Oleh Dion DB Putra
NAMA sebenarnya bukan Mbeka. Di sekolah menengah dulu, beta dan teman- teman seangkatan menyapanya begitu karena perutnya yang agak buncit. Sapaan akrab itu bertahan sampai sekarang. Pada usia menjelang 41 tahun, perut Mbeka memang kian membesar oleh lemak. Jadi, sapaan Mbeka belum keluar dari koridornya. Si Mbeka tetap mbeka.
Dia berdiri tak jauh dari sukun muda di ujung Lapangan Pancasila-Ende. Beta hampir tidak mengenalinya. Dia memakai kaca mata gelap dan menutup kepala dengan helm standar. Berkaus oblong dipadu rompi yang kebanyakan dipakai tukang ojek, celana pendek serta sandal jepit.
"Biar tidak dikenal oleh mata-mata ko," katanya sambil terbahak. Hari itu Mbeka "menonton" kampanye salah satu paket calon yang ikut berkompetisi merebut kursi Bupati-Wakil Bupati Ende periode 2008-2013. Diksi "menonton" yang digunakan Mbeka agaknya tidak keliru. Jarak Mbeka dengan podium kampanye hampir seratus duapuluh meter. Dari posisi itu, Mbeka tidak mendengar jelas kata-kata juru kampanye serta pasangan calon yang hendak maju dalam pilkada.
Kalau sekadar menonton kampanye, apa manfaatnya? Ketika mahasiswa, Mbeka aktivis organisasi. Menyelesaikan studi dengan predikat terbaik. Mbeka paham tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dia mengerti dengan baik soal makna demokrasi.
"Saya cuma mau lihat massa yang datang. Saya tidak akan lama-lama di sini, takut ketahuan," kata Mbeka. Mbeka takut ketahuan seperti teman-temannya yang lain. Cukup banyak teman Mbeka yang langsung mendapat SK (Surat Keputusan) mutasi ketika kedapatan mengikuti kampanye atau bersimpati pada salah satu paket calon tertentu.
Menurut Mbeka, mereka yang kuat kuasa selalu memasang mata-mata. Ketahuan ikut kampanye hari ini, besok langsung dapat SK pindah. Pindah ke tempat yang jauh, terpencil dan posisi baru tidak sesuai dengan kapasitasnya.
Keputusan mutasi tidak masuk akal, tetapi harus dijalani. Kalau bukan mutasi, yang bersangkutan bakal mendapat intimidasi, teror dan ancaman. Diteror dan diancam oleh orang-orang yang masuk dalam lingkaran penguasa birokrasi. "Pilkada bukan tempat yang aman bagi orang-orang seperti saya," kata Mbeka lalu bergegas menuju sepeda motornya, menghidupkan mesin dan cepat melesat melalui Jalan Soekarno-Hatta.
***
MENYEDIHKAN perjumpaan dengan Mbeka. Lama kami berpisah. Saat bersua di akhir pekan, kutemui Mbeka yang berbeda. Mbeka yang terpenjara dalam kapasitasnya sebagai pegawai negara.
Keluar enggan, bertahan pun serba salah. Agar dapur tak kehilangan asap, demi istri, anak, dan keluarga, Mbeka memilih bermain kucing-kucingan. Mbeka, sahabat lamaku itu, seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dia juga pejabat eselon.
Ketika musim pilkada tiba, banyak orang mengalami nasib seperti Mbeka. Diancam, diteror bahkan dimutasi dalam sekejap. Lurah dan Camat harus sejalan. Kepala sekolah diarahkan. Berbeda sikap, bakal dicopot. Mereka dipenjara dalam sistem yang diterapkan secara salah. Hak asasinya diberangus atas nama loyalitas. Siapa berkuasa, dia seolah-olah berhak mengatur segalanya.
Momentum pilkada di beranda rumah Flobamora telah ikut "mendidik" pegawai negeri menjadi manusia munafik. Piawai bermain kucing-kucingan. Mereka bukan manusia bebas. Hak politik terpasung. Mendukung si A bakal dibabat, mendukung si B bisa tergencet. Bersimpati pun tidak boleh. Mengabdi sebagai pegawai negeri, apakah sebuah kesalahan? (email: dionbata@poskupang.co.id)
Senin, 06 Oktober 2008
Kuaputu, Arena Remaja Mendalami Cinta...
Oleh Benny Dasman
SENJA di Kuaputu. Matahari di balik mega. Sejuk, memanjakan. Sekelompok remaja putri duduk melingkar di pojok lapangan SDK St. Yoseph. Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Bersahut-sahutan. Sesekali hening mendengarkan suara 'kenabian' sang pembina yang bercerita tentang cinta. Cinta eros? Cinta mania? Cinta agape? Bukan!
Kelompok lainnya berkumpul di teras SDK St. Yoseph Kuaputu. Belajar drama. Berlompat-lompat. Riuh, gaduh. Ada pula yang serius. Membahas tugas-tugas lain dari sang pembina. Semuanya beraroma cinta. Sebagaimana cinta si kerudung putih yang dengan setia mendampingi para remaja itu.
Tak hanya itu. Di bagian timur arena, di bawah sebuah pohon, sekelompok ibu-ibu berkumpul. Di tengah-tengah mereka, asap mengepul tebal. Membubung tinggi. Sambil bercanda, merakit menu. Mereka melakoni pekerjaan cinta. Tapi bukan cinta ludus. Suasana ini kurekam Jumat (3/10/2008), pukul 17.15 wita, usai seorang warga Kuaputu bertanya kepadaku di jalanan, "Ada apa dengan anak-anak itu, pak? Ada pasar ko?"
***
"Melayani Tuhan bikin katong pung hidup lebih hidup." Tema ini terpampang jelas pada sebuah spanduk. Dibentangkan di tengah lapangan SDK St. Yoseph-Kuaputu, tempat 105 remaja Paroki Sta. Familia Sikumana-Kupang mengakrabi sesama dan alam. Menjawabi pertanyaan warga Kuaputu, "Kemah remaja." Digelar, 1-4 Oktober 2008. Aneka kegiatan bernuansa cinta digelar, antara lain pendalaman rohani, penantaan lingkungan, lintas alam, belajar menjadi pemimpin, meditasi, renungan malam, reques senja dan sebagainya.
"Obsesi saya, kemah remaja ini menjadi agenda keuskupan agar banyak remaja yang ikut. Kita benahi dari tahun ke tahun agar pelaksanannya bagus. Kendalanya selama ini adalah kurang koordinasi," ujar Sr. Maria Rita, CB, pendamping remaja Paroki Sta. Familia Sikumana, Kupang.
Tahun lalu, Sr. Rita juga menggelar kemah serupa di padang perkemahan di Belo. Mengapa setiap tahun? Apakah remaja kita selalu menampilkan perilaku minor? "Mencermati kondisi tatanan nilai yang hidup dan berkembang dan berkembang di tengah masyarakat ini sungguh menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Telah terjadi penjungkirbalikkan tatanan nilai dalam kehidupan pribadi dan bersama kalau dilihat dari kaca mata kemanusiaan dan tata nilai kristiani," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita menyebut masalah serius yang kita hadapi saat ini adalah rusaknya keadaban publik berbanding lurus dengan rusaknya tatanan nilai. Kehidupan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya, tetapi dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indra dan keuntungan materi, uang dan kedudukan. Dapat dipastikan bahwa tatanan nilai amat berpengaruh terhadap pembentukan karakter orang, khususnya anak-anak dan orang muda.
Salah satu wadah untuk menanggapi situasi yang memrihatinkan ini, Sr. Rita menyebut perkemahan remaja. "Melalui kemah remaja, kita mengembangkan budaya alternatif dengan memberikan pendidikan nilai terhadap kepada orang muda. Pendidikan nilai ini diharapkan dapat membentuk karakter dan pengembangan diri kaum muda sekaligus kristiani," ujarnya.
Dalam konteks dunia sekarang ini, kata Sr. Rita, orang muda berada dalam tarikan kuat antara norma-norma yang seharusnya mereka pegang dengan kenyataan sosial yang sering kali menjauhkan mereka dari norma-norma dimaksud. Kehidupan bersama yang toleran, solider, subsider yang saling mengembangkan, katanya, dihadapkan pada situasi yang kompetitif (negatif), individualisme yang semakin meningkatkan intervensi-intervensi yang mengekang.
Menurutnya, pemutarbalikkan aneka macam perkara menjadi tontonan yang sering kali membingungkan pengambilan pilihan hidup kaum muda. "Dalam kenyataan seperti ini, dibutuhkan edukasi nilai yang jelas dan menyentuh dasar-dasar kehidupan. Ini misi utama mengapa kemah remaja ini kita gelar setiap tahun. Melalui wadah ini, kita mengingatkan kaum muda mengatakan yang benar jika benar dan salah jika salah. Bukan sebaliknya," tegas Sr. Rita, yang saat itu didampingi Sr. Ega, RVM dan Sr. Renata, PRR.
***
Kemah remaja ini juga bermakna menggali hakekat cinta menurut pemahaman remaja. Remaja harus menyadari bahwa cinta itu anugerah Allah. Kehidupan menjadi berarti ketika ada cinta. Hidup tanpa cinta adalah sebuah penderitaan. Namun penderitaan yang dilakukan karena cinta adalah sumber kebahagiaan sejati.
"Selama kemah ini, para remaja juga merefleksikan arti cinta terhadap diri sendiri untuk menerima apa adanya dengan segala kekurangan dan sikap memberi penghargaan pada diri sendiri. Dengan demikian, cinta terhadap diri sendiri itu merupakan akses hidup untuk menjalin cinta terhadap Tuhan dan sesama. Jadi, jalinan cinta yang ilahi. Itu yang kita tanamkan," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita mengharapkan melalui perkemahan ini para remaja semakin menyadari panggilannya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Dan, dalam bimbingan Roh Tuhan mampu meneladani Yesus dalam hidup sehari-hari dengan mengesampingkan iming-iming duniawi yang gemerlap. Selain itu, setiap remaja memahami realitas, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu berlaku adil dan damai pada diri sendiri dan orang. Sungguh mulia. Bikin katong pung hidup lebih hidup. **
SENJA di Kuaputu. Matahari di balik mega. Sejuk, memanjakan. Sekelompok remaja putri duduk melingkar di pojok lapangan SDK St. Yoseph. Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Bersahut-sahutan. Sesekali hening mendengarkan suara 'kenabian' sang pembina yang bercerita tentang cinta. Cinta eros? Cinta mania? Cinta agape? Bukan!
Kelompok lainnya berkumpul di teras SDK St. Yoseph Kuaputu. Belajar drama. Berlompat-lompat. Riuh, gaduh. Ada pula yang serius. Membahas tugas-tugas lain dari sang pembina. Semuanya beraroma cinta. Sebagaimana cinta si kerudung putih yang dengan setia mendampingi para remaja itu.
Tak hanya itu. Di bagian timur arena, di bawah sebuah pohon, sekelompok ibu-ibu berkumpul. Di tengah-tengah mereka, asap mengepul tebal. Membubung tinggi. Sambil bercanda, merakit menu. Mereka melakoni pekerjaan cinta. Tapi bukan cinta ludus. Suasana ini kurekam Jumat (3/10/2008), pukul 17.15 wita, usai seorang warga Kuaputu bertanya kepadaku di jalanan, "Ada apa dengan anak-anak itu, pak? Ada pasar ko?"
***
"Melayani Tuhan bikin katong pung hidup lebih hidup." Tema ini terpampang jelas pada sebuah spanduk. Dibentangkan di tengah lapangan SDK St. Yoseph-Kuaputu, tempat 105 remaja Paroki Sta. Familia Sikumana-Kupang mengakrabi sesama dan alam. Menjawabi pertanyaan warga Kuaputu, "Kemah remaja." Digelar, 1-4 Oktober 2008. Aneka kegiatan bernuansa cinta digelar, antara lain pendalaman rohani, penantaan lingkungan, lintas alam, belajar menjadi pemimpin, meditasi, renungan malam, reques senja dan sebagainya.
"Obsesi saya, kemah remaja ini menjadi agenda keuskupan agar banyak remaja yang ikut. Kita benahi dari tahun ke tahun agar pelaksanannya bagus. Kendalanya selama ini adalah kurang koordinasi," ujar Sr. Maria Rita, CB, pendamping remaja Paroki Sta. Familia Sikumana, Kupang.
Tahun lalu, Sr. Rita juga menggelar kemah serupa di padang perkemahan di Belo. Mengapa setiap tahun? Apakah remaja kita selalu menampilkan perilaku minor? "Mencermati kondisi tatanan nilai yang hidup dan berkembang dan berkembang di tengah masyarakat ini sungguh menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Telah terjadi penjungkirbalikkan tatanan nilai dalam kehidupan pribadi dan bersama kalau dilihat dari kaca mata kemanusiaan dan tata nilai kristiani," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita menyebut masalah serius yang kita hadapi saat ini adalah rusaknya keadaban publik berbanding lurus dengan rusaknya tatanan nilai. Kehidupan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya, tetapi dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indra dan keuntungan materi, uang dan kedudukan. Dapat dipastikan bahwa tatanan nilai amat berpengaruh terhadap pembentukan karakter orang, khususnya anak-anak dan orang muda.
Salah satu wadah untuk menanggapi situasi yang memrihatinkan ini, Sr. Rita menyebut perkemahan remaja. "Melalui kemah remaja, kita mengembangkan budaya alternatif dengan memberikan pendidikan nilai terhadap kepada orang muda. Pendidikan nilai ini diharapkan dapat membentuk karakter dan pengembangan diri kaum muda sekaligus kristiani," ujarnya.
Dalam konteks dunia sekarang ini, kata Sr. Rita, orang muda berada dalam tarikan kuat antara norma-norma yang seharusnya mereka pegang dengan kenyataan sosial yang sering kali menjauhkan mereka dari norma-norma dimaksud. Kehidupan bersama yang toleran, solider, subsider yang saling mengembangkan, katanya, dihadapkan pada situasi yang kompetitif (negatif), individualisme yang semakin meningkatkan intervensi-intervensi yang mengekang.
Menurutnya, pemutarbalikkan aneka macam perkara menjadi tontonan yang sering kali membingungkan pengambilan pilihan hidup kaum muda. "Dalam kenyataan seperti ini, dibutuhkan edukasi nilai yang jelas dan menyentuh dasar-dasar kehidupan. Ini misi utama mengapa kemah remaja ini kita gelar setiap tahun. Melalui wadah ini, kita mengingatkan kaum muda mengatakan yang benar jika benar dan salah jika salah. Bukan sebaliknya," tegas Sr. Rita, yang saat itu didampingi Sr. Ega, RVM dan Sr. Renata, PRR.
***
Kemah remaja ini juga bermakna menggali hakekat cinta menurut pemahaman remaja. Remaja harus menyadari bahwa cinta itu anugerah Allah. Kehidupan menjadi berarti ketika ada cinta. Hidup tanpa cinta adalah sebuah penderitaan. Namun penderitaan yang dilakukan karena cinta adalah sumber kebahagiaan sejati.
"Selama kemah ini, para remaja juga merefleksikan arti cinta terhadap diri sendiri untuk menerima apa adanya dengan segala kekurangan dan sikap memberi penghargaan pada diri sendiri. Dengan demikian, cinta terhadap diri sendiri itu merupakan akses hidup untuk menjalin cinta terhadap Tuhan dan sesama. Jadi, jalinan cinta yang ilahi. Itu yang kita tanamkan," ujar Sr. Rita.
Sr. Rita mengharapkan melalui perkemahan ini para remaja semakin menyadari panggilannya untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. Dan, dalam bimbingan Roh Tuhan mampu meneladani Yesus dalam hidup sehari-hari dengan mengesampingkan iming-iming duniawi yang gemerlap. Selain itu, setiap remaja memahami realitas, hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu berlaku adil dan damai pada diri sendiri dan orang. Sungguh mulia. Bikin katong pung hidup lebih hidup. **
Langganan:
Postingan (Atom)