Oleh Sipri Seko
FLORATA Corruption Watch (FCW) rupanya sudah tak sabar terhadap upaya penanganan korupsi yang dilakukan aparat kepolisian dan kejaksaan di Kabupaten Lembata. Piter Bala Wukak dkk pun mendesak kejaksaan, kepolisian, bahkan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Lembata.
Beberapa temuan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Lembata, menurut mereka, seharusnya dijadikan barang bukti bagi aparat untuk memulai penyidikan. Ada dugaan penyimpangan proyek pabrik es, pembangunan jobber (penampung bahan bakar minyak), penyelewengan dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan lainnya.
FWC atau siapa pun yang peduli terhadap pembangunan di Lembata pantas mempertanyakan penanganan kasus-kasus korupsi ini. Pasalnya, bukan satu temuan saja yang mengemuka tapi sudah cukup banyak. Namun penanganannya belum begitu menyentuh. Ada temuan, kemudian diusut. Ada yang bahkan ditahan. Namun beberapa saat kemudian menghilang tanpa ada keputusan tetap yang mengikat.
Beberapa kasus korupsi yang mencuat, sebut misalnya kasus lantainisasi, tender- tender proyek yang tidak prosedural, pengadaan alat berat dan penyelewengan keuangan administratif lainnya sudah lama mencuat. Bahkan, saat ini mantan ketua dan Wakil Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu dan Haji Hidayatullah Sarabiti, ditahan pihak Kejaksanaan Negeri Lewoleba terkait masalah dana kesehatan asuransi kesehatan.
Sebagai kabupaten pertama yang memekarkan diri di NTT, proses pembangunan di Kabupaten Lembata memang dimulai dengan apa adanya. Kurangnya aparatur, fasilitas pendukung atau sarana dan prasarana membuat proses pemerintahan berjalan tidak semulus kabupaten induknya, Flores Timur. Namun, pembenahan yang terus-menerus dilakukan membuat potensi-potensi pembangunan di Lembata berhasil dieksploitasi. Namun semua itu berjalan tidak semulus yang diperkirakan.
Salah satu penyebabnya adalah tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme di sana. Ketika tender proyek dilaksanakan, sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Anak pejabat, istri pejabat hingga istri anggota DPRD ikut bermain di sana. Pelaksanaan eksplorasi panas bumi di Atadei, penambangan emas di Leragere dan lainnya menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki, tanpa sosialisasi kepada masyarakat langsung menyetujui proposal yang diajukan investor. Akibatnya, proyek-proyek ini menjadi terbengkalai.
Keadaan ini makin diperparah dengan dugaan-dugaan penyelewengan keuangan yang dilakukan aparatur pemerintah. Terakhir, DPRD Lembata dengan kewenangannya membentuk pansus untuk mengusut dugaan penyelewengan keuangan dan administratif.
Sudah tumpulkah aparat kejaksaan dan kepolisian di Lembata sehingga tidak pernah menemukan adanya kerugian? Ataukah mereka sudah diamankan para penguasa, sehingga meski tahu namun mendiamkannya? Ataukah mereka sudah menjadikan Lembata sebagai 'ATM' agar bisa membawa pulang satu dua sen ke kampung halamannya?
Masyarakat Lembata sudah tahu praktek-praktek KKN di daerahnya sehingga menunggu proses penanganan. Aparat penyidik sudah jadi perhatian. Keberanian menahan salah satu Kasubdin di Dinas Kimpraswil, Leo Buyanaya, terkait kasus lantainisasi dan penahanan mantan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu dan Haji Hidayatullah Sarabiti, adalah bukti komitmen kejaksaan untuk membersihkan praktek-praktek KKN. Namun, penyelesaian dari penanganan kasus ini masih terus ditunggu.
Juga keberanian DPRD untuk mengungkapkan adanya praktek KKN di Lembata harus didukung. Namun satu permintaan kepada mereka adalah agar jangan berhenti menggonggong sebelum kasus-kasus tersebut tuntas. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum --dan ini terjadi hampir di semua daerah di NTT-- bahwa koar-koar para anggota DPRD terhadap sebuah masalah biasanya karena ada kepentingan. Setelah kepentingan tercapai, mereka langsung lupa.
Hal ini juga harus berlaku bagi FCW atau organisasi-organisasi massa lainnya yang menginginkan proses pembangunan di Lembata berjalan bersih dari KKN. Dukung dan mengawal aparat penyidik bukan dengan mengecam, tapi ikut mengungkapkan dan membeberkan fakta-fakta. Kalau demikian, mungkinkah kasus-kasus korupsi di Lembata bisa diusut tuntas? *