Sabtu, 20 Desember 2008

Pariwisata Terpadu, Sebatas Konsep?

50 Tahun Sunda Kecil Berlalu (2)

Oleh Damianus Ola dan Dion DB Putra

SECARA faktual pariwisata di tiga propinsi Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTB) telah mengalami perkembangan dengan intensitas yang sangat bervariasi. Pariwisata Bali telah berkembang pesat dan sudah menjadi ikon pariwisata nasional.

Saat masih bergabung dalam Propinsi Sunda kecil, Bali, NTB dan NTT sama-sama mengandalkan sektor primer (pertanian). Namun kini, ekonomi Bali sudah dimotori industri pariwisata yang dengan cepat mengubah struktur ekonomi Bali dari agraris ke jasa (tersier). Peran sektor tersier saat ini begitu dominan.

Hanya dua tahun (2004) setelah dihantam teror bom, kata ekonom Universitas Udayana, Prof Dr. I Nyoman Irawan,

pariwisata Bali sudah mampu menyumbang PDRB 47,2 persen. Melesatnya perkembangan industri pariwisata dan menjadi leading sector di Bali, katanya, karena syarat untuk itu dipenuhi, yakni pertama, sektor primer, senkunder dan tersier sudah berkembang. Kedua, pariwisata didukung perusahaan-perusahaan kecil yang tersebar di seluruh daerah. Ketiga, sektor pariwisata tidak menimbulkan daerah kantong (enclave) dan keempat, tingginya permintaan dalam dan luar negeri terhadap sektor jasa pariwisata.

Sebaliknya sektor pariwisata NTB dan NTT masih berjalan tertatih-tatih dengan segala keterbatasannya. Menurut ekonom Universitas Mataram, Dr. Prayitno Basuki, MA, dibutuhkan grand design promotion untuk memajukan pariwisata di tiga "wilayah kembar", Bali, NTB dan NTT. Kemajuan industri pariwisata Bali diyakini mampu menjadi gerbong untuk menarik dua saudaranya, NTB dan NTT. Indikator-indikator keberhasilan industri pariwisata Bali bisa dijadikan sebagai salah satu acuan sambil tetap memberi aksentuasi pada keunggulan-keunggulan tiap wilayah.

Kemajuan pariwisata sungguh mensyaratkan dukungan infrastruktur. Dr. Prayitno menyebut beberapa indikator infrastruktur pariwisata antara lain transportasi, akomodasi, informasi pariwisata dan teknologi pariwisata. Transportasi untuk mendukung kemajuan ekonomi-pariwisata Sunda Kecil mendapat perhatian serius dari forum seminar "50 Tahun Sunda Kecil Berlalu".

Dengan mengutip data BPS 2008, Prayitno membeberkan kesenjangan infrastruktur transportasi di Bali, NTB dan NTT. Untuk transportasi darat, indikator kerapatan jalan di Bali mendekati Jawa sementara NTB dan NTT jauh tertinggal karena tingkat kerusakan jalan begitu tinggi. Pelabuhan laut di Bali berkinerja baik sementara dua saudara di sebelah timur baru 40-60 persen. Ketersediaan sarana transportasi air di NTB 0,4 persen sementara di NTT 0,8 persen. Demikian pula transportasi udara. Kinerja bandara Ngurah Rai (Denpasar), Selaparang (Mataram) dan El Tari berbeda bumi-langit. Pergerakan penumpang di Ngurah Rai mencapai 2,6 juta/tahun, Selaparang 600-750 ribu/tahun dan NTT masih di bawah 500 ribu/tahun.

Begitu juga akomodasi sebagai salah satu syarat penting bagi pengembangan pariwisata. Data BPS tahun 2008 yang dikutip Dr. Prayitno menyebutkan, Bali sudah memiliki 147 hotel berbintang (19.940 kamar) dan 1.419 hotel nonbintang (20.900 kamar). Sedangkan NTB baru mempunyai 32 hotel berbintang (2.020 kamar) dan 291 hotel nonbintang (3.496 kamar). NTT? Hanya ada enam hotel berbintang (260 kamar) dan 209 hotel nonbintang (3.093 kamar).

Baik transportasi, akomodasi, informasi, komunikasi, teknologi dan sektor-sektor terkait lainnya seperti kesehatan, kebersihan dan keamanan, sangat mempengaruhi kinerja pariwisata. Dr. Fred Benu menyebut Triple-T (Trasportation, Tellecommunication, Travel) yang mendeterminasi dinamika pembangunan suatu wilayah terlihat begitu jelas di Bali. Transportasi dan travel melecut keberhasilan pariwisata Bali meninggalkan NTB dan NTT.


***
Dengan kesenjangan tersebut, Dr. Prayitno menawarkan beberapa rekomendasi bagi pengembangan bersama pariwisata Bali-NTB-NTT secara terpadu. Pertama, penyusunan rencana pengembangan infrastruktur pariwisata jangka menengah kawasan Nusa Tenggara (Sunda Kecil) didasarkan pada hasil kajian akademis yang profesional dan kompeten. Kedua, orientasi pada wisatawan nusantara. Dengan target perjalanan wisata dilakukan oleh 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia, maka diperoleh 45 juta perjalanan/tahun. Asumsi rata-rata belanja setiap perjalanan minimal Rp 2 juta maka akan terjadi peredaran uang mencapai Rp 90 triliun/tahun.

Ketiga, dibutuhkan kerja sama antar-kawasan wisata untuk kepentingan promosi (grand design promotion) dan pelayanan terhadap wisatawan. Keempat, meningkatkan dukungan pemerintah kabupaten/kota melalui politik kebijakan dan penganggaran yang pro- pariwisata. Kelima, pengembangan kapasitas dan produktivitas melalui pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan SDM yang profesional di bidang pariwisata.

Prayitno juga menekankan begitu pentingnya akses jalan dan pengembangan sistem interkoneksi transportasi untuk memudahkan kunjungan wisatawan. Tidak hanya interkoneksi transportasi antar-wilayah Bali, NTB dan NTT tetapi koneksi transportasi di wilayah masing- masing propinsi, khususnya NTB dan NTT pun harus dibangun secara serius.

Di NTT, misalnya, begitu tiba di Bandara El Tari, wisatawan mestinya bisa langsung connect dengan flight ke kota-kota yang dituju seperti Ende, Labuan Bajo, Larantuka, Lembata dan lain-lain. Wisatawan yang ingin menikmati perjalanan melalui laut, juga mesti bisa segera ada alternatif menuju daerah-daerah wisata.

Sejauh ini, seperti juga disoroti dalam seminar 50 Tahun Sunda Kecil Berlalu, transportasi laut di NTT masih sangat memprihatinkan. PT ASDP yang melakukan pelayaran perintis mengoperasikan kapal-kapal tua yang masih jauh dari aspek kenyamanan dan keselamatan pelayaran. Kapal motor penyeberangan (KMP/feri) yang sudah "renta" yang mestinya hanya layak untuk lintas penyeberangan dengan jarak tempuh di bawah lima jam, dipaksa berlayar mengarungi laut Sawu dengan jarak tempuh belasan jam. Kapal-kapal Pelni yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di NTT pun belum intens dan tidak semua daerah potensi wisata disinggahi. Transportasi darat dari ibukota kabupaten/kecamatan ke lokasi-lokasi wisata potensial di pedalaman pun, harus diakui, masih compang- camping. Sarana pendukung di lokasi wisata seperti aspek sanitasi, sarana komunikasi, akomodasi dan lain- lain, juga masih jauh dari harapan. Tak kalah penting, masyarakat di sekitar obyek wisata pun harus dipersiapkan agar tidak hanya menjadi penonton yang cengar-cengir melihat para turis setengah telanjang. Harus ada rembesan ekonomis ke kantong warga di sekitar obyek wisata.

Butuh kerja keras bersama. Kerja besar. Kerja berat! Agar gagasan untuk mengembangkan bersama pariwisata Bali-NTB-NTT secara terpadu yang lahir dari diskusi sehari di Kuta-Bali, tidak hanya sebatas konsep. (bersambung)

Dagang Cendana: Dari Tom Pires ke Tukiman

Oleh Julianus Akoit

SEORANG pengelana berkebangsaan Spanyol, Tom Pires, dalam kesempatan berkunjung ke Semenanjung Malaka dan Pulau Timor, awal abad 14, sempat menulis sebuah catatan dalam buku hariannya sebagai berikut: "Saya menyebut Pulau Timor sebagai 'Suma Oriental'. Hutan dan gunung-gunung di Pulau Timor ditutupi pohon cendana. Pedagang-pedagang bangsa Melayu mengatakan Tuhan menciptakan Pulau Timor untuk kayu cendana dan Pulau Banda untuk pala, sedangkan Maluku untuk cengkeh dan barang-barang dagangan lainnya. Ini tidak dikenal di lain tempat kecuali di tempat yang disebut tadi."

Bukan hanya Tom Pires saja yang terkagum-kagum akan keharuman pohon cendana. Ada juga seorang Kapitan (Panglima Perang) Portugis mengirim surat tertanggal 6 Januari 1514 kepada Raja Manuel di Lisboa (Portugal). Dalam surat kepada rajanya, ia menjelaskan rasa kagumnya yang luar biasa tentang Pulau Timor, sebagai pulau penghasil kayu cendana, madu dan lilin. Dan masih banyak lagi laporan lainnya tentang Pulau Timor sebagai penghasil kayu cendana.

Laporan dan ceritera para pedagang ini mendorong Raja Spanyol dan Portugis serta Belanda mengirim ratusan armada kapal dagangnya ke Semenanjung Malaka (Sumatera), Jawa, Maluku, Pulau Banda dan Pulau Timor untuk membeli rempah-rempah seperti cengkeh, pala, kayu cendana, gaharu, madu, lilin dan sebagainya. Dan ini berlangsung selama hampir 700 tahun. Sebelumnya, para pedagang Cina, India serta Arab sudah mendahului datang ke Malaka dan Timor pada awal abad 12 untuk mencari cendana dan barang dagangan lainnya.

Di Timor sendiri ada 6 bandar (pelabuhan) dari total 12 bandar di NTT, yang sibuk menerima kedatangan kapal-kapal dagang untuk mengangkut kayu cendana, lilin, madu, gaharu dan sebagainya. Enam bandar itu adalah Kupang (Tenau), Sulamu (Pariti), Lifau, Mena, Batugade dan Manatuto.

Dari dagang cendana selama berabad-abad lamanya ini, kelak Timor disebut dengan nama Nusa Cendana alias pulau penghasil cendana. Ada juga pohon cendana yang tumbuh di beberapa pulau sekitar seperti di Alor, Sumba, sebagian Flores Timur dan Kepulauan Solor serta Lembata. Meski demikian populasi pohon cendana di Timor lebih besar ketimbang di beberapa pulau sekitar. Begitu pula penghargaan (bahkan penghormatan) terhadap pohon cendana oleh orang Timor melebihi perlakuan orang Alor, Sumba dan Flores terhadap tanaman ini.

Mengapa demikian? Di Timor, lebih khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), pohon cendana dianggap semacam tanaman dewa. Dan karena itu tanaman ini hanya dikuasai oleh Usif (Tuan Raja). Para pembantu raja seperti amaf dan tobe serta rakyat harus melindungi tanaman ini seperti melindungi seorang anak dewa. Raja pun membuat aturan adat (banu) yang isinya melindungi tanaman pohon cendana. Jika merontokkan daun cendana atau melukai batang pohon cendana saja, akan dikenakan denda beberapa ekor sapi, babi, beberapa keping uang perak bergambar Ratu Wihelmina dari Belanda serta beberapa galon sopi (miras lokal, Red). Sanksi lebih berat lagi jika tanaman ini terbakar api dan dicuri. Selama masa pemerintahan para raja, Pulau Timor benar-benar menjadi surga bagi habitat pohon cendana.

Perlindungan dan penguasaan pohon cendana oleh kekuasaan tradisional para raja Timor beralih kepada pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi NTT menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 1986 Tentang Cendana. Inti perda ini yaitu semua tanaman cendana adalah milik pemerintah. Hasil penjualan cendana oleh rakyat, harus dibagi dua. Yaitu 80 persen untuk pemerintah setempat dan 20 persen untuk pemilik rakyat (pemilik kayu). Meskipun kayu cendana itu ditebang dari hutan milik suku maupun ladangnya sendiri, tetap hasil jualnya dibagi dua kepada pemerintah, yaitu 80 persen untuk pemerintah dan 20 persen atau sisanya bagi rakyat. Dinas Kehutanan menjadi 'kaki tangan' pemerintah untuk mengendalikan dagang cendana. Penebangan hingga penjualan harus sepengetahuan dinas ini. Jika dilanggar, warga ditangkap dan dijebloskan ke penjara setempat.

Perda Nomor 16 Tahun 1986 ini menimbulkan perlawanan dan protes di mana-mana. Rakyat secara diam-diam menjual bukan kepada pemerintah tetapi kepada pihak swasta (pengusaha) dengan harga lebih signifikan. Pencurian dan penyelundupan cendana marak di mana-mana. Untuk mengatasi ini, pemerintah menerbitkan Perda Nomor 2 Tahun 1996. Perda ini membuka 'kran' sebesar-besarnya bagi rakyat untuk 'memiliki' pohon cendana. Meski demikian, kendali dagang kayu cendana masih tetap di tangan Dinas Kehutanan setempat. Rakyat boleh menguasai kayu cendana sebanyak-banyaknya, namun tetap dijual kepada pemerintah melalui Dinas Kehutanan dengan harga Rp 1.500/kg. Padahal di pasar 'gelap' atau bila dijual kepada pengusaha, harganya mencapai Rp 15.000/kg hingga Rp 30.000/kg. Perda Nomor 2 Tahun 1996 ini, kelak dikenal dengan istilah 'Program Pemutihan Cendana'.

Program 'Pemutihan Cendana' ini menimbulkan histeria di mana-mana. Anak sekolah, ibu rumah tangga, pria dewasa hingga pengusaha bermobil beramai-ramai masuk hutan memburu pohon cendana. "Setiap malam ratusan truk masuk hutan dan bukit di desa mengangkut kayu cendana. Bila malam hari, tampak sinar lampu mobil berseliweran di punggung bukit dan jalan-jalan sempit di hutan seperti ratusan cahaya kunang-kunang. Saya sempat melihat sendiri, seorang pengusaha besar dari Jakarta, tanpa malu-malu datang dengan helikopternya ke SoE, Kabupaten TTS untuk mengangkut kayu cendana," jelas Ampera Seke Selan, S.H, seorang tokoh pemuda dari Kabupaten TTS.

Stok kayu cendana yang melimpah mendorong berdirinya pabrik minyak cendana oleh PT. Tropica Oil dan pabrik pembuatan cendera mata dari kayu cendana oleh CV. Horas di Kupang. Minyak cendana diekspor ke Singapura, Hongkong, Cina, Taiwan, Amerika, Perancis, Jerman dan Inggris. Begitu pula cendera mata berupa patung religius dari kayu cendana, kipas angin, pulpen cendana, gantungan kunci, tasbih, rosario, gelang, piring bertuliskan huruf Arab, kotak perhiasan, diekspor ke manca negara. Ekspor kayu cendana dalam berbagai bentuk hingga minyaknya meraup devisa bagi negara hingga $2,5 juta pada tahun 1980-an. Kemudian menurun menjadi $ 2.500 pada tahun 1990-an. Lalu kemudian lenyap sama sekali hingga sekarang seiring dengan lenyapnya pohon cendana dari hutan-hutan Pulau Timor.

Hanya dalam rentang waktu 12 tahun, kayu cendana pun musnah dari hutan di Pulau Timor akibat 'Program Pemutihan Cendana' ini. Sekarang pohon cendana menjadi tanaman langka. Pemerintah pun buru-buru membudidayakan pohon cendana. Namun upaya pembudidayaan pohon cendana kini ditanggapi dingin oleh rakyat sendiri. "Pasalnya rakyat masih trauma terhadap sikap monopoli dagang cendana yang dikendalikan langsung oleh pemerintah. Dulu kayu cendana disebut orang Timor dengan istilah haumeni atau kayu harum. Tapi sekarang orang Timor menyebut dengan istilah haumalasi atau kayu perkara. Kenapa? Karena dulu banyak rakyat yang ditangkap polisi dan tentara karena diam-diam menjual kayu cendana di pasar gelap, tidak menjual kepada pemerintah," kata Ampera Seke Selan.

Dua hari yang lalu, saya dibuat tertegun ketika menjelajahi dunia maya (internet). Sebuah situs dagang dari sebuah komunitas pengusaha di Provinsi Jawa Timur, memuat iklan di situsnya. Iklan itu menawarkan penjualan biji pohon cendana yang siap untuk disemai. Satu biji dijual seharga Rp 10.000,00. Dalam iklannya ditambahkan keterangan yang berbunyi: biji cendana berkualitas dari NTT.

Hati ini benar-benar dibuat sakit. Kenapa bukan orang Timor yang menjual biji cendana siap tanam, yang nota bene adalah 'nenek moyang' pohon cendana itu? Anda bayangkan saja, satu pohon cendana usia dewasa memproduksi 5.000 biji hingga 10.000 biji setiap tahun. Mari kita 'berhitung dagang' dengan mengambil rata-rata 7.000 biji cendana dari satu pohon yang berhasil disortir dari kumpulan biji berkualitas. Itu berarti 7.000 biji x Rp 10.000 x 1 tahun = Rp 70.000.000 (tujuh puluh juta) per pohon per tahun. Bila seorang petani memiliki 100 pohon cendana dalam satu hektar lahannya itu berarti setiap tahun ia memanen duit sebesar Rp 7.000.000.000 (tujuh miliar). Pohon cendana mulai menghasilkan biji ketika usia 4 tahun. Usia produksi pohon cendana sampai 60 tahun bahkan lebih. Silahkan Anda hitung sendiri berapa duit yang dihasilkan? Itu baru dari hasil berdagang biji cendana.

Di situs lainnya, dilaporkan Universitas Gajah Mada meluncurkan program Cendana Untuk Biaya Pendidikan. Sebuah desa di Kaki Gunung Kidul, Provinsi D.I. Jogyakarta, petani setempat, Tukiman dan kawan-kawannya, beramai-ramai menanam cendana untuk investasi biaya pendidikan. Program ini mendapat pendampingan dari para mahasiswa UGM. Harga satu pohon cendana dewasa usia 20 tahun dengan lebar teras 30 centimeter di pasar dunia sekarang senilai Rp 80 juta. Jika petani yang baru menikah menanam 100 pohon cendana dalam satu hektar, maka dalam 20 tahun ke depan, ketika anaknya sudah besar, ia memanen duit sebesar Rp 8.000.000.000 (delapan miliar). Uang ini bisa digunakan Tukiman untuk biaya kuliah anaknya di Fakultas Kedokteran dan masih sisa banyak. Jika di desa itu ada 30 petani saja yang mengusahakan bisnis cendana ini, maka akan ada duit yang berputar senilai Rp 240 miliar. Sama besar dengan jatah alokasi DAU Kabupaten TTU Tahun 2007 lalu.

Dari gambaran ini, mestinya rakyat NTT lebih khusus orang Timor, termotivasi untuk menanam kembali cendana sebagai investasi biaya pendidikan anak di perguruan tinggi. Untuk mewujudkan mimpi ini, perlu dihidupkan lagi aturan adat (banu) yang melindungi tanaman cendana, didukung peraturan desa (perdes) bahkan peraturan daerah untuk pengembangbiakan tanaman cendana. Dinas Kehutanan setempat mesti melihat ini sebagai program yang menjanjikan. Perlu juga dirancang regulasi seputar kewenangan menjual dan membeli cendana tidak atas dasar monopoli. Jika upaya ini dilakukan penuh semangat, tekun dan bekerja keras, maka saya bayangkan 20 tahun atau lebih nanti, bukan hanya Tukiman saja tetapi juga Si Kefi Lelan, Nubatonis, Banunaek, Oematan, Nope, Kono, Kolo, Tnesi, Anin dari pedalaman Timor yang miskin dan gersang, bisa punya duit banyak dari cendana untuk menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran, Universitas Nusa Cendana Kupang. Semoga mimpi ini jadi nyata. *

SYALOM