Oleh Muhlis Al Alawi
UJIAN Nasional telah menjadi momok paling menakutkan bagi siswa dan sekolah. Kegagalan siswa dan sekolah menggapai predikat lulus akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan sekolan itu. Sekolah yang gagal meluluskan siswanya mengikuti Ujian Nasional (UN) akan dicap tidak mampu mendidik para siswa.
Berbekal masalah tersebut, saat ini banyak sekolah yang berlomba-lomba mempersiapkan para siswanya yang akan mengikuti UN sedini mungkin. Tak terkecuali Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Tobu yang berlokasi di Desa Tobu, Kecamatan Tobu, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Sekolah ini terbilang berprestasi karena sudah tiga tahun berturut-turut siswa peserta UN di sekolah ini lulus 100 persen. Sekolah ini tidak main-main mempersiapkan para siswa menghadapi UN. Meski berada di pedesaan sekitar -- 50 km dari Kota SoE, SMPN Tobu di bawah pimpinan Feliphus Benmetan, S.Pd sudah jauh-jauh hari mempersiapkan anak didiknya menghadapi UN.
"Sejak September siswa-siswi kelas III sudah mengikuti les usai sekolah dari pukul 14.00 hingga pukul 17.00 Wita. Les ini kami adakan hingga satu minggu menjelang UN digelar. Untuk kegiatan lesnya, kami lebih menekankan siswa dilatih banyak menyelesaikan soal-soal yang dihimpun dari berbagai sumber," ujar Benmetan kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, Jumat (21/11/2008) siang.
Menurut Benmetan, himpunan soal itu berasal dari ujian tahun-tahun sebelumnya dan kumpulan soal dari SMPK Giovanni Kupang dan SMP Mercusuar Kupang. Berbekal kumpulan soal itu, siswa dilatih menghadapi, menyiasati dan menjawab setiap soal yang disodorkan. Bila dalam les hanya mengulang pelajaran kelas I dan II saja, maka siswa akan menjadi bosan dan mengantuk.
Benmetan mengakui banyaknya siswa yang tinggal di wilayah pegunungan sehingga menyulitkan mereka mengikuti kegiatan belajar tepat waktu. Untuk menyiasati hal tersebut, sejak September siswa kelas III sudah tinggal di asrama sekolah. Asrama itu khusus menampung siswa kelas III untuk mempersiapkan diri mengikuti UN.
"Khusus untuk siswi yang rumahnya jauh dari sekolah ditampung para guru yang mengajar di SMPN Tobu. Persoalan dispilin, mungkin lantaran anak-anak di desa, mereka lebih tepat waktu masuk sekolah," kata Benmetan.
Untuk memberikan motivasi kepada anak didiknya mengikuti pelajaran, SMPN Tobu tidak ketinggalan dalam berinovasi. Sejak dini SMPN Tobu memperkenalkan kepada anak didiknya untuk mengenal teknologi informasi. Pada mata pelajaran tertentu para guru menggunakan laptop yang kemudian diproyeksikan dengan proyektor ke papan saat menyampaikan materi pelajaran.
"Kami juga menggunakan televisi yang materinya disampaikan dalam bentuk video compact disc (VCD). Dengan pengenalan teknologi sejak dini kami ingin menghilangkan cap anak-anak yang bersekolah di desa itu selalu "tenganga dan kemomos" terhadap teknologi baru," jelas Benmetan.
Tak hanya siswanya saja masuk asrama, 17 guru pendidik yang semuanya menyandang gelar sarjana pendidikan di sekolah itu juga diberikan tempat tinggal berupa mess yang layak di lingkungan sekolah. Mess itu diberikan kepada guru yang tempat tinggal aslinya jauh dari sekolah. Tempat tinggal guru yang berdekata dengan sekolah tidak menjadikan kegiatan belajar mengajar terlambat lantaran tenaga pendidiknya datang telat.
Bagi Benmetan guru sebagai pendidik adalah ujung tombak maju-mundurnya satu sekolah. Bila nasib para guru tidak diperhatikan, ia yakin sekolah yang dipimpinnya tak akan menghasilkan kelulusan siswa seratus persen tiga tahun berturut-turut.
Perhatian kepada guru, lanjut Benmetan, tidak sekadar tempat tinggal dan gaji yang diterima setiap bulan. Bagi guru yang memberikan lest tambahan juga diberikan insentif yang layak. Ia menyebutkan setiap bulannya, guru yang rajin memberikan les bagi siswa kelas III bisa mendapatkan tambahan penghasilan hingga Rp 800.000.
"Saya selalu menyampaikan kepada guru dan staf untuk mengelola dan memajukan sekolah ini harus dikelola secara kolektif. Tidak boleh ada yang menyatakan dirinya yang paling hebat dan paling berjasa memajukan sekolah. Dengan demikian, budaya kekeluargaan dan kebersamaan memiliki tanggung jawab bersama memajukan sekolah menjadi motor penggerak lembaga pendidikan kami," kata Benmetan.
Terkait bantuan dana dari pemerintah, Benmetan mengatakan, setiap kali dana bantuan masuk ke sekolah itu, dia selalu mengundang seluruh guru untuk bersama-sama membicarakan penggunaannya. Harapannya, manajemen pengelolaan dana yang partisipatif, transparan dan akuntabel akan memudahkan dalam aplikasi dan pertanggungjawabannya.
Berkali-kali Benmetan menunjukkan tumpukan buku pertanggungjawaban yang disusun rapi permasing-masing bantuan dana yang diterima sekolahnya.
"Lembaga mana pun yang datang hendak mengaudit dan memeriksa penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan, kami selalu siap. Tinggal dana bantuan mana yang hendak diperiksa, kami langsung menyodorkan buku pertanggungjawaban yang sudah kami susun jauh hari sebelumnya," jelas Benmetan sambil mengatakan SMPN Tobu merupakan calon sekolah standar nasional.
Meski demikian, Benmetan mengakui pemerintah pusat dan propinsi malah yang lebih memperhatikan keberadaan SMPN Tobu dengan program binaan proyek perluasan peningkatan mutu. Ia mendeskripsikan pembangunan sembilan ruang kelas, ruang perpustakaan, laboratorium, dan kantor dananya berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Sedangkan pemerintah kabupaten terkesan adem ayem terhadap sekolah ini. *
Data kelulusan SMPN Tobu:
Tahun 2006 jumlah siswa 42 orang lulus semua
Tahun 2007 jumlah siswa 63 orang lulus semua
Tahun 2008 jumlah siswa 56 orang lulus semua
Tahun 2009 jumlah siswa 81 orang ...........
Total siswa kelas I, II dan III sebanyak 265 siswa.
Senin, 01 Desember 2008
Papanggang, Mediator Sang Arwah
Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (4)
Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad
TERIK mentari membakar bumi sandelwood. Warga Kota Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, tumpah rua ke Prai Awang-Rende untuk menyaksikan pemakaman bupati yang dekat dengan rakyat itu. Di tengah terik membakar kampung Prai Awang, sekejap puting beliung menyapu tanah lapang di tengah kampung yang diapiti rumah-rumah adat dan batu kubur leluhur anamburung itu. Saat itu, tua adat setempat sedang melakukan ritual menyeleksi ata atau hamba yang bertugas sebagai papanggang untuk mengantar almarhum Umbu Mehang Kunda ke liang lahat.
Hari itu, Senin (10/11/2008). Sekitar pukul 14.30 Wita, tua adat setempat menyeleksi beberapa ata atau hamba diambil empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang wanita untuk menjadi papanggang. Mereka bertugas mengantar jenazah almarhum Mehang Kunda ke liang lahat. Keempat papanggang ini disucikan melalui ritual adat lalu didandani dengan pakaian khusus kebesaran raja-raja yang dilengkapi dengan manik-manik dan perhiasan emas. Para papanggang mengenakan lamba, mamoli, kanatar, muti salak yang dinggelu (kalung). Ritual ini menjadi tontonan sekitar 20 ribu pelayat yang memadati kampung adat itu.
Disaksikan Pos Kupang, sejak pagi keluarga anamburung menerima tamu atau rombongan adat dengan bawaan masing-masing. Tamu yang diundang terdiri dari ery aya (kakak-adik), ina rendi ama manu (raja/bangsawan), juru watu uma dallar (keluarga satu marga), tana nua watulihhi (tetangga kampung), kajuanga angu todu (lembah tempat tinggal bersama) dan ana kawini (saudari). Setiap rombongan tamu (satu marga) disambut dengan gong dan tangisan wanita penunggu jenazah. Tamu wanita memasuki ruang jenazah (kaheli bokul) lalu menangis dengan bahasa lawiti kemudian mendapat sirih pinang dari penerima tamu wanita. Tamu pria duduk di balai-balai (bangga), juga mendapat layanan sirih pinang oleh penerima tamu pria. Salah seorang dari rombongan tamu memberitahu pembawaan mereka. Setelah kaum wanita keluar dari tempat jenazah, rombongan dipersilahkan menempati tempat yang telah disiapkan untuk menikmati sirih pinang dan kopi.
Di balai-balai rumah jenazah, para wunang berbicara secara adat mengenai pembawaan dan permintaan mereka (pulu dungu). Jika sepakat maka ditikam babi (kameti). Babi kameti dibagi dua, setengah dimasak untuk dimakan di rumah duka dan setengah dibawa pulang. Ana kawini (saudari) diberi kain/sarung sedangkan yera (ipar atau besan) diberi hewan atau mamoli. Tata cara ini hanya dilakukan keluarga bangsawan/raja yang ekonominya kuat seperti almarhum Umbu Mehang Kunda.
Penerimaan tamu seperti ini juga berlaku terhadap rombongan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Gubernur bersama Wakil Gubernur, Ir. Esthon Foenay, M.Si; Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe; Bupati Sumba Tengah, Drs. Umbu Sappi Pateduk dan Wakil, Umbu Dondu; Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba; Bupati Sumba Barat Daya (SBD) terpilih, dr. Kornelius Kodi Mete; Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta; Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe; Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin; Sekda Kabupaten Kupang, Bernabas nDjurumana,S.H, dan pejabat lainnya, diterima di balai-balai uma bokul, lalu wunang mulai berbicara. Rombongan gubernur juga disiapkan wunang untuk berbicara dengan wunang tuan rumah dalam bahasa adat yang disebut luluk. Hiku tua mayangara, hiku kea lama lidi (sehingga disebut sebagai keluarga), inilah pesan yang disampaikan para wunang dalam luluknya. Mereka menyampaikan, gubernur dengan almarhum ada ikatan kerja, selaku hubungan secara pribadi disebut keluarga.
Tepat pukul 15.30 Wita, upacara pemakaman dimulai. Diawali sambutan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan wakil keluarga yang disampaikan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha. Umbu Maramba Hau melanjutkan memimpin tata upacara pemakaman secara adat tersebut. Seekor kerbau jantan kecil digiring masuk ke tengah kampung lalu disembeli oleh orang yang ditugaskan. Pemotongan harus berlangsung satu kali, kerbau atau kudanya tewas. Jika diulang, itu berarti ada sesuatu yang mengganjal. Disusul delapan ekor kerbau dan delapan ekor kuda yang dibantai di halaman tengah kampung itu. Pembantaian hewan ini menjadi tontonan para pelayat yang penuh sesak di areal yang luasnya kurang lebih setengah hektare itu.
Menyusul seekor kuda jantan merah digiring masuk ke halaman tengah. Kuda yang diyakini sebagai kuda tunggang (njara kaliti) almarhum menuju Lama Paka Jiu Jagang Lama Patana Rara 'negeri orang mati' yang diyakini banyak pohon cemara yang tumbuh di tanah merah atau Uma Manda Mobu Kaheli Manda Mbata, rumah yang tak pernah lapuk dan balai-balai yang tak pernah rubuh, dirias dengan emas, pelananya dari kain tenun ikat motif bangsawan, dilengkapi dengan payung yang dihias dengan manik-manik emas. Diyakini apa yang dirias pada kuda dan pakaian serta manik-manik emas yang dikenakan papanggang, itu yang dikenakan almarhum menuju alam baka.
Salah seorang papanggang yang berpakaian khusus lengkap dengan perhiasan adat dipapah dan dinaikkan ke punggung kuda (njara kaliti), kemudian dibawa ke kubur dengan iringan gong. Papanggang ini tidak boleh menyentuh tanah sehingga digendong saat naik dan turun dari kuda oleh petugas yang disiapkan. Papanggang ini mempunyai peran unik karena diyakini sebagai pengantara arwah. Dia dinaikkan di atas batu kubur sampai upacara penutupan kubur selesai, lalu diturunkan, lalu dinaikkan di atas kuda untuk seterusnya dibawa ke uma bokul. Papanggang ini tidak boleh mandi dan meninggalkan rumah sampai acara pahili mbuala (acara khusus memandikan papanggang) melalui ritual khusus di sungai.
Seorang papanggang pria ditutup kepala dan wajahnya dengan kain merah. Tugasnya bersama papanggang wanita mengantar jenazah ke liang lahat. Di sana mereka berada di samping kubur dan terus menangis hingga kubur ditutup. Saat itu, ada papanggang yang kesurupan, dia menjadi mediator antara arwah dengan keluarga. Disaat kesurupan, dia menyampaikan pesan-pesan arwah dalam bahasa daerah setempat. Seperti apa pesannya? Hanya dapat diketahui oleh keluarga inti dan itu akan dibicarakan setelah semua rangkaian prosesi pemakaman selesai.
Usai penutupan batu kubur dipotong lagi delapan ekor kuda dan delapan ekor kebau jantan dan betina induk. Ama bokol hama memotong lagi ayam yang dibawa papanggang wanita ke kubur untuk dilihat tali perutnya. Hati kuda juga diambil untuk dilihat lalu dimasak pada katoda, buat sesajian bagi leluhur. Para pengusung jenazah ke liang lahat mencuci tangan dengan air kelapa.
Selesai penguburan tamu-tamu diajak untuk beristirahat sejenak. Bagi tamu bangsawan masih ada percakapan adat. Upacara pakameting (memberi makan kepada rombongan adat) dilangsungkan setelah penguburan. Semua rombongan adat dengan bawaan dibalas berdasarkan silsilah masing-masing. Balasan terhadap pembawaan rombongan tamu disesuaikan dengan pembicaraan wunang, ana kawini mendapat kain/sarung, yera mendapat hewan atau mamoli. (habis)
Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad
TERIK mentari membakar bumi sandelwood. Warga Kota Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, tumpah rua ke Prai Awang-Rende untuk menyaksikan pemakaman bupati yang dekat dengan rakyat itu. Di tengah terik membakar kampung Prai Awang, sekejap puting beliung menyapu tanah lapang di tengah kampung yang diapiti rumah-rumah adat dan batu kubur leluhur anamburung itu. Saat itu, tua adat setempat sedang melakukan ritual menyeleksi ata atau hamba yang bertugas sebagai papanggang untuk mengantar almarhum Umbu Mehang Kunda ke liang lahat.
Hari itu, Senin (10/11/2008). Sekitar pukul 14.30 Wita, tua adat setempat menyeleksi beberapa ata atau hamba diambil empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang wanita untuk menjadi papanggang. Mereka bertugas mengantar jenazah almarhum Mehang Kunda ke liang lahat. Keempat papanggang ini disucikan melalui ritual adat lalu didandani dengan pakaian khusus kebesaran raja-raja yang dilengkapi dengan manik-manik dan perhiasan emas. Para papanggang mengenakan lamba, mamoli, kanatar, muti salak yang dinggelu (kalung). Ritual ini menjadi tontonan sekitar 20 ribu pelayat yang memadati kampung adat itu.
Disaksikan Pos Kupang, sejak pagi keluarga anamburung menerima tamu atau rombongan adat dengan bawaan masing-masing. Tamu yang diundang terdiri dari ery aya (kakak-adik), ina rendi ama manu (raja/bangsawan), juru watu uma dallar (keluarga satu marga), tana nua watulihhi (tetangga kampung), kajuanga angu todu (lembah tempat tinggal bersama) dan ana kawini (saudari). Setiap rombongan tamu (satu marga) disambut dengan gong dan tangisan wanita penunggu jenazah. Tamu wanita memasuki ruang jenazah (kaheli bokul) lalu menangis dengan bahasa lawiti kemudian mendapat sirih pinang dari penerima tamu wanita. Tamu pria duduk di balai-balai (bangga), juga mendapat layanan sirih pinang oleh penerima tamu pria. Salah seorang dari rombongan tamu memberitahu pembawaan mereka. Setelah kaum wanita keluar dari tempat jenazah, rombongan dipersilahkan menempati tempat yang telah disiapkan untuk menikmati sirih pinang dan kopi.
Di balai-balai rumah jenazah, para wunang berbicara secara adat mengenai pembawaan dan permintaan mereka (pulu dungu). Jika sepakat maka ditikam babi (kameti). Babi kameti dibagi dua, setengah dimasak untuk dimakan di rumah duka dan setengah dibawa pulang. Ana kawini (saudari) diberi kain/sarung sedangkan yera (ipar atau besan) diberi hewan atau mamoli. Tata cara ini hanya dilakukan keluarga bangsawan/raja yang ekonominya kuat seperti almarhum Umbu Mehang Kunda.
Penerimaan tamu seperti ini juga berlaku terhadap rombongan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Gubernur bersama Wakil Gubernur, Ir. Esthon Foenay, M.Si; Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe; Bupati Sumba Tengah, Drs. Umbu Sappi Pateduk dan Wakil, Umbu Dondu; Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba; Bupati Sumba Barat Daya (SBD) terpilih, dr. Kornelius Kodi Mete; Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta; Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe; Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin; Sekda Kabupaten Kupang, Bernabas nDjurumana,S.H, dan pejabat lainnya, diterima di balai-balai uma bokul, lalu wunang mulai berbicara. Rombongan gubernur juga disiapkan wunang untuk berbicara dengan wunang tuan rumah dalam bahasa adat yang disebut luluk. Hiku tua mayangara, hiku kea lama lidi (sehingga disebut sebagai keluarga), inilah pesan yang disampaikan para wunang dalam luluknya. Mereka menyampaikan, gubernur dengan almarhum ada ikatan kerja, selaku hubungan secara pribadi disebut keluarga.
Tepat pukul 15.30 Wita, upacara pemakaman dimulai. Diawali sambutan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan wakil keluarga yang disampaikan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha. Umbu Maramba Hau melanjutkan memimpin tata upacara pemakaman secara adat tersebut. Seekor kerbau jantan kecil digiring masuk ke tengah kampung lalu disembeli oleh orang yang ditugaskan. Pemotongan harus berlangsung satu kali, kerbau atau kudanya tewas. Jika diulang, itu berarti ada sesuatu yang mengganjal. Disusul delapan ekor kerbau dan delapan ekor kuda yang dibantai di halaman tengah kampung itu. Pembantaian hewan ini menjadi tontonan para pelayat yang penuh sesak di areal yang luasnya kurang lebih setengah hektare itu.
Menyusul seekor kuda jantan merah digiring masuk ke halaman tengah. Kuda yang diyakini sebagai kuda tunggang (njara kaliti) almarhum menuju Lama Paka Jiu Jagang Lama Patana Rara 'negeri orang mati' yang diyakini banyak pohon cemara yang tumbuh di tanah merah atau Uma Manda Mobu Kaheli Manda Mbata, rumah yang tak pernah lapuk dan balai-balai yang tak pernah rubuh, dirias dengan emas, pelananya dari kain tenun ikat motif bangsawan, dilengkapi dengan payung yang dihias dengan manik-manik emas. Diyakini apa yang dirias pada kuda dan pakaian serta manik-manik emas yang dikenakan papanggang, itu yang dikenakan almarhum menuju alam baka.
Salah seorang papanggang yang berpakaian khusus lengkap dengan perhiasan adat dipapah dan dinaikkan ke punggung kuda (njara kaliti), kemudian dibawa ke kubur dengan iringan gong. Papanggang ini tidak boleh menyentuh tanah sehingga digendong saat naik dan turun dari kuda oleh petugas yang disiapkan. Papanggang ini mempunyai peran unik karena diyakini sebagai pengantara arwah. Dia dinaikkan di atas batu kubur sampai upacara penutupan kubur selesai, lalu diturunkan, lalu dinaikkan di atas kuda untuk seterusnya dibawa ke uma bokul. Papanggang ini tidak boleh mandi dan meninggalkan rumah sampai acara pahili mbuala (acara khusus memandikan papanggang) melalui ritual khusus di sungai.
Seorang papanggang pria ditutup kepala dan wajahnya dengan kain merah. Tugasnya bersama papanggang wanita mengantar jenazah ke liang lahat. Di sana mereka berada di samping kubur dan terus menangis hingga kubur ditutup. Saat itu, ada papanggang yang kesurupan, dia menjadi mediator antara arwah dengan keluarga. Disaat kesurupan, dia menyampaikan pesan-pesan arwah dalam bahasa daerah setempat. Seperti apa pesannya? Hanya dapat diketahui oleh keluarga inti dan itu akan dibicarakan setelah semua rangkaian prosesi pemakaman selesai.
Usai penutupan batu kubur dipotong lagi delapan ekor kuda dan delapan ekor kebau jantan dan betina induk. Ama bokol hama memotong lagi ayam yang dibawa papanggang wanita ke kubur untuk dilihat tali perutnya. Hati kuda juga diambil untuk dilihat lalu dimasak pada katoda, buat sesajian bagi leluhur. Para pengusung jenazah ke liang lahat mencuci tangan dengan air kelapa.
Selesai penguburan tamu-tamu diajak untuk beristirahat sejenak. Bagi tamu bangsawan masih ada percakapan adat. Upacara pakameting (memberi makan kepada rombongan adat) dilangsungkan setelah penguburan. Semua rombongan adat dengan bawaan dibalas berdasarkan silsilah masing-masing. Balasan terhadap pembawaan rombongan tamu disesuaikan dengan pembicaraan wunang, ana kawini mendapat kain/sarung, yera mendapat hewan atau mamoli. (habis)
Le Kebote
Oleh Yosep Sudarso
MENYEBUT le kebote, pikiranku langsung terbawa ke sosok Ema Bewa yang dengan busur di tangan, ia terus berlari-lari menghindari lemparan anak-anak yang mengejarnya. Dengan cara apa pun, perempuan dengan tinggi semampai itu berjuang agar tak satu pun lemparan mengenai dirinya. Bukan karena ia takut terluka atau benjol, tetapi karena pemali apabila sampai terkena lemparan.
Maklumlah, ketika dikejar dan dilempar anak-anak, Ema Bewa sebetulnya mewakili perjuangan hidup seorang bayi lelaki yang ari-arinya baru ia gantungkan di sebuah pohon di lewo oking (kampung lama/kampung induk). Walaupun mengakui bahwa nafas kehidupan tergantung pada lera wulan tana ekan (pencipta dan penyelenggara kehidupan), perjuangan mengisi hidup adalah tugas dan tanggung jawab atadiken (anak manusia).
Ema Bewa. Perempuan itu sudah lama meninggal. Sepanjang hidupnya dihabiskan di desa asalnya, Lamika, Kecamatan Demong Pagong, Flores Timur. Dan, selama belasan tahun ia berperan sebagai pembawa ari-ari bayi laki-laki maupun perempuan di desa itu untuk digantung pada pohon agar tidak sampai dimakan binatang.
Le kebote (tradisi gantung ari-ari pada pohon) memang sudah menjadi tradisi di Lamika. Desa yang jaraknya sekitar 30 km dari Larantuka ini awalnya terdiri dari tiga dusun, yakni Lewomikel (Dusun I), Lewonuha (Dusun II) dan Lewomuda (Dusun III). Namun setelah gempa tektonik 12 Desember 1992 yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Flores, 60 KK dari sekitar 300 KK di desa itu mengikuti program pemerintah dengan berpindah ke lokasi baru di pinggir jalan raya utama Larantuka-Maumere. Pemukiman baru ini sekarang membentuk dusun sendiri dengan nama Lewowuung (kampung baru).
Seperti desa tetangga lain, yaitu Lewokluok, Wolo, Kawalelo, Blepanawa dan Bama (beberapa desa ini dulu termasuk kompeks Wolo), hampir semua penduduk Desa Lamika bermata pencaharian petani dengan pola berpindah-pindah ladang. Dahulu, sebuah mang/netak (areal ladang) dikerjakan selama dua tahun sekali. Namun sekitar 15 tahun lalu mulai terjadi pergeseran pola berladang.
Sejak petani mengenal tanaman kepayuk (jambu mete) sebagai tanaman komoditi yang potensial, ladang tidak lagi menjadi milik bersama. Sebelumnya, hampir tidak ada ladang yang dikerjakan sendirian, tetapi selalu kneu (bersama-sama) maksimal tiga kepala keluarga. Kini, sejak ladang dipenuhi jambu mete, mau tidak mau, ladang harus dibagi. Mang/netak menjadi milik pribadi. Salah satu dampaknya adalah potensi konflik terbuka lebar terutama ketika para perantau (umumnya di Malaysia) yang belum punya ladang kembali menetap di kampung halaman.
Selain itu, bila dahulu tanah digarap paling lama dua tahun dan baru digarap lagi delapan tahun kemudian (setelahnya pepohonan mulai besar dan tanah sudah berhumus), kini ladang yang sama digarap setiap tahun. Kalau hasilnya seperti beras dan jagung tidak lagi mencukupi, biasanya dibuka lagi lahan baru tetapi lahan lama tetap dibersihkan.
Selain bergantung pada padi dan jagung, penduduk Desa Lamika juga menyuling arak dari pohon lontar. Dahulu, hampir semua pria dewasa mengiris tuak kemudian menyulingnya menjadi arak untuk selanjutnya dijual ke Pasar Boru (ibukota Kecamatan Wulanggitang). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah keluarga yang mengiris tuak dan menyuling arak bisa dihitung dengan jari.
Banyak hal berubah. Nilai-nilai sosial budaya bergeser skalanya. Dari yang "serba bersama-sama" ke "urus sendiri- sendiri". Suku memang masih dan akan tetap ada, tetapi perannya dalam kehidupan setiap keluarga mulai berkurang.
Di titik ini, barangkali tradisi le kebote yang menurut Kepala Desa Lamika, Vincent Openg, masih tetap dipelihara, bisa menjembatani fenomena degradasi nilai-nilai warisan leluhur. Setidaknya dapat meredam perilaku dan pola hidup generasi muda yang menggelisahkan banyak tetua adat dan sesepuh kampung. Judi, mabuk-mabukan dan mencuri bukan lagi cerita di tempat lain.
Semoga tradisi le kebote (terutama pada bayi lelaki) yang mengisyaratkan perjuangan hidup, daya juang dan kerja keras dalam kebersamaan bisa menggugah hati generasi penerus di kampungku. Karena ketika ari-ari seorang bayi dipotong, diawetkan dengan keawuk (abu dapur) dalam anyaman lontar, digantungkan di pohon, hingga sang pembawanya seperti Ema Bewa harus menyilih lemparan agar selamat kembali ke rumah, di sana sudah terpatri nilai tanggung jawab terhadap hidup dan kehidupan. (*)
MENYEBUT le kebote, pikiranku langsung terbawa ke sosok Ema Bewa yang dengan busur di tangan, ia terus berlari-lari menghindari lemparan anak-anak yang mengejarnya. Dengan cara apa pun, perempuan dengan tinggi semampai itu berjuang agar tak satu pun lemparan mengenai dirinya. Bukan karena ia takut terluka atau benjol, tetapi karena pemali apabila sampai terkena lemparan.
Maklumlah, ketika dikejar dan dilempar anak-anak, Ema Bewa sebetulnya mewakili perjuangan hidup seorang bayi lelaki yang ari-arinya baru ia gantungkan di sebuah pohon di lewo oking (kampung lama/kampung induk). Walaupun mengakui bahwa nafas kehidupan tergantung pada lera wulan tana ekan (pencipta dan penyelenggara kehidupan), perjuangan mengisi hidup adalah tugas dan tanggung jawab atadiken (anak manusia).
Ema Bewa. Perempuan itu sudah lama meninggal. Sepanjang hidupnya dihabiskan di desa asalnya, Lamika, Kecamatan Demong Pagong, Flores Timur. Dan, selama belasan tahun ia berperan sebagai pembawa ari-ari bayi laki-laki maupun perempuan di desa itu untuk digantung pada pohon agar tidak sampai dimakan binatang.
Le kebote (tradisi gantung ari-ari pada pohon) memang sudah menjadi tradisi di Lamika. Desa yang jaraknya sekitar 30 km dari Larantuka ini awalnya terdiri dari tiga dusun, yakni Lewomikel (Dusun I), Lewonuha (Dusun II) dan Lewomuda (Dusun III). Namun setelah gempa tektonik 12 Desember 1992 yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Flores, 60 KK dari sekitar 300 KK di desa itu mengikuti program pemerintah dengan berpindah ke lokasi baru di pinggir jalan raya utama Larantuka-Maumere. Pemukiman baru ini sekarang membentuk dusun sendiri dengan nama Lewowuung (kampung baru).
Seperti desa tetangga lain, yaitu Lewokluok, Wolo, Kawalelo, Blepanawa dan Bama (beberapa desa ini dulu termasuk kompeks Wolo), hampir semua penduduk Desa Lamika bermata pencaharian petani dengan pola berpindah-pindah ladang. Dahulu, sebuah mang/netak (areal ladang) dikerjakan selama dua tahun sekali. Namun sekitar 15 tahun lalu mulai terjadi pergeseran pola berladang.
Sejak petani mengenal tanaman kepayuk (jambu mete) sebagai tanaman komoditi yang potensial, ladang tidak lagi menjadi milik bersama. Sebelumnya, hampir tidak ada ladang yang dikerjakan sendirian, tetapi selalu kneu (bersama-sama) maksimal tiga kepala keluarga. Kini, sejak ladang dipenuhi jambu mete, mau tidak mau, ladang harus dibagi. Mang/netak menjadi milik pribadi. Salah satu dampaknya adalah potensi konflik terbuka lebar terutama ketika para perantau (umumnya di Malaysia) yang belum punya ladang kembali menetap di kampung halaman.
Selain itu, bila dahulu tanah digarap paling lama dua tahun dan baru digarap lagi delapan tahun kemudian (setelahnya pepohonan mulai besar dan tanah sudah berhumus), kini ladang yang sama digarap setiap tahun. Kalau hasilnya seperti beras dan jagung tidak lagi mencukupi, biasanya dibuka lagi lahan baru tetapi lahan lama tetap dibersihkan.
Selain bergantung pada padi dan jagung, penduduk Desa Lamika juga menyuling arak dari pohon lontar. Dahulu, hampir semua pria dewasa mengiris tuak kemudian menyulingnya menjadi arak untuk selanjutnya dijual ke Pasar Boru (ibukota Kecamatan Wulanggitang). Namun beberapa tahun terakhir, jumlah keluarga yang mengiris tuak dan menyuling arak bisa dihitung dengan jari.
Banyak hal berubah. Nilai-nilai sosial budaya bergeser skalanya. Dari yang "serba bersama-sama" ke "urus sendiri- sendiri". Suku memang masih dan akan tetap ada, tetapi perannya dalam kehidupan setiap keluarga mulai berkurang.
Di titik ini, barangkali tradisi le kebote yang menurut Kepala Desa Lamika, Vincent Openg, masih tetap dipelihara, bisa menjembatani fenomena degradasi nilai-nilai warisan leluhur. Setidaknya dapat meredam perilaku dan pola hidup generasi muda yang menggelisahkan banyak tetua adat dan sesepuh kampung. Judi, mabuk-mabukan dan mencuri bukan lagi cerita di tempat lain.
Semoga tradisi le kebote (terutama pada bayi lelaki) yang mengisyaratkan perjuangan hidup, daya juang dan kerja keras dalam kebersamaan bisa menggugah hati generasi penerus di kampungku. Karena ketika ari-ari seorang bayi dipotong, diawetkan dengan keawuk (abu dapur) dalam anyaman lontar, digantungkan di pohon, hingga sang pembawanya seperti Ema Bewa harus menyilih lemparan agar selamat kembali ke rumah, di sana sudah terpatri nilai tanggung jawab terhadap hidup dan kehidupan. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)