Oleh Sipri Seko
AIR, jalan dan listrik selalu menjadi permasalahan klasik bagi masyarakat di NTT. Saban tahun, anggaran untuk jalan, air dan listrik mencapai miliaran rupiah. Namun, semua program yang didukung anggaran besar tersebut belum menjawab tuntas persoalan-persoalan ini.
Khusus untuk listrik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya pemasok kebutuhan listrik, ternyata belum sanggup memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Memanfaatkan sumber listrik dari mesin diesel, jelas kekuatannya tidak besar untuk menjangkau masyarakat hingga pelosok pedesaan. Selain itu, dengan kondisi mesin-mesin keluaran 1970-an hingga awal 1980-an kerusakan masih sering terjadi.
Kendala lainnya yang selalu menjadi alasan PLN untuk melakukan pemadaman bergilir adalah mahalnya biaya perawatan mesin, jaringan maupun pemasangan jaringan baru. Saban tahun, selalu saja ada pengumuman jumlah kerugian dari PLN. PLN tak pernah untung! Padahal, terlambat bayar, pelanggan pasti didenda, sedangkan kalau listrik padam, PLN sudah merasa cukup ketika pemberitaan maaf sudah diumumkan lewat media massa.
Krisis listrik memang tidak hanya terjadi di NTT, tapi di seluruh pelosok Indonesia. Berbagai strategi pun dilakukan, mulai dari seruan untuk penghematan, hingga mencari potensi sumber tenaga listrik selain diesel. Pencobaan menggunakan tenaga angin (bayu), uap, gas hingga matahari (surya) untuk mendapatkan energi listrik terus dilakukan.
Di NTT, sesuai dengan kondisi alamnya, potensi listrik dari tenaga uap dan gas cukup tinggi. Eksploitasi pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Atadei-Lembata, Mataloko-Ngada dan Ropa-Ende. Di Mataloko, misalnya, kalau berhasil dieksploitasi kekuatannya akan sanggup menghidupkan aliran listrik di Pulau Flores.
Kabar terakhir adalah mulai dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kampung Afuik, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu. Dengan kekuatan 4x6 megawatt (MW), PLTU ini akan mulai dibangun pertengahan tahun 2009 ini. Di perkirakan, PLTU ini bisa melayani kebutuhan listrik di daratan Pulau Timor dan dipastikan pada bulan Agustus 2010 sudah beroperasi.
PLTU ini merupakan proyek yang dibangun menggunakan dana APBN. Selain di Afuik, PLTU juga akan dibangun di Kupang untuk melayani kebutuhan listrik wilayah Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). PLTU di Afuik, untuk melayani kebutuhan listrik di Belu dan Timor Tengah Utara (TTU). Ini tentu saja merupakan berita gembira bagi masyarakat di Pulau Timor. Melihat kampung-kampung akan terang benderang tampaknya bukan hanya dalam mimpi.
Sambutan positif dari Bupati Belu, Joachim Lopez, terhadap proyek ini merupakan sebuah apresiasi dan dukungan demi kepentingan masyarakat. Kalau sudah demikian, hendaknya jalinan komunikasi antara pengelola proyek, kontraktor pelaksana, pemerintah dan masyarakat harus dibangun dengan baik.
Ada persoalan klasik di NTT, yakni masyarakat sering menolak memberikan tanahnya untuk sebuah proyek terutama yang dibiayai dari pusat. Terkadang dengan mengandalkan kekuatan modal (uang), masyarakat tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya diterima.
Betul juga pernyataan Bupati Lopes agar manajemen PLN menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat sehingga bisa mendapat dukungan moril. Selain itu, ia juga meminta agar PLN dan kontraktornya menjaring tenaga kerja baik buruh kasar, maupun tenaga teknis lainnya dari putra daerah setempat. Dia ingin tenaga buruh, tenaga teknis mesin lulusan STM, ataupun sarjana yang ada di sana diakomodir.
Kalau semua program ini berjalan dengan baik, harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat bisa terwujud dengan cepat. Krisis listrik, pemadaman bergilir, padam secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, alat-alat elektronik yang rusak hingga jalanan yang gelap gulita tentu tidak akan terjadi lagi. Pelanggan pun tidak akan protes lagi kalau didendan karena terlambat membayar beban yang dipakainya.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar semua ini bisa terwujud? Berikan dukungan! Jadilah pengawas yang baik agar proses pengerjaan dilaksanakan sesuai mekanisme yang sudah ditetapkan. Maksudnya adalah jika proyek dikerjakan asal jadi, maka dana triliunan rupiah yang digunakan akan hilang sia-sia. Harapan adanya penerangan pun akan sirna. Komitmen kesuksesan juga harus dibangun dalam diri pengelola proyek. Artinya, motivasi untuk membangun jangan muncul hanya karena di sana ada gelimang rupiah. *
AIR, jalan dan listrik selalu menjadi permasalahan klasik bagi masyarakat di NTT. Saban tahun, anggaran untuk jalan, air dan listrik mencapai miliaran rupiah. Namun, semua program yang didukung anggaran besar tersebut belum menjawab tuntas persoalan-persoalan ini.
Khusus untuk listrik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya pemasok kebutuhan listrik, ternyata belum sanggup memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Memanfaatkan sumber listrik dari mesin diesel, jelas kekuatannya tidak besar untuk menjangkau masyarakat hingga pelosok pedesaan. Selain itu, dengan kondisi mesin-mesin keluaran 1970-an hingga awal 1980-an kerusakan masih sering terjadi.
Kendala lainnya yang selalu menjadi alasan PLN untuk melakukan pemadaman bergilir adalah mahalnya biaya perawatan mesin, jaringan maupun pemasangan jaringan baru. Saban tahun, selalu saja ada pengumuman jumlah kerugian dari PLN. PLN tak pernah untung! Padahal, terlambat bayar, pelanggan pasti didenda, sedangkan kalau listrik padam, PLN sudah merasa cukup ketika pemberitaan maaf sudah diumumkan lewat media massa.
Krisis listrik memang tidak hanya terjadi di NTT, tapi di seluruh pelosok Indonesia. Berbagai strategi pun dilakukan, mulai dari seruan untuk penghematan, hingga mencari potensi sumber tenaga listrik selain diesel. Pencobaan menggunakan tenaga angin (bayu), uap, gas hingga matahari (surya) untuk mendapatkan energi listrik terus dilakukan.
Di NTT, sesuai dengan kondisi alamnya, potensi listrik dari tenaga uap dan gas cukup tinggi. Eksploitasi pun sudah dilakukan di beberapa daerah seperti Atadei-Lembata, Mataloko-Ngada dan Ropa-Ende. Di Mataloko, misalnya, kalau berhasil dieksploitasi kekuatannya akan sanggup menghidupkan aliran listrik di Pulau Flores.
Kabar terakhir adalah mulai dibangunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kampung Afuik, Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu. Dengan kekuatan 4x6 megawatt (MW), PLTU ini akan mulai dibangun pertengahan tahun 2009 ini. Di perkirakan, PLTU ini bisa melayani kebutuhan listrik di daratan Pulau Timor dan dipastikan pada bulan Agustus 2010 sudah beroperasi.
PLTU ini merupakan proyek yang dibangun menggunakan dana APBN. Selain di Afuik, PLTU juga akan dibangun di Kupang untuk melayani kebutuhan listrik wilayah Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). PLTU di Afuik, untuk melayani kebutuhan listrik di Belu dan Timor Tengah Utara (TTU). Ini tentu saja merupakan berita gembira bagi masyarakat di Pulau Timor. Melihat kampung-kampung akan terang benderang tampaknya bukan hanya dalam mimpi.
Sambutan positif dari Bupati Belu, Joachim Lopez, terhadap proyek ini merupakan sebuah apresiasi dan dukungan demi kepentingan masyarakat. Kalau sudah demikian, hendaknya jalinan komunikasi antara pengelola proyek, kontraktor pelaksana, pemerintah dan masyarakat harus dibangun dengan baik.
Ada persoalan klasik di NTT, yakni masyarakat sering menolak memberikan tanahnya untuk sebuah proyek terutama yang dibiayai dari pusat. Terkadang dengan mengandalkan kekuatan modal (uang), masyarakat tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya diterima.
Betul juga pernyataan Bupati Lopes agar manajemen PLN menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat sehingga bisa mendapat dukungan moril. Selain itu, ia juga meminta agar PLN dan kontraktornya menjaring tenaga kerja baik buruh kasar, maupun tenaga teknis lainnya dari putra daerah setempat. Dia ingin tenaga buruh, tenaga teknis mesin lulusan STM, ataupun sarjana yang ada di sana diakomodir.
Kalau semua program ini berjalan dengan baik, harapan akan adanya kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat bisa terwujud dengan cepat. Krisis listrik, pemadaman bergilir, padam secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan, alat-alat elektronik yang rusak hingga jalanan yang gelap gulita tentu tidak akan terjadi lagi. Pelanggan pun tidak akan protes lagi kalau didendan karena terlambat membayar beban yang dipakainya.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar semua ini bisa terwujud? Berikan dukungan! Jadilah pengawas yang baik agar proses pengerjaan dilaksanakan sesuai mekanisme yang sudah ditetapkan. Maksudnya adalah jika proyek dikerjakan asal jadi, maka dana triliunan rupiah yang digunakan akan hilang sia-sia. Harapan adanya penerangan pun akan sirna. Komitmen kesuksesan juga harus dibangun dalam diri pengelola proyek. Artinya, motivasi untuk membangun jangan muncul hanya karena di sana ada gelimang rupiah. *