Oleh Sipri Seko
"JANGAN pernah merasa rendah diri kalau makan jagung. Jagung, sama seperti nasi, memiliki kandungan gizi yang sama. Untuk itu, harus sejak sekarang semua orang biasakan diri untuk makan jagung. Jangan nanti setelah terkena penyakit gula dan dokter menyarankan untuk makan jagung baru terkejut dan mulai belajar makan jagung. Kita memang terbentur dengan citra, merasa rendah kalau makan jagung. Namun, sejak sekarang saya mau tegaskan bahwa yang makan beras belum tentu orang hebat dan mereka yang makan jagung bukan orang yang rendah."
Kalimat-kalimat ini terus dikatakan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Lembata, Flores Timur dan Sikka. Akhir pekan lalu, Drs. Frans Lebu Raya melakukan kunjungan kerja di tiga daerah tersebut. Ada banyak peristiwa selama perjalanan dari Kupang, Lewoleba, Ile Ape, Adonara, Larantuka hingga Maumere. Ada cerita kala bertemu dan makan dengan petani, kehujanan, dihantam gelombang di Selat Gemuk-Larantuka maupun rintangan dalam perjalanan Larantuka-Maumere akibat tumbangnya pepohonan yang dihantam hujan badai.
Dari semua kenangan selama perjalanan, yang paling berkesan adalah kampanye menjadikan NTT sebagai propinsi jagung dan koperasi yang dilakukan Drs. Frans Lebu Raya. Tak pernah lelah dan putus-putusnya dia menyebut jagung harus menjadi primadona di NTT. Kepada petani, pejabat pemerintahan hingga wartawan, dia terus mengidolakan jagung.
Dia tahu pasti kalau masyarakat NTT sejak nenek moyangnya sudah menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang tersembul dari wajah Frans Lebu Raya ketika melihat hamparan ribuan hektar jagung warga Laranwutun-Ile Ape, Meting Doeng-Larantuka ataupun di Kewapante-Sikka. Dia yakin, upaya dan kampanyenya tidak akan sia-sia.
"Ada potensi, meski masih dikelola secara tradisional. Artinya, kalau teknologi mulai dari pengolahan lahan, menanam, pemeliharaan sampai panen sudah bisa diterapkan, saya yakin NTT akan menjadi penghasil jagung terbesar di Indonesia. Memang baru tiga kabupaten yang dikunjungi, namun ternyata responsnya sangat positif sehingga saya yakin di daerah lainnya pun sama kondisinya," ujar Lebu Raya.
Motivasi Lebu Raya untuk menjadikan NTT sebagai propinsi jagung ternyata sangat sederhana. Dia ingin mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai makanan pokok saat ini. Selama ini beras harus didatangkan dari luar, padahal NTT memiliki jagung yang berkelimpahan. Selain itu, jagung menjadi primadona di pasar global, karena selain untuk konsumsi, dunia industri membutuhkan stok jagung yang banyak sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol atau sejenis gas pengganti BBM. Di Indonesia, serapan produksi jagung ke industri bioetanol juga mulai meningkat seiring program energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah. Artinya, kalau produksi jagung tidak ditingkatkan, suatu saat perusahaan industri yang menggunakan jagung sebagai bahan baku akan kehabisan.
Lebu Raya mengakui, NTT memiliki potensi jagung cukup besar, namun selama ini hanya habis untuk dimakan. Meski jagung ditanam hanya pada musim hujan saja, itupun hanya sekali setahun, namun jagung tetap berkelimpahan. Sesuai data yang dikeluarkan Pemerintah Propinsi (Pemporp) NTT, pada tahun 2008, luas areal tanaman jagung adalah 297.906 hektar. Luas ini sama dengan tahun 2007, namun meningkat dari sisi produksi. Produktivitas jagung tahun 2008 adalah 26,83 Ku/Ha (meningkat 15,05 persen dari tahun 2007, yakni 23,32 Ku/Ha).
"Harus ditingkatkan lagi. Para penyuluh pertanian harus lebih intensif lagi mendampingi petani. Kelompok-kelompok tani yang ada harus dimaksimalkan dan dimotivasi. Kalau sebelumnya hanya menanam sekali setahun, mereka harus bisa menanam dua atau tiga kali setahun. Atau kalau sebelumnya tidak pakai pupuk, sekarang sudah harus pakai pupuk," tegas Lebu Raya.
Dengan program Anggur Merah-nya, duet pemimpin NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon L Foenay, M.Si, memang menginginkan proses pembangunan lebih berpihak pada masyarakat. Porsi untuk rakyat harus lebih besar. Program pembangunan pun diusahakan harus dimulai dari apa yang dimiliki rakyat. Jagung sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat NTT harus menjadi primadona pendapatan.
Tantangan untuk itu akan berat. Membalikkan kebiasaan hanya menanam sekali setahun butuh komitmen dan keseriusan. Kalau masyarakat bisa diperkuat lewat pendampingan agar bisa meningkatkan produksinya, pertanyaan lanjutannya, bagaimana pemasarannya. Ketersediaan pasar tidak hanya soal kemampuan menjangkaunya, tetapi juga kepastian dan kelayakan harga. Petani bisa saja beralih ke tanaman lain, kalau harga jagung kalah bersaing.
Artinya, ketika pasar dan harga ada kepastian, masyarakat tidak akan sukar lagi diajak menanam jagung. Kondisi alam dan keberadaan masyarakat NTT yang terbiasa menanam jagung, akan memudahkan untuk meminta mereka memproduksi jagung.
Untuk itu, diperlukan strategi-strategi untuk memuluskan program menjadikan NTT sebagai lumbung jagung. Koordinasi dan sinergi program antara propinsi dan kabupaten harus diintensifkan. Kalau sebelumnya program propinsi langsung ke sasaran (petani), kali ini harus lewat (diinformasikan) ke kabupaten. Kelompok-kelompok petani harus terus didampingi penyuluh pertanian. Selain itu, modal para petani harus diperkuat.
Ada contoh penguatan terhadap petani. Kalau untuk mengolah lahan seluas satu hektar petani harus menyewa traktor Rp 1 juta, mengapa para petani tersebut tidak dibelikan traktor? Asumsinya, kalau harga sebuah traktor Rp 25 juta, hanya dalam satu musim dengan mengolah 25 hektar saja, modal pembelian traktor sudah kembali. Namun, bantuan itu harus diberikan kepada kelompok tani agar mudah dikontrol.
Pembelian mesin pengolahan jagung yang dilakukan beberapa kabupaten di NTT seharusnya menjadi motivasi untuk terus mengembangkan jagung. "Kalau suatu saat semua orang sudah punya alat pengolah jagung, maka kita akan kehabisan bahan baku. Untuk itu, tingkatkan produktivitas dan jangan merasa rendah kalau makan jagung," kata Lebu Raya. (bersambung)