Minggu, 23 November 2008

Sex Humor The Sequel

(Josh Chen – Global Citizen)

Following Mamak's petunjuk and try to start with a bit of English, so I sent this to complement Pak WES with The Sequel..... enjoy.... http://community.kompas.com/read/artikel/879

A judge asked a woman on why she wanted a divorce.
She answered, "Your Honor, he knew I'm a vegetarian
and yet he still insists on putting his meat in my mouth."

Woman: Doctor, ant entered my vagina, please take it out.
Doctor removes her panties and start making love.
Woman: What are you doing?
Doctor: This is the only way to drown the bastard!

Question: What is the closest thing similar to a woman's period?
Answer: YOUR SALARY. It comes once a month last 3 - 4 days & if it doesn't come you are in deep trouble!

A lady visited her doctor again, Doctor said: You look more sick & exhausted then before. Are u having 3 meals a day as I advised?
Lady: WHAT? I thought u said 3 MALES a day!!!!

Women asked God to make The Penis Pretty.
GOD Said "No way; Now As It Is, The Penis is so
ugly & you still suck it. If I make it Pretty You'll Eat It up!!

A nun went for a urine test. The sample got mixed up. When the doctor told her she was pregnant, she cried n said," Shit, we can't even trust cucumber anymore!

A boy pulls down his pants in front of a girl & asked "Do you have this?
The girl lifted up her skirt & said,"My mom said with this I can have a lot of THAT!"

Schoolgirl: I do not want to take the SEX EDUCATION.
Class Teacher: Why not?
Schoolgirl: Someone told me the FINAL EXAM would be ORAL!"

Mother asks daughter, how is married life? Daughter shyly says like BRITISH AIRWAYS ad.
Mother reads the ad and is shocked " 7 DAYS A WEEK,TWICE A DAY, BOTH WAYS!

What is the STRONGEST muscle? Answer: TONGUE- It can raise a woman's hip with just one lick!
The weakest muscle? Answer: PENIS! It can be raised by a woman's tongue!

Lady Immigration officer asked a Korean tourist: Name? Answer the Touris: Park Yu.
The 0fficer become angry & shouted back: F**K YOU! Now what's your full name?
Korean replied: PARK YU TOO!!

Man to wife: Business is bad if you learn to cook we can remove servant.
Wife: A***HOLE! If you learn how to f**k, we can remove driver, gardener & watchman..

COCK say to his two BALLS: I am going to take you with me to a party.
BALLS said: You big f***g liar. You always get INSIDE and leave us waiting OUTSIDE!

A baby dog asked mama dog how papa look like?
Mama dog reply: How I know. Your papa came from behind & I didn't have chance to see his face" !

What's the difference between stress, tension & panic?
Stress is when wife is pregnant, Tension is when girlfriend is pregnant, PANIC is when both are pregnant....

J dan Sex Humor

WARNING:

* Baca ini jangan sambil minum, makan atau apa, keselek di luar tanggung jawab pengirim
* Pegangan kuat-kuat di kursi, nanti guling-guling di lantai urusan pembaca sendiri....


Satu hari Sultan merasa sungguh "boring n bete abis", jadi dia tanya Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"

"Abunawas" jawab Bendahara. Sultan pun manggil Abunawas n baginda
bertitah: "Kalau kamu pandai, coba buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata
mesti dimulai dengan huruf 'J'.

Terperanjat Abunawas, tapi setelah berpikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng Juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya - Jakarta. Jamu jagoannya: jamu jahe.

"Jamu-jamuuu ... jamu jahe - jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan.

Jariknya jatuh, Juminten jatuh jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh ..." Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.

Juminten jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo. Jantungnya Jeng Juminten judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jealous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny.

Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten.

Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten. Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil! !!" Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, jebreeet ..., Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jendol, jadi jontor juga jendol ... jeleekk. "John, jangan jahilin Juminten ...! " jerit Jack. Jantungnya Johny jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji Johnny jera," jawab Johny. Jack jadikan Johny join jualan jajan jejer Juminten.

Johny jadi jongosnya Jack - Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan Jogja - Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny

"Jolly-jolly Jumper." Jumpalagi, jek........! !!

Jeringatan : Jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja ...!!! JUSAH...!!!

Gemuruh Hati Leticia

Oleh Rosalina Langa Woso

WAJAH perempuan berkepala lima itu tampak kusut. Garis-garis ketuaan melingkar hampir di seluruh kelopak matanya. Sambil tersenyum dengan kepala sedikit merunduk, Leticia menyodorkan selembar sertifikat kepada Ara. Lety, begitulah sapaannya, menatap penuh harap. Lima juta rupiah bisa diperolehnya saat itu dengan menggadaikan sertifikat tanah.

Lahan seluas tiga ratus meter persegi dengan bangunan permanen, harus dijual di bawah tangan. Paling tidak, sudah ada modal awal pernikahan putrinya Sonya dengan Andy. Pemuda asal Oepoli, yang melamar via service masage system (SMS) itu nekad buat pahe (paket hemat). Satu minggu ambil cuti, langsung pinang dan bersanding di pelaminan.

Andy, perjaka yang bekerja sebagai buruh pada sebuah perkebunan kelapa sawit di Riau Pekanbaru, Sumatera telah mencuri hati Sonya. Setiap pesan yang masuk melalui handphone, hati karyawan pada sebuah supermarket kenamaan di Kota Kupang itu luluh lantah. Maklum. Andy akan 'memberondong' dengan segudang pertanyaan. Sangat mirip dengan iklan pacar posesif yang terpampang di sudut kota. "Di mana? Dengan siapa? Sudah makan atau belum? Jam berapa kerja? Jam berapa pulang? Siapa yang jemput? Sudah tidur atau belum?" Deretan pertanyaan yang membuat hati Sony geli dan tertawa panjang.

Cinta memang mampu menembus ruang dan waktu. Kedua hatinya rekat hanya melalui pesan yang sebenarnya salah nyasar. Lety tersenyum kecut, bila mengenang wajah Sonya yang ceria dan semangat, menceritakan kisah-kasihnya bersama Andy.

Awalnya, Andy mengirim pesan lamaran itu kepada Rani, teman kelas esempe dulu. Maklum, nomor Rani dan Sony bedanya tiga dan empat di angka terakhir. Pesan melalui dua belas digit itu seharusnya ditujukan kepada Rani, serta nyasar. Pesan itu pun berlalu tanpa dikendalikan.

Sonya yang sibuk layani pembeli dibuat ketar-ketir saat membaca pesan lewat SMS itu. "Kamu sudah siap untuk dilamar? Dua bulan lagi saya pulang." Itulah pesan yang menjadi awal kisah kasih mereka berdua. "Siapa ya? Nomor ini tidak tercatat," balas Sonya tidak kalah tegas.

Lety tersentak. Ara yang dikenalnya dalam kelompok arisan satu kampung itu belum siap menyatakan kesediaan untuk memberikan pinjaman. Padahal, sejak sepuluh menit yang lalu, ayah dua anak itu telah bolak-balik membaca sertifikat rumahnya yang beralamatkan di pesisir pantai Kelurahan Oesapa. Jantungnya berdegup kencang manakalah Ara dengan mesra memanggil istrinya. "Teto..." suara Ara lembut. Agatha tergopoh-gopoh menghampiri suaminya. Dua kali Ara memanggil sebutan itu, pangilan sayang untuk perempuan yang menyimpan berbal- bal cinta untuknya. Cinta tanpa batas, tanpa pamrih yang telah memberinya status ayah dua anak.

"Teto. Ini ada Tanta Lety, mau pinjam uang dengan gadaikan sertifikat tanah," ujar Ara tenang sambil menatap istrinya yang duduk bersisian. "Kenapa tanta harus repot-repot antar sertifikat segala, kalau pun ada uang pasti kami bantu," timpal Agatha.

Agatha sangat mengerti. Perempuan yang nyaris beringsut di hadapan mereka itu telah putus asa untuk mendapatkan uang. Jauh-jauh hari, Sonya telah bercerita, kalau dirinya akan dilamar dan menikah. Tidak heran, ibunya harus pusing tujuh keliling untuk menyiapkan acara resepsi.

Lety bukan perempuan biasa. Tiga puluh tahun silam, dia adalah pemilik tubuh sintal dengan leher jangkung. Rambut hitam legam, panjang terurai sebatas bahu. Dia tampak sempurna dengan bulu mata lentik memagari bola matanya yang bundar, bening dan meneduhkan. Senyumnya menebar pesona dan tertawa lebar sambil memperlihatkan giginya yang gingsul.

Pesona itu masih ada, tersimpan rapi dalam batinnya yang setia dan ramah menyapa siapa saja. Ia lebih banyak diam saat berada dalam pertemuan keluarga, arisan ataupun bersama tetangga menikmati rujak cingur.

Kesulitan mencari lembaran rupiah untuk menyekolahkan tiga buah hati membuatnya lebih bijak dan mandiri. Garis-garis ketuaan di wajahnya yang bundar, merupakan saksi hidup baginya bahwa ia lebih banyak didera kesulitan ekonomi rumah tangga.

Satu persatu kekayaan miliknya ludes tergadai, saat terhimpit kebutuhan rumah tangga. Sofa lusuh satu set berwarna merah yang dideretkan ruang tamu menjadi satu-satunya barang mewah. Ruas jendela yang dipetak-petak dengan kaca nako tampak retak sana sini.

Sementara plafon rumahnya yang terbuat dari tripleks kian lusuh, sobekannya menjuntai nyaris menutupi lampu neon di langit-langit kamar yang disesaki banyak tamu. Sekuat tenaga, perempuan asal Sabu itu membangun tiga petak rumah untuk dijadikan kos-kosan yang sampai saat ini belum berdaun pintu dan jendela.

Rumah induk yang kini dihuni, sebagiannya dikontrakkan kepada mahasiswa, pengantin baru, para pendatang dari pulau seberang. Sementara di sudut dipannya sendiri, berdiri mesin jahit singer yang kusam. Deru mesin tua itu, terdengar ngos-ngosan saat merakit baju, kain pintu, gorden ataupun taplak meja langganannya. Deru mesin yang setia menemani hingga tengah malam, bahkan menjelang subuh saat pesanan jahitan menumpuk.

Lety bekerja serabutan untuk menghidupi hari-harinya yang panjang dan menggetirkan. Tujuh tahun silam, ibu tiga anak itu, pernah tertangkap tangan saat mengisi kayu cendana kelas satu asal SoE dalam tas pakaian.

Aroma santalum album yang terancam punah itu, membuatnya harus satu jam diadili petugas perbatasan. Dia kecewa harus pulang dengan tangan hampa. Tas itu ringan tanpa isian barang selundupan. Padahal, batinnya berbunga-bunga. Sepuluh kilogram kayu cendana itu bisa dijual untuk uang semester anaknya di Universitas Nusa Cendana

Dia sadar, dirinya hanyalah janda yang tidak memiliki kekuatan lobi untuk lolos dalam pemeriksaan itu. Ia pun digiring dan dicerca seperti penjahat perang dengan belasan pertanyaan yang menghina dan menyudutkan bathin. Padahal, dalam ingatannya yang mulai rapuh, dia banyak dengar ada banyak pejabat dan pengusaha lolos membawa berton-ton hasil hutan ke luar daerah.

Lety tersenyum sambil memperbaiki posisi duduknya. Lembaran rupiah berhasil diboyong dari hasil gadaian sertifikat. Dia tersenyum kecil bila mengenang peristiwa itu. Sony telah menyandang gelar sarjana. Pekan depan, perempuan yang mewarisi wajah suaminya itu resmi menjadi nyonya Andy, lelaki yang sebentar lagi memboyongnya ke perkebunan kelapa sawit.

Hari itu, Lety mengenakan kebaya merah hati dipadu dengan sarung sabu, motif lontar dibagian kakinya tampak jelas dipadu dengan sendal slof senada dengan kebaya. Dia anggun dengan sanggul moderen, diapit kembang melati. Mentari kemuning mulai rebah di kaki langit, menjemput sang malam untuk kembali keperaduannya. Wajahnya sedikit gugup, saat Master Ceremony (MC) memintanya untuk berdiri untuk mengapit putrinya menuju kediaman menantunya di Oepoli.

"Poly...," guman Lety dalam hati. Langkahnya gamang saat keluar dari ruang tamu. Tubuhnya nelangsa, bathinnya bergemuruh menahan gejolak yang mendera-dera sepanjang hari itu. "Kamu biarkan saya sendiri mengantar Sonya," ujar Lety sambil menebar senyum kepada penghuni tenda biru.

Pikirannya jauh menembus gedung kokoh di hadapannya. Jemarinya diremas-remas untuk menghalau kegalauan hati. Wajah Poly menari-nari, merasuk sukma, membangkitkan semua kenangan bersama di rumah tua itu. Lelaki yang dikenalinya di sebuah pesta keluarga, dua puluh lima tahun silam.

Kala itu, Poly tampil tenang dan tampan. Rambut cepak rapi dengan kulit wajah hitam manis. Tubuhnya atletis. Ia gagah mengenakan baju coklat berlengan pendek, dadanya bidang dipenuhi rambut, menyembul, saat dua kancing dibiarkan terbuka. Dandannya rapi. Lety tidak berdaya, manakala bola mata lelaki itu mengejarnya tanpa kedip. Memberinya kehangatan dan api cinta.

"Kamu pernah nonton acara balapan, ada yang harus mendahului garis finish. Itu tidak berarti, yang kemudian tidak mencapai garis finish kan ? Sama halnya dengan cinta yang kita rajut. Balapan itu ibaratnya menuju samudra cinta, kau dan aku sama-sama menuju ke garis finish itu," tukas Poly yang bertandang ke rumahnya, saat Lety masih berusia tiga puluh dua tahun.

Lety terdiam. Tubuhnya nyaris tak bergerak, saat Poly mendekapnya dalam-dalam. Lengan kokoh itu terlalu kukuh untuk ditepiskan. Ia biarkan, bibir yang ditumbuhi kumis terawat, mengulum mesra. Gelora cinta mendayu-dayu, menjalar sepanjang tubuh. Merintih, lalu tergolek dalam diam, setelah melepas semua himpitan dalam satu tarikan nafas yang amat panjang.

Mereka terbangun, saat hangat mentari pagi menjilati tumit lewat daun jendela yang tersingkap. Lety terperangkap dalam benih cinta, dia terlanjur dipantuli cahaya. Diam dan pasti, dibiarkan cahaya itu merasuk dalam sukmanya. Ditahtahkan jauh menjalar lewat nadinya yang setia berdenyut. Ia baru sadar, ketika buah hatinya tumbuh dalam rahimnya. Lelaki yang membuahinya itu bukanlah perjaka ting-ting. Ia telah beristri dan beranak tiga.

"Trimakasih, atas kesediaan untuk tidak sentimentil. Kamu bukan perempuan biasa. Ketenanganmu dalam bicara, kemurahan hati dan diam dalam tindakan, membuatku selalu nyaman bersamamu," puji Poly di lain saat, sambil mendekapnya ke dalam dadanya yang bidang.

Pujian itu adalah cemeti baginya untuk tidak terlalu cengeng saat melewati ribuan jam tanpa suami. Tubuhnya nelangsa, ia takut hari-hari hidupnya akan menimpa putra-putrinya. "Tidak, cukup aku saja yang melewati kegetiran ini. Sonya tidak bersalah, ia terlahir dari dua hati kami yang saling mencintai," tepis Lety dalam hati sambil beranjak dari tempat duduknya.

Aku sudah terlanjur mencintai Poly. Cintanya harus kupahami bukan sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum. Ia telah mati terkubur dengan nisan yang mulai kabur termakan usia. Jenazahnya sudah menyatu dengan tanah liat, di pekuburan umum yang kini masih jadi polemik akan terjadi pencemaran air bawah tanah.

Didekapnya Sony kuat-kuat, detak jantungnya berpacu lebih cepat. "Pergilah... Andy sangat mencintaimu. Engkau akan merasakan betapa indahnya hidup ini, bila hidup bersanding dengan lelaki yang lebih mencintai daripada dicintai," ujar Lety menahan haru.

Malam itu, akhir November. Cahaya rembulan masih berpendar di atas batu karang, pucuk ilalang muncul setelah sepuluh bulan rebah, hilang di telan bumi. Remang-remang, deru mobil menghilang meninggalkan tenda biru, membawa pergi buah hati. "Poly, kau adalah sebuah kata cinta yang tak bisa kumaknai sampai kapanpun," bathin Lety bergemuruh. *

Kebo Lewa Sawe

Oleh Dion DB Putra

LIO mungkin tak lagi asing bagi telinga sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT). Lio adalah salah satu suku di Pulau Flores yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Ende sekarang. Yang kerap disapa Ata Lio (orang Lio) juga ada di Kabupaten Sikka yaitu di wilayah Paga, Maulo'o dan sebagian Magepanda.

Seperti umumnya penduduk NTT, kehidupan Ata Lio sangat bergantung pada usaha pertanian lahan kering. Mereka menganut sistem patrilineal agraris. Harta adalah hak milik laki-laki dan keturunan laki-laki. Secara tradisi ada pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mengurus rumah tangga. Laki-laki mencari nafkah dan menjalani peran publik. Namun, dalam mengerjakan ladang, laki-laki dan perempuan Lio melakukan secara bersama.

Saya mau menceritakan peran perempuan Lio berkaitan dengan kebo (artinya lumbung pangan). Sebagian suku Lio menyebut lewa. Bangunan kebo terbuat dari bahan lokal seperti bambu, kayu, tali ijuk dan alang-alang atau ijuk untuk atap. Letaknya dekat dengan rumah pemiliknya di kampung. Kebo juga dibangun di kebun ladang bersama mbe'i (pondok).

Sekalipun menganut patrilineal, suku Lio menghargai peran perempuan sebagai penyimpan hasil panen, penjaga lumbung dan pengelola dapur. Hal itu tercermin antara lain dalam ungkapan lesu usu wuni kai kebo bela, tau jila lika banga waja.

Perempuan Lio merupakan manajer kebo yang andal. Dialah yang mengatur isi kebo demi ketahanan pangan keluarga tetap terjamin, baik pada masa surplus maupun paceklik. Semua hasil panen dari kebun seperti padi, jagung, umbi-umbian, sorgum, kacang-kacangan, wijen, timun, labu besi disimpan dalam kebo. Sebagai "penguasa" kebo, perempuan Lio dituntut cerdas dan bijak dalam mengatur penggunaannya. Khusus untuk benih, perempuan Lio memberi perhatian khusus. Hasil panen untuk benih disimpan dalam tempat khusus dan terpisah dengan bagian panenan untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Saya masih ingat pada masa kecil dulu melihat mamo (nenek) menyimpan semua benih semisal terung, kacang- kacang, ketimun, labu dalam ruas bambu betho (betung) tua dan kering. Bambu ditutup rapat agar benih tidak rusak diserang lembab. Ketika musim tanam tiba, benih dikeluarkan untuk ditanam. Biasanya diawali dengan upacara adat khusus.

***
KISAH tentang kebo dan peran perempuan Lio sebagai manajer pangan yang andal itu agaknya tinggal kenangan. Ketika menelusuri sejumlah kampung di Lio selatan dan utara pada bulan September dan awal November 2008, saya tak lagi menemukan kebo di kampung dan kebun ladang.

"Eda, kebo lewa sawe do nala," kata Stefanus Eko, paman saya di Kampung Pemo, Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru, pekan lalu. Kebo lewa (hilang) sawe. Eksistensi lumbung pangan sudah lama memudar dan nyaris hilang dari kehidupan masyarakat petani di Lio. Kalaupun masih ada, jumlahnya sangat sedikit dan fungsinya tak lagi sama seperti dulu. Perempuan Lio masa kini tak lagi akrab dengan kebo. Mereka membeli benih di pasar atau toko. Tidak banyak lagi rumah tangga petani yang memiliki benih tanaman pangan sendiri. Peran perempuan Lio bergeser dari penjaga lumbung menjadi pemegang uang. Mereka lebih mudah mendapatkan uang dari menjual komoditi perdagangan hasil tanaman umur panjang seperti kemiri, kakao, cengkeh, vanili atau jambu mete, dan uang dipakai membeli benih. Pengetahuan tentang benih lokal pun sangat minim. Coba tanyakan kepada perempuan dan laki-laki Lio masa kini, saya yakin tak banyak dari mereka yang tahu benih unggul lokal.

Seperti diakui Stefanus Eko dan Firmus Dawa di Watuneso, Kecamatan Lio Timur, ladang ditanami padi, jagung, sorgum dan kacang-kacangan demi kedaulatan pangan keluarga tidak lagi menjadi perhatian utama. Mereka memilih tanaman perdagangan karena hasil lebih baik dan mudah mendapat uang. "Kami cuma buka kebun baru, tanam padi buat urusan adat. Kalau tidak sempat, beras bisa dibeli di pasar," kata Dawa. Ketergantungan petani Lio pada pasokan pangan dari luar sangat tinggi sehingga masuk akal bila eksistensi kebo tidak penting lagi. Benih tanaman pangan lokal yang unggul pun mereka tinggalkan. Dengan enteng mereka berkata, uma leka rega-rega (artinya, kebun sebagai sumber pangan ada di pasar- pasar. Mudah mendapatkannya asal ada uang). Sungguh sebuah "kehilangan" yang besar. Saya kira bukan hanya terjadi di kampung masyarakat Lio. Masyarakat Flobamora umumnya telah kehilangan warisan bernas itu.

Dulu, leluhur kita tak butuh pasar untuk dapat makan dan minum, demi mempertahankan kelangsungan hidup. Sumber makanan bergizi mereka petik dari hasil kebun sendiri. Mereka berdaulat atas isi perut sendiri. Hari ini, kebutuhan pangan sangat bergantung dari pihak lain. Dan, belum tentu pangan yang sehat.

Kembali menata kampung yang berdaulat dalam hal pangan kiranya menjadi pekerjaan rumah siapa saja. Busung lapar dan gizi buruk yang menjadi "bencana tahunan" Flobamora boleh jadi karena kita telah melupakan kebo. Ya, kebo lewa sawe! (dionbata@poskupang.co.id)

SYALOM