Oleh Rosalina Langa Woso
SECARA geografis Desa Mangulewa menempati posisi tertinggi Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada. Alam Mangulewa yang dingin, dibalut kabut hampir separuh waktu, membuat warga cenderung 'malas' menyingkap selimut di pagi hari. Banyak aktivitas tertunda. Memindahkan kuda (dheso jara) ke rumput hijau tertunda. Pergi ke kebun (dua uma) pun tertunda.
Tetapi kondisi alam kampungku yang dingin itu dikenal subur. Sayur wortel manis dan segar, pucuk labu, buncis kepompong yang gurih, sawi dan kol berjejer di rebis rumah. Sayur-sayuran itu sangat laris di pasar-pasar tradisional, menembus pasaran Ende, Maumere bahkan Kupang.
Kampungku tidak hanya dikenal sebagai 'gudang sayur'. Ada sumber protein hewani yang diolah oleh nenek moyang sejak tempo dulu. Cara meramu lauk tradisional itu mencegah lahirnya generasi kurang gizi. Sui wu'u menjadi lauk pauk yang digemari masyarakat setempat.
Proses pengawetan sui wu'u tidak menggunakan zat kimia. Daging segar yang tidak habis dikonsumsi dalam suatu pesta perkawinan, pesta adat reba atau acara adat lainnya, dipotong dadu dengan ketebalan 5 cm. Daging itu dibilas hingga bersih lalu ditiriskan hingga kering.
Para ibu rumah tangga selalu menyisihkan tepung jagung (jagung yang ditumbuk pakai lesung) untuk dijadikan bahan pengawet. Tepung jagung yang ditampi warnanya kuning, terasa halus saat dipilin dengan kedua jari tangan. Daging yang telah ditiriskan itu digulung rata dengan tepung jagung. Hampir sama seperti menggulung tepung panir pada menu udang, cumi-cumi ataupun ayam goreng di restoran-restoran kota.
Daging yang terbungkus tepung jagung lalu disimpan dalam tuku (tiga ruas bambu tua) yang kulitnya telah disapih. Ruas bambu dipilih harus sudah tua. Dindingnya dihaluskan dengan sayatan pisau, bagian ujungnya diberi penutup. Fungsinya untuk mengurangi keluar masuknya udara, sehingga daging tidak cepat rusak.
Biasanya tuku yang berisi daging disimpan di dinding sekitar tungku api. Bila dinding dapur tidak luas, biasanya digantung para-para tepat di atas tiga tungku dapur. Pelan tapi pasti, dinding tuku berisi sui wu'u diterpa asap yang mengepul dari tungku api.
Sambil menyelam minum air, itulah ungkapan yang tepat untuk melukiskan proses pengawetan sui wu'u di kampungku. Api yang dinyalakan para ibu rumah tangga tidak hanya untuk menanak nasi, tetapi turut menghangatkan sui wu'u. Daging akan awet sepanjang waktu dengan kehangatan api setiap hari.
Meski daging awet selama beberapa bulan, sui wu'u harus segera dikonsumsi agar aman dan nilai gizinya tetap memenuhi standar kesehatan.
Su'i wu'u biasanya diracik untuk persediaan lauk di masa penceklik atau sebagai bekal untuk menempuh perjalanan jauh. Warga setempat harus meninggalkan perkampungan menuju dataran Zeu (ladang padi dan jagung) yang terkenal subur di Kecamatan Golewa.
Saat ini sui wu'u mulai ditinggalkan. Bisa dihitung dengan jari, masih ada warga Mangulewa yang setia meramunya sebagai lauk keluarga. Kelupaan masyarakat akan sui wu'u dapat dimaklumi karena pesatnya teknologi seperti kulkas, yang mampu mengawetkan daging segar. Padahal, sebelum kulkas hadir dan merajai kota Bajawa, sui wu'u salah satu lauk yang dijamin nyaman untuk konsumsi.
Rasa sui wu'u sama seperti daging yang baru disembelih. Hanya, dalam segi aroma lebih tajam karena diselingi tepung jagung. Sui wu'u akan membangkitkan selera makan bila dibakar dalam bara panas.
Daging ini ditusuk dengan lidi atau kawat kecil, mirip membakar sate. Bara api yang panas membakar seluruh permukaan tepung jagung, aroma menyengat hidung lalu menebar ke atap dapur. Minyak daging yang menetes akan sedap disantap bila dibiarkan jatuh membasahi permukaan helai daun pepaya muda.
Konon daun pepaya akan hilang pahitnya karena telah diluluhlantakkan oleh khasiat minyak sui wu'u. Daging yang telah masak itu diiris sebesar ruas ibu jari. Sui wu'u lalu dibungkus daun pepaya, dicelupkan dalam koro bara lai (lombok yang diberi irisan tomat).
Hem...lebil lezat lagi bila dimakan dengan jagung goreng. Menu ini terasa lengkap kalau diakhiri dengan secangkir tua bhara (tuak putih), yang disadap dari pohon nira di pagi hari.
Kebiasaan untuk meracik sui wu'u bukan sekadar untuk melestarikan budaya nenek moyang. Sejak dulu sui wu'u dijadikan sarana silaturahmi di ladang. Para tamu yang 'gotong royong' menyiangi rumput bisa disuguhi lauk ini. Bila daun pepaya tidak disajikan, sui wu'u nyaman kalau dilahap bersama daun kacang, pucuk labu yang 'dilemaskan' dalam air panas.
Sambil menikmati jagung goreng, sui wu'u dengan seteguk tuak, semua pekerjaaan tanam menanam terasa ringan dan mudah dirampungkan. Usai berladang, mereka duduk bersila (be'i benga) membentuk lingkaran di atas bheja (lantai panggung yang terbuat dari bambu cincang). Punggung disandarkan santai sambil menikmati sui wu'u.
Ada harapan lain yang tersimpan. Agar generasi tidak dicap sebagai generasi kurang gizi, seperti gizi buruk yang terjadi dewasa ini. Sui wu'u, lauk yang bergizi, nyaman, praktis disantap. Sayang, nasibnya menjadi lauk yang terlupakan. *
Senin, 17 November 2008
Cumpe, Rumah di Atas Batu
Oleh Agus Sape
CUKUP lama saya diledek teman-teman sekolah gara-gara kampungku ini. Kampungku dianggap kolot dan tidak berkembang, karena hanya terdiri dari tujuh rumah dan dikelilingi batu-batu. Sakit rasanya diledek seperti itu.
Tetapi, ketika belajar di perguruan tinggi, saya berani membalikkan anggapan-anggapan jelek itu. Kepada teman- teman saya memproklamirkan bahwa sesungguhnya kampungku itu polis -- sama seperti polis Athena, Sparta, dan seterusnya di Yunani, dari mana lahir para filsuf, pemikir hebat. Socrates, Aristoteles, dan sebagainya.
Dengan gaya agak joak, sekali lagi saya memproklamirkan kepada teman-teman bahwa kampungku itu juga sudah melahirkan filsuf. Sekurang-kurangnya saya sendiri. Teman- temanku yang biasa meledek kampungku ini pada bengong.
Kampungku ini namanya Cumpe. Masuk dalam wilayah Desa Golo, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Kalau Anda berangkat dari Pagal, ibukota Kecamatan Cibal, ke timur menuju pusat paroki Rii di Beamese, maka kampung pertama yang Anda lewati adalah Cumpe. Jaraknya tidak sampai 5 km dari Pagal.
Kampungku itu memang kecil saja. Terletak di lereng. Sampai dengan tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah di SDK Golo, kampung ini hanya terdiri dari tujuh buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun mengelilingi halaman (natas) kampung.
Halaman kampung ini berfondasikan batu cadas. Supaya rata
dan bertambah luas, batu-batu disusun rapi (kota) di sisi utara dan selatan halaman. Di bagian barat (paang), dekat kaki lereng, terdapat batu-batu besar yang memagari sekaligus memisahkan halaman kampung dari jalan umum. Sedangkan di bagian timur (ngaung), terdapat sejumlah batu raksasa. Kampung ini memang dikelilingi batu-batu raksasa. Kalau dihitung dari dasar, ada yang tingginya mencapai puluhan meter. Gamang kalau belum biasa.
Batu-batu itu berfungsi sebagai benteng dan penopang bagi penghuni kampung. Salah satu batu dengan ketinggian belasan meter memiliki permukaan rata. Luasnya bisa mencapai tiga kali luas lapangan tenis. Tapi, bagian lainnya yang menghadap ke halaman (natas) agak landai. Di bagian ini orang bisa turun naik dengan leluasa.
Saya berani mengklaim batu ini sebagai salah satu keajaiban dunia. Bagaimana tidak, di salah satu sisi permukaan batu itu berdiri kokoh sebuah rumah papan (mbaru pesek). Ketika saya lahir pada akhir 1960-an, rumah itu sudah ada. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu lokal diletakkan saja di atas permukaan batu. Belum pernah rumah itu goyah dihantam angin.
Bagian terbesar dari permukaan batu itu dijadikan halaman. Dari halaman itu warga bisa memandang jauh ke berbagai arah. Kalau cuaca cerah, permukaan laut di pantai utara (Reo) bisa dilihat dari batu ini. Deretan bukit yang membanjar dari utara ke selatan di wilayah Lambaleda dan Elar bisa dilihat dengan jelas.
Sempai dengan usia SD, saya dan teman-teman bermain dan berlari-lari di atas batu itu. Kami tidak takut jatuh.
Saya ingat dua anak pernah jatuh ke jurang batu itu. Tapi, aneh bin ajaib, tidak jatuh sampai di tanah. Yang satu tertahan pada tumbuhan yang menempel di jurang batu. Satu lagi tertahan pada seutas tali yang sangat rapuh. Keduanya berhasil diselamatkan tanpa cedera dan masih hidup sampai sekarang.
Pagi-pagi, sebelum cahaya matahari mencapai bumi, bolanya yang muncul dari balik bukit di wilayah Elar langsung bisa dilihat dari atas batu ini. Maka, saya pun sering menyebut kawasan kampung ini dan sekitarnya sebagai "negeri matahari".
Warga setempat biasa menjemur padi dan kopi langsung di atas permukaan batu itu. Kalau cuaca cerah, dalam tempo dua hari saja kopi sudah kering.
Kampung ini diselimuti pohon-pohon kopi, kemiri dan pohon buah-buahan lainnya. Di bagian yang lebih rendah dari lereng kampung ini terdapat hamparan sawah. Sawah-sawah itu mendapat air dari sejumlah kali yang menuruni lereng. Ada kali Wae Keseng, Wae Nampar dan Wae Munta. Sejumlah kali itu bermuara di Wae Kebong, kali paling besar. Di Wae Kebong warga membangun bendung dan membuka dam untuk mengalirkan air ke sawah.
Sebelum menanam padi pada musim hujan, petak-petak sawah ditanami dengan jagung. Padi ditanam setelah memanen jagung.
Saya tidak mengklaim tanah di kampungku ini subur. Yang pasti warga di kampung ini bisa memenuhi sendiri kebutuhan makan minumnya sepanjang tahun. Mereka punya padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-sayuran di kebun. Bahkan mereka bisa menjualnya pada hari pasar di Pagal. Mereka punya kopi, kemiri, jeruk, pisang dan sebagainya.
Tetapi pada tahun 2007, pada saat jatuh korban tanah longsor di Gapong dan Golo Gega, warga kampungku turut mengungsi ke Pagal. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai anak kampung, saya sedih mendengar warga kampungku lari terbirit-birit takut tertindis tanah longsor.
Memang kampungku sekarang sudah banyak berubah. Kampungku yang dulu gerbangnya dipagari batu-batu besar sudah disingkirkan semuanya untuk membuka jalan raya dari Pagal menuju Beamese. Jalan itu dirintis sejak akhir 1980-an dan sekarang sudah diaspal. Sejak jalan raya dibuka, perlahan- lahan warga keluar dari kampung itu, membangun rumah di pinggir-pinggir jalan raya.
Tetapi yang terancam ditindis longsor pada tahun 2007 itu justru rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Bahkan pada awal tahun 2008 ini, sebuah rumah dan mesin giling tertindis batu yang runtuh dari tebing jalan.
Saya pun sadar, ternyata para pendiri kampungku tidak bodoh. Bahkan mereka boleh disebut pemikir. Ternyata kampungku kecil bukan karena tidak berkembang, tetapi memang bagian yang cocok untuk pemukiman hanya seluas itu. Dulu mereka tidak pernah membangun rumah langsung di kaki lereng atau di sepanjang jalan. Saya pastikan batu-batu yang pernah diletakkan di gerbang kampung justru untuk membendung batu yang mungkin terguling dari atas lereng bukit.
Untuk menampung perkembangan penduduk pada waktu itu, dibangunlah kampung Mawe disusul Wune, dua atau tiga kilometer dari kampung ini. Bukti bahwa warga di dua kampung itu berasal dari kampungku ini, dalam urusan adat dan pemerintahan mereka masih bersama-sama. Kebun mereka juga di lokasi yang sama. (email:asape_2005@yahoo.co.id)
CUKUP lama saya diledek teman-teman sekolah gara-gara kampungku ini. Kampungku dianggap kolot dan tidak berkembang, karena hanya terdiri dari tujuh rumah dan dikelilingi batu-batu. Sakit rasanya diledek seperti itu.
Tetapi, ketika belajar di perguruan tinggi, saya berani membalikkan anggapan-anggapan jelek itu. Kepada teman- teman saya memproklamirkan bahwa sesungguhnya kampungku itu polis -- sama seperti polis Athena, Sparta, dan seterusnya di Yunani, dari mana lahir para filsuf, pemikir hebat. Socrates, Aristoteles, dan sebagainya.
Dengan gaya agak joak, sekali lagi saya memproklamirkan kepada teman-teman bahwa kampungku itu juga sudah melahirkan filsuf. Sekurang-kurangnya saya sendiri. Teman- temanku yang biasa meledek kampungku ini pada bengong.
Kampungku ini namanya Cumpe. Masuk dalam wilayah Desa Golo, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai. Kalau Anda berangkat dari Pagal, ibukota Kecamatan Cibal, ke timur menuju pusat paroki Rii di Beamese, maka kampung pertama yang Anda lewati adalah Cumpe. Jaraknya tidak sampai 5 km dari Pagal.
Kampungku itu memang kecil saja. Terletak di lereng. Sampai dengan tahun 1980-an, ketika saya masih sekolah di SDK Golo, kampung ini hanya terdiri dari tujuh buah rumah. Rumah-rumah itu dibangun mengelilingi halaman (natas) kampung.
Halaman kampung ini berfondasikan batu cadas. Supaya rata
dan bertambah luas, batu-batu disusun rapi (kota) di sisi utara dan selatan halaman. Di bagian barat (paang), dekat kaki lereng, terdapat batu-batu besar yang memagari sekaligus memisahkan halaman kampung dari jalan umum. Sedangkan di bagian timur (ngaung), terdapat sejumlah batu raksasa. Kampung ini memang dikelilingi batu-batu raksasa. Kalau dihitung dari dasar, ada yang tingginya mencapai puluhan meter. Gamang kalau belum biasa.
Batu-batu itu berfungsi sebagai benteng dan penopang bagi penghuni kampung. Salah satu batu dengan ketinggian belasan meter memiliki permukaan rata. Luasnya bisa mencapai tiga kali luas lapangan tenis. Tapi, bagian lainnya yang menghadap ke halaman (natas) agak landai. Di bagian ini orang bisa turun naik dengan leluasa.
Saya berani mengklaim batu ini sebagai salah satu keajaiban dunia. Bagaimana tidak, di salah satu sisi permukaan batu itu berdiri kokoh sebuah rumah papan (mbaru pesek). Ketika saya lahir pada akhir 1960-an, rumah itu sudah ada. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu lokal diletakkan saja di atas permukaan batu. Belum pernah rumah itu goyah dihantam angin.
Bagian terbesar dari permukaan batu itu dijadikan halaman. Dari halaman itu warga bisa memandang jauh ke berbagai arah. Kalau cuaca cerah, permukaan laut di pantai utara (Reo) bisa dilihat dari batu ini. Deretan bukit yang membanjar dari utara ke selatan di wilayah Lambaleda dan Elar bisa dilihat dengan jelas.
Sempai dengan usia SD, saya dan teman-teman bermain dan berlari-lari di atas batu itu. Kami tidak takut jatuh.
Saya ingat dua anak pernah jatuh ke jurang batu itu. Tapi, aneh bin ajaib, tidak jatuh sampai di tanah. Yang satu tertahan pada tumbuhan yang menempel di jurang batu. Satu lagi tertahan pada seutas tali yang sangat rapuh. Keduanya berhasil diselamatkan tanpa cedera dan masih hidup sampai sekarang.
Pagi-pagi, sebelum cahaya matahari mencapai bumi, bolanya yang muncul dari balik bukit di wilayah Elar langsung bisa dilihat dari atas batu ini. Maka, saya pun sering menyebut kawasan kampung ini dan sekitarnya sebagai "negeri matahari".
Warga setempat biasa menjemur padi dan kopi langsung di atas permukaan batu itu. Kalau cuaca cerah, dalam tempo dua hari saja kopi sudah kering.
Kampung ini diselimuti pohon-pohon kopi, kemiri dan pohon buah-buahan lainnya. Di bagian yang lebih rendah dari lereng kampung ini terdapat hamparan sawah. Sawah-sawah itu mendapat air dari sejumlah kali yang menuruni lereng. Ada kali Wae Keseng, Wae Nampar dan Wae Munta. Sejumlah kali itu bermuara di Wae Kebong, kali paling besar. Di Wae Kebong warga membangun bendung dan membuka dam untuk mengalirkan air ke sawah.
Sebelum menanam padi pada musim hujan, petak-petak sawah ditanami dengan jagung. Padi ditanam setelah memanen jagung.
Saya tidak mengklaim tanah di kampungku ini subur. Yang pasti warga di kampung ini bisa memenuhi sendiri kebutuhan makan minumnya sepanjang tahun. Mereka punya padi, jagung, ubi-ubian, dan sayur-sayuran di kebun. Bahkan mereka bisa menjualnya pada hari pasar di Pagal. Mereka punya kopi, kemiri, jeruk, pisang dan sebagainya.
Tetapi pada tahun 2007, pada saat jatuh korban tanah longsor di Gapong dan Golo Gega, warga kampungku turut mengungsi ke Pagal. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebagai anak kampung, saya sedih mendengar warga kampungku lari terbirit-birit takut tertindis tanah longsor.
Memang kampungku sekarang sudah banyak berubah. Kampungku yang dulu gerbangnya dipagari batu-batu besar sudah disingkirkan semuanya untuk membuka jalan raya dari Pagal menuju Beamese. Jalan itu dirintis sejak akhir 1980-an dan sekarang sudah diaspal. Sejak jalan raya dibuka, perlahan- lahan warga keluar dari kampung itu, membangun rumah di pinggir-pinggir jalan raya.
Tetapi yang terancam ditindis longsor pada tahun 2007 itu justru rumah-rumah yang dibangun di tepi jalan raya. Bahkan pada awal tahun 2008 ini, sebuah rumah dan mesin giling tertindis batu yang runtuh dari tebing jalan.
Saya pun sadar, ternyata para pendiri kampungku tidak bodoh. Bahkan mereka boleh disebut pemikir. Ternyata kampungku kecil bukan karena tidak berkembang, tetapi memang bagian yang cocok untuk pemukiman hanya seluas itu. Dulu mereka tidak pernah membangun rumah langsung di kaki lereng atau di sepanjang jalan. Saya pastikan batu-batu yang pernah diletakkan di gerbang kampung justru untuk membendung batu yang mungkin terguling dari atas lereng bukit.
Untuk menampung perkembangan penduduk pada waktu itu, dibangunlah kampung Mawe disusul Wune, dua atau tiga kilometer dari kampung ini. Bukti bahwa warga di dua kampung itu berasal dari kampungku ini, dalam urusan adat dan pemerintahan mereka masih bersama-sama. Kebun mereka juga di lokasi yang sama. (email:asape_2005@yahoo.co.id)
Menyikapi Tawuran Antar-Pelajar
Oleh Sipri Seko
PANITIA turnamen sepakbola antar-pelajar dan mahasiswa Faperta Undana Cup beberapa tahun lalu memberikan sanksi larangan berpartisipasi kepada tim SMKN 2 (STM) Kupang. Mereka dinilai telah mencemarkan visi dan misi Faperta Cup, yakni menjalin kebersamaan antar-sesama pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang sambil menggapai prestasi.
Saat tim kalah, suporternya sering membuat ulah dengan menyerang suporter lain. Bahkan mereka tak segan-segan merusak kelengkapan pertandingan. Sanksi tersebut diberikan agar mereka benar-benar jera dan menghargai semangat sportivitas, mengakui adanya kekalahan dan kemenangan.
Dalam satu pekan terakhir ini tawuran antar-pelajar terjadi di Kota Kupang. Pada hari Jumat (7/11/2008), siswa SMA Negeri 5 dan SMK Negeri 4 Kupang saling lempar batu. Dalam kejadian itu, kaca jendela enam ruangan kelas SMK Negeri 5 pecah berantakan.
Perseoalannya sepele, karena kesalahpahaman. Namun akibatnya, beberapa jendela SMK Negeri 4 juga pecah berantakan dan beberapa orang terluka akibat pecahan kaca. Selain itu, kepala sekolah dua sekolah tersebut dipanggil aparat kepolisian untuk diambil keterangannya.
Tak sampai sepekan, pada Rabu (12/11/2008), sejumlah siswa dari SMAN 1, SMKN 2, SMAN 2 dan SMA PGRI Kupang terlibat tawuran di halaman depan SMAN 1 Kupang. Tak diketahui pasti apa motifnya, namun para siswa bakupukul sehingga harus diamankan pihak kepolisian.
Apa pun motifnya, tawuran antar-pelajar merupakan fenomena sosial yang sangat menarik. Ada banyak pandangan untuk menilai sebab-sebab terjadinya tawuran antar-pelajar. Ada yang menyebutnya karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya, mereka mudah tertekan. Ada juga yang bilang karena pelajar sekarang sudah sangat agresif, sementara even untuk mengeksploitasi dirinya sangat minim.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perkembangan zaman yang sangat kompleks dan beragam memberikan rangsangan yang sangat kuat terhadap para pelajar. Akibatnya, kalau mereka tidak mampu memanfaatkannya untuk memajukan dirinya, maka yang terjadi adalah melakukan hal-hal negatif seperti tawuran, mabuk-mabukan, bahkan bukan tidak mungkin akan menjurus kepada free sex dan penggunaan narkotik dan obat-obat terlarang lainnya.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Faktor dasarnya adalah pola pembinaan. Pembinaan terhadap anak dari rumah hingga sekolah akan menjadi tolok ukur kepribadian seorang pelajar. Nilai-nilai budi pekerti dan kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial harus ditanamkan sejak dini. Pasalnya, saat dia bergabung dalam sebuah lingkungan, biasanya dia akan menyerahkan dirinya secara total. Di sini kalau sudah terlambat diberikan, sementara para pelajar sendiri sudah masuk dalam lingkup yang beragam, mereka biasanya akan sukar untuk memilih. Dan, di saat bingung seperti ini godaan-godaan negatif akan mudah membuat mereka terjerumus.
Ada yang menarik dari peristiwa tawuran antar-pelajar yang terjadi di Kota Kupang. Para pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Bahkan SMA Negeri 1 Kupang adalah salah satu sekolah contoh di NTT. Pertanyaannya adalah, apakah fasilitas komplit yang dimiliki sekolah tak mampu menjadikan para siswanya sedikit betah untuk belajar daripada keluyuran di jalanan?
Tampaknya, operasi penertiban yang dilakukan aparat polisi pamong praja harus terus dilakukan. Siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan saat jam sekolah harus ditertibkan. Berikan sanksi dan teguran tegas kepada mereka. Arahkan mereka agar mencintai pelajaran di sekolah demi masa depannya.
Ketika para pelajar bakulempar atau bakupukul, kita tidak boleh menyebut itu sebagai sebuah kenakalan remaja. Sebagai seorang pelajar, biasanya mereka terlibat dalam sebuah even karena sedang berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kalau dia senang berkelahi, itu mungkin karena dia ingin disegani di antara rekan- rekannya.
Untuk itu, pembinaan sikap dan mental pelajar harus terus digalakkan. Keberhasilan dan prestasi sebuah sekolah tidak hanya terletak dari persentase lulusannya, tapi apakah lulusannya mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tidak. Atau apakah para pelajar memiliki moral yang baik atau tidak. Pasalnya, kelulusan bisa diukur dengan persentasi, tapi moral yang baik hanya bisa dibuktikan dalam tingkah laku anak didiknya. Ketika para pelajar saling tawuran, itu berarti sekolah belum mampu menanamkan sikap moral yang baik kepada siswanya. *
PANITIA turnamen sepakbola antar-pelajar dan mahasiswa Faperta Undana Cup beberapa tahun lalu memberikan sanksi larangan berpartisipasi kepada tim SMKN 2 (STM) Kupang. Mereka dinilai telah mencemarkan visi dan misi Faperta Cup, yakni menjalin kebersamaan antar-sesama pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang sambil menggapai prestasi.
Saat tim kalah, suporternya sering membuat ulah dengan menyerang suporter lain. Bahkan mereka tak segan-segan merusak kelengkapan pertandingan. Sanksi tersebut diberikan agar mereka benar-benar jera dan menghargai semangat sportivitas, mengakui adanya kekalahan dan kemenangan.
Dalam satu pekan terakhir ini tawuran antar-pelajar terjadi di Kota Kupang. Pada hari Jumat (7/11/2008), siswa SMA Negeri 5 dan SMK Negeri 4 Kupang saling lempar batu. Dalam kejadian itu, kaca jendela enam ruangan kelas SMK Negeri 5 pecah berantakan.
Perseoalannya sepele, karena kesalahpahaman. Namun akibatnya, beberapa jendela SMK Negeri 4 juga pecah berantakan dan beberapa orang terluka akibat pecahan kaca. Selain itu, kepala sekolah dua sekolah tersebut dipanggil aparat kepolisian untuk diambil keterangannya.
Tak sampai sepekan, pada Rabu (12/11/2008), sejumlah siswa dari SMAN 1, SMKN 2, SMAN 2 dan SMA PGRI Kupang terlibat tawuran di halaman depan SMAN 1 Kupang. Tak diketahui pasti apa motifnya, namun para siswa bakupukul sehingga harus diamankan pihak kepolisian.
Apa pun motifnya, tawuran antar-pelajar merupakan fenomena sosial yang sangat menarik. Ada banyak pandangan untuk menilai sebab-sebab terjadinya tawuran antar-pelajar. Ada yang menyebutnya karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan. Akibatnya, mereka mudah tertekan. Ada juga yang bilang karena pelajar sekarang sudah sangat agresif, sementara even untuk mengeksploitasi dirinya sangat minim.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perkembangan zaman yang sangat kompleks dan beragam memberikan rangsangan yang sangat kuat terhadap para pelajar. Akibatnya, kalau mereka tidak mampu memanfaatkannya untuk memajukan dirinya, maka yang terjadi adalah melakukan hal-hal negatif seperti tawuran, mabuk-mabukan, bahkan bukan tidak mungkin akan menjurus kepada free sex dan penggunaan narkotik dan obat-obat terlarang lainnya.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Faktor dasarnya adalah pola pembinaan. Pembinaan terhadap anak dari rumah hingga sekolah akan menjadi tolok ukur kepribadian seorang pelajar. Nilai-nilai budi pekerti dan kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial harus ditanamkan sejak dini. Pasalnya, saat dia bergabung dalam sebuah lingkungan, biasanya dia akan menyerahkan dirinya secara total. Di sini kalau sudah terlambat diberikan, sementara para pelajar sendiri sudah masuk dalam lingkup yang beragam, mereka biasanya akan sukar untuk memilih. Dan, di saat bingung seperti ini godaan-godaan negatif akan mudah membuat mereka terjerumus.
Ada yang menarik dari peristiwa tawuran antar-pelajar yang terjadi di Kota Kupang. Para pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Bahkan SMA Negeri 1 Kupang adalah salah satu sekolah contoh di NTT. Pertanyaannya adalah, apakah fasilitas komplit yang dimiliki sekolah tak mampu menjadikan para siswanya sedikit betah untuk belajar daripada keluyuran di jalanan?
Tampaknya, operasi penertiban yang dilakukan aparat polisi pamong praja harus terus dilakukan. Siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan saat jam sekolah harus ditertibkan. Berikan sanksi dan teguran tegas kepada mereka. Arahkan mereka agar mencintai pelajaran di sekolah demi masa depannya.
Ketika para pelajar bakulempar atau bakupukul, kita tidak boleh menyebut itu sebagai sebuah kenakalan remaja. Sebagai seorang pelajar, biasanya mereka terlibat dalam sebuah even karena sedang berusaha untuk menemukan identitas dirinya. Kalau dia senang berkelahi, itu mungkin karena dia ingin disegani di antara rekan- rekannya.
Untuk itu, pembinaan sikap dan mental pelajar harus terus digalakkan. Keberhasilan dan prestasi sebuah sekolah tidak hanya terletak dari persentase lulusannya, tapi apakah lulusannya mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tidak. Atau apakah para pelajar memiliki moral yang baik atau tidak. Pasalnya, kelulusan bisa diukur dengan persentasi, tapi moral yang baik hanya bisa dibuktikan dalam tingkah laku anak didiknya. Ketika para pelajar saling tawuran, itu berarti sekolah belum mampu menanamkan sikap moral yang baik kepada siswanya. *
Langganan:
Postingan (Atom)