SEJAK beberapa bulan lalu, longsor yang terjadi di Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, menyita perhatian publik. Kehidupan masyarakat di sekitar lokasi longsoran, aksi mengatasi longsoran, hingga penelitian terhadap penyebab longsoran menjadi perhatian utama.
Terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, longsoran yang terjadi di Tolnaku akibat pertemuan dua sesar (sejenis patahan), yaitu sesar domen dan sesar gerak. Longsor di Tolnaku kemudian diketahui dalam zona merah, dalam artian sangat dimungkin dapat terjadi terus-menerus. Jenis longsoran ini sama seperti yang pernah terjadi di Ciloto dan Cianjur, Propinsi Jawa Barat kemudian di Banjar Tenggara, Jawa Tengah.
Lalu apakah karena hasil penelitian mengatakan bahwa longsoran di Tolnaku kemungkinan masih akan terjadi lalu kita harus menyerah? Apakah kita akan terus menerus memberikan bantuan air dan makanan kepada warga korban longsoran? Ataukah kita harus segera mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya?
Saat ini, ada sekitar 32 kepala keluarga (KK) atau 118 jiwa untuk sementara terpaksa dipindahkan ke Fatukoto. Mereka masih diinapkan di tenda-tenda darurat sambil menanti perumahan bantuan dari pemerintah selesai dibangun. Untuk sementara, kebutuhan hidup warga seperti air dan makanan dipasok oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang.
Kondisi ini akan makin meluas karena beberapa desa yang rawan terkena dampak longsor Tolnaku adalah Desa Oelatimu dan Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu dan Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu. Artinya, dengan pernyataan bahwa longsoran masih akan terus terjadi bila musim hujan datang membuat perhatian ekstra terhadap wilayah-wilayah atau jalur merah ini harus terus dilakukan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah kondisi ini harus terus dibiarkan? Dengan mata pencaharian sebagai petani, warga Tolnaku dan sekitarnya tentu harus menyiapkan lahan pertanian atau ladang untuk ditanami saat musim hujan. Lahan garapan di Tolnaku jelas tidak lagi diharapkan untuk bisa digunakan.
Untuk itu, masyarakat di wilayah ini harus diberi pengertian tentang kondisi ini. Masyarakat harus diberitahu bahwa mereka tidak mungkin lagi pulang dan tinggal di Tolnaku atau wilayah sekitarnya. Mereka juga harus diberi pemahaman untuk merelakan harta benda seperti tanaman dan kebunnya yang harus ditinggalkan dan tidak boleh digarap lagi. Dengan kondisi longsoran yang bisa terjadi sewaktu- waktu, jangan pernah mau mengambil risiko atau 'keras kepala' untuk tidak mengindahkan larangan-larangan pihak berwenang atau pemerintah.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kupang, Daniel Manoh, mengakui, meski saat ini warga setempat sudah mendapat bantuan, namun kesehatan dan persiapan menghadapi musim tanam akan menjadi masalah ikutan. Kalau sudah demikian, Manoh yang saban hari bersama warga di sana sudah harus menyiapkan rencana aksi untuk mengatasinya. Pengajuan anggaran kepada pemerintah harus segera dilakukan. Ketersediaan anggaran memang sangat penting. Biasanya (mungkin sudah menjadi kebiasaan), bila ada kasus atau bencana yang terjadi tiba-tiba, lambannya penanganan pemerintah selalu bertamengkan ketiadaan anggaran.
Program atau rancangan anggaran tentang pembangunan pemukiman baru, penyediaan sarana air bersih, konsep pembangunan ekonomi masyarakat, termasuk penyediaan lahan garapan, harus segera dilakukan.
Rancangan program agar longsor hanya terjadi di Tolnaku dan tidak menyebar ke daerah lain juga harus dimiliki. Patahan-patahan yang terjadi di Tolnaku jelas akan membuat air hujan akan berkumpul dan mengalir menjadi satu arus. Arus air ini harus diarahkan dengan benar, sehingga jangan menjadi bencana bagi daerah yang dilaluinya.
Mencegah atau mengurangi terjadinya bencana, jelas akan menguras energi dan dana. Dana yang digelontorkan hendaknya membuat para pengelola tak silau dan takabur dalam memanfaatkannya. Alokasi sesuai peruntukannya harus direalisasikan. Masyarakat yang sudah menjadi korban, jangan lagi menjadi obyek untuk mendapat keuntungan pribadi. Jeritan hati, tangis pilu para ibu dan anak yang harus kehilangan harta bendanya dan memulai kehidupan baru, hendaknya menjadi berkat bagi kita yang dipercaya untuk mengatasi penderitaan mereka. *