Oleh Mulyo Sunyoto
SEKARMADJI Kartosuwiryo bisa dipandang sebagai tonggak kehadiran kelompok Islam garis keras di Indonesia, yang salah satu cita-citanya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia.
Ken Conboy, penulis "Medan Tempur Kedua" (Kisah Panjang yang Berujung pada Peristiwa Bom Bali II), mencatat bahwa pada 1936, Kartosuwiryo mempromosikan ide tentang Indonesia sebagai suatu negara Islam independen.
Buku yang diterbitkan 2008 oleh Pustaka Primatama Jakarta, yang diterjemahkan dari "The Second Front: Inside Asia`s Most Dangerous Terroris Network" edisi 2006, itu menelusuri pemikiran dan aksi kelompok Islam garis keras di Indonesia.
Conboy, pakar mengenai masalah keamanan dan intelejen, memulai kisahnya dengan menghadirkan sang pemberontak, Kartosuwiryo, yang terlahir sebagai anak penjual candu di Cepu, Jawa Tengah.
Bertolak belakang dengan latar belakang para pendukung ideologi Islam garis keras di Indonesia yang lahir belakangan, Kartosuwiryo bukanlah figur lulusan sekolah keagamaan atau madrasah yang kurikulumnya sarat ilmu agama.
Tokoh yang mengakhiri hidupnya di depan regu tembak militer itu lulusan sekolah Belanda dan memperoleh nilai tinggi dalam ilmu-ilmu sekuler.
Setelah lulus, Kartosuwiryo masuk Sarekat Islam, organisasi rakyat dengan kepentingan melindungi pedagang Jawa dari persaingan tajam melawan pedagang etnis Tionghoa.
Di Sarekat Islam, Kartosuwiryo sempat berjuang bersama Soekarno. Namun perbedaan idiologi di antara mereka membuat keduanya memilih jalan yang berbeda.
Soekarno lebih memilih jalan nasionalisme, Kartosuwiryo cenderung ke arah sistem negara nonsekuler.
Sejarah untuk sementara memihak Kartosuwiryo. Pemikirannya mendapat angin ketika kekaisaran Jepang menguasai Indonesia. Kaum nasionalis ditindas, kaum pendukung gerakan keagamaan ditenggang.
Jepang pun mengizinkan Kartosuwiryo mendirikan kamp pelatihan seluas empat hektar di Jawa Barat bagi milisi pemuda Islam yang baru dibentuk.
Conboy menulis, walaupun Kartosuwiryo Jawa, ia menyadari bahwa pesan nonsekulernya punya daya pikat kuat di kalangan Sunda.
Perkembangan selanjutnya, antisekularisme Kartosuwiryo mengeras.
Dia menolak perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani Belanda dan Soekarno.
Dia membentuk Tentara Islam Indonesia sebagai instrumen awal sebelum memproklamirkan diri sebagai kepala Negara Islam Indonesia, yang juga populer dengan nama Darul Islam.
Berjuang di hutan-hutan dan pedesaan Jawa Barat, kelompok partisan Darul Islam sempat merepotkan pemerintahan RI.
"Pada akhir 1953, gerakan ini sanggup mengerahkan 6.700 orang anggota partisan dengan lebih dari 2.500 senjata di Jawa Barat," tulis Conboy.
Gerakan Kartosuwiryo memang akhirnya tumpas, tetapi idenya masih bergema.
Kahar Muzzakar, yang sempat berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat Wakil Komandan Pasukan Gerilyawan di Jawa Timur prakemerdekaan, adalah salah satu figur revolusioner yang meneruskan Darul Islam.
Menurut Conboy, Muzzakar bergabung dengan Darul Islam dan melakukan gerilya di Sulawesi Selatan karena ia tidak mendapat tempat setelah perang kemerdekaan. Dengan kata lain, motivasi Muzzakar untuk mendirikan negara Islam di Indonesia bukan religius murni.
Begitu juga gerakan separatis Islam di Aceh, yang oleh Conboy dinilai sebagai aksi yang dipicu oleh alasan pribadi.
"Karena kehendak mereka tidak tertampung, Aceh memberontak pada September 1953 dan mengumumkan distrik mereka bersekutu dengan Darul Islam," tulis Conboy, yang mengutip Widjiono Wasis, penulis "Geger Talangsari".
Islam politis
Tumbangnya Soekarno dan munculnya Soeharto merupakan era baru bagi percaturan politik di kalangan kaum Islam garis keras.
Sikap anti-PKI yang diperlihatkan Orde Baru yang militeristik searah dengan sikap kaum pemberontak religius.
Ada kebersamaan antara militer dan organisasi Muslim dalam memerangi komunis.
Situasi politik menjelang Pemilu 1977 mencemaskan Soeharto. Penguasa Orde Baru ini khawatir kalau-kalau suara kaum Islam menumpuk di PPP.
Itu sebabnya dia menugasi Ali Moertopo mempengaruhi pendukung Darul Islam. Dalam interaksi dua kubu inilah, wadah baru yang disebut Komando Jihad terbentuk.
Dalam perjalanannya, Komando Jihad akhirnya ditumpas oleh pejabat keamanan Orde Baru dengan menahan ratusan anggotanya.
Sebagian di antara anggota Komando Jihad yang ditahan ini, setelah dilepaskan, ternyata menjadi pendukung setia Orde Baru dan penganjur sejati doktrin Pancasila.
Dua figur Muslim garis keras yang mulai menangguk kepopuleran di tengah situasi militeristik Orde Baru adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Mereka memberikan ceramah dengan menelanjangi pemerintahan Soeharto yang jauh dari ideal hukum Islam.
Pasangan Sungkar-Ba`asyir inilah yang mendirikan pesantren Al-Mukmin di Ngruki Sukoharjo selatan, Solo.
Di pesantren inilah benih-benih Islam garis keras dibentuk dan ditumbuhkan. Setelah sekian tahun, maka lahirlah lulusan Ngruki.
Sejumlah pelaku pemboman di Indonesia konon alumni Ngruki.
Imam Samudra, Amrozi, dan Muchklas yang terlibat dalam pemboman di Bali kini meringkuk di penjara dan menunggu eksekusi di depan regu tembak.
Sekali lagi, rakyat Indonesia menyaksikan bagaimana ide menerapkan hukum Islam secara murni di Nusantara berantakan sebelum terealisir.
Pertanyaannya: masihkah ide itu beterbangan dan termakan oleh generasi mendatang di republik multietnik-agamis ini?
Menurut seorang pejabat intelejen, hanya dengan mengendalikan para dedengkot Islam garis keras, pengaruh ide itu bisa dikendalikan.
Tetapi, seorang Muslim moderat berkomentar: di tengah kemiskinan yang merajalela seperti di Indonesia, godaan untuk mengikuti ide-ide militansi agamis cukup tinggi.
"Di tengah kemiskinan dan rendahnya tingkat intelektualitas masyarakat, Anda tidak akan kesulitan mencari pemuda Muslim yang rela meledakkan diri," kata Ali Masykur Moesa, Muslim moderat itu. (antara news)
Senin, 15 September 2008
Kampung
KITA selalu mencari apa yang kita tidak punya tanpa melihat apa yang kita punya. Di ruang tak luas berdesak-desakkan, di Jalan Kenari 1 Kupang, ditingkah riak riuh hiruk-pikuk Pasar Inpres Naikoten Satu. Dalam deru sepeda motor dan oto merk Honda, Yamaha, Suzuki, Toyota yang meraung-raung di jalanan Kupang, Matsui Kazuhisa berdiskusi dengan 30-an orang.
Hari itu, Rabu 10 September 2008. Senja menjelang malam. Beta merasa Matsui keras menampar. Dia menghardik kesadaran yang lama tidur. Membentak alam bawah sadar. Mungkin beta tidak sendirian...
Matsui Kazuhisa agen asing. Tenaga Ahli JICA (Japan International Cooperation Agency). Dia pakar masalah kemandirian lokal dengan kompetensi teruji. Terima kasih bung Farry Francis yang telah mempertemukan. Persahabatan memang indah.
Pria Jepang itu melanjutkan kata-katanya. Kita selalu menganggap bahwa orang luar mempunyai hal-hal yang lebih bagus daripada yang kita punya. Kita selalu menjelekkan diri sendiri sambil dibandingkan dengan orang luar. Kita selalu lebih percaya hal- hal yang ada di luar daripada yang ada di dalam. Maka tidak ada di sini, minta dari luar!
Siapa berani membantah Kazuhisa? Salahkah pernyataan Penasihat Kebijakan Pembangunan Daerah se-Sulawesi itu? Dia layak menasihati kita di beranda rumah ini. Rumah Flobamora yang lama tak melihat apa yang kita punya.
Lima puluh tahun lalu, Bung Karno bicara tentang berdiri di atas kaki sendiri alias berdikari. Warisan itu entah ke mana pergi. Bertahun-tahun negeri ini terus meminta tanpa mampu memberi. Bertahun-tahun, ini negeri terperangkap bantuan luar (negeri). Negeri yang hilang kemandiriannya. Lama terpesona jargon. Puas dibuai slogan. Tak sadar kaki rapuh. Tak sanggup menopang tubuh montok oleh gizi makanan impor. Sewindu otonomi daerah, beras si miskin pun masih dari luar. Di rimba raya bantuan, ada jalan tak berujung. Kita tersesat, lupa jalan pulang...
***
APAKAH daerahmu tidak punya apa-apa. Miskin? Pertanyaan Kazuhisa kembali menghentak nalar. Carilah apa yang ada di daerahmu. Ada gunung, ada laut. Ngarai, sawah dan ladang. Ada manusia, ada budaya, makanan khas. Ada sejarah, pengalaman hidup. Daerahmu memiliki macam-macam! Soalnya, sejauhmana Anda memahaminya? Gugatan yang menyengat. Ketika kita suka melihat ke luar, senang menatap halaman rumah tetangga, kita lupa berapa jengkal luas dan isi halaman rumah sendiri.
Pembangunan pada akhirnya soal jatidiri. Memahami diri sendiri. Dan, Matsui Kazuhisa mengajak kita kembali ke kampung. Bukan melihat Hirosima atau Nagasaki. Tidak membandingkan dengan Tokyo atau Nagoya. Kupang bukan Singapura. Oesao jelas beda dengan Osaka. Jangan-jangan kita lebih hapal jejak Osaka ketimbang setiap petak sawah di Oesao sana.
Pembangunan! Ini kata yang disebut paling sering. Dieja berulangkali. Dalam forum musrenbang, di gedung dewan, dalam pidato dan sambutan, proposal bantuan dana. Dalam kotbah di mimbar rumah ibadah. Pembangunan, hendak dimulai dari mana?
Pembangunan mulai dari makan. Kedaulatan perut alias "kampung tengah". Kazuhisa menyentil untuk kesekian kalinya. Masyarakat desa sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan di desa dikonsumsi oleh siapa?
Pertanyaan sederhana. Susah menjawab, kecuali orang yang mengkaji dengan sungguh kampung halaman. Hanya orang-orang yang mencintai kampung, mengenal desa. Siapakah di antara kita yang sungguh mengenal desa?
Dua hari lalu seorang sahabat anggota Forum Academia NTT mengirimkan puisi Kesepian karya Friedrich Nietzsche.
Burung-burung gagak berteriak
Dan berdengung terbang ke kota:
Salju akan turun segera -
Bahagialah dia yang kini masih - berkampung halaman!
Kini kau berdiri kaku,
Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!
Mengapa kau yang tolol
Sewaktu musim dingin menjelang - larikan diri ke dunia?
Dunia itu pintu gerbang
Ke seribu gurun bisu dan dingin!
Yang kehilangan,
Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.
Kini kau berdiri pucat,
Terkutuk untuk ngembarai musim salju,
Bagaikan asap,
Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.
Terbanglah, burung, teriakkan
Lagumu dalam nada-burung-gurun! -
Umpetkanlah, kau yang tolol,
Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!
Burung-burung gagak berteriak
Dan berdengung terbang ke kota:
Salju akan turun segera,
Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
Bukankah Nietzsche sedang mengusik kita? Menghardik atas kealpaan merawat kampung besar Flobamora? (email: dionbata@poskupang.co.id)
Langganan:
Postingan (Atom)