalam satu tahun, pemerintah bisa berhemat lebih dari Rp 3 miliar.

Dana sebesar Rp 3 miliar itu, lanjut Marpaung, bisa dialokasikan untuk kesehatan, atau pendidikan atau untuk pembuatan infrastruktur seperti jalan dan lainnya untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah.

Menurut Marpaung, mengganti lampu merkuri atau halogen itu butuh dana, tetapi dalam waktu dua bulan, dana itu sudah bisa tertutupi karena untuk mengganti satu mata lampu membutuhkan dana sekitar Rp 150.000,00. "Tapi kalau dilihat dari selisih pembayaran rekening, dalam waktu dua bulan saja, pemerintah sudah bisa mengganti lampu tersebut," ujar Marpaung.

Dia menyebutkan, terkait permintaan mengganti merkuri dengan lampu hemat energi itu, PLN Cabang Kupang telah melayangkan surat ke semua bupati/walikota yang termasuk dalam daerah pelayanan PLN Cabang Kupang pada 12 September 2008. Namun keseriusan pemerintah itu hingga kini belum diwujudkan secara optimal. (ira)

SYALOM