Oleh Damianus Ola
SETIAP kota harus mempunyai ruang terbuka hijau (RTH), yakni ruang-ruang terbuka (open spaces) yang diisi tumbuhan, tanaman dan vegetasi yang memberi rasa nyaman, sejuk dan indah. RTH bisa berbentuk alami (habitat liar-alami atau kawasan lindung) dan RTH non alami seperti taman kota, pertanian kota, lapangan olahraga dan pemakaman. Dari sisi sifat dan karakter ekologisnya, bisa berupa RTH kawasan dan RTH jalur. Adapula RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan pemukiman, RTH kawasan pertanian.
Dengan konsep ini mari kita melihat kota yang kita huni. Kota Kupang misalnya. Kawasan mana yang bisa pantas disebut sebagai RTH? Pantai? Ah, rasanya semakin sumpek. Bentangan pantai mulai dari wilayah Kecamatan Alak sampai Lasiana tidak bisa lagi disebut sebagai sabuk hijau kota ini. Kawasan ini tidak kita jaga dengan baik sehingga habitat alaminya tercemar (di)rusak dari tahun ke tahun. Rumah-rumah penduduk, toko-toko, hotel dan restoran mewah sudah dibangun di kawasan itu. Sejatinya, pantai sebagai salah satu kawasan publik harus bisa diakses warga kota kapan saja. Mendirikan bangunan yang menghalangi pemandangan warga kota ke pantai, itu saja sudah sangat tidak nyaman bagi warga kota.
Taman kota? Sejumlah titik dalam kota yang diklaim sebagai taman kota pun rasanya belum pas disebut sebagai taman. Tanaman bunga berebutan tumbuh meranggas bersama rumput-rumput liar. Yang sedikit lebih terurus hanyalah pepohonan/tanaman yang tumbuh di antara jalan dua jalur (El Tari I sampai El Tari II).
Pusat-pusat perdagangan dan kawasan industri tak menyisakan cukup areal untuk kawasan hijau. Pusat- pusat pemukiman, kompleks-kompleks perumahan pun nyaris tak memberi ruang untuk itu. Kota Kupang yang dari sono-nya memang sudah sangat panas, menjadi bertambah panas.
Maka tepatlah gebrakan yang kini gencar dilakukan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, untuk menyelamatkan paru-paru kota Kupang. Dalam kunjungannya ke kantor Redaksi Surat Kabar Harian Pos Kupang, Rabu (24/9/2008), Walikota Adoe menegaskan, menghijaukan kota tidak harus dengan uang. Tidak perlu proyek. Setiap pimpinan dinas/instansi lingkup Kota Kupang diwajibkan menanam/memelihara pohon di halaman kantornya. "Tanam dan rawat sampai tumbuh. Kalau tidak kenaikan pangkat dipertimbangkan". Begitu cara Walikota Adoe "membangunkan" aparatnya dari sikap yang tadinya kurang peduli menjadi peduli dan bertanggung jawab terhadap penghijauan kota.
Kita harus memberi apresiasi dan dukungan atas gebrakan walikota ini. Kita juga berharap agar apa yang dilakukan Walikota Kupang ini bisa ditiru kepala daerah lainnya di NTT.
Kita sepakat bahwa menghijaukan kota tidak harus menguras dana APBD melalui proyek-proyek yang sama kita ketahui lebih banyak "mudaratnya" ketimbang manfaatnya.
Banyak cara bisa ditempuh pemerintah untuk menggalang partisipasi warga kota dalam menghijaukan kotanya. Sebut misal, untuk setiap mengurus IMB (izin mendirikan bangunan), pemohon IMB diwajibkan menyediakan cukup lahan untuk menanam tanaman/pohon. Melalui RT/RT, setiap KK diwajibkan menanam minimal satu atau dua pohon di halaman rumahnya. Dan itu dikontrol-awasi secara serius melalui perangkat sanksi yang disepakati bersama warga di tingkat RT/RW.
Butuh ketegasan dan keseriusan semua pihak dalam menghijaukan kota. Sebab, menanam pohon/tanaman, juga terkait kebiasaan (budaya?). Contoh praktis bisa kita lihat setelah musim panen. Begitu jagung atau padi dipanen, kebun-kebun milik warga langsung "tamat riwayatnya", tak ada sisa sebatang pohon/tanaman ekonomis yang ada di dalam kebun. Ini menandakan bahwa warga kita mungkin belum terbiasa menanam pohon/tanaman ekonomis lainnya.
Menghijaukan kota harus dimengerti sebagai gerakan semua penghuni kota. Jika pemerintah melalui pendekatan proyeknya gagal, maka setidaknya pepohonan di setiap halaman warga bisa menyelamatkan paru-paru kota. Menghijaukan kota harus menjadi gerakan bersama. *
Jumat, 26 September 2008
Tanpa Pendampingan, Percuma!
Membangun Kemandirian Lokal
Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
NAMA Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).
Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.
Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.
Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman-temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.
Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.
Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita- citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.
Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.
Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.
Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.
Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.
Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.
***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.
Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa. "Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.
Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.
Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.
Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.
"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini. "Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.
Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.
Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.
Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.
Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.
Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.
Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan. "Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema.(habis)
Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
NAMA Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).
Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.
Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.
Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman-temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.
Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.
Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita- citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.
Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.
Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.
Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.
Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.
Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.
***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.
Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa. "Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.
Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.
Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.
Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.
"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini. "Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.
Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.
Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.
Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.
Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.
Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.
Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan. "Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema.(habis)
Jurus Menolak Ajakan Bercinta
BERCINTA dengan kondisi badan letih tentu saja mustahil dilakukan oleh pasangan wanita ataupun pria. Tetapi tak jarang mereka pun tetap menerima ajakan bercinta dari pasangannya karena ingin menyenangkan hatinya.
Menurut Askmen, pasangan yang kelelahan karena beban pekerjaan sebaiknya menunda melakukan aktivitas bercinta untuk sementara. Hal ini penting dilakukan agar hubungan seksual yang dilakukan menjadi lebih maksimal kelak.
Nah, kini Anda pun tak perlu bingung mencari cara untuk menolak ajakan bercinta dari pasangan. Berikut ini ada lima jurus ampuh yang bisa Anda praktikkan.
Pura-pura tidur
Wanita kerap menggunakan trik ini ketika pasangannya hendak merebahkan tubuh di atas ranjang atau memberikan sinyal-sinyal khusus saat mengajaknya bercinta. Alhasil, niat pasangan untuk mengajaknya bercinta pun menjadi tidak terlaksana.
Pura-pura datang bulan
Tidak selamanya pasangan mengecek berapa lama Anda mengalami masa menstruasi, tetapi hal ini bisa Anda jadikan sebagai salah satu alasan untuk menghindari kegiatan bercinta. Apabila dia masih tidak percaya, Anda bisa berpura-pura sakit perut seperti orang yang sedang datang bulan.
Sibuk sendiri
Ketika pasangan sudah menunjukkan tanda-tanda untuk mencumbu tubuh Anda, tunjukkanlah beberapa aktivitas yang sangat mengganggu, seperti sibuk mengerjakan pekerjaan kantor ataupun sibuk menonton acara televisi. Apabila pasangan tidak sabar, mungkin dia pun bosan dan lekas tidur.
Tidak memperhatikan penampilan
Setiap pria sering kali tergoda saat melihat istrinya berpenampilan seksi dan tubuhnya pun beraroma wangi saat di ranjang. Biasanya mereka pun tak sabar ingin segera mengajak pasangannya bercinta.
Tetapi kini Anda sudah mempunyai jawaban bagaimana menolak ajakan pasangan bercinta. Anda cukup berpenampilan seadanya dengan daster dan rambut tanpa di sisir rapi.
Tidur belakangan
Biarkan pasangan terlebih dahulu merebahkan badannya di atas ranjang, dan katakanlah kepadanya Anda akan segera menyusul setelah pekerjaan rumah selesai. Pastikan dia sudah terlelap sehingga Anda tak perlu mencari alasan untuk menolak ajakannya bercinta. **
Menaklukkan Wanita Tangguh di Ranjang
SEBAGIAN besar pria merasa senang ketika memiliki pasangan yang tangguh dan pantang menyerah dalam segala hal. Tapi bagaimana jika hal itu terjadi pada kehidupan seks rumah tangga Anda? Apakah para wanita juga pantang menyerah dan selalu mendominasi setiap 'permainan' di ranjang?
Menurut Askmen, wanita dengan kondisi badan sedang fit memang berkesempatan mendominasi setiap 'permainan' cinta di ranjang. Lain cerita ketika kondisi badannya sedang letih akibat beban pekerjaan, dia pun tidak melarang pasangannya untuk lebih agresif memberikan rangsangan seksual.
Tapi kenyataannya, tidak semua pria menginginkan pasangannya mendominasi setiap 'permainan' cinta. Pria tetap berupaya menjadi 'pemain' utama di ranjang.
Apa yang harus pria lakukan untuk menaklukkan wanita tangguh ini?
Jaga stamina
Stamina yang bagus merupakan kata kunci yang wajib dimiliki oleh setiap pria ketika bercinta dengan pasangannya. Apabila staminanya menurun, maka pria jangan berharap bisa memenangkan 'permainan' cinta di ranjang.
Posisi tubuh Anda tetap berada di atas
Anda bisa dengan mudah mendominasi setiap 'permainan' cinta. Caranya, Anda jangan sekali-sekali membiarkannya untuk mengambil posisi berada di atas tubuh Anda. Karena dengan begitu dia sudah berhasil membatasi ruang gerak Anda dan bisa jadi dialah yang akan memenangkan 'permainan' cinta tersebut. **
Langganan:
Postingan (Atom)