Oleh Julianus Akoit
DUA atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang).
Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.
Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali.
Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.
Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.
Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).
Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.
Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor.
Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor.
Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali.
Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan.
Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.
Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.
Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.
"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu. Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa.
"Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.
Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi jantan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun
1970. "Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.
Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat.
Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.
Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.
Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.
Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga. **
Minggu, 19 Oktober 2008
Oepoli, Negeri Madu
Oleh Aris Ninu
AKHIR Agustus 2008 saya pulang ke Pulau Timor, tempat kelahiran saya. Mengunjungi keluarga dan sanak keluarga. Saya juga mengunjungi kakak saya yang bertugas sebagai pastor paroki di Oepoli-Amfoang Timur, Kabupaten Kupang.
Ini kali pertama saya pergi ke Oepoli. Sebelum ini nama Oepoli dan Amfoang saya dengar hanya dari cerita orang.
Oepoli berada di perbatasan antara Kabupaten TTU dan Distrik Oecusi-Timor Leste. Oepoli berada di Kecamatan Amfoang Timur. Di pantai utara Pulau Timor. Oepoli juga berdekatan dengan Pulau Batek, salah satu pulau terluar.
Penduduk Oepoli sangat ramah. Kehidupan mereka setiap hari masih tradisional. Mereka kebanyakan warga eks pengungsi dari Oecusi. Mereka telah menyatu karena perkawinan dan masih memiliki hubungan darah dengan warga Oecusi, Timor Leste.
Ada apa di Oepoli? Ternyata tempat ini memiliki potensi yang luar biasa. Oepoli memiliki sejuta harapan dan perubahan bagi masyarakatnya jika potensi itu diolah dan dikembangkan.
Namun Oepoli jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kupang. Untuk ke Oepoli kita harus melewati ruas jalan yang cukup mengerikan. Ada dua jalur jalan ke sana, yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat bisa melalui Kabupaten TTU, bisa juga melalui Sulamu, Kabupaten Kupang.
Perjalanan saya ke Oepoli kali ini melalui Kabupaten TTU, melintasi Kecamatan Miomafo Barat-Eban terus ke Aplal lalu Naekake. Melewati dua kali besar yang airnya mengalir dari Gunung Mutis dan menyaksikan pemandangan gersang dan kering di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Menyaksikan dan merasakan kondisi jalan yang berlubang dan tidak beraspal. Menyaksikan anak-anak bertelanjang dada sepanjang jalan. Menyaksikan pula banyak lahan tandus dan kritis yang dijadikan kebun oleh warga.
Semua pemandangan itu sungguh menyedihkan. Banyak hal yang kurang diperhatikan dan disentuh oleh pemerintah. Masyarakat dibiarkan berpikir dan membangun daerahnya tanpa ada perhatian.
Wilayah Eban yang punya potensi malah jalannya rusak berat. Apalagi Naekake dan Aplal, tentunya lebih memprihatinkan lagi.
Di Oepoli lain lagi. Saya menyaksikan anak-anak bermain di sepanjang jalan, di depan rumah-rumah beratap daun lontar.Ada yang lupa mengurusi mereka. Memasuki daerah Oepoli, saya menyaksikan dedaunan berserakan dan pohon-pohon penuh debu.
Oepoli memang masih jauh dari perhatian pemerintah. Daerah ini punya potensi madu yang kekhasannya telah dibawa ke mana-mana. Madu Amfoang telah dikenal berkhasiat, tapi orang Amfoang tidak pernah menyadarinya.
Banyak kalangan menganggap Oepoli jauh. Tapi, apa yang tidak ada di Oepoli? Oepoli punya lahan pertanian luas. Punya potensi laut. Punya potensi alam yang luar biasa. Oepoli penuh madu, tapi tidak ada yang memperhatikan madu tersebut agar berguna bagi masyarakat.
Martinus Goa, warga Oepoli, menuturkan, potensi laut di Oepoli cukup menjanjikan, tapi banyak yang belum disentuh. Tidak ada nelayan.
Pemerintah Kabupaten Kupang hendaknya melirik dan mendekat ke Amfoang Timur dan daerah pinggiran di Pulau Timor. Sarana jalan ke sana menyedihkan. Pelayanan kesehatan, masalah pertanian belum terselesaikan di Oepoli hingga kini. Siapa yang bertanggung jawab? Masyarakat telah berusaha untuk mandiri, tapi kalau tanpa campur tangan pemerintah dan pihak lain, sia-sialah upaya tersebut. (aris79_timor@yahoo.co.id)
AKHIR Agustus 2008 saya pulang ke Pulau Timor, tempat kelahiran saya. Mengunjungi keluarga dan sanak keluarga. Saya juga mengunjungi kakak saya yang bertugas sebagai pastor paroki di Oepoli-Amfoang Timur, Kabupaten Kupang.
Ini kali pertama saya pergi ke Oepoli. Sebelum ini nama Oepoli dan Amfoang saya dengar hanya dari cerita orang.
Oepoli berada di perbatasan antara Kabupaten TTU dan Distrik Oecusi-Timor Leste. Oepoli berada di Kecamatan Amfoang Timur. Di pantai utara Pulau Timor. Oepoli juga berdekatan dengan Pulau Batek, salah satu pulau terluar.
Penduduk Oepoli sangat ramah. Kehidupan mereka setiap hari masih tradisional. Mereka kebanyakan warga eks pengungsi dari Oecusi. Mereka telah menyatu karena perkawinan dan masih memiliki hubungan darah dengan warga Oecusi, Timor Leste.
Ada apa di Oepoli? Ternyata tempat ini memiliki potensi yang luar biasa. Oepoli memiliki sejuta harapan dan perubahan bagi masyarakatnya jika potensi itu diolah dan dikembangkan.
Namun Oepoli jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kupang. Untuk ke Oepoli kita harus melewati ruas jalan yang cukup mengerikan. Ada dua jalur jalan ke sana, yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat bisa melalui Kabupaten TTU, bisa juga melalui Sulamu, Kabupaten Kupang.
Perjalanan saya ke Oepoli kali ini melalui Kabupaten TTU, melintasi Kecamatan Miomafo Barat-Eban terus ke Aplal lalu Naekake. Melewati dua kali besar yang airnya mengalir dari Gunung Mutis dan menyaksikan pemandangan gersang dan kering di perbatasan Indonesia dan Timor Leste.
Menyaksikan dan merasakan kondisi jalan yang berlubang dan tidak beraspal. Menyaksikan anak-anak bertelanjang dada sepanjang jalan. Menyaksikan pula banyak lahan tandus dan kritis yang dijadikan kebun oleh warga.
Semua pemandangan itu sungguh menyedihkan. Banyak hal yang kurang diperhatikan dan disentuh oleh pemerintah. Masyarakat dibiarkan berpikir dan membangun daerahnya tanpa ada perhatian.
Wilayah Eban yang punya potensi malah jalannya rusak berat. Apalagi Naekake dan Aplal, tentunya lebih memprihatinkan lagi.
Di Oepoli lain lagi. Saya menyaksikan anak-anak bermain di sepanjang jalan, di depan rumah-rumah beratap daun lontar.Ada yang lupa mengurusi mereka. Memasuki daerah Oepoli, saya menyaksikan dedaunan berserakan dan pohon-pohon penuh debu.
Oepoli memang masih jauh dari perhatian pemerintah. Daerah ini punya potensi madu yang kekhasannya telah dibawa ke mana-mana. Madu Amfoang telah dikenal berkhasiat, tapi orang Amfoang tidak pernah menyadarinya.
Banyak kalangan menganggap Oepoli jauh. Tapi, apa yang tidak ada di Oepoli? Oepoli punya lahan pertanian luas. Punya potensi laut. Punya potensi alam yang luar biasa. Oepoli penuh madu, tapi tidak ada yang memperhatikan madu tersebut agar berguna bagi masyarakat.
Martinus Goa, warga Oepoli, menuturkan, potensi laut di Oepoli cukup menjanjikan, tapi banyak yang belum disentuh. Tidak ada nelayan.
Pemerintah Kabupaten Kupang hendaknya melirik dan mendekat ke Amfoang Timur dan daerah pinggiran di Pulau Timor. Sarana jalan ke sana menyedihkan. Pelayanan kesehatan, masalah pertanian belum terselesaikan di Oepoli hingga kini. Siapa yang bertanggung jawab? Masyarakat telah berusaha untuk mandiri, tapi kalau tanpa campur tangan pemerintah dan pihak lain, sia-sialah upaya tersebut. (aris79_timor@yahoo.co.id)
Hentikan Pencaloan Perekrutan PNS
Oleh Sipri Seko
KAJARI Bajawa, Semuel Say, S.H, Kamis (16/10/2008) siang, memerintahkan jaksa Robert J Lambila, S.H, dan Indi Premadasa, S.H, menangkap Petrus Kanisius Noka, oknum PNS di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO), Kabupaten Ngada. Noka ditangkap jaksa karena terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pendataan tenaga kontrak pada Dinas PPO Ngada yang diusulkan masuk dalam data base BKN tahun 2007.
Menjadi pegawai negeri di NTT masih menjadi sesuatu yang sangat membanggakan. Banyak orang merasa belum memiliki pekerjaan tetap kalau pekerjaan yang sedang digelutinya bukan PNS. Tak heran kalau mereka kemudian akan menggunakan berbagai cara agar bisa diluluskan sebagai PNS.
Mereka tak peduli, apakah nanti saat menjadi PNS pekerjaannya hanya membuat amplop, mengantar surat, kliping koran atau bahkan tidak ada kerja sama sekali. Yang penting bisa memakai seragam PNS dia akan bangga sekali. Untuk mengejar impian ini, berapa pun duit, sapi, kerbau bahkan tanah rela mereka berikan kepada mereka yang mengaku bisa mengurus proses pengangkatannya.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu di lingkup pemerintahan untuk membuka 'lahan' pendapatan baru. Tak peduli kalau orang yang diurusnya memiliki kualifikasi atau tidak. Asalkan mau menyetor atau memberikan apa yang dimintanya, maka proses lainnya akan mudah dilakukan.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini telah lama dilakukan. Kasus PNS yang membuat Sumba Barat 'berdarah' di akhir tahun 1990-an masih membekas. Ada cap darah di spanduk dari masyarakat Lembata yang menolak penentuan kelulusan PNS tahun 2000. Ini beda dengan yang terjadi di TTS, dimana para pendemo yang protes penentuan kelulusan testing PNS, akan lulus tahun depan bila ikut test, dan masih banyak kasus lainnya. Pemicunya sama, yakni indikasi KKN, meluluskan orang dalam, menggunakan calo dan lainnya.
Perbuatan-perbuatan korup seperti ini makin menjadi-jadi ketika ada kebijakan dari menteri aparatur negara (Menpan) agar semua pegawai honor daerah (Honda) dimasukkan dalam data base. Secara bergilir, para tenaga honda ini akan diluluskan. Dari sisi penghargaan atas prestasi yang sudah dilakukan dan pengalaman kerja, kebijakan ini sangat bagus. Namun, yang menjadi persoalan adalah pola penentuan pegawai honda yang dilakukan oknum-oknum pejabat berwenang.
Semua anggota keluarga dimasukkan dalam data base. Surat keputusan (SK) penetapan sebagai pegawai honda dibuat mundur untuk memenuhi syarat masuk dalam daftar data base. Di sini 'permainan' makin korup ketika ada di antara pejabat ini yang meminta sejumlah penghargaan atas 'prestasinya' memasukkan seseorang dalam data base. Demi sesuap nasi, demi pakaian seragam, meski tak punya kualifikasi, mereka yang diminta akan menyanggupinya, meski berutang dengan janji akan dikembalikan kalau sudah jadi PNS.
Coba bandingkan kondisi ini dengan penghargaan atas prestasi seorang atlet atau pelajar yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional, bahkan internasional. Saat mereka diusulkan untuk menjadi PNS, prosesnya sangat rumit. Bahkan ada atlet yang nekat pindah ke daerah lain hanya karena usulannya menjadi PNS dipersulit.
Kalau sudah demikian, maka sangatlah jelas bahwa salah satu faktor penghambat laju pembangunan adalah kualifikasi PNS yang masih bermasalah. Mereka menjadi PNS lewat proses yang korup. Tak heran kalau kemudian, instansi-instansi pemerintah pun menjadi lahan korupsi yang paling subur.
Langkah kejaksaan Bajawa untuk menangkap dan menahan Petrus Kanisius Noka harus didukung. Kejaksaan di daerah lainnya juga harus berani melakukan hal yang sama. Sebagai lembaga peradilan, kejaksaan harus benar-benar menyebarkan rasa keadilan kepada semua lapisan masyarakat. Hentikan praktek-praktek seperti ini kalau tidak ingin NTT masih tetap terpuruk, meski usianya sebentar lagi akan menjadi 50 tahun.
Pemerintah atau pengambil kebijakan juga harus tegas. Jangan langsung mempercayai laporan bawahan yang biasanya berlagak 'lebih hebat' dari seorang pimpinan, tapi harus ikut mengecek ke lapangan. KKN harus diberantas mulai dari akarnya. Jangan harap KKN di lingkup pemerintahan akan berakhir kalau proses perekrutan pegawainya sudah diawali dengan KKN.
Ingat, sekali melakukan KKN, maka nama baik akan menjadi rusak. Pertanggungjawabkan semua perbuatan kepada anak, istri, Tuhan dan masyarakat. PNS harus menjadi teladan yang baik. Penyesalan ketika sudah berada di balik jeruji besi tidak akan berarti. *
KAJARI Bajawa, Semuel Say, S.H, Kamis (16/10/2008) siang, memerintahkan jaksa Robert J Lambila, S.H, dan Indi Premadasa, S.H, menangkap Petrus Kanisius Noka, oknum PNS di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO), Kabupaten Ngada. Noka ditangkap jaksa karena terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pendataan tenaga kontrak pada Dinas PPO Ngada yang diusulkan masuk dalam data base BKN tahun 2007.
Menjadi pegawai negeri di NTT masih menjadi sesuatu yang sangat membanggakan. Banyak orang merasa belum memiliki pekerjaan tetap kalau pekerjaan yang sedang digelutinya bukan PNS. Tak heran kalau mereka kemudian akan menggunakan berbagai cara agar bisa diluluskan sebagai PNS.
Mereka tak peduli, apakah nanti saat menjadi PNS pekerjaannya hanya membuat amplop, mengantar surat, kliping koran atau bahkan tidak ada kerja sama sekali. Yang penting bisa memakai seragam PNS dia akan bangga sekali. Untuk mengejar impian ini, berapa pun duit, sapi, kerbau bahkan tanah rela mereka berikan kepada mereka yang mengaku bisa mengurus proses pengangkatannya.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu di lingkup pemerintahan untuk membuka 'lahan' pendapatan baru. Tak peduli kalau orang yang diurusnya memiliki kualifikasi atau tidak. Asalkan mau menyetor atau memberikan apa yang dimintanya, maka proses lainnya akan mudah dilakukan.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perbuatan-perbuatan seperti ini telah lama dilakukan. Kasus PNS yang membuat Sumba Barat 'berdarah' di akhir tahun 1990-an masih membekas. Ada cap darah di spanduk dari masyarakat Lembata yang menolak penentuan kelulusan PNS tahun 2000. Ini beda dengan yang terjadi di TTS, dimana para pendemo yang protes penentuan kelulusan testing PNS, akan lulus tahun depan bila ikut test, dan masih banyak kasus lainnya. Pemicunya sama, yakni indikasi KKN, meluluskan orang dalam, menggunakan calo dan lainnya.
Perbuatan-perbuatan korup seperti ini makin menjadi-jadi ketika ada kebijakan dari menteri aparatur negara (Menpan) agar semua pegawai honor daerah (Honda) dimasukkan dalam data base. Secara bergilir, para tenaga honda ini akan diluluskan. Dari sisi penghargaan atas prestasi yang sudah dilakukan dan pengalaman kerja, kebijakan ini sangat bagus. Namun, yang menjadi persoalan adalah pola penentuan pegawai honda yang dilakukan oknum-oknum pejabat berwenang.
Semua anggota keluarga dimasukkan dalam data base. Surat keputusan (SK) penetapan sebagai pegawai honda dibuat mundur untuk memenuhi syarat masuk dalam daftar data base. Di sini 'permainan' makin korup ketika ada di antara pejabat ini yang meminta sejumlah penghargaan atas 'prestasinya' memasukkan seseorang dalam data base. Demi sesuap nasi, demi pakaian seragam, meski tak punya kualifikasi, mereka yang diminta akan menyanggupinya, meski berutang dengan janji akan dikembalikan kalau sudah jadi PNS.
Coba bandingkan kondisi ini dengan penghargaan atas prestasi seorang atlet atau pelajar yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional, bahkan internasional. Saat mereka diusulkan untuk menjadi PNS, prosesnya sangat rumit. Bahkan ada atlet yang nekat pindah ke daerah lain hanya karena usulannya menjadi PNS dipersulit.
Kalau sudah demikian, maka sangatlah jelas bahwa salah satu faktor penghambat laju pembangunan adalah kualifikasi PNS yang masih bermasalah. Mereka menjadi PNS lewat proses yang korup. Tak heran kalau kemudian, instansi-instansi pemerintah pun menjadi lahan korupsi yang paling subur.
Langkah kejaksaan Bajawa untuk menangkap dan menahan Petrus Kanisius Noka harus didukung. Kejaksaan di daerah lainnya juga harus berani melakukan hal yang sama. Sebagai lembaga peradilan, kejaksaan harus benar-benar menyebarkan rasa keadilan kepada semua lapisan masyarakat. Hentikan praktek-praktek seperti ini kalau tidak ingin NTT masih tetap terpuruk, meski usianya sebentar lagi akan menjadi 50 tahun.
Pemerintah atau pengambil kebijakan juga harus tegas. Jangan langsung mempercayai laporan bawahan yang biasanya berlagak 'lebih hebat' dari seorang pimpinan, tapi harus ikut mengecek ke lapangan. KKN harus diberantas mulai dari akarnya. Jangan harap KKN di lingkup pemerintahan akan berakhir kalau proses perekrutan pegawainya sudah diawali dengan KKN.
Ingat, sekali melakukan KKN, maka nama baik akan menjadi rusak. Pertanggungjawabkan semua perbuatan kepada anak, istri, Tuhan dan masyarakat. PNS harus menjadi teladan yang baik. Penyesalan ketika sudah berada di balik jeruji besi tidak akan berarti. *
Langganan:
Postingan (Atom)