Membangun Kemandirian Lokal
Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
NAMA Bertolomeus Metkono. Dipanggil Pak Berto. Dia seorang petani tambak di Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Perjuangannya menjadi seorang petani tambak dikisahkan oleh Justen Lalan, petani tambak lainnya dari Desa Bipolo dalam diskusi tentang Membangun Kemandirian Masyarakat NTT di ruang Redaksi Harian Pos Kupang, Rabu (10/9/2008).
Pada suatu hari Pak Berto memperhatikan pembuangan air yang mengalir sia-sia ke hamparan lahan tidur di desanya. Timbul dalam benaknya keinginan untuk memanfaatkan lahan itu. Mau dijadikan sawah tentu tidak cocok, sebab lahan tersebut dekat dengan pantai. Pasti airnya payau. Mau ditanami palawija atau kelapa juga tidak cocok karena tanahnya terlalu basah. Dia akhirnya tertantang untuk membangun tambak ikan bandeng.
Itu pada tahun 1986, setelah Pak Berto menonton teknik pembuatan tambak bandeng di televisi. Dia mulai dengan membuat tambak sendiri. Dan, untungnya pada tahun yang sama Pak Berto mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tentang pengelolaan tambak bandeng di Bali. Atas rekomendasi Dinas Pertanian Kabupaten Kupang.
Sepulang dari Bali, Pak Berto mulai berani mengajak teman-temannya dalam kelompok tani (102 orang) untuk membuka tambak bandeng dengan memanfaatkan lahan tidur tadi. Mereka sepakat setiap petani menggarap 0,25 sampai 1 hektar lahan.
Namun pada tahun 1987 kepala desa setempat mempersoalkan pemanfaatan lahan itu karena dianggap liar (tanpa izin). Banyak petani tambak mengundurkan diri. Yang bertahan hanya 15 orang, termasuk Pak Berto sendiri.
Masalah tidak habis. Pada tahun 1989 banjir menyapu bersih kawasan pertambakan itu. Kejadian ini membuat kelompok tani bubar. Hanya Pak Berto sendiri yang bertahan dan setia pada cita- citanya. Pak Berto ingin membuktikan bahwa apa yang diyakininya pada suatu saat akan membuahkan hasil.
Pada tahun 1990, apa yang diimpikannya menjadi kenyataan ketika ia mulai memanen hasil tambaknya sebanyak 25 kg bandeng. Masyarakat pun melihat hasil kerja dan keuntungan yang diperoleh dari usaha tambak bandeng itu. Pak Berto mengajak kembali teman-temannya untuk menggeluti usaha tambak. Alhasil, 15 orang bersedia ikut kembali dan membentuk kelompok yang diberi nama Tunas Baru.
Tapi, begitu mulai lagi, mereka langsung berhadapan dengan kesulitan dana untuk memperbaiki tambak yang rusak disapu banjir sebelumnya. Lalu mereka membangun kerja sama dengan seorang pengusaha bernama Abu Hera. Namun, karena sistem bagi hasil dan bagi tanah dianggap merugikan mereka, maka kerja sama tersebut tidak berlangsugn lama.
Pada tahun 1997, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Herman Musakabe, berkunjung dan melihat langsung keberhasilan usaha tambak bandeng mereka. Gubernur memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp 18.000.000 dan perbaikan jalan sepanjang tiga kilometer atas keberhasilan kelompok ini mengelola tambak bandeng.
Dalam perjalanan selanjutnya, tantangan tetap mereka hadapi sampai Pak Berto ditahan polisi selama tiga hari. Namun, mereka tetap semangat untuk melanjutkan usahanya karena banyak juga yang tetap mendukung mereka. Kepercayaan masyarakat Bipolo terhadap usaha ini pun makin besar. Pada tahun 2000, Yayasan Alfa Omega (YAO) juga mulai melakukan pendampingan. Meskipun pada tahun 2003 musibah banjir kembali melanda Desa Bipolo, namun berkat pendampingan perlahan-lahan semangat mereka pulih kembali.
Kini bukan hanya Pak Berto dan kelompoknya yang membuka usaha tambak bandeng, tetapi beberapa kelompok baru pun sudah bermunculan, baik di Desa Bipolo sendiri maupun di desa tetangga, seperti Nunkurus, Oeteta dan Pariti. Mereka berguru dan belajar dari pengalaman Pak Berto.
***
KISAH perjuangan masyarakat Bipolo, sebagaimana juga kisah perjuangan masyarakat As Manulea, sengaja diangkat dalam diskusi ini sebagai contoh kemandirian lokal. Cerita ini hanya mau menegaskan bahwa masyarakat desa bisa bertahan dan berkembang dari kemampuannya sendiri dalam kelompok. Mereka juga bisa belajar dari pengalaman kegagalan dan keberhasilan mereka sendiri untuk semakin maju. Tanpa bantuan dari luar mereka bisa mengatasi sendiri masalahnya.
Menurut Justen Lalan, pengembangan mata pencaharian alternatif bukanlah hal yang luar biasa bagi masyarakat desa. "Kalau kita bicara tentang perubahan pola pikir masyarakat, itu kita bicara tentang perubahan satu gerenarasi. Masyarakat tidak trauma. Mereka berulang-ulang mengatasi hambatan yang ada," kata Yusten.
Cerita yang hampir sama disampaikan Jonathan Lassa, peserta dari Forum Akademia NTT (FAN). Ketika jalan-jalan ke Palue baru-baru ini, Jonathan menemukan sekitar 75 persen gereja stasi Nara dibangun menggunakan air dari batang pisang. Bahkan untuk minum dan cuci, masyarakat di sana menggunakan air dari batang pisang. Bagaimana hal itu mungkin, masyarakat yang tahu. Buktinya mereka bertahan.
Melianus Toy, tokoh masyarakat Oelnasi, Kabupaten Kupang, melihat bahwa kita sekarang hanya mengandalkan ilmu yang kita peroleh. Kita melupakan budaya dan adat-istiadat kita.
Dia memberi contoh proyek bendungan Tilong yang dibangun dengan teknologi tinggi. Tapi, dalam kenyataan tetap saja ada persoalan yang tidak bisa diatasi dengan teknologi tinggi.
"Mereka (kontraktor proyek Tilong) datangi saya. Saya katakan bahwa bapak mengandalkan ilmu. Alam tidak bisa dikuasai dengan ilmu. Saya orang desa yang tahu bagaimana desa itu," kata Melianus. Akhirnya dia membuat ritual menurut budaya setempat, maka bendungan Tilong pun bertahan sampai saat ini. "Nenek moyang kita dulu cuma dengan ritual adat dapat mengatasi persoalan alam," tambah Melianus.
Namun beberapa kisah kemandirian di atasi mungkin menjadi kisah yang langka saat ini. Belum tentu kita bisa menemukan kisah yang sama di desa-desa lain. Dulu semangat gotong royong masyarakat kita sangat tinggi. Tanpa uang masyarakat bisa membangun berbagai fasilitas umum.
Apakah semangat itu masih ada di desa-desa saat ini. Kita harus katakan bahwa masyarakat sudah menjadi manja oleh berbagai fasilitas yang disediakan pemerintah. Masyarakat kita berubah orientasi menjadi mental proyek. Merka tidak lagi mau kerja kalau tidak dibayar dengan uang atau beras. Padahal apa yang mereka kerjakan manfaatnya untuk mereka sendiri.
Apa yang disebut partisipasi saat ini menjadi sangat mahal. Ini menjadi refleksi bagi pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga apa pun yang selama ini membantu masyarakat dengan uang atau beras. Ternyata bantuan-bantuan itu tidak untuk meningkatkan kemandirian, malah melemahkan dan memupuk mental ketergantungan.
Forum diskusi sepakat dengan kecenderungan ini. Tetapi forum juga tidak ingin hanya sebatas omong-omong lalu selesai. Forum ini harus bisa membuat aksi nyata sebagai tindak lanjut.
Matzui Kazuhisa mengajak kita untuk mencari apa yang ada di daerah kita. Tetapi untuk menemukan apa yang kita cari, tidak semuanya kita sendiri mampu. Kehadiran orang luar bisa menyadarkan kita akan ketidaktahuan kita. Dengan kehadiran orang luar kita pun bisa belajar dan mendapat temuan-temuan baru.
Dengan kata lain, masyarakat kita perlu pendampingan, sebagaimana dilakukan Yayasan Alfa Omega terhadap masyarakat Bipolo. Pendamping membantu masyarakat menemukan persoalan dan solusi atas persoalan. "Sepanjang pendamping tidak ada, percuma jadi orang pintar, tapi tidak tahu masyarakatnya butuh apa," kata Raymundus Lema.(habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar