Senin, 30 Maret 2009

Mewaspadai Aksi Perampokan

SEPANDAI-PANDAINYA tupai melompat, suatu saat pasti terjatuh juga. Hal yang sama terjadi pada Mikael Bria dkk. Memiliki "spesialisasi" melakukan pencurian uang dengan jumlah puluhan juta rupiah, Mikael Bria, akhirnya merengang nyawa ditembus peluru aparat keamanan di kampung halamannya di Betun, Kabupaten Belu.

Belakangan ini, masyarakat memang diresahkan dengan aksi pencurian yang dilakukan komplotan pencuri yang disinyalir sudah sering beraksi. Sasarannya adalah brankas kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah. Puluhan, bahkan ratusan juta rupiah mereka jarah. Polisi pun dipaksa bekerja keras mengeluarkan semua jurus terbaiknya untuk mengungkap berbagai kasus pencurian ini.

Ada pengakuan mengejutkan yang dilontarkan rekan- rekan Mikael Bria kepada polisi. Membawa Rp 30 juta dari Kupang, mereka habiskan untuk berfoya-foya di Kelimutu-Ende. Pulang dari Ende, mereka bukan melenggang kosong, tapi membawa pulang Rp 200 juta. Benarkah demikian? Mengapa selama ini tidak pernah terungkap kalau ada kasus perampokan di Ende yang nilai kerugiannya mencapai ratusan juta rupiah? Ataukah polisi sudah mengetahuinya hanya saja tidak terendus media massa?

Saat ini Mikael Bria sudah tewas, rekan-rekannya ikut dibekuk. Lalu, apakah berarti tuntas sudah pengusutan kasus-kasus pencurian ini? Pertanyaan yang sulit dijawab. Meski dikenal sebagai residivis, belum tentu kasus-kasus pencurian yang belum terungkap ini pelakunya adalah Mikael Bria dan komplotannya. Untuk itu, polisi masih harus bekerja keras dalam kelanjutan dari proses pemeriksaan terhadap kawanan perampok ini.

Informasi yang diperoleh dari pihak kepolisian, Mikael Bria yang sudah tewas tertembak ini adalah otak di balik semua kasus perampokan yang sudah terjadi. Dialah yang merancang dan menyusun strategi sebelum melakukan aksi. Dia yang menentukan jumlah yang harus diterima anggota dari 'hasil kerja' mereka. Lalu, apakah kita lalu mengiyakan semua informasi ini untuk kemudian mengatakan bahwa semua pelaku perampokan yang selama ini meresahkan masyarakat Kota Kupang dan daerah lainnya sudah terungkap, dan kita sudah aman?

Salut dan aplaus harus kita berikan kepada aparat Polresta Kupang dan Polda NTT yang bekerja keras dan memburu kawanan perampok ini hingga daerah Betun dan berhasil membekuk mereka. Polisi juga memiliki kecakapan yang mengagumkan sehingga mampu melumpuhkan Mikael Bria dkk sebelum mereka diserang menggunakan senjata api rakitan yang dimiliki kawanan perampok ini. Melelahkan, namun berhasil.

Namun, setelah semua itu berhasil dilakukan, harus diikuti dengan penjelasan tentang dimana, berapa jumlahnya dan apa saja yang sudah berhasil dirampok. Ini mutlak dilakukan. Pasalnya di beberapa instansi pemerintah dan sekolah-sekolah, beberapa staf bahkan pimpinan sudah menjadi 'korban' dari kasus kehilangan yang mereka alami. Ada yang dimutasi, ada yang dipaksa mengganti uang yang hilang hanya karena dia yang bertanggungjawab menyimpannya, bahkan ada yang harus dipenjarakan. Artinya, ketika polisi mengumumkan bahwa Mikael Bria dkk adalah perampok brankas di instansi A atau B, maka 'hukuman moril' yang menjadi beban staf di sana akan terhapus dengan sendirinya.

Setelah semua ini dilakukan, saran buat aparat kepolisian adalah melakukan sosialisasi tentang pengamanan standar atau bagaimana seharusnya menyimpan uang di kantor. Tips-tips menyimpan uang yang aman harus disosialisasikan, misalnya, menyimpan uang di bank lebih aman ketimbang menyimpan di brankas, apalagi jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Modus-modus operandi perampokan yang sudah pernah diungkap harus diberitahu. Ini, bukan dengan maksud untuk mengajar orang lain berbuat hal yang sama, tetapi agar masyarakat mewaspadainya. Mewaspadai orang- orang baru yang datang ke kantor ataupun staf sendiri harus tetap ada, karena semua cara bisa dilakukan oleh para perampok bila sudah punya niat untuk melakukan aksinya.

Satu pesan terakhir, prestasi yang dilakukan aparat kepolisian dari Polresta Kupang ini harus menjadi tantangan bagi kepolisian di daerah lain di NTT. Bobolnya brankas di SoE-TTS dan daerah lainnya hingga kini belum terungkap. Belum ada satu orang pun yang ditetapkan sebagai tersangka. Proses penelusuran yang dilakukan Polresta Kupang harus dijadikan contoh. Komitmen untuk melindungi masyarakat terlihat dari keseriusan mengungkap sebuah kasus. *

NTT

HARI ini di hari yang mulai terik menggigit memasuki musim pancaroba, apalagi yang kurang dari altar Nusa Tenggara Timur? Semua nyaris lengkap dan sempurna. Tersaji rapi, elok dan apik di beranda rumah kita.

Kekerasan mengental bergumpal. Bergolak, menghentak, meledak-ledak dengan wajah tanpa dosa. Tanpa penyesalan setetes pun. Bunuh-membunuh. Bunuh diri dengan menggorok leher sendiri. Dingin nian menikam mati sang kekasih, istri, suami atau saudara sendiri.

Di sini orang merasa boleh menyirami tubuh dengan bensin atas nama cinta. Berlabelkan kasih sayang. Siram bensin sekujur tubuh yang letih lalu tubuh itu dibakar. Kematian pasti bagi manusia. Tapi haruskah mati dengan cara demikian?

Apa yang kurang di rumah Flobamora? Sel tahanan bukan tempat yang aman. Sel itu ladang pembantaian. Kurung untuk dibunuh. Di balik jeruji, di kamar tak seberapa luas serta pengap itu, nyawa anak manusia yang mencari keadilan berakhir sadis. Tubuh kaku terbujur tak padamkan amarah. Rongga dada baru terasa plong setelah potong alat vital. Gila!

Apa yang kurang dari NTT hari ini? Hampir semua sudah melihat dan mendengar tentang pipi pejabat memerah, lebam, bengkak entah karena dipukul, memukul atau bakupukul di depan umum. Luar biasa.

Ya, apa yang kurang? Bahkan seorang imam Tuhan, gembala umat, rohaniwan "dihabisi" denyut kehidupannya dengan cara menyayat hati. Sadisme sudah menjadi menu harian. Keramahan, kelembutan, loyalitas makin mahal harganya. Telah demikian jauhkah perubahan manusia Flobamora? Kita semakin kerdil-primitif atau kian beradab?

Hukum meringkik genit. Menertawakan logika, menebar ragu, menebalkan cemas. Bukti-bukti dicandatawakan. Canda tak lucu. Tebang pilih bukan mimpi di hutan tandus sabana. Pohon kuat kuasa, siapa berani babat? Kita bangga menghukum yang lemah. Berani cuma pada kaum pinggiran.

Ranking survei korupsi number one, tapi sakit masih bisa disinetronkan. Inspirasi opera sabun. Hasil visum tergantung pesanan. Mau luput, gampang! Tersedia ahli yang mengerti hidup. Yang bisa kerja sama asal sama mengerti maunya. Yang salah bisa benar, yang benar disalahkan.

Kalau tuan dan puan jadi tersangka, ikut saja modus yang sudah terbukti mumpuni. Sehari dua dalam tahanan, ekspresikan muka pucat pasi, badan panas dingin, napas terengah-engah. Niscaya penyidik akan iba. Dokter-perawat tak tega melihat. Tuan pindah ke rumah sakit. Diperiksa lengkap serta tes laboratorium. Kuat kuasa, siapa berani lawan? Kalau puan miskin papa sebaiknya tidak latah. Perkara boleh sama, nasib bisa berbeda.

Apa yang kurang di beranda kita? Bekas galian yang lupa tutup membunuh anak-anak tak berdosa. Ketika maut itu datang, di manakah negara? Mereka tahu tapi tak mau menyahut. Tiga anak meregang nyawa di kolam galian dalam dua bulan, bukan apa-apa. Toh mereka bukan siapa-siapa.

Es potong merenggut dua nyawa di Amanuban. Lebih dari 100 orang dirawat. Es potong memotong kehidupan remaja kita yang sedang gairah menatap hari depan. Es menanam derita, menimbun trauma panjang. Si penjual es entah ke mana? Hai, Nusa Tenggara Timur, masih pantaskah tuan tidur-tiduran saja? Tidur lebih lama?

Setelah pembagian kamera gratis, setelah Lamalera berjingkrak bangga memotret diri sendiri, datanglah kata konservasi. Konservasi Laut Sawu demi ikan paus. Apa kabar nelayan Lamalera? Mari sekejap membuka hati, mata dan otak. Ikan paus itu kehidupanmu. Jatidirimu sejak berabad-abad lalu.

Setengah abad yang lalu Bung Karno sudah berseru-seru. Siapa bilang kolonialisme telah mati? Kita junjung konservasi. Kita Konservasi untuk siapa? Yang gratis belum tentu tanpa pamrih. Hak hidupmu. Jangan biarkan dia terenggut...

Semen Kupang ada menandai pesta perak Flobamora. Duapuluh lima tahun kemudian, asap tak lagi mengepul di langit Alak. Bara Semen Kupang padam saat NTT usia emas. Salah siapa, ini dosa siapa? Sudah terlalu lama nasib kita bergantung pada orang. Diatur. Diobok-obok pihak lain. Kita susah, di manakah mereka? Terlalu mengada-adakah beta bertanya demikian? Bangkit NTT- ku. Bangkit dan raih kembali kehormatan itu. "Jika pemimpin loyo, rakyat harus berani," kata Bung Kanis puluhan tahun lalu. Bayangkan kalau pemimpin juga berani?

Adakah yang kurang sempurna dari beranda Flobamora? Sepanjang 2008 kita menggelar 12 pemilihan umum kepala daerah dengan aman, sukses dan demokratis. Telah lahir duet pemimpin eksekutif. Campuran wajah lama dan baru. Pemimpin yang lebih energik, lebih menjanjikan banyak hal kepada rakyat.

Sekarang pemilu su dekat. Kita segera memilih pemimpin lagi. Memilih "Yang Terhormat". Mestinya Nusa Tenggara Timur lebih terhormat. Esok, mestinya tidak lagi terdengar kisah ini. Usai upacara bendera alias apel kesadaran tanggal 17 dalam bulan berjalan, sang kepala menatap wakil kepala. Dia bisikkan kata menantang, "Buktikan secara jantan bung! Beta tunggu di deker sana." Kalau pemimpin masih suka bakulipat, apa kata dunia? Flobamora yang letih tak perlu berkata lagi. Tertawa? Ah, tidak lucu kawan! (dionbata@poskupang.co.id)

SYALOM