Oleh Hermina Pello
SUDAH puluhan tahun, Jeremias August Pah menekuni pembuatan sasando, alat musik tradisional dari Rote. Meski sudah puluhan tahun, tapi pembuatan alat musik itu bukan satu- satunya mata pencaharian dari Jeremias. Ia bersama salah seorang anaknya, Djitron Pah menekuni pembuatan sasando semata-mata untuk melestarikan alat musik tradisional khas NTT itu dari kepunahan perkembangan zaman.
Pindah dari Rote ke Kupang tahun 1985, Jeremias bersama keluarganya menetap di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di Jalan Timor Raya Km 22 Desa Oebelo itulah Jeremias meneruskan warisan ayahnya melestarikan alat musik sasando. Berkat ketekunannya mengembangkan dan memperkenalkan alat musik sasando kepada masyarakat, bahkan hingga di luar negeri (Jepang), pada akhir Desember 2007, pemerintah pusat melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, memberikan penghargaan kepada Jeremias, sebagai seniman senior Indonesia (maestro) yang melestarikan dan mengembangkan seni tradisional musik sasando (Sinar Harapan, Rabu, 8 Agustus 2008).
Jika tidak ada undangan untuk memainkan alat musik sasando atau kegiatan lainnya di luar rumah, Jeremias setiap hari hanya membuat alat musik sasando. Jeremias bersama dua orang pegawainya dengan cekatan membuat alat musik yang terbuat dari daun lontar dan bambo. Membuat sasando harus pandai mengatur senda (alas dari kayu yang berada di bawah tali), agar bisa membentuk nada-nada yang indah.
Jeremias adalah orang yang berjasa mengenalkan alat musik dengan 32 tali senar ini kepada dunia luar. Dan, atas jasanya ini ia akhirnya mendapat penghargaan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kebudayaan RI, Jero Wacik.
Sasando pulalah yang mengantar Jeremias ke negeri Sakura, Jepang. Selama di sana ia sempat mengajarkan beberapa orang Jepang memainkan alat musik sasando. Meski sudah dikena dunia luas hingga di luar negeri, namun Jeremias belum memikirkan untuk mendaftarkan hak paten alat musik sasando sebagai alat musik tradisional dari Rote.
"Saya belum pernah memikirkan untuk mendaftarkan alat musik ini untuk mendapatkan hak paten. Betul juga, jangan sampai suatu saat orang dari luar mengklaim bahwa alat musik sasando ini berasal dari daerah mereka. Saya tidak tahu bagaimana caranya untuk mengurus hak paten," kata Jeremias, ketika ditemui di kediamannnya di Desa Oebelo, beberapa waktu lalu.
Jeremias tidak hanya memproduksi sasando tradisional, juga membuat alat musik sasando yang dimodifikasi menjadi sasando listrik. Hampir setiap orang di Indonesia pernah melihat sasando walaupun hanya dalam bentuk gambar, seperti gambar pada uang kertas Rp 5.000, emisi tahun 1992.
Itu salah satu potensi budaya NTT. Ada banyak kekayaan budaya NTT yang jika dikelola dengan baik bisa memberi nilai tambah secara ekonomis bagi masyarakat NTT. Misalnya, tenun ikat, di mana setiap daerah memiliki kekhasan motifnya. Selain motif, bahan baku pembuatan tenun ikat ini dari bahan-bahan alami.
Semangat dari mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe, yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) memakai pakaian (baju) motif daerah pada setiap hari Kamis, dalam perkembangan ke depan harus tetap dilestarikan. Bahkan dianjurkan agar pemerintah daerah perlu memperjuangkan tenun ikat di setiap daerah di NTT harus memiliki hak paten atau hak cipta. Ini merupakan bentuk perlindungan terhadap kekayaan budaya lokal NTT. Dengan memiliki hak paten atau hak cipta akan membantu para pengrajin tenun ikat secara ekonomi sekaligus mengangkat tenun ikat dari NTT.
Kita jangan kaget ketika kita ke Yogyakarta dan Bali, di sana kita temui kain produksi pabrik bermotif tenun ikat NTT, seperti motif tenun ikat Sumba, dan ini sudah berlangsung sejak lama. Juga kain produksi pabrik bermotif tenun ikat dari Ende, dapat kita temui di Bandung, Jawa Barat. Kain produksi pabrik yang meniru motif tenun ikat dari NTT ini diakui oleh Ketua Dekranasda Kabupaten Ende, Ny. Sisilia Domi, beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi NTT, Ir. Eddy H Ismail, M.M, yang ditemui di ruang kerjanya pekan lalu menyebutkan, bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yakni hak cipta, hak paten, merek, rahasia dagang, design industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan perlindungan varietas tanaman. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya ataupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi batasan menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuannnya kepada orang lain untuk melaksanannya.
Pemerintah khususnya pemerintah daerah melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) baru melirik tenun ikat untuk didaftarkan. Itupun belum semua pemerintah daerah di NTT menyadari akan pentingnya hak paten produk-produk budaya lokal. Hingga saat ini baru ada dua kabupaten, yakni Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Ende yang sudah mendaftarkan motif tenun ikatnya di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Depkeh dan HAM). motif tenun ikat dua daerah ini sudah mendapat predikat bahwa motif itu milik masyarakat di daerah setempat.
Motif tenun ikat dari TTU sudah mendapat perlindungan tahun 2002 sebanyak lima motif tenun ikat, antara lain buna, sotis, sotis buna dan mapauf. Motif tentun ikat dari Kabupaten Ende yang mendapat predikat sebagai milik masyarakat pada tahun 2006 sebanyak 11 motif tenun ikat, yakni motif mangga, belekale, soke mata loo, mata rote, samba, nggaja, soke mataria, sona, maru, pundi dan kelimara.
Pada tahun 2008, ada beberapa daerah yang dalam proses pendaftaran ke Depkeh HAM, difasilitasi oleh Dinas Perindag NTT, yaitu Sumba Timur sebanyak 11 motif tenun ikat, antara lain motif ayam, kuda, udang, kakatua, rusa, manusia telanjang, tengkorak dan motif lainnya, Kabupaten Sumba Barat mengajukan sembilan motif, kabupaten Sikka 24 motif, Manggarai tujuh motif dan Ende 28 motif lagi. Setelah didaftar butuh waktu untuk penelusuran karena Depkeh dan HAM harus menelusuri ke seluruh dunia, apakah benar motif itu belum ada yang mengajukannya.
Kekayaan budaya masyarakat agak sulit untuk mendapatkan hak cipta atau hak paten karena terkait sifat kepemilikannya. Tetapi, pemerintah daerah bisa mendaftarkan budaya tersebut untuk diumumkan bahwa budaya itu milik masyarakat setempat. Untuk mendaftar, misalnya, motif tenun ikat, kapan motif itu dibuat, oleh siapa dan bagaimana menemukan motif tersebut serta arti dari motif itu. "Ini yang sulit ditelusuri. Kebudayaan perlu dilestarikan dan harus terdokumentasi dengan baik," kata Ismail.
Selama ini, pemerintah melalui Dinas Perindag NTT hanya berupaya memfasilitasi untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman HKI kepada masyarakat khususnya pelaku usaha, agar masyarakat sadar tentang perlunya mendaftarkan temuan mereka atau apa yang menjadi milik masyarakat.
Tetapi sejauh ini, belum banyak yang sadar akan pentingnya mendaftarkan produk-produk temuan masyarakat, karena berkaitan dengan ekonomi. Sesuai dengan ketetapan organisasi perdagangan dunia, setiap anggota berkewajiban mematuhi segenap ketentuan termasuk trade related aspects if intellectual property right, yaitu ketentuan yang berkaitan dengan HKI. Berkaitan dengan itu, Indonesia sudah menerbitkan UU Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Juga UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industry, UU Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Hak paten berkaitan dengan teknologi baru, misalnya, di NTT ada seorang pengusaha, Paulus Watang yang telah mendapatkan hak paten untuk mesin palwa.
Untuk makanan, misalnya, jagung titi dari Flores Timur yang sudah menembus dunia, bisa saja suatu waktu ada yang mengklaim bahwa itu berasal dari daerah lain (Pos Kupang, Jumat 15/12/2008). Jagung titi telah menjadi komoditas makanan unggulan yang menghidupkan home industry petani di Flores Timur, atau daging se'i yang juga menjadi makanan khas Kota Kupang. Juga gula sabu dari Sabu, gula air dari Rote dan masih banyak jenis makanan lainnya yang merupakan makanan lokal yang bisa dikembangkan dan memiliki nilai secara ekonomis.
Makanan lokal yang memiliki ciri khas tersendiri itu bisa didaftarkan ke HKI untuk mendapatkan hak merek atau rahasia dagang. Dengan menampilkan merek tertentu, maka bisa saja makanan itu menjadi lebih terkenal. Kita bisa mengambil contoh, misalnya, produksi batik di Jawa, ada merek batik keris, danar hadi dan lainnya, sama-sama batik, tetapi mereka sudah memiliki merek masing-masing sehingga pada waktu orang mau mencari batik, yang ada dalam benaknya merek apa yang akan dia cari.
Pimpinan Sentra Tenun Ikat Lepo Lerun dari Nita, Kabupaten Sikka, Alfonsa Horeng, beberapa waktu lalu sudah memikirkan untuk mengurus hak paten atau rahasia dagang terkait pewarnaan alami dengan menggunakan tanaman-tanaman lokal untuk pembuatan tenun ikat.
Sebab, proses pencampuran warna alami itu sudah didemo di berbagai tempat, termasuk di Australia. Meski untuk mengurusnya mudah, tetapi dia masih menunggu agar bisa gratis. "Kalau mau urus sendiri, butuh biaya yang besar. Karena itu, saya tunggu yang gratis yang difasilitasi oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan," ujarnya saat ditemui di Kupang, Senin (1/12/2008).
Sudah saatnya pemerintah daerah di NTT menginventarisir produk-produk (budaya) lokal untuk didaftarkan ke Depkeh dan HAM sebagai produk milik masyarakat. Sebaiknya tidak hanya menginventarisir, tetapi langsung diusulkan karena tidak membutuhkan biaya yang besar. Kalau menunggu dari masyarakat, bisa-bisa kita terlambat dan akhirnya kita menyesal karena daerah lain sudah mendahului kita.
Pemerintah harus serius dan mengalokasikan anggaran untuk melindungi apa yang menjadi milik masyarakat. Untuk mengurus merek, misalnya, hanya membutuhkan biaya pendaftaran Rp 450 ribu. Untuk mengurus permohonan hak cipta biayanya Rp 75 ribu. Jadi, dari segi biaya relatif murah daripada pemerintah membuat kebanggaan secara simbolik, seperti Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao membuat bangunan dengan simbol alat musik tradisional sasando, yang membutuhkan biaya besar hanya untuk mencirikan bahwa alat musik sasando milik orang Rote.
Sebaiknya mendaftarkan hak paten alat musik sasando ke Depkeh dan HAM. Kita jangan kaget jika suatu saat nanti, alat musik sasando diproduksi oleh daerah lain, termasuk oleh orang di luar negeri, lalu dipasarkan sebagai produk lokal mereka. Demikian juga kekayaan budaya (lokal) lainnya di NTT, sudah saatnya dilindungi dengan mendaftarkan pada Depkeh dan HAM untuk memiliki hak paten, hak cipta, rahasia dagang, merek dan desain industri. **
Senin, 08 Desember 2008
Uta Tabha
Oleh Apolonia Matilde Dhiu
UTA tabha...cu...cu..cu. Menu ini mengingatkan aku akan kampung halamanku Boua, Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Sebuah kampung yang hanya berjarak lima kilometer dari Kota Bajawa. Letaknya cukup strategis, berada tepat di jalan negara Bajawa-Ende.
Meski dekat dengan Kota Bajawa, kehidupan masyarakat di kampung ini pada dasarnya masih tradisional. Kalau saat ini orang mengenal bubur manado dengan bahan dasar beras, di kampungku ada uta tabha. Sederhana, tapi menjadi menu andalan warga kampungku pada masa paceklik. Ketika masyarakat tidak bisa menjangkau beras di pasar atau pangan jagung sudah tidak mencukupi lagi. Biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Maklum, penghasilan utama masyarakat di kampungku adalah jagung. Rata-rata warga menanam jagung. Kalau ada yang menanam padi biasanya padi ladang. Itu pun mereka menggarap kebun penduduk di desa lain, seperti Belu, Bejo, Langa bahkan sampai di Zeu, Kecamatan Golewa, atau di Soa, Kecamatan Soa. Sedangkan warga yang tidak memiliki handai taulan di kampung-kampung tersebut biasanya tidak ada alternatif lain kecuali menanam jagung. Untuk mendapatkan beras mereka harus membeli di pasar Bajawa. Syukur kalau ada pembagian beras masyarakat miskin (raskin) dari pemerintah desa.
Walau jarang mengonsumsi beras (dhea), masyarakat di kampungku tidak pernah kelaparan ataupun busung lapar. Uta Tabha memiliki keunikan yang luar biasa. Menu ini terdiri dari beberapa bahan lokal yang dicampur menjadi satu ketika dimasak.
Bahan dasarnya jagung (sae) atau beras jagung (dhea sae), kacang merah atau brenebon (boji), labu siam kuning (besi), ubi jalar merah (dhao), daun pepaya muda (uta padu), kelapa dan garam. Boji atau brenebon bisa diganti dengan kacang hutan atau kacang polong (lebha). Selain buahnya, daunnya (sawa lebha) juga bisa menggantikan daun pepaya (uta padu) untuk uta tabha.
Cara membuatnya gampang sekali. Jagung yang sudah ditumbuk diambil biji besarnya atau jagung bulat, baik yang muda maupun yang tua, dicampur dengan kacang dan daun pepaya. Direbus di periuk (bhogi) atau periuk tanah (bhogi tana) sampai lembek. Setelah lembek, masukkan labu siam yang diiris dadu atau ubi jalar (dhao) dipotong bulat. Kacang bisa macam- macam. Bisa kacang merah atau brenebon. Bisa juga kacang hutan atau kacang polong. Orang di kampungku menyebutnya li'e lebha. Selain buahnya (li'e lebha), daunnya (sawa lebha) juga bisa digunakan sebagai pengganti uta padu (daun pepaya). Setelah direbus lembek, masukkan kelapa yang diparut kasar dan garam secukupnya. Parutan kelapa biasanya menggunakan parut tradisional (regu), bentuknya seperti garpu dengan ujung yang dikikir kecil-kecil dan ditancapkan pada kayu berbentuk seperti kuda. Karena daun pepaya rasanya pahit, garam sebaiknya dimasukkan sedikit saja. Lezat memang kalau dihidangkan saat perut lapar.
Untuk menambah cita rasa biasanya ditambah dengan sambal. Sambalnya sederhana saja. Lombok diulek sampai halus ditambah sedikit garam, masukkan tomat yang diiris-iris kecil. Di kampungku banyak daun kemangi dan bawang. Mereka biasa menanamnya di samping rumah. Sambal ini menambah khas menu uta tabha, sehingga menambah selera makan.
Berbicara uta tabha memang paling menjengkelkan saya pada masa kecil dulu. Mulut komat-kamit ketika pulang sekolah melihat uta tabha di periuk yang dimasak mama. Kadang malas makan, tetapi karena tuntutan perut ya, makan juga. Soalnya, tidak ada menu lain kalau musim lapar. Apalagi, cuaca di luar rumah hujan sepanjang hari. Mau ke kebun untuk mencari bahan lain susah. Mau tidak mau masak apa adanya, karena menu yang tersedia di rumah hanya jagung dan kacang. Ya, itulah yang saya alami waktu kecil. Tetapi, makanan seperti itu tidak pernah membuat kami sakit atau kelaparan.
Uta tabha tetap menjadi konsumsi masyarakat di kampungku sampai sekarang. Saudara-saudara yang datang dari kota kadang-kadang tidak mau makan kalau melihat menu tersebut. Tapi, bagi kami di kampung, uta tabha adalah makanan pokok.
Nasi (maki) bagi kami adalah barang langka. Kalau ada yang mengonsumsinya, hanya orang-orang tertentu seperti guru atau pegawai. Kalau bisa makan nasi, itu rezeki luar biasa. Ya, begitulah kampungku.
Semasa waktu kecil tahun '80-an, saya kadang bertanya, "Kapan saya bisa makan nasi? Soalnya, makanan pokok kami jagung. Namun, menu seperti ini ternyata telah membuat saya menjadi orang yang sehat dan berprestasi di sekolah. Saya selalu mendapat peringkat satu di SD, dan sepuluh besar di SMP dan SMA. Bagi saya ini prestasi luar biasa, walau saya hanya mengonsumsi uta tabha.
Setelah dewasa dan datang ke Kupang untuk melanjutkan sekolah, saya menjadi ketagihan dan merindukan masakan uta tabha. Walau sedikit pahit, karena dicampur dengan labu siam (besi mawu), rasanya nikmat sekali. Sekali makan bisa menahan lapar sampai siang walau kita sedang pacul kebun atau bekerja apa saja di kampung.
Suatu saat, ketika saya sudah bekerja di Pos Kupang, saya mendapat kesempatan meliput sebuah pelatihan mengenal makanan lokal yang mengandung nilai gizi tinggi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat di Hotel Sasando Kupang. Saya bersyukur bisa mengikuti acara tersebut. Dari situlah saya mendapatkan jawabannya, kenapa walau hanya jagung (sae), kacang merah (boji atau brenebon) dan labu siam kuning dan sawa lebha (kacang polong dan daunnya), aku dan adik-adikku bisa berprestasi.
Menurut pengkajian dan penelitian dari instansi tersebut, kacang merah (brenebon) dan labu kuning dari daerah Bajawa memiliki nilai gizi tinggi dan kualitas nomor satu di dunia. Inilah kembanggaanku akan kampungku.
Ya, semoga saat ini orang tidak lagi semata-mata makan nasi dan lauk-pauk yang banyak dibubuhi zat pengawet, tetapi juga kembali kepada tradisi nenek moyang yakni makanan lokal yang sarat nilai gizi. *
UTA tabha...cu...cu..cu. Menu ini mengingatkan aku akan kampung halamanku Boua, Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Sebuah kampung yang hanya berjarak lima kilometer dari Kota Bajawa. Letaknya cukup strategis, berada tepat di jalan negara Bajawa-Ende.
Meski dekat dengan Kota Bajawa, kehidupan masyarakat di kampung ini pada dasarnya masih tradisional. Kalau saat ini orang mengenal bubur manado dengan bahan dasar beras, di kampungku ada uta tabha. Sederhana, tapi menjadi menu andalan warga kampungku pada masa paceklik. Ketika masyarakat tidak bisa menjangkau beras di pasar atau pangan jagung sudah tidak mencukupi lagi. Biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari.
Maklum, penghasilan utama masyarakat di kampungku adalah jagung. Rata-rata warga menanam jagung. Kalau ada yang menanam padi biasanya padi ladang. Itu pun mereka menggarap kebun penduduk di desa lain, seperti Belu, Bejo, Langa bahkan sampai di Zeu, Kecamatan Golewa, atau di Soa, Kecamatan Soa. Sedangkan warga yang tidak memiliki handai taulan di kampung-kampung tersebut biasanya tidak ada alternatif lain kecuali menanam jagung. Untuk mendapatkan beras mereka harus membeli di pasar Bajawa. Syukur kalau ada pembagian beras masyarakat miskin (raskin) dari pemerintah desa.
Walau jarang mengonsumsi beras (dhea), masyarakat di kampungku tidak pernah kelaparan ataupun busung lapar. Uta Tabha memiliki keunikan yang luar biasa. Menu ini terdiri dari beberapa bahan lokal yang dicampur menjadi satu ketika dimasak.
Bahan dasarnya jagung (sae) atau beras jagung (dhea sae), kacang merah atau brenebon (boji), labu siam kuning (besi), ubi jalar merah (dhao), daun pepaya muda (uta padu), kelapa dan garam. Boji atau brenebon bisa diganti dengan kacang hutan atau kacang polong (lebha). Selain buahnya, daunnya (sawa lebha) juga bisa menggantikan daun pepaya (uta padu) untuk uta tabha.
Cara membuatnya gampang sekali. Jagung yang sudah ditumbuk diambil biji besarnya atau jagung bulat, baik yang muda maupun yang tua, dicampur dengan kacang dan daun pepaya. Direbus di periuk (bhogi) atau periuk tanah (bhogi tana) sampai lembek. Setelah lembek, masukkan labu siam yang diiris dadu atau ubi jalar (dhao) dipotong bulat. Kacang bisa macam- macam. Bisa kacang merah atau brenebon. Bisa juga kacang hutan atau kacang polong. Orang di kampungku menyebutnya li'e lebha. Selain buahnya (li'e lebha), daunnya (sawa lebha) juga bisa digunakan sebagai pengganti uta padu (daun pepaya). Setelah direbus lembek, masukkan kelapa yang diparut kasar dan garam secukupnya. Parutan kelapa biasanya menggunakan parut tradisional (regu), bentuknya seperti garpu dengan ujung yang dikikir kecil-kecil dan ditancapkan pada kayu berbentuk seperti kuda. Karena daun pepaya rasanya pahit, garam sebaiknya dimasukkan sedikit saja. Lezat memang kalau dihidangkan saat perut lapar.
Untuk menambah cita rasa biasanya ditambah dengan sambal. Sambalnya sederhana saja. Lombok diulek sampai halus ditambah sedikit garam, masukkan tomat yang diiris-iris kecil. Di kampungku banyak daun kemangi dan bawang. Mereka biasa menanamnya di samping rumah. Sambal ini menambah khas menu uta tabha, sehingga menambah selera makan.
Berbicara uta tabha memang paling menjengkelkan saya pada masa kecil dulu. Mulut komat-kamit ketika pulang sekolah melihat uta tabha di periuk yang dimasak mama. Kadang malas makan, tetapi karena tuntutan perut ya, makan juga. Soalnya, tidak ada menu lain kalau musim lapar. Apalagi, cuaca di luar rumah hujan sepanjang hari. Mau ke kebun untuk mencari bahan lain susah. Mau tidak mau masak apa adanya, karena menu yang tersedia di rumah hanya jagung dan kacang. Ya, itulah yang saya alami waktu kecil. Tetapi, makanan seperti itu tidak pernah membuat kami sakit atau kelaparan.
Uta tabha tetap menjadi konsumsi masyarakat di kampungku sampai sekarang. Saudara-saudara yang datang dari kota kadang-kadang tidak mau makan kalau melihat menu tersebut. Tapi, bagi kami di kampung, uta tabha adalah makanan pokok.
Nasi (maki) bagi kami adalah barang langka. Kalau ada yang mengonsumsinya, hanya orang-orang tertentu seperti guru atau pegawai. Kalau bisa makan nasi, itu rezeki luar biasa. Ya, begitulah kampungku.
Semasa waktu kecil tahun '80-an, saya kadang bertanya, "Kapan saya bisa makan nasi? Soalnya, makanan pokok kami jagung. Namun, menu seperti ini ternyata telah membuat saya menjadi orang yang sehat dan berprestasi di sekolah. Saya selalu mendapat peringkat satu di SD, dan sepuluh besar di SMP dan SMA. Bagi saya ini prestasi luar biasa, walau saya hanya mengonsumsi uta tabha.
Setelah dewasa dan datang ke Kupang untuk melanjutkan sekolah, saya menjadi ketagihan dan merindukan masakan uta tabha. Walau sedikit pahit, karena dicampur dengan labu siam (besi mawu), rasanya nikmat sekali. Sekali makan bisa menahan lapar sampai siang walau kita sedang pacul kebun atau bekerja apa saja di kampung.
Suatu saat, ketika saya sudah bekerja di Pos Kupang, saya mendapat kesempatan meliput sebuah pelatihan mengenal makanan lokal yang mengandung nilai gizi tinggi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat di Hotel Sasando Kupang. Saya bersyukur bisa mengikuti acara tersebut. Dari situlah saya mendapatkan jawabannya, kenapa walau hanya jagung (sae), kacang merah (boji atau brenebon) dan labu siam kuning dan sawa lebha (kacang polong dan daunnya), aku dan adik-adikku bisa berprestasi.
Menurut pengkajian dan penelitian dari instansi tersebut, kacang merah (brenebon) dan labu kuning dari daerah Bajawa memiliki nilai gizi tinggi dan kualitas nomor satu di dunia. Inilah kembanggaanku akan kampungku.
Ya, semoga saat ini orang tidak lagi semata-mata makan nasi dan lauk-pauk yang banyak dibubuhi zat pengawet, tetapi juga kembali kepada tradisi nenek moyang yakni makanan lokal yang sarat nilai gizi. *
Langganan:
Postingan (Atom)