Selasa, 16 Desember 2008

Menyikapi Penurunan Harga Premium

Oleh Sipri Seko

KRISIS ekonomi global yang melanda dunia berdampak luas pada semua sendi kehidupan masyarakat. Tak terkecuali di Indonesia, imbas dari krisis global meluas ke semua lapisan masyarakat. Bahkan, telah diprediksi bahwa di tahun 2009 nanti, akan terjadi pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang angkanya mencapai ribuan orang.

Berbagai strategi kemudian dilakukan pemerintah pusat untuk mengatasi hal ini. Dan, salah satu yang paling terasa adalah penurunan harga premium dan solar. Di bulan Desember ini saja, terhitung sudah dua kali pemerintah menurunkan harga premium dan solar.

Menurut pemerintah, penurunan harga premium yang berlaku mulai 15 Desember 2008 itu disebabkan adanya anomali, yakni harga produk lebih rendah dibandingkan minyak mentah. Anomali tersebut merupakan kesempatan yang baik bagi pemerintah untuk menurunkan harga premium.

Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengatakan, pemerintah akan terus mencermati apakah kecenderungan anomali harga premium tersebut berlanjut atau tidak. Harga produk premium di pasar Singapura tercatat lebih rendah 1-2 dolar dibandingkan harga minyak mentahnya. Padahal, biasanya harga premium lebih tinggi di atas 10 dolar AS dibandingkan harga minyak mentah.

Sebagai masyarakat kebanyakan, penurunan harga premium dan solar ini merupakan berita gembira. Krisis energi yang melanda masyarakat masyarakat sedikit mulai teratasi. Harga barang pun akan terjangkau. Termasuk di dalamnya penurunan tarif angkutan penumpang dan barang.

Bagaimana menyikapi penurunan harga premium ini? Penurunan ini harus diikuti dengan pengawasan di lapangan. Penurunan harga premium juga harus berdampak pada harga pasaran. Kalau biasanya menjelang hari raya keagamaan seperti natal, tahun baru atau idul fitri, harga barang di pasaran cenderung naik dengan alasan telah terjadi kenaikan bahan bakar minyak (BBM), untuk saat ini harus diawasi dengan seksama.

Menurunkan harga barang tentu tidak mudah atau tidak bisa dilakukan. Tapi, pengawasan untuk menstabilkan atau agar pengusaha/penjual tidak seenaknya memainkan harga harus dilakukan dengan ketat. Artinya, tidak ada alasan lagi bagi pelaku pasar untuk menaikkan harga barang dengan dalih telah terjadi perubahan/kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar atau kenaikan harga BBM.

Untuk diketahui, faktor yang menentukan harga BBM adalah harga minyak mentah dan produknya, kurs rupiah terhadap dolar AS, APBN, daya beli masyarakat dan sektor riil. Faktor-faktor ini merupakan dasar penentuan harga barang. Artinya, harga barang dan angkutan tidak bisa naik seenaknya kalau faktor-faktor di atas berjalan stabil.

Menjadi persoalan adalah ketika masyarakat tidak disiapkan untuk menyambut perubahan-perubahan ini. Artinya, masyarakat harus diberi tahu, apa yang musti dilakukan untuk menyikapi penurunan harga premium dan solar ini. Sektor riil, industri rumah tangga dan lainnya harus dihidupkan lagi. Maksudnya adalah, ketika ancaman PHK menghantui, masyarakat sudah siap untuk menghadapinya. Untuk sektor industri, seharusnya ini merupakan kesempatan untuk menyehatkan usahanya. Jangan dulu berpikir tentang PHK tetapi bagaimana memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan daya produksinya.

Ada memang banyak pandangan dengan penurunan harga premium dan solar ini. Ada yang mengatakan sudah seharusnya demikian, namun ada pula yang mengatakan bahwa itu merupakan upaya politis pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mencari popularitas. Pernyataan terakhir dibantah keras oleh Partai Demokrat pengusung SBY.

Apa pun dalihnya, penurunan harga premium dan solar ini harus disikapi dengan tepat. Ketika dunia dilanda krisis ekonomi global, masyarakat kecil memang harus diperkuat. Kalau ada yang melihatnya secara politis, itu adalah haknya. Namun yang harus disikapi adalah kenyataan bahwa premium dan solar telah diturunkan harganya.

Untuk itu, satu harapan yang ditujukan kepada pemerintah adalah melakukan pengawasan pasar dengan ketat. Para spekulan yang mencoba menimbun BBM agar terkesan langka, harus ditindak tegas. Penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan tarif angkutan pun harus segera dilakukan. *

PERUT

Pernah menghitung kebutuhan perutmu
Sehari, seminggu, sebulan, setahun?


GUGATAN itu lahir di Kuta. Menyeruak di antara riuh suara hujan dan Bali yang agak dingin di awal Desember. Pertengahan pekan lalu. Gugatan kecil setelah seharian letih berdiskusi tentang Sunda Kecil yang telah berlalu 50 tahun. Bicara lepas tak jauh dari kolam renang Santika di mana sekelompok bule asyik berendam menjelang senja.

Sungguh mati beta tersentak. Bahkan malu karena memang jarang menghitung kebutuhan isi perut. Bahkan sekadar untuk tempo seminggu. Abang Rikard Bagun, wakil Pemimpin Redaksi Kompas yang 'mengugat' senja itu tersenyum simpul. Lalu terbahak menyadari betapa beta hanya mampu mengangguk setuju.

Berceritalah Rikard tentang bumi Latin Amerika. Negeri yang telah berulang dikunjunginya. Negeri yang digandrungi sobat Jannes Eudes Wawa, Yos Naiobe, Hardi Himan, Faisal Mapawa, Pieter Fomeni. Gandrung Latin Amerika karena sepakbolanya yang memukau miliaran orang sejagat. Mungkin termasuk tuan dan puan bukan?

Tapi Rikard tidak bicara soal bola. Dia bercerita tentang inspirasi dari kampung Fernando Lugo, mantan uskup yang sejak 15 Agustus 2008 menjadi Presiden Paraguay. Rikard mewawancarai Lugo sehari menjelang pelantikan jadi presiden, 14 Agustus 2008. "Dua minggu saya di kampung halaman Lugo," katanya.

Apa yang menarik? Bukan tentang Lugo yang menanggalkan jubah uskup demi kursi presiden. Hampir semua orang sudah tahu soal itu. Rikard terpikat program "menghitung kebutuhan perut" dalam setahun. Inilah gerakan konkret di kebanyakan negara Amerika Latin sekarang guna meminimalisir jerit kaum papa yang kelaparan saban tahun. Jerit tangis itu mesti dijawab dengan langkah nyata yakni menciptakan kedaulatan pangan dalam rumah tangga! Maka kebutuhan perut seisi rumah mutlak dikalkuasikan dengan sungguh-sungguh.

Sebagai contoh keluarga Ronaldo Digodago dengan tiga anak. Berarti jumlah keluarga inti Digodago lima orang. Makanan pokok mereka ubi kayu (singkong), pisang dan jagung. Digodago perlu menghitung kebutuhan keluarganya dalam setahun atau 365 hari. Untuk menu singkong (sehari 3 kali makan), misalnya, keluarga Digodago menghabiskan dua rumpun dengan jumlah umbi 5-7. Kebutuhan keluarga Digodago akan ubi kayu 2 x 365 = 730 pohon. Jumlah inilah yang harus ditanam Digodago di ladang agar berdaulat atas pangan singkong yang kaya karbohidrat itu dalam setahun. Kebutuhan akan pisang, jagung, sorgum, padi dan lain-lain juga dikalkulasikan sehingga orientasi utama setiap rumah tangga petani menghasilkan pangan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Kelebihannya baru dilempar ke pasar. Para petani pun dirangsang kesadarannya lewat pertanyaan sederhana. Siapa menanam, tanam di mana, bagaimana menanam, mengapa harus menanam, untuk apa menanam ubi kayu, pisang, jagung, padi, sayur-sayuran?

Tanam di mana merupakan perkara rumit. Dijawab Lugo dan sejumlah pemimpin negara Amerika Latin dengan menata ulang kepemilikan tanah (landreform). Pemimpin Latin Amerika seperti Fernando Lugo (Paraguay), Evo Morales (Bolivia), Lula da Silva (Brasil), Hugo Chavez (Venezuela) kerapkali menegaskan bahwa Tanah adalah Ibu, sumber kehidupan. Bagaimana mungkin petani hidup jika tanah dikuasai tuan tanah atau orang-orang berduit. Jika mereka sekadar penggarap dengan upah minim?

***
TANAH adalah Ibu. Tanah sumber kehidupan. Rasanya tidak asing di beranda rumah ini. Rumah Flobamora yang baru saja membahas NTT Food Summit selama dua hari dengan salah satu rekomendasi menciptakan Desa Mandiri Pangan di bumi tenggara Indonesia.

Desa Mandiri Pangan. Apa, mengapa, siapa, di mana, kapan dan bagaimana memulainya? Beta tahu banyak ahli pertanian yang lebih cakap menghitung. Menghitung kebutuhan isi perut? Ilmu ekonomi pertanian telah lama mengajarkan itu. Jauh sebelum Lugo bergerak, Morales dan Chavez berteriak dan bertindak. Ilmu menghitung itu meluap-luap di ruang kuliah Flobamora.

Flobamora tidak kekurangan pakar dan praktisi pertanian. Flobamora jua tak kekurangan warta kelaparan. Nestapa itu masih nyaring terdengar hingga Lelogama, Paga, Watuneso, Reo, Talibura, Bola, Konga, Baranusa, Wewewa.

Tanah adalah Ibu. Sumber kehidupan. Masih adakah lahan di desa milik petani? Jadi teringat seorang sobat petani berdasi. Berhektar-hektar luas lahannya. Lahan tidur. Lahan tak tergarap. Semoga rekomendasi NTT Food Summit 2008 tidak berhenti di meja seminar, berakhir di dalam ruang rapat koordinasi. Selamat datang Desa Mandiri Pangan! (dionbata@poskupang.co.id)

SYALOM