Sabtu, 04 Oktober 2008

Domi

Oleh Dion DB Putra


PERJALANAN ke kampung leluhur pekan lalu. Kutemukan kampung-kampung sunyi. Kampung dengan kaum lelaki pergi. Sepi. Tersisa wanita, sekelompok pria renta serta bocah-bocah. Perempuan...betapa kuat menjaga dan merawat. Dalam kesendirian. Malaysia, tempat di mana pria-pria Flores, Timor, Lembata, Sumba, Rote, berkelana. Mereka lupa pulang...


NAMANYA Dominikus. Biasa disapa Domi. Umur 44 tahun. Delapan tahun lalu, dia merantau. Pergi mengikuti ajakan orang sekampung yang bertutur indah tentang Nunukan, Sabah, Tawao, Kuala Lumpur. Malaysia itu tanah terjanji. Mudah memetik ringgit, berlimpah ruah menjadi rupiah.

Domi pergi tanpa surat-surat resmi. Tidak melalui PJTKI berlisensi dan kredibel. Domi merantau bermodal otot. Impiannya memperbaiki nasib karena merasa lelah berladang, letih menyadap nira, memasak moke (minuman alkohol dari bahan nira) yang harganya sulit melonjak di pasar Lio, Lela, Paga dan Sikka.

Sri Bintan Pura Tanjungpinang, itulah tempat terakhir Indonesia yang dijejakinya. Domi berhasil masuk hutan Malaysia. Menjadi pemetik kepala sawit. Hampir sepanjang tahun tinggal di kamp perkebunan sawit milik majikan. Jarang pergi ke kota terdekat. Sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, Domi tidak berhak jalan-jalan ke kota untuk berbelanja atau sekadar cuci mata. Tempat yang layak hanya di hutan agar jauh dari intaian polisi Malaysia.

Begitu yang selalu diingatkan majikan. Domi mengirim uang Rp 700 ribu untuk istri dan anak di kampung. Dan, cuma sekali itu dalam lima tahun. Tiga tahun terakhir dia beradu gesit dengan polisi yang rajin mengusir TKI. Dalam pelarian melelahkan di belantara Malaysia, Domi "jatuh cinta" dengan wanita Flores yang sama-sama berstatus TKI ilegal. Domi lupa istri sah dan kedua anaknya di kampung. Wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya persis Domi. Kulit hitam manis, rambut keriting, bibir agak tebal sedikit. Wajah khas Lio.

Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Segesit-gesitnya Domi dan istri mudanya berkelit dari kejaran polisi Malaysia, akhirnya keok juga. Awal September 2008, Domi tertangkap. Cuma dua pilihan, masuk penjara atau segera pulang ke nuaola (artinya, kampung halaman).

"Saya digiring sampai ke kapal hanya dengan baju di badan. Tidak diberi kesempatan kembali ke kamp mengambil tas pakaian dan lain-lain. Sampai sekarang saya belum tahu bagaimana nasib istri dan anak di sana. Mungkin mereka juga sudah ditangkap polisi," kata Domi lima hari lalu. Domi bukan orang lain. Dia masih saudaraku. Lama kami tak bersua. Saat jumpa, Domi bukan lagi pria yang dulu beta kenal rajin berkebun, pintar membuat moke kualitas nomor satu.
Merantau delapan tahun, Domi pulang dengan hasil nihil. Bercelana pendek dekil dan kaus oblong. Jauh lebih bagus baju yang dipakainya saat pergi delapan tahun lalu. Tiba malam hari di kampung 20 September lalu, Domi mengetuk pintu rumah berdinding bambu, dipeluk sang istri dengan senyum dan air mata.

"Lebih baik kau pulang, saya tidak butuh kau bawa apa-apa," kata istrinya. Mendengar pengakuan Domi tentang istri muda dan anak, istri yang dinikahi Domi secara resmi di gereja tahun 1991 hanya bisa diam. Diam seribu bahasa. Kisah lanjut tak ada yang tahu.
***
DOMINIKUS, saudaraku itu adalah bagian dari 26.122 TKI ilegal yang diusir pemerintah Malaysia selama tahun 2008. Seperti dirilis Kantor Berita ANTARA dua hari lalu, mereka pulang ke Indonesia melalui pelabuhan internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Propinsi Kepri.
Menurut data Imigrasi Tanjungpinang, TKI bermasalah yang diusir dari Malaysia pada bulan Januari sebanyak 2.851 orang; Februari 2.402 orang; Maret 1.929 orang, April 3.262 orang; Mei 3.211 orang; Juni 2.967 orang; Juli 2.829 orang; bulan Agustus 3.903 orang dan bulan September sebanyak 2.768 orang. Domi masuk data bulan September itu.

Di kampung leluhur, kutemukan kera menggasak pisang di bibir kampung, babi hutan merusak singkong dan jagung. Banyak lahan tidur dan anjing tak lagi menggonggong. Pria-pria produktif berkelana. Anak-anak hidup tanpa ayah.

Dicambuk, dihina, diusir sebagai bangsa kuli...mereka tak peduli. Pergi dan pergi lagi. Malaysia, entah sampai kapan menjadi tanah terjanji. Siapa yang peduli?

Teringat para calon bupati-wakil bupati yang kini getol sosialisasi diri. Terkenang anggota DePeEr, DePeDe yang kini giat tunjuk muka di kampung. Semoga menemukan Domi-Domi yang lain. (dionbata@poskupang.co.id)

Tenun Ikat, Aset Budaya Bernilai Ekonomis

Oleh Alfred Dama

SUATU hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.

Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung.

Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda. Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.

Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.

Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.

Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.

Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.

Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.

Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.

Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah tidak mengenakan seragam tenun ikat?

Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu. berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.

Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.

Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?

Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.

Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. **

SYALOM