DUA taekwondoin NTT, Dudy Baranuri dan Jason Hornay akan mewakili Indonesia dalam kejuaraan dunia Korea Open bulan Oktober mendatang. Saat ini keduanya sudah berada di pelatihan terpusat nasional (Pelatda) di Jakarta. Demikian diinformasikan Wakil Sekretaris Pengprop TI NTT, Gabriel Wio, di Kupang, Kamis (18/9/2008).
Menurut Wio, Dudy dan Jason yang memperkuat NTT dalam PON XVII 2008 lalu langsung dipanggil masuk pelatnas di Jakarta sejak satu bulan lalu. Karena mengalami kemajuan teknis, kata Wio, Dudy dan Jason akan dikirim ke Korea Open sebagai ajang ujicoba menghadapi SEA Games bulan November mendatang.
"Jason meski tidak merebut medali di PON, namun oleh PB TI dianggap memiliki potensi. Dia dipanggil ke pelatnas sehingga untuk sementara dia dititipkan untuk sekolah di SMA Ragunan. Ada harapan saat mereka pulang, banyak ilmu yang bisa ditularkan ke atlet-atlet kita di NTT. Berdasarkan evaluasi tim pelatih pelatnas yang kami peroleh, kedua atlet kita ini mengalami kemajuan teknik dan fisik yang cukup bagus. Kita harapkan Dudy dan Jason bisa meraih hasil yang menggembirakan di Korea," kata Wio.
Selain Dudy dan Jason, menurut Wio, atlet kelahiran Kupang, Alfred Blegur, yang mutasi ke Kalimantan Timur juga akan dikirim ke kejuaraan dunia, Amerika Open. "Dikirimnya tiga atlet kita menunjukkan bahwa taekwondo NTT sudah masuk level nasional. Ini akan menjadi tantangan pembinaan di NTT," ujarnya.
Terkait kegiatan di tingkat Pengprop TI NTT, Wio mengatakan, direncanakan akan digelar kejuaraan daerah (Kejurda) pada bulan November nanti. "Panitia kejurda sudah terbentuk. Kami juga sudah menghubungi pengurus tingkat kabupaten untuk mempersiapkan atletnya karena kejurda ini juga akan menjadi ajang seleksi atlet menghadapi kejuaraan-kejuaraan tingkat nasional tahun depan," ujarnya. (eko)
Jumat, 19 September 2008
PSK Tolak Ikut ETMC
PS Kabupaten Kupang (PSK) menolak untuk ikut dalam turnamen El Tari Memorial Cup (ETMC) 2008. Alasannya, penundaan pelaksanaan pada bulan November oleh panitia hanya sepihak tanpa alasan yang kuat. Demikian dikatakan Sekretaris PSK, Helmit Marcus, S.H, ketika menghubungi Pos Kupang, Kamis (18/9/2008).
"Kalau pelaksanaan El Tari Cup dilakukan bulan November maka kami menolak ikut. Alasan kami adalah November sudah turun hujan, sehingga kalau dipertandingkan, jelas target pembinaan tidak akan tercapai. Sampai saat ini pun kami belum menerima surat pemberitahuan dari panitia bahwa akan ditunda. Informasi yang kami peroleh, Pengprop PSSI sudah membatalkannya dan event penggantinya adalah Piala Gubernur," ujar Helmit.
Menurut Helmit, setelah mendapat informasi pembatalan ETMC 2008, pihaknya langsung menghentikan latihan. PSK, kata Helmit, baru akan melanjutkan latihannya pekan depan sebagai persiapan menghadapi Piala Gubernur. "Sudah satu bulan kami hentikan latihan untuk El Tari Cup. Kami akan kembali berlatih minggu depan untuk menghadapi Piala Gubernur. Bagi kami di PSK, ini lebih bagus, daripada harus bermain di El Tari Cup. Saya sudah kontak Pak Tinus (Marthinus Meowatu/Sekretaris PSSI NTT) dan dia bilang surat pembatalan El Tari Cup dan pelaksanaan Piala Gubernur sudah disiapkan tapi belum dikirim ke perserikatan karena belum ditandatangani Ketua PSSI (Frans Lebu Raya)," ujar Helmit.
Sebelumnya, Sekretaris Panitia ETMC 2008, Ferdy Burah mengatakan, pihaknya menunda pelaksanaan ETMC 2008 dari tanggal 13 Oktober ke 2 November dengan alasan, pada saat bersamaan ada delapan perserikatan yang sedang melangsungkan pemilihan kepala daerah. Menurutnya, pemkab dan masyarakat Ngada telah siap menyukseskan event tersebut. (eko)
Wasit Jadi Kambing Hitam
Catatan Yang Tersisa
Oleh Sipri Seko
MANAJER Platina FC, Melkisedek L Madi dan pelatih Bon Kota Adonara, Asril Laba, mengeluarkan statemen bahwa klubnya tidak akan ikut turnamen sepakbola di Kota Kupang, kalau wasit-wasit yang ada masih dipakai memimpin pertandingan. Mereka menilai wasit yang ada sudah terlalu tua untuk memimpin pertandingan dengan tempo tinggi. Pengaduan yang sama sebenarnya datang dari sebagian besar pelatih peserta turnamen yang diterima panitia.
Panitia pelaksana dari Mitra Sportindo Event Organizer tidak bisa berkomentar banyak menerima pengaduan ini. Urusan perwasitan, berhubungan langsung dengan Pengprop PSSI NTT. Panitia hanya sebatas menginformasikan pengaduan itu, namun urusan menentukan siapa yang memimpin dan bagaimana kualitas kepemimpinannya, bukan menjadi urusannya.
Urusan wasit dalam turnamen sepakbola di NTT masih menjadi persoalan. Ada banyak contoh kericuhan dalam turnamen-turnamen resmi yang penyebab utamanya berawal dari kepemimpinan wasit. Contoh paling nyata adalah dipenjaranya striker Kristal FC, Maksi Kami, karena memukul wasit, Ruben Huru saat penyelenggaraan turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2007. Kasus ini pun menjadi pelajaran penting bagi para pemain dan pelatih. Mereka mungkin geram terhadap keputusan wasit, namun mereka juga tak ingin menginap di 'hotel pordeo.'
Dari sisi kualitas dan pemahaman terhadap aturan, sebenarnya wasit-wasit kita sangat mampu. Yang jadi soal mungkin usia mereka. Dengan usia rata-rata di atas 45 tahun, kebugaran mereka, baik fisik maupun konsentrasi menjadi pertanyaan. Ketidakmampuan untuk terus berlari mendekati bola sesuai aturan FIFA membuat mereka terkadang masih salah mengambil keputusan. Tapi, apakah kita harus terus mempersalahkan mereka?
Itulah kelemahan kita bersama. Belum ada yang memikirkan peran wasit dalam memajukan sepakbola. Kita masih sebatas yang penting bersertifikat, masih mau memimpin dan tahu aturan, dia layak pimpin pertandingan. Padahal, badan sepakbola dunia, FIFA, memiliki aturan tentang pembatasan usia wasit. Contoh nyata adalah wasit ternama asal Italia, Piarluigi Collina yang harus pensiun di usia 45 tahun, meski masih menjadi wasit terbaik dunia saat ini.
Lalu, apa penyebab kita tidak melakukan regenerasi wasit? Banyak potensi yang seharusnya bisa dibina menjadi wasit berkualitas, namun belum dilaksanakan. Lihat saja keputusan Mitra Sportindo untuk menggunakan mahasiswa jurusan olahraga dari FKIP Unkris memimpin pertandingan ujicoba atau turnamen tak resmi lainnya yang mereka selenggarakan. Yudikar Praing, Musa Luluporo dkk menunjukkan kualitas yang cukup bagus. Mereka juga mampu berlari dan berkonsentrasi penuh selama pertandingan berlangsung. Sayangnya, mereka belum memiliki sertifikasi untuk memimpin pertandingan.
Ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama. PSSI, klub, pemain, pelatih, ofisial, penyelenggara maupun sponsor harus duduk bersama dan sepakat untuk mencarikan solusinya. Para wasit senior yang ada harus dimintai tanggapannya. Mereka harus diajak untuk bersama-sama melahirkan generasi-generasi baru yang bisa melanjutkan tugas mereka memimpin dan menegakan aturan permainan.
Kita semua tahu profesi wasit sepakbola di NTT, bukan merupakan tempat mencari makan. Para wasit lebih memimpin hanya demi sepakbola. Mereka juga tentu tak ingin namanya terus diteriaki pemain, pelatih, ofisial atau bahkan dilempari penonton. Mereka juga memiliki keluarga yang sangat menghormati mereka sama seperti orang kebanyakan lainnya.
Untuk itu, kalau memang wasit masih terus diprotes klub peserta, mereka masih dituding sebagai kambing hitam di balik kekalahan tim maka harus ada solusinya. Harus ada aksi bersama. Kalau memang sudah saatnya regenerasi, lakukanlah itu. Kalau memang jumlah wasit yang ada masih sangat sedikit sehingga mereka terus dipaksa memimpin, gelarlah pelatihan minimal bersertifikasi C3 untuk memimpin turnamen-turnamen antar-klub di daerah. Namun, yang harus dicatat, kalau mau menggelar sertifikasi wasit, faktor usia harus jadi persyaratan mutlak. (bersambung)
Oleh Sipri Seko
MANAJER Platina FC, Melkisedek L Madi dan pelatih Bon Kota Adonara, Asril Laba, mengeluarkan statemen bahwa klubnya tidak akan ikut turnamen sepakbola di Kota Kupang, kalau wasit-wasit yang ada masih dipakai memimpin pertandingan. Mereka menilai wasit yang ada sudah terlalu tua untuk memimpin pertandingan dengan tempo tinggi. Pengaduan yang sama sebenarnya datang dari sebagian besar pelatih peserta turnamen yang diterima panitia.
Panitia pelaksana dari Mitra Sportindo Event Organizer tidak bisa berkomentar banyak menerima pengaduan ini. Urusan perwasitan, berhubungan langsung dengan Pengprop PSSI NTT. Panitia hanya sebatas menginformasikan pengaduan itu, namun urusan menentukan siapa yang memimpin dan bagaimana kualitas kepemimpinannya, bukan menjadi urusannya.
Urusan wasit dalam turnamen sepakbola di NTT masih menjadi persoalan. Ada banyak contoh kericuhan dalam turnamen-turnamen resmi yang penyebab utamanya berawal dari kepemimpinan wasit. Contoh paling nyata adalah dipenjaranya striker Kristal FC, Maksi Kami, karena memukul wasit, Ruben Huru saat penyelenggaraan turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2007. Kasus ini pun menjadi pelajaran penting bagi para pemain dan pelatih. Mereka mungkin geram terhadap keputusan wasit, namun mereka juga tak ingin menginap di 'hotel pordeo.'
Dari sisi kualitas dan pemahaman terhadap aturan, sebenarnya wasit-wasit kita sangat mampu. Yang jadi soal mungkin usia mereka. Dengan usia rata-rata di atas 45 tahun, kebugaran mereka, baik fisik maupun konsentrasi menjadi pertanyaan. Ketidakmampuan untuk terus berlari mendekati bola sesuai aturan FIFA membuat mereka terkadang masih salah mengambil keputusan. Tapi, apakah kita harus terus mempersalahkan mereka?
Itulah kelemahan kita bersama. Belum ada yang memikirkan peran wasit dalam memajukan sepakbola. Kita masih sebatas yang penting bersertifikat, masih mau memimpin dan tahu aturan, dia layak pimpin pertandingan. Padahal, badan sepakbola dunia, FIFA, memiliki aturan tentang pembatasan usia wasit. Contoh nyata adalah wasit ternama asal Italia, Piarluigi Collina yang harus pensiun di usia 45 tahun, meski masih menjadi wasit terbaik dunia saat ini.
Lalu, apa penyebab kita tidak melakukan regenerasi wasit? Banyak potensi yang seharusnya bisa dibina menjadi wasit berkualitas, namun belum dilaksanakan. Lihat saja keputusan Mitra Sportindo untuk menggunakan mahasiswa jurusan olahraga dari FKIP Unkris memimpin pertandingan ujicoba atau turnamen tak resmi lainnya yang mereka selenggarakan. Yudikar Praing, Musa Luluporo dkk menunjukkan kualitas yang cukup bagus. Mereka juga mampu berlari dan berkonsentrasi penuh selama pertandingan berlangsung. Sayangnya, mereka belum memiliki sertifikasi untuk memimpin pertandingan.
Ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama. PSSI, klub, pemain, pelatih, ofisial, penyelenggara maupun sponsor harus duduk bersama dan sepakat untuk mencarikan solusinya. Para wasit senior yang ada harus dimintai tanggapannya. Mereka harus diajak untuk bersama-sama melahirkan generasi-generasi baru yang bisa melanjutkan tugas mereka memimpin dan menegakan aturan permainan.
Kita semua tahu profesi wasit sepakbola di NTT, bukan merupakan tempat mencari makan. Para wasit lebih memimpin hanya demi sepakbola. Mereka juga tentu tak ingin namanya terus diteriaki pemain, pelatih, ofisial atau bahkan dilempari penonton. Mereka juga memiliki keluarga yang sangat menghormati mereka sama seperti orang kebanyakan lainnya.
Untuk itu, kalau memang wasit masih terus diprotes klub peserta, mereka masih dituding sebagai kambing hitam di balik kekalahan tim maka harus ada solusinya. Harus ada aksi bersama. Kalau memang sudah saatnya regenerasi, lakukanlah itu. Kalau memang jumlah wasit yang ada masih sangat sedikit sehingga mereka terus dipaksa memimpin, gelarlah pelatihan minimal bersertifikasi C3 untuk memimpin turnamen-turnamen antar-klub di daerah. Namun, yang harus dicatat, kalau mau menggelar sertifikasi wasit, faktor usia harus jadi persyaratan mutlak. (bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)