Sabtu, 13 Desember 2008

Menyentuh Namun Belum Menggigit

Oleh Sipri Seko


TANGGAL 20 Desember 2008 nanti akan ada tiga propinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dulu tergabung dalam Propinsi Sunda Kecil memasuki usianya yang ke-50. Ada banyak aspek yang direfleksi. Ada banyak masalah dan prestasi yang direnungi. Sudahkah, Bali, NTB dan NTT mencapai masa keemasan sama seperti usia emasnya?

Hermensen Ballo (tinju) dan George Hadjoh (kempo) adalah dua dari banyak mantan atlet NTT yang di eranya adalah yang terbaik. Terbaik bukan saja di NTT, tapi di Indonesia bahkan di level internasional. Sebagai mantan atlet, mereka mengartikan kata emas sebagai pengakuan tertinggi dari sebuah prestasi. Tak heran kalau mereka melihat usia emas NTT seharusnya dihiasai dengan gelimang prestasi di bidang olahraga.

Bukan potensi dan kenangan prestasi masa lalu yang mereka soroti, namun pola pembinaan. Ada benang merah yang belum terurai dengan sempurna. Program olahraga yang ditelorkan pemerintah belum sinergi dengan pengurus cabang olahraga. Di saat pengurus cabang olahraga kesulitan dana, pemerintah melalui program olahraga usia dini, Porseni SMP, Popnas, Pomnas dan lainnya yang bergelimang dana tak berpikir tentang prestasi tapi hanya kesuksesan proyek.

"Pertanyaan dari saya, sudahkah Ordini, Porseni SMP, Popnas dan Pomnas memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan prestasi olahraga NTT? Bandingkan saja dana yang dikucurkan dengan prestasi yang diinginkan atau dicita- citakan. Yang saya lihat dana proyek yang menjadi target utama dan bukan out put akhir atau peningkatan prestasi yang menjadi tujuan utama para pelaku proyek," cetus George Hadjoh.

Pertanyaan ini muncul sebagai akibat dari samar-samarnya prestasi yang diraih pada level nasional sebagai puncak perhelatan olahraga di Indonesia. Padahal, penyaringan atlet lewat kejuaraan-kejuaraan tersebut dimulai dari tingkat kota/kabupaten sampai propinsi. Hal ini berbeda dengan kempo misalnya, dimana untuk level nasional selama delapan tahun anak-anak usia dini dan remaja menguasai arena nasional, meski dengan dana yang sangat minim.

Di manakah kendala yang dihadapi? Bisa saja karena sistem pembiayaan yang jelas tidak disertai pembinaan dan pelatihan yang tersistem. Koordinasi dan sinergi pembinaan yang belum dibangun. Akibatnya, pembinaan yang dilakukan hanya sedikit menyentuh namun tidak menggigit.

***
DUNIA olahraga NTT dikejurkan dengan keputusan Pemerintah Propinsi NTT untuk meniadakan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Dispora, yang propinsi lain sedang berlomba-lomba untuk mendirikannya, justru dimerger ke dinas pendidikan.

Hal ini sangat disesali oleh pelaku olahraga di NTT. Ada kesan, para pengambil keputusan tidak pernah tahu urgensi keberadaan dispora bagi pembinaan pemuda dan olahraga.

Tak terkecuali dengan staf Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Drs. Thobias Tubulau. Ia tak habis pikir dengan keputusan ini. "Dispora NTT adalah perintis keberadaan dispora di Indonesia. Keputusan untuk merger patut disesali, karena dan bantuan untuk pembinaan dari pusat akan makin berkurang," ujarnya.

Asal tahu saja, UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi pembinaan olahraga. Perintah undang-undang tersebut harus dilaksanakan oleh satuan perangkat kerja daerah (SKPD) khusus sebagai pengelola dana pemerintah. Status dispora yang turun menjadi bidang olahraga tak punya cukup kewenangan untuk mengelola alokasi dana yang besar. Artinya, meski nantinya ada alokasi dana untuk olahraga, namun nilainya akan kecil. Padahal, pembinaan olahraga membutuhkan dana yang sangat besar.

Sarana dan Prasarana
Pernyataan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya bahwa pemerintah sudah mengalokasikan Rp 1,5 miliar untuk rehab permukaan Stadion Oepoi, Kupang, adalah berita gembira. Keluhan tentang rendahnya kualitas sarana prasarana olahraga di NTT sedikit demi sedikit mulai diatasi. Ada harapan, setelah Stadion Oepoi akan dilanjutkan dengan sarana lainnya.

Kebutuhan sarana dan prasarana terutama tempat latihan memang masih menjadi masalah di NTT. Untuk stadion, sudah dibangun di Manggarai, Kalabahi dan Belu sementara untuk gedung olahraga (GOR) baru satu, yakni di Kupang. Tak heran kalau biasanya lebih dari empat cabang olahraga harus bergantian berlatih di satu tempat. Namun, minimnya alokasi dana pemeliharaan menyebabkan stadion atau gedung serba guna yang dibangun dengan dana yang sangat besar menjadi rusak bahkan mubazir karena tidak dimanfaatkan.

Lalu apa yang harus direfleksi di usia yang ke-50 ini? "Mencapai prestasi yang besar tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun para pengambil keputusan harus berani mengambil kebijakan yang ekstrim sekalipun. Saya contohkan, kalau misalnya mau memajukan sepakbola, belilah satu klub divisi utama dengan home base di Kupang, maka sepakbola NTT akan maju, demikian juga dengan cabang olahraga yang lain," ujar kandidat doktor olahraga dari Universitas Negeri Surabaya, Johni Lumba, S.Pd, M.Pd.

Terpilihnya Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur NTT adalah berita gembira bagi dunia olahraga. Frans Lebu Raya adalah jebolan guru olahraga, Wakil Ketua Umum I KONI, Ketua Pengprop PSSI dan juga Ketua Pengprop PBSI. Esthon Feonay adalah Ketua Harian KONI dan Ketua Pengprop Perkemi NTT. Artinya, keduanya sudah sangat paham dan tahu carut marut pembinaan dan prestasi olahraga di NTT.

Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tapi jangan kita bebankan kepada Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay. Para pelaku olahraga seperti George Hadjoh dan Hermensen Ballo harus mempertahankan pendapat bahwa dana minim bukan berarti prestasi rendah. Dengan dana minim, sarana prasarana apa adanya, atlet- atlet NTT akan mampu membuat nama Bumi Flobamora mengharum di Indonesia bahkan dunia. **

Kampungku, Mengapa Lapar...

Oleh Benny Dasman

NUSA Tenggara Timur (NTT), kampungku. Usianya 50 tahun. Orang luar, pun orang dalam, selalu membaptisnya dengan 'nama' baru. Banyak. Mulai dari Nasib Tidak Tentu, Nasib Tergantung Tindakan hingga Nanti Tuhan Tolong. Masih banyak lagi. Tergantung dari angle mana orang melihatnya. Orang yang berurusan dengan 'sinyal' bisa saja membaptisnya dengan nama Nanti Telkomsel Tolong. Macam-macam lagi.

Hari Rabu (21/10/2008) lalu, ketika menghadiri pelantikan Kepala BKKBN NTT, Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc, menggantikan G Soter Parera, S.H, MPA, di Aula El Tari-Kupang, saya mendengar nama baptisan baru lagi. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menyebutnya dengan lantang. NTT, Propinsi Batu Bertanah. "Orang luar yang menyebut nama ini. Mengapa tidak 'tanah berbatu,' tapi 'batu bertanah.' Mungkin mereka lihat di Kupang ini banyak batu karang," ujar Gubernur Frans mereka-reka alasannya.

NTT, apa pun plesetannya, baptisannya, kata Gubernur Frans Lebu Raya, masyarakat di daerah ini tak perlu berkecil hati. Kepala tetap tegak. Aula El Tari saat itu hening. Tak ada yang bereaksi. Apalagi memrotes. Semua 'kesengsem' mengamininya. "Anggaplah 'nama baru' itu sebagai pelecut agar kita bekerja lebih giat lagi. Menjalankan tugas panggilan sebagai pelayanan masyarakat dengan lebih sempurna lagi. Sesuai harapan masyarakat dan kita semua. Stigma-stigma itu, terutama stigma kemiskinan harus dihapus," kata Gubernur Frans ketika memulai sambutan.

Satu demi satu di hadapan para koleganya, Gubernur Frans menguraikan delapan program strategis yang dioperasionalkannya selama lima tahun menakhodai 'Kapal NTT'. Pertama, pemantapan kualitas pendidikan. Kedua, pembangunan kesehatan. Ketiga, pembangunan ekonomi. Keempat, pembangunan infrastruktur. Kelima, pembenahan sistem hukum dan keadilan. Keenam, konsolidasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketujuh, peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan, kesejahteraan anak dan partisipasi pemuda. Kedelapan, agenda khusus yang meliputi penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, kepulauan, dan penanggulangan bencana.

Tatkala menguraikan program strategis ketiga tentang pembangunan ekonomi, Gubernur Frans Lebu Raya, mengemukakan obsesinya menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Jagungisasi. Mengubah 'Batu Bertanah' menjadi 'Batu Berdaun (Jagung). Program 'rakasasa' yang kini sedang digalakkan. Pupuknya 'Anggur Merah.'

***
TAHUN 70-an, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya menghafal betul jawaban ketika ditanya tentang makanan pokok orang NTT. Jawabannya, jagung. Guru membenarkannya. Ditanya juga makanan pokok orang Irian dan Maluku. Saya menjawab, sagu. Juga benar.

Kalau pertanyaan yang sama ditanyakan lagi kepada para siswa SD di kampungku saat ini, jawabannya pasti berbeda yaitu nasi atau beras. Bukan jagung. Mereka tidak salah. Sebab, pada zamannya mereka tidak lagi merasakan nikmatnya rebok (jagung yang ditumbuk setelah digoreng). Juga jojong (tepung jagung yang dikukus menggunakan bambu). Jika 'tolakannya' ikan teri atau ipung, terasa nikmat.

Menurut Rosegrant (1997), partisipasi konsumsi beras penduduk Indonesia dewasa ini mencapai 96,87 persen. Selama ini ketahanan pangan bangsa ini selalu diukur dari berapa jumlah produksi dan stok beras yang dikuasai pemerintah. Kebijakan 'berasosisasi' menyebabkan kearifan pangan lokal tercerabut. Konsumsi sagu, umbi-umbian (hipere), jagung, thiwul, telah beralih ke beras. Yang terjadi kemudian adalah kasus-kasus kelaparan kerap terjadi di NTT. Ikutannya busung lapar, gizi buruk. Meradang setiap tahun.

Saya sudah tinggalkan rebok, sombu, koil (gaplek), beralih mengonsumsi beras. Orangtua di kampung pun tidak memroduksinya lagi. Sebuah kesalahan fatal. Betapa tidak, untuk mengubah pola konsumsi pangan penduduk, kembali lagi ke non beras, paling tidak membutuhkan waktu satu generasi.

Kini, konsumsi sumber energi karbohidrat penduduk NTT dan Indonesia umumnya yang terfokus pada beras mengakibatkan tekanan yang sangat berat terhadap produksi beras dalam negeri. Akibatnya, kedaulatan pangan negeri ini selalu dikorbankan.

Setiap tahun pemerintah selalu mengulang kebijakan impor beras. Alasannya klasik, stok yang dikuasai oleh Perum Bulog tidak dalam posisi aman. Sesuai rekomendasi Badan Pangan Dunia (FAO), cadangan beras pemerintah yang ideal sebesar 2,5-3,5 persen dari total konsumsi suatu negara. Untuk ukuran Indonesia angka itu identik dengan stok beras sebesar 800 ribu hingga 1,2 juta ton.

Agar ketahanan pangan nasional kokoh, maka pemerintah harus berusaha dengan serius dalam menegakkan kedaulatan pangan, utamanya beras. Menurut Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun 2007 lalu mencapai 57,07 juta ton gabah kering giling (GKG), atau meningkat 4,76 persen dibanding 2006.

Meskipun belum didukung penelitian empiris, diduga peningkatan produksi ini dipicu oleh insentif harga jual gabah/beras yang memadai sehingga petani lebih bergairah menanam padi. Banyak petani yang menyampaikan pada penulis, bahwa harga jual gabah/beras yang sangat menggairahkan membuat mereka nekat menanam padi pada musim tanam III meskipun biaya eskploitasi pompa air untuk irigasi cukup tinggi.

Oleh karena itu pemerintah harus menjaga momentum swasembada beras berkelanjutan (sustainable self sufficiency) dengan berbagai kebijakan yang mendukung. Antara lain dengan membangun berbagai sarana infrastruktur pra panen maupun pasca panen, seperti perbaikan jaringan irigasi, silo penyimpanan, mesin pengering, pemasaran, dan akses permodalan bagi petani.

Untuk menjaga jatuhnya harga jual saat panen raya seperti yang mulai dirasakan beberapa hari terakhir ini, Perum Bulog harus segera menjemput bola dengan melakukan pembelian langsung ke petani. Tentunya tak ada alasan lagi prognosa pengadaan gabah/beras tak tercapai kalau kecepatan gerak Bulog dalam pembelian gabah petani tidak selamban gerak octopus. Perlu diingat oleh Bulog, bahwa panen musim rendengan ini menempati porsi 65 persen dari panenan tahun berjalan.

Mencontohi Idola
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) tingkat Propinsi NTT di Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Kamis (30/10/2008) lalu merupakan titik balik sejarah. Saat itu, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mulai mengkampanyekan pengembangan tanaman jagung di NTT. Para bupati/walikota se-NTT telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mendukung gebrakan Gubernur NTT menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Memulai secara perlahan mengubah pola konsumsi beras ke makanan non beras.

Tak hanya MoU yang ditandatangani, HPS Sikka juga melahirkan 'Deklarasi Maumere' untuk memerangi kemiskinan dan kelaparan di NTT. Suatu tekad untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dengan melakukan penganekaragaman konsumsi pangan secara regional maupun nasional secara berkelanjutan. Kini, konsumsi beras penduduk versi hasil koordinasi Menko Perekonomian sebesar 139,15 kg/kapita/tahun. Angka tersebut sama dengan konsumsi rakyat Jepang 35 tahun lalu. Saat ini konsumsi mereka hanya 60 kg/kapita/tahun.

Menurut perhitungan matematis sederhana, jika kita mampu menurunkan angka konsumsi beras nasional menjadi 125 kg/kapita/tahun saja, maka kita dapat menghemat tidak kurang dari 3 juta ton beras per tahun. Belum lagi jika kita mampu menyelamatkan kehilangan pasca panen yang angkanya secara nasional masih di atas 12 persen, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara eksportir beras!

Operasional 'Deklarasi Maumere' perlu dikawal hingga ke pelosok desa. Sebab NTT sangat kaya varian bahan makanan sumber karbohidrat, seperti ubi jalar, jagung, singkong, ketela, hermada, kentang, pisang, dan umbi-umbian lainnya. Peluang terbuka bagi para ahli kuliner dan teknologi pangan untuk dapat menyajikan sumber pangan alternatif tersebut sejajar dengan beras. Jika semua itu sudah dapat dilaksanakan, maka masalah beras tidak akan selalu menjadi lingkaran setan.

Kita juga sangat paham bahwa masyarakat NTT merupakan masyarakat paternalistik. Sangat mudah mencontohi sesuatu yang dilakukan oleh sosok idola (patron). Pada HPS di Sikka, semua pejabat yang hadir, termasuk Gubernur Frans Lebu Raya, Wagub Ir. Esthon Foenay, M.Si, para bupati/walikota ramai-ramai menikmati hidangan snack berupa jagung rebus, singkong rebus, jagung rebus. Kampanye yang dilakukan para idola ini kiranya diteruskan hingga tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, RT/RW. Sebab, yang sering terjadi selama ini, seremonial peluncuran sebuah program sangat marak, meriah, namun operasionalnya di lapangan mati hidup. Hasilnya 'melarat.' Apalagi kalau sang patronnya duduk di belakang meja. Berkotbah makan jagung, tetapi hidangan di mejanya roti dan keju.

Mengubah pola konsumsi dari beras ke makanan non beras dapat menghemat ribuan ton terigu dan devisa jutaan dolar AS. Artinya, kita berhasil mengubah 'batu bertanah' menjadi 'batu berdaun jagung, singkong, ketela, kentang, pisang' dan sebagainya menjadi primadona. Mengapa tidak! *

Bagho dan Kuburan Kuno

Oleh Agus Sape

BAGHO! Nama sebuah kampung tua di wilayah Desa Solo, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo. Ini bukan kampung asalku. Mengunjunginya pun aku belum pernah. Namun, cerita dari Andreas Tuba Ghela kepadaku tentang kampung ini di Redaksi Harian Pos Kupang, kemarin sore, membangkitkan minatku untuk menulisnya. Ya, semacam penyambung lidah.

Andreas Tuba Ghela ini seorang mahasiswa asal Desa Solo. Saat ini dia menjabat ketua Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Asal Boawae yang disingkat HIPPMAB Kupang. Melalui organisasi ini, Andreas dan teman-temannya membangun solidaritas dan rasa cinta akan kampung halaman.

Rasa cinta itu coba mereka wujudkan melalui Kegiatan Bakti Sosial Kemasyarakatan (KBSK) di Desa Solo pada tanggal 27 Juli sampai 3 Agustus 2008. Mengisi waktu liburan.

Ada banyak kegiatan yang mereka lakukan, yaitu bakti sosial, diskusi rakyat, diskusi publik, penyuluhan kesehatan yang dilanjutkan dengan pembagian bubuk abate, pembukaan posko pengaduan, pelatihan OSIS untuk segenap pengurus OSIS SLTP dan SLTA se-Kecamatan Boawae, perlombaan cerdas cermat untuk siswa-siswi sekolah dasar (SD), malam budaya, pengerjaan papan RT, RW, dusun dan desa, pendataan masalah buta huruf, masalah KDRT dan masalah ketenagakerjaan, olahraga rakyat dan kegiatan lainnya yang mengundang perhatian masyarakat.

Di antara sekian banyak kegiatan, ada fakta menarik yang mereka temukan di kampung Bagho. Di kampung ini terdapat kuburan kuno. Dari foto-foto yang diperlihatkan Andreas, tampak kuburan-kuburan itu dibangun berderet memanjang yang ditandai dengan tumpukan lempengan batu kali yang disusun rapi.

Tidak diceritakan kapan kuburan-kuburan itu dibangun. Mereka hanya menyebutnya kuburan kuno. Bisa saja dibangun ratusan tahun atau ribuan tahun lalu. Namun, masyarakat setempat berharap kuburan-kuburan itu dipromosikan sebagai aset wisata Kabupaten Nagekeo.

Sebelum Nagekeo dimekarkan dari kabupaten induk Ngada, kampung Bena, sumber air panas Mengeruda, taman laut 17 pulau Riung dikenal sebagai aset wisata Kabupaten Ngada. Setelah berdiri sendiri, Nagekeo seolah-olah tidak memiliki kawasan wisata yang bisa diandalkan. Hanya ada bendungan Sutami di Mbay. Tapi, sejauh ini bendungan tersebut tidak terawat. Aset wisata satu-satunya yang diharapkan di Nagekeo, ya cuma kampung Bagho dengan kuburan kunonya. Para mahasiswa yang tergabung dalam HIPPMAB berharap agar pemerintah dapat memperhatikan aset tersebut dan mempromosikannya.

Masalahnya, sampai saat ini, akses jalan ke kampung ini masih cukup susah. Dengan pembangunan jalan yang baik diharapkan wisatawan domestik dan mancanegara bisa dengan mudah datang ke kampung ini. Warga setempat dan para anggota HIPPMAB yakin kalau potensi wisata tersebut diperhatikan, maka dampaknya sangat besar bagi masyarakat dan pemerintah setempat.

Tidak hanya kuburan kuno. Desa Solo yang terdiri dari empat wilayah yaitu Solo I, Solo II, Solo III dan Solo IV dengan jumlah penduduk seluruhnya sekitar 690 jiwa, kaya akan potensi pertanian dan perkebunan.

Hasil pantauan para mahasiswa selama seminggu di sana, diketahui bahwa warga Desa Solo umumnya berprofesi petani. Selain menanam padi dan jagung di sawah dan ladang, mereka juga menanam tanaman umur panjang seperti kopi, cengkeh, vanili, coklat (kakao), kemiri, kelapa, jambu mete, bambu, dan lain-lain.

Namun, hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini sulit dijual keluar karena jalan raya menuju ke desa ini belum mendapat perhatian dari pemerintah. Panjang jalan ini dari pusat desa menuju kampung lama (Bagho) sekitar 7 km. *

SYALOM