Rabu, 22 Oktober 2008

Bis Kayu

Oleh Dion DB Putra

SEBELAS tahun lalu sentilan itu sungguh menusuk. Membuat malu. Menggaruk- garuk gengsi remajaku yang masih segunung. Tetapi di Bolok pekan lalu, beta tak sanggup lagi berdalih. Ada "neraka" di beranda rumah Flobamora.

"Kamu tahu letak neraka? Neraka adalah menumpang 'bis kayu' di Flores," kata seorang misionaris asal Spanyol di salah satu tempat di Timor Timur medio Juli 1997. Sempat menganggap pernyataan itu sekadar guyonan karena dia tahu asalku dari sana. Ternyata pastor itu sungguh-sungguh. Dia merasa sesak napas saat menumpang bis kayu di Flores. "Di dalam bis kayu, saya duduk bersama babi, kambing, ayam, jagung, beras, kelapa, sayur, kayu bakar," kata sang misionaris.

Dan, 'bis kayu' masih ada di Flores. Jumlah tak sebanyak tahun 1997, tetapi keberadaannya belum punah. Dia masih menjadi sarana transportasi andalan yang menerobos jalan desa dan gunung. Masuk sampai ke udik. Mudah ditemukan di pasar mingguan seantero Pulau Flores. Sejatinya bis kayu adalah truk. Truk yang dimodifikasi. Ada tempat duduk dari papan dan beratap. Demi mengatasi hujan dan angin, bis kayu dilengkapi terpal penutup kedua sisinya.

Kata "neraka" kembali mengganggu saat menjemput seorang sahabat yang tiba dari Aimere menggunakan jasa Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Umakalada di Pelabuhan Bolok pekan lalu. "Saya menemukan neraka di geladak Umakalada," kata sahabat itu sambil geleng-geleng kepala.

Dia hendak pulang ke Jawa setelah berlibur di kampung asal istrinya. Tidak mendapat tiket pesawat ke Kupang, menumpang kapal feri jadi pilihan agar bisa kembali sesuai jadwal cuti. "Kecuali toilet, hampir seluruh bagian Umakalada penuh manusia dan barang. Sebagian penumpang duduk di tangga kapal karena tidak ada lagi tempat kosong. Saya cemas selama perjalanan. Tidak nyaman. Sulit tidur. Tapi saya heran, banyak juga penumpang yang bisa tidur nyenyak. Mungkin sudah biasa bagi mereka," katanya sambil tertawa.

Memang tidak mengherankan. Bis kayu dan kapal feri adalah bagian dari keseharian mayoritas penduduk NTT. Tidur di geladak berdekatan dengan kambing, babi, ayam, kuda, sayur, beras, sepeda motor, truk dan mobil adalah hal biasa. Kapal feri yang nyaman masih sebuah cita-cita. Kapal di NTT Asal Lintas Saja dulu. Kenyamanan bukan prioritas. Sudah berulang kali dirilis bahwa feri milik PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) seperti KMP Ile Mandiri, Kambaniru, Ile Ape, Cucut, Balibo, Rokatenda, Mutis dan Uma Kalada usianya sudah tua. Rentan terhadap kecelakaan dan tak mampu memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. NTT pernah membeli kapal sendiri, namun nasibnya tidak jelas sampai sekarang karena salah urus. Lebih lama berlabuh ketimbang berlayar. Mirip kapal-kapalan.

Markus, kawan beta yang anggota Dewan baru-baru ini berkata jujur. Sejak mendapat sapaan Wakil Rakyat yang Terhormat empat tahun silam, dia kikuk dan malu menumpang kapal feri. "Gengsi eja. Biar dana cekak, saya usahakan pakai pesawat. Pinjam pun tak apa," katanya. Bukankah banyak orang seperti Markus? Setelah bertitel "pejabat negara", nyaring berteriak pro rakyat dari ruang kerja ber- AC, jok mobil empuk dan jendela pesawat. Kenyataan di luar sana sekadar dibayang-bayangkan saja. (email: dionbata@poskupang.co.id)

SYALOM