Jumat, 26 September 2008

Bersama Hijaukan Kota

Oleh Damianus Ola

SETIAP
kota harus mempunyai ruang terbuka hijau (RTH), yakni ruang-ruang terbuka (open spaces) yang diisi tumbuhan, tanaman dan vegetasi yang memberi rasa nyaman, sejuk dan indah. RTH bisa berbentuk alami (habitat liar-alami atau kawasan lindung) dan RTH non alami seperti taman kota, pertanian kota, lapangan olahraga dan pemakaman. Dari sisi sifat dan karakter ekologisnya, bisa berupa RTH kawasan dan RTH jalur. Adapula RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan pemukiman, RTH kawasan pertanian.

Dengan konsep ini mari kita melihat kota yang kita huni. Kota Kupang misalnya. Kawasan mana yang bisa pantas disebut sebagai RTH? Pantai? Ah, rasanya semakin sumpek. Bentangan pantai mulai dari wilayah Kecamatan Alak sampai Lasiana tidak bisa lagi disebut sebagai sabuk hijau kota ini. Kawasan ini tidak kita jaga dengan baik sehingga habitat alaminya tercemar (di)rusak dari tahun ke tahun. Rumah-rumah penduduk, toko-toko, hotel dan restoran mewah sudah dibangun di kawasan itu. Sejatinya, pantai sebagai salah satu kawasan publik harus bisa diakses warga kota kapan saja. Mendirikan bangunan yang menghalangi pemandangan warga kota ke pantai, itu saja sudah sangat tidak nyaman bagi warga kota.

Taman kota? Sejumlah titik dalam kota yang diklaim sebagai taman kota pun rasanya belum pas disebut sebagai taman. Tanaman bunga berebutan tumbuh meranggas bersama rumput-rumput liar. Yang sedikit lebih terurus hanyalah pepohonan/tanaman yang tumbuh di antara jalan dua jalur (El Tari I sampai El Tari II).

Pusat-pusat perdagangan dan kawasan industri tak menyisakan cukup areal untuk kawasan hijau. Pusat- pusat pemukiman, kompleks-kompleks perumahan pun nyaris tak memberi ruang untuk itu. Kota Kupang yang dari sono-nya memang sudah sangat panas, menjadi bertambah panas.

Maka tepatlah gebrakan yang kini gencar dilakukan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, untuk menyelamatkan paru-paru kota Kupang. Dalam kunjungannya ke kantor Redaksi Surat Kabar Harian Pos Kupang, Rabu (24/9/2008), Walikota Adoe menegaskan, menghijaukan kota tidak harus dengan uang. Tidak perlu proyek. Setiap pimpinan dinas/instansi lingkup Kota Kupang diwajibkan menanam/memelihara pohon di halaman kantornya. "Tanam dan rawat sampai tumbuh. Kalau tidak kenaikan pangkat dipertimbangkan". Begitu cara Walikota Adoe "membangunkan" aparatnya dari sikap yang tadinya kurang peduli menjadi peduli dan bertanggung jawab terhadap penghijauan kota.

Kita harus memberi apresiasi dan dukungan atas gebrakan walikota ini. Kita juga berharap agar apa yang dilakukan Walikota Kupang ini bisa ditiru kepala daerah lainnya di NTT.

Kita sepakat bahwa menghijaukan kota tidak harus menguras dana APBD melalui proyek-proyek yang sama kita ketahui lebih banyak "mudaratnya" ketimbang manfaatnya.

Banyak cara bisa ditempuh pemerintah untuk menggalang partisipasi warga kota dalam menghijaukan kotanya. Sebut misal, untuk setiap mengurus IMB (izin mendirikan bangunan), pemohon IMB diwajibkan menyediakan cukup lahan untuk menanam tanaman/pohon. Melalui RT/RT, setiap KK diwajibkan menanam minimal satu atau dua pohon di halaman rumahnya. Dan itu dikontrol-awasi secara serius melalui perangkat sanksi yang disepakati bersama warga di tingkat RT/RW.

Butuh ketegasan dan keseriusan semua pihak dalam menghijaukan kota. Sebab, menanam pohon/tanaman, juga terkait kebiasaan (budaya?). Contoh praktis bisa kita lihat setelah musim panen. Begitu jagung atau padi dipanen, kebun-kebun milik warga langsung "tamat riwayatnya", tak ada sisa sebatang pohon/tanaman ekonomis yang ada di dalam kebun. Ini menandakan bahwa warga kita mungkin belum terbiasa menanam pohon/tanaman ekonomis lainnya.

Menghijaukan kota harus dimengerti sebagai gerakan semua penghuni kota. Jika pemerintah melalui pendekatan proyeknya gagal, maka setidaknya pepohonan di setiap halaman warga bisa menyelamatkan paru-paru kota. Menghijaukan kota harus menjadi gerakan bersama. *

Tidak ada komentar:

SYALOM