"Saya pesimistis ini akan sukses. Intervensi politik terhadap penataan birokrasi masih sangat tinggi. Reformasi harus total, dari pimpinan hingga staf. Kalau masih ada intervensi politik, saya tetap pesimistis reformasi birokrasi akan sukses."
Demikian mantan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor (Veky) Lerik, S.E, yang ditemui beberapa waktu lalu. Lerik dimintai komentarnya terkait penataan reformasi birokrasi di NTT.
Veky mengatakan, NTT menjadi propinsi ke empat di Indonesia yang mencanangkan reformasi birokrasi setelah Gorontalo, Bangka Belitung dan Aceh. Road Map Reformasi Birokrasi ini disusun Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT didukung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), KemenPAN RB, serta Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) melalui proyek Penguatan Tata Kelola Pemerintahan Propinsi (Provincial Governance Strengthening Programme/PGSP).
Dalam Road Map Reformasi Birokrasi Propinsi NTT 2013 2018 yang diluncurkan di Aula El Tari Kupang, Senin 28 Oktober 2013, ada beberapa persoalan yang dihadapi birokrasi di Propinsi NTT. Beberapa biro yang sejatinya tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.
Demikian pula antara satu intansi dengan lainnya masih terjadi ego sektoral. Misalnya, terkait penyerahan kewenangan perizinan yang masih tergantung pada kemauan instansi terkait.
Selain itu, masih rendahnya tingkat pemahaman aparatur Pemprop NTT terhadap aspek ketatalaksanaan, terutama dalam memahami peraturan yang menyebutkan tentang bagaimana kerja yang benar di lingkungan pemerintah dan harus dilaksanakan.
Hal lain yang menghambat pelaksanaan reformasi birokrasi di NTT adalah sumber daya manusia (SDM) aparatur. Di sini pokok masalahnya.
Penelusuran di beberapa instansi, penempatan pegawasi dan manajemen kepegawaian belum berjalan baik. Dalam road map itu, beberapa permasalahan menyangkut reformasi birokrasi di NTT, yakni belum terasanya dampak positif otonomi daerah bagi masyarakat oleh karena keterbatasan sumber daya dan kurangnya persiapan pemerintah.
Kebijakan pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan kepentingan, bukan berdasar kompetensi/keahlian sehingga berdampak kurang baik terhadap sendi penyelenggaraan daerah.
Banyak komentar, baik dari pejabat maupun staf di sejumlah instansi terkait peran baperjakat dalam penempatan staf dan pejabat. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa di lingkup Pemprop NTT, peran baperjakat sama sekali tidak jalan.
"Mengapa demikian? Karena banyaknya intervensi dari berbagai pihak, baik dari sisi politik maupun kedekatan dengan pejabat yang berwenang," kata Ketua Komisi A DPRD NTT, Gabriel Beri Binna.
Rendahnya kinerja aparatur di Setda Propinsi NTT sangat terasa. Di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) misalnya. Sebagai 'dinas basah' (karena mengelola anggaran yang lebih besar dari dinas lainnya), penempatan pegawai lebih banyak karena kepentingan, terutama untuk mengamankan anggaran atau proyek yang ada. PNS yang berkompeten dipindahkan ke instansi lain atau meski tetap di dinas itu, namun tak diberi peran.
Di dinas ini, ada pegawai yang kesehariannya tidak diberi tugas sehingga lebih mereka datang hanya absen lalu pulang. Contoh lainnya, saat monitoring, evaluasi atau koordinasi ke kabupaten/kota, yang diberi tugas adalah pegawai cleaning service bahkan para satpam juga ditugaskan.
"Kami sangat senang kalau diberi tugas ke daerah. Pokoknya kalau rajin lobi pasti dapat perjalanan. Istilahnya harus pintar cari muka. Kami tidak tahu laporan yang kami bawa benar atau tidak karena mereka sudah siapkan formatnya dan kami hanya isi saja," ujar seorang satpam di Dinas PPO yang minta namanya tidak dikorankan karena takut tidak lagi diberi tugas untuk monitoring dan evaluasi ke kabupaten/kota.
Pertengahan September 2013, Ari, seorang staf di Bidang Pendidikan Menengah Dinas PPO NTT, membuat keonaran di kantornya. Usai menenggak minuman beralkohol, Ari menemui pimpinannya. Dengan suara keras, Ari mempertanyakan alasan atasannya tidak memasukkan namanya dalam rencana perjalanan untuk monitoring dan evaluasi tahun ini. Padahal, Ari yang mengaku sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai staf di bidang itu, setiap tahun selalu diberi tugas ke kabupaten/kota.
"Tanpa alasan yang jelas, nama saya dicoret. Saya sudah lebih dari 20 tahun kerja di sini, jadi sangat paham. Pegawai yang baru masuk, semua diberi peran termasuk tenaga kontrak yang proses rekrutnya tidak jelas. Ini sesuatu yang sangat buruk," kata Ari.
Kepala Dinas PPO NTT, Drs. Klemens Meba, MM, menampik hal tersebut. Ia mengaku di beberapa bidang ada kebijakan agar semua pegawai di sana bisa mendapatkan kesempatan ke luar daerah.
Menurut dia, yang diberi tugas adalah mereka yang benar benar berkompeten atau tidak asal tunjuk. "Kesejahteraan seorang pegawai negeri terkadang ditentukan dari banyaknya dia melakukan perjalanan. Hal ini membuat banyak pegawai yang selalu berusaha agar namanya dimasukkan dalam rencana perjalanan dinas, meski dia tak tahu apa yang nanti dikerjakannya. Kalau ada yang tidak masuk, saya pikir itu hal biasa karena itu sudah menyangkut kebijakan. Saya selalu menekankan kepada staf saya untuk tetap bekerja secara profesional sesuai tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya," kata Klemens.
Fakta rendahnya kinerja staf di Dinas PPO NTT adalah tingkat kelulusan saat ujian nasional (UN) yang sangat rendah. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat kelulusan SMA/SMK di NTT terendah dari 33 propinsi di Indonesia. Kondisi ini terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Program Gong Belajar yang dicanangkan Pemprop NTT tidak berjalan maksimal.
"Kami minta dukungan agar bisa membenahi semua persoalan ini dengan baik. Ini semua tergantung dari komitmen dan konsistensi untuk menjalankan semua regulasi yang ada. Semua staf harus sadar akan tugas dan fungsinya. Sebaik apapun program diluncurkan pemerintah, namun bila aparaturnya tidak bagus, program itu akan seperti kita menebar air di padang pasir," kata Sekda NTT, Frans Salem.
Demikian mantan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor (Veky) Lerik, S.E, yang ditemui beberapa waktu lalu. Lerik dimintai komentarnya terkait penataan reformasi birokrasi di NTT.
Veky mengatakan, NTT menjadi propinsi ke empat di Indonesia yang mencanangkan reformasi birokrasi setelah Gorontalo, Bangka Belitung dan Aceh. Road Map Reformasi Birokrasi ini disusun Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT didukung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), KemenPAN RB, serta Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) melalui proyek Penguatan Tata Kelola Pemerintahan Propinsi (Provincial Governance Strengthening Programme/PGSP).
Dalam Road Map Reformasi Birokrasi Propinsi NTT 2013 2018 yang diluncurkan di Aula El Tari Kupang, Senin 28 Oktober 2013, ada beberapa persoalan yang dihadapi birokrasi di Propinsi NTT. Beberapa biro yang sejatinya tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.
Demikian pula antara satu intansi dengan lainnya masih terjadi ego sektoral. Misalnya, terkait penyerahan kewenangan perizinan yang masih tergantung pada kemauan instansi terkait.
Selain itu, masih rendahnya tingkat pemahaman aparatur Pemprop NTT terhadap aspek ketatalaksanaan, terutama dalam memahami peraturan yang menyebutkan tentang bagaimana kerja yang benar di lingkungan pemerintah dan harus dilaksanakan.
Hal lain yang menghambat pelaksanaan reformasi birokrasi di NTT adalah sumber daya manusia (SDM) aparatur. Di sini pokok masalahnya.
Penelusuran di beberapa instansi, penempatan pegawasi dan manajemen kepegawaian belum berjalan baik. Dalam road map itu, beberapa permasalahan menyangkut reformasi birokrasi di NTT, yakni belum terasanya dampak positif otonomi daerah bagi masyarakat oleh karena keterbatasan sumber daya dan kurangnya persiapan pemerintah.
Kebijakan pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan kepentingan, bukan berdasar kompetensi/keahlian sehingga berdampak kurang baik terhadap sendi penyelenggaraan daerah.
Banyak komentar, baik dari pejabat maupun staf di sejumlah instansi terkait peran baperjakat dalam penempatan staf dan pejabat. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa di lingkup Pemprop NTT, peran baperjakat sama sekali tidak jalan.
"Mengapa demikian? Karena banyaknya intervensi dari berbagai pihak, baik dari sisi politik maupun kedekatan dengan pejabat yang berwenang," kata Ketua Komisi A DPRD NTT, Gabriel Beri Binna.
Rendahnya kinerja aparatur di Setda Propinsi NTT sangat terasa. Di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) misalnya. Sebagai 'dinas basah' (karena mengelola anggaran yang lebih besar dari dinas lainnya), penempatan pegawai lebih banyak karena kepentingan, terutama untuk mengamankan anggaran atau proyek yang ada. PNS yang berkompeten dipindahkan ke instansi lain atau meski tetap di dinas itu, namun tak diberi peran.
Di dinas ini, ada pegawai yang kesehariannya tidak diberi tugas sehingga lebih mereka datang hanya absen lalu pulang. Contoh lainnya, saat monitoring, evaluasi atau koordinasi ke kabupaten/kota, yang diberi tugas adalah pegawai cleaning service bahkan para satpam juga ditugaskan.
"Kami sangat senang kalau diberi tugas ke daerah. Pokoknya kalau rajin lobi pasti dapat perjalanan. Istilahnya harus pintar cari muka. Kami tidak tahu laporan yang kami bawa benar atau tidak karena mereka sudah siapkan formatnya dan kami hanya isi saja," ujar seorang satpam di Dinas PPO yang minta namanya tidak dikorankan karena takut tidak lagi diberi tugas untuk monitoring dan evaluasi ke kabupaten/kota.
Pertengahan September 2013, Ari, seorang staf di Bidang Pendidikan Menengah Dinas PPO NTT, membuat keonaran di kantornya. Usai menenggak minuman beralkohol, Ari menemui pimpinannya. Dengan suara keras, Ari mempertanyakan alasan atasannya tidak memasukkan namanya dalam rencana perjalanan untuk monitoring dan evaluasi tahun ini. Padahal, Ari yang mengaku sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai staf di bidang itu, setiap tahun selalu diberi tugas ke kabupaten/kota.
"Tanpa alasan yang jelas, nama saya dicoret. Saya sudah lebih dari 20 tahun kerja di sini, jadi sangat paham. Pegawai yang baru masuk, semua diberi peran termasuk tenaga kontrak yang proses rekrutnya tidak jelas. Ini sesuatu yang sangat buruk," kata Ari.
Kepala Dinas PPO NTT, Drs. Klemens Meba, MM, menampik hal tersebut. Ia mengaku di beberapa bidang ada kebijakan agar semua pegawai di sana bisa mendapatkan kesempatan ke luar daerah.
Menurut dia, yang diberi tugas adalah mereka yang benar benar berkompeten atau tidak asal tunjuk. "Kesejahteraan seorang pegawai negeri terkadang ditentukan dari banyaknya dia melakukan perjalanan. Hal ini membuat banyak pegawai yang selalu berusaha agar namanya dimasukkan dalam rencana perjalanan dinas, meski dia tak tahu apa yang nanti dikerjakannya. Kalau ada yang tidak masuk, saya pikir itu hal biasa karena itu sudah menyangkut kebijakan. Saya selalu menekankan kepada staf saya untuk tetap bekerja secara profesional sesuai tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya," kata Klemens.
Fakta rendahnya kinerja staf di Dinas PPO NTT adalah tingkat kelulusan saat ujian nasional (UN) yang sangat rendah. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat kelulusan SMA/SMK di NTT terendah dari 33 propinsi di Indonesia. Kondisi ini terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Program Gong Belajar yang dicanangkan Pemprop NTT tidak berjalan maksimal.
"Kami minta dukungan agar bisa membenahi semua persoalan ini dengan baik. Ini semua tergantung dari komitmen dan konsistensi untuk menjalankan semua regulasi yang ada. Semua staf harus sadar akan tugas dan fungsinya. Sebaik apapun program diluncurkan pemerintah, namun bila aparaturnya tidak bagus, program itu akan seperti kita menebar air di padang pasir," kata Sekda NTT, Frans Salem.