Jumat, 19 Agustus 2011

Merdeka Saat Masyarakat Belum Merdeka

DALAM sebuah kegiatan wartawan nasional, diagendakan pembahasan tentang nasib sepakbola Indonesia. Meski masuk dalam acara serba-serbi, namun para wartawan, terutama dari wilayah Indonesia Timur, tampak sangat antusias menunggu agenda ini. Tampaknya mereka ingin menumpahkan semua unek-unek masyarakat sepakbola di daerahnya. Semua sepakat bahwa salah satu penyebab mandeknya prestasi sepakbola Indonesia karena pembinaan hanya berpusat di Jawa. Hanya pemain di Jawa yang dipantau untuk diseleksi. Pemain-pemain asal wilayah Indonesia Timur diabaikan. Padahal prestasi klub sepakbola di wilayah ini secara nasional sangat bagus.

Tuntas sudah unek-unek itu disuarakan. Namun prestasi;sepakbola tak kunjung menghampiri Indonesia. Pembinaan masih status quo. Yang di sana tetap menguasai. Kita yang di sini hanya bisa menonton di televisi, padahal kaki gatal untuk ikut menendang karena punya kualitas.

Hari-hari ini, Bangsa Indonesia di seluruh pelosok sedang merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-66 Kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar perkasa di mana- mana. Semua sepakat, inilah harinya Indonesia. Hari di mana Indonesia bebas dari kolonialisme. Hari di mana rakyat Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri. Benarkah demikian?

Ada satu statemen menarik yang dilontarkan Manuel da Cruz, warga Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Manuel da Cruz dan Fernando Cardoso yang berada di perbatasan RI-RDTL, menilai, kemerdekaan  Republik Indonesia selama 66 tahun ini hanya berada di Jawa. Pasalnya, infranstruktur jalan, penerangan, perumahan dan air bersih bagi masyarakat di perbatasan belum dinikmati secara merata. Ke depan pemerintah perlu memperhatikan pembangunan perbatasan sehingga tidak tertinggal dengan masyarakat di perbatasan Timor Leste.

Manuel dan Fernando Cardoso tidak salah. Sama seperti rekan dan sanaknya yang lain, mereka memilih bergabung ke NKRI dengan harapan di sana tak hanya kemerdekaan yang diperoleh, tapi kesejahteraan pun dinikmati. Namun harapan itu tinggal harapan. Mereka hanya merdeka dari kolonialisme. Kolonialisme di Indonesia dan Timor Leste. Namun mereka tetap tidak merdeka dalam mengecap nikmatnya pembangunan, apalagi bicara kesejahteraan. Mereka masih dibiarkan merana. Tinggal di gubuk darurat yang terbuat dari daun gewang beratapkan gedek dari bambu. Kebutuhan lain seperti air dan apalagi listrik, hanya impian yang tak pasti. Kondisinya sudah demikian. Memang sudah saatnya kita bicara. Kita tidak boleh tinggal diam. Apa yang terjadi di lingkungan kita harus diketahui oleh dunia luar. Bisa saja pembangunan tidak menyentuh daerah-daerah tertentu karena informasi tidak sampai kepada para pengambil keputusan. Atau bisa saja mereka sudah tahu tapi berperilaku apatis. Untuk itu, bersuara agar didengar dan dilihat itu sangat penting.

Semua masyarakat NTT masih ingat ketika Presiden SBY dan puluhan pejabat negara menghadiri peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2011 di Kupang, 7 Februari lalu. Presiden meminta semua perhatian negara diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama NTT. Malah, Presiden mengeluarkan statemen akan segera mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang percepatan pembangunan di NTT. Memang tidak serta merta semua itu terlaksana karena butuh proses. Namun di saat usia Indonesia sudah 66 tahun dan masih ada rakyat yang menjerit karena belum merasakan nikmatnya kemerdekaan, ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting.

Manuel dan Cardoso mungkin hanya mewakili ribuan suara lainnya. Di Papua, bendera bintang kejora malah dikibarkan saat perayaan HUT ke-66 Kemerdekaan RI. Hal ini harus diartikan sebagai protes dari sebuah ketidakadilan. Protes dari tidak meratanya pembangunan.  Pada kondisi seperti ini, pemerintah daerah harus berani bersikap. Berani  menyuarakan aspirasi demi kesejahteraan masyarakat banyak bukan sesuatu yang tabu. Bukan menuntut tapi itu hak kita. Jangan hanya mau dikuras tapi kita juga harus menikmatinya.  Suara masyarakat Silawan hanya untuk mengingatkan kita di saat semua rumah dan jalanan bendera merah putih berkibar megah. Mungkinkah tahun depan suara ini terdengar lagi? *

SYALOM