Jumat, 29 Agustus 2008

Pembelajaran Politik yang Baik


ANGIN reformasi yang ditiupkan mahasiswa ketika menjatuhkan rezim Soeharto pada tahun 1998 lalu disambut gembira. Harapan akan perubahan hidup bermunculan. Rakyat kini bebas menentukan pilihannya.

Kran politik, informasi dan lainnya yang selama ini hanya dinikmati kelompok elite tertentu mulai terbuka. Kalau sebelumnya masyarakat masih takut memrotes pemerintah, kini kebebasan mengeluarkan pendapat tidak dibatasi lagi. Tidak ada yang kebal hukum. Siapa pun dia, jika bersalah pasti mendapat hukuman yang setimpal.

Era reformasi itu memang membawa banyak perubahan. Tak hanya peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri atau peraturan daerah ikut diubah, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun ikut diamandemen. Semuanya memiliki satu tujuan, yakni untuk kesejahteraan masyarakat.

Selain perubahan di bidang informasi dan komunikasi, perubahan mencolok terjadi juga di bidang politik nasional hingga daerah. Berbagai regulasi lama diganti dengan regulasi-regulasi baru yang lebih komunikatif. Masyarakat diberikan kebebasan untuk mendirikan partai politik asalkan memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Tidak sampai di situ saja, undang-undang pemilihan presiden/wapres, kepala daerah dan anggota legislatif pun dirubah.

Tugas memilih kepala daerah bukan lagi urusan DPRD dan pemerintah, tapi rakyat langsung menentukan pilihannya. Rakyat diberi kebebasan untuk memilih figur yang pantas sesuai dengan aspirasi yang diinginkannya. Lalu, apakah semua perubahan itu sudah sesuai dengan semangat perjuangan reformasi?

Tampaknya masih jauh dari harapan. Antara paham aturan dan tidak paham, hanya beda-beda tipis. Akibatnya, banyak yang terjebak dan kebablasan dalam permainan politiknya sendiri. Banyak sudah persoalan politik di NTT, yang seharusnya sudah menjadi pelajaran penting bagi kita. Kurang pahamnya masyarakat terhadap regulasi-regulasi politik membuat mereka sering menjadi korban penipuan, pembohongan dan manipulasi dari kelompok elite tertentu.

Sebut saja kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat pemilihan Walikota/Wakil Walikota Kupang tahun lalu. Ada kubu yang mendaftar Guido Fulbertus, namun ada juga yang mendaftarkan Daniel Adoe. Saat pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur NTT beberapa waktu lalu kembali terjadi. Ada partai yang mendaftar paket Gaspar Ehok-Julius Bhobo dan Beni Harman-Alfred Kase, PKB mengaku diusung oleh PKB.

Kasus terbaru adalah yang terjadi di Kabupaten Ende. Sekretaris I DPD PDI- Perjuangan NTT yang merangkap sebagai DPC PDI-P Ende, Victor Mado Watun mengatakan, pihaknya hanya mencalonkan Drs. Don Bosco Wangge-Achmad Mochdar (paket DO'A) sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Ende. PDI-P, katanya, tidak mengusung Bernadus Gadobani, S.Ag, sebagai calon Bupati Ende. Pencalonan Gadobani adalah kemauan pribadi.

Apa pun alasannya, polemik-polemik seperti ini bisa disebut sebagai sebuah pembelajaran politik yang membingungkan masyarakat. Masyarakat jadinya tidak bisa membedakan mana yang disebut demokrasi dan mana itu kepentingan pribadi. Para elite politik dengan sedikit kuasa dan kewenangan yang dimilikinya melakukan manuver-manuver politik yang cukup menyita perhatian. Lihat saja aksi Gadobani yang sudah mengundurkan diri dari kepengurusan PDI-P Ende, namun mendaftarkan diri di KPU Ende sebagai calon dari PDI-P.

Dari sini akan sangat jelas dan terbaca sejauh mana peran partai politik yang salah satu tugasnya adalah memberikan pelajaran politik kepada masyarakat. Masyarakat biasanya akan melihat dan menilai. Dan, ketika mereka menjadi bingung, bisa saja berubah menjadi apatis. Hal ini yang tidak kita inginkan. Masyarakat harus diajak untuk berperan.

Untuk itu, harus ada jiwa besar dan rasa menghormati demokrasi yang ditunjukkan elite politik. Harus dewasa dalam berpolitik. Ambisi boleh besar, namun harus ada kesadaran bahwa jauh di sana ada kelompok masyarakat yang sedang melihat dan memberikan penilaian.
Simpatisan PDI-P di Ende yang melihat para elitenya berseteru untuk kepentingan pribadinya tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan. Maksudnya adalah bahwa manuver dan intrik-intrik politik yang dilakukan hendaknya jangan memecah-belah masyarakat. Tunjuklanlah kedewasaan dalam berpolitik dengan tameng kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. *

SYALOM