Rabu, 16 Maret 2011

Kembalikan Tentara ke Barak

TRAGIS! Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu, meninggal di RS Wirasakti Atambua,  Minggu (13/3/2011). Mali diduga meninggal setelah dianiaya oknum anggota TNI dari  Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB), di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.

Tak cukup sampai di situ. Hari Selasa (15/3/2011), ibu kandung Charles Malli, Modesta Dau meninggal dunia. Modesta Dau sendiri yang mengantar anaknya ke Mayonif 744 untuk dibina, diduga merasa bersalah dan tak tahan melihat jazad anaknya sehingga ikut meninggal dunia.

Harian ini, Selasa (15/3/2011), memuat tentang beberapa perilaku oknum-oknum anggota TNI yang sempat diberitakan. Tragis memang. Jangankan seorang Charles Mali, Romo Bento pun kena hajar dari mereka. Kini, di Atambua,  masyarakat tak tinggal diam dengan tragedi ini.

Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) 744/SYB, Letkol (Inf), Asep Nurdin, mengatakan, tentu ada sebab dan akibat dari kasus itu. Kasus tersebut agar didudukkan sesuai fakta yang sesungguhnya sehingga tidak membias dan tidak saling memojokkan.

Dalam situasi seperti ini, selalu saja ada pihak yang berusaha membenarkan diri. Meski terkadang sudah tahu kesalahan, namun bertamengkan hukum, selalu saja berusaha 'menipiskan' kesalahan yang dibuat. Benar memang bahwa ada oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SBY) yang dikeroyok Charles Mali dkk.

Pertanyaan muncul ketika ada oknum anggota Yonif 744 yang menjemput kedua orangtua Charles Mali (Raymundus Mali dan Modesta Dau) dan memerintahkan keduanya untuk wajib lapor di Pos Tobir. Wajib lapor itu akan berlangsung hingga Charles Mali datang. Ibu Modesta Dau sendiri langsung menyerahkan Charles dan kakaknya Herry Mali ke Pos Tobir dan jaminan dari anggota provost di Pos Tobir bahwa keduanya bersama dengan teman-teman lainnya akan dibina, bukan dihajar sampai meninggal.

Namun apa mau dikata, anak usia belasan tahun tersebut disiksa di markas Yonif 744 hingga meninggal. Sadisnya lagi, Charles malah dipaksa berkelahi dengan Hery Mali, kakaknya. Apa tindakan ini benar? Atau sekadar unjuk kekuatan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri?

Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja.

Masih segar dalam ingatan masyarakat NTT, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melakukan tapak tilas dari Kupang hingga Tobir, Atambua. Presiden SBY ingin mengenang kembali masa-masa saat dia memimpin batalyon ini. Bermalam di tenda Tobir, berulang-ulang orang nomor satu di RI mengatakan bahwa tentara dan rakyat harus bersatu. Tentara hadir di tengah rakyat untuk melindungi mereka, bukan malah menyiksa rakyat. Bila ada kesalahpahaman, biarkan proses hukum yang menyelesaikannya.

Namun, pernyataan pemimpin tertinggi TNI di Indonesia ini mungkin tak berlaku bagi oknum-oknum anggota Batalyon 744 yang menyiksa Charles Mali dkk. Mereka rupanya punya hukum sendiri. Mereka sudah berlaku seperti aparat kepolisian sehingga memerintahkan wajib lapor, memaksa pelaku menyerahkan diri dan malah menyiksa orang.

Padahal, walaupun sakit karena ada rekannya yang dikeroyok, seharusnya mereka menyerahkan penyelesaiannya pada proses hukum di kepolisian. Biarkan aparat kepolisian dengan aturan yang ada memroses para pengeroyok bila mereka benar- benar bersalah. Kalau sudah seperti ini, siapa yang bersalah?

Kita semua tentu tak ingin kasus ini terus berlanjut. Bolehlah ada rasa sakit hati dan dendam yang muncul dari diri. Semua tentu tak ingin disakiti. Namun kita juga ingin kedamaian. Mungkin hari-hari ini rasa sakit hati karena dikeroyok atau sanaknya dianiayai hingga meninggal, namun kita harus tetap mawas diri. Pihak ketiga biasanya dengan mudah masuk dan memperkeruh suasana dengan provokasi murahan, meski kita tahu bahwa kasus ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga penyelesaiannya tidak akan mudah.

Apa yang perlu dilakukan sekarang? Para pimpinan gereja, pemerintah dan tentara harus duduk bersama-sama. Kesepakatan harus diambil. Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut yang bisa menimbulkan efek-efek yang bisa menimbulkan kerawananan sosial. **

Senin, 14 Maret 2011

Warga Atambua Tewas, Danyon Minta Maaf

KOMANDAN dan seluruh anggota Yonif 744/SYB di Atambua, meminta maaf atas tewasnya Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu, Minggu (13/3/2011). Charles Mali meninggal di RSU Wirasakti Atambua setelah dianiaya oknum anggota TNI dari  Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB), Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur.

Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Komandan Bataliyon 744/PSY, Kapten (Inf) Nuryanto, yang dihubungi Pos Kupang Minggu (13/3/2011) malam. "Kami meminta maaf kepada keluarga korban serta masyarakat Atambua atas kejadian itu. Terhadap anggota yang diduga melakukan penganiayaan akan diproses secara hukum," tegas Nuryanto.

Dia mengatakan, pihaknya sudah menyerahkan tujuh anggotanya yang diduga terlibat dalam pengiayaan itu kepada Sub Denpom Atambua untuk diproses secara hukum.

Pihak Yonif 744/PSY, kata Nuryanto, juga sudah melakukan pertemuan dengan keluarga korban yang difasilitasi pemerintah Kabupaten Belu yang dihadiri Assiten II Setda Kabupaten Belu. Pihak Yonif,  lanjutnya, akan menanggung proses pengobatan enam korban lain yang masih dirawat dan pemakaman Charles Mali.  "Sekali lagi kami mohon maaf. Para anggota itu pasti akan ditindak," tegasnya.

Keterangan yang dihimpun  Pos Kupang di Atambua, Minggu (13/3/2011), menyebutkan, Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Minggu (13/3/2011), tewas setelah  dianiaya oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SYB).  Korban dianiaya bersama enam rekan lainnya di Markas Yonif 744/SYB hingga sekarat dan sempat dilarikan ke Rumah Sakit Wirasakti, Atambua untuk mendapatkan perawatan medis, namun nyawa korban tidak tertolong. Penyebab kasus penganiayaan tersebut hingga kini masih simpang siur.

Menurut keterangan yang diperoleh, kasus penganiayaan terhadap Charles dan enam rekannya itu merupakan puncak dari salah paham dengan oknum anggota Yonif 744/SBY tanggal 5 Maret 2011. Diduga korban dan rekan-rekannya pernah mengganggu istri salah satu anggota TNI Yonif 744/SYB.

Karena kesal, istri anggota TNI itu melaporkan suaminya. Sejak kejadian itu, korban bersama rekan-rekannya menjadi incaran oknum TNI Yonif 744/SYB. Karena takut, korban dan rekan-rekannya menghilang sehingga orangtua para korban dijemput paksa sebagai jaminan sebelum korban dan rekan-rekannya menyerahkan diri ke Markas Yonif 744/SYB.

Sejak tanggal 5 Maret 2011, para orangtua korban dan rekan-rekannya melaporkan diri sejak pagi hari dan baru diperbolehkan pulang sekitar pukul 17.00 Wita dan tidak diberi makan. Para orangtua kemudian meminta korban dan rekan-rekannya agar menyerahkan diri secara baik-baik karena ada jaminan dari pihak TNI bahwa  mereka tidak diapa-apakan.

Namun, saat korban dan rekan-rekannya sudah berada di Mako Yonif 744/SYB, justru mereka dikeroyok oknum TNI hingga sekarat dan dibawa ke Rumah Sakit Wirasakti, Atambua. Korban Charles mengalami luka cukup serius sehingga nyawanya tidak dapat tertolong, sementara enam rekannya yang lain hingga kini masih dalam perawatan medis.

Secara terpisah keluarga korban tewas, Romo Leo Mali, Pr, ketika dikonfirmasi Pos Kupang, Minggu malam, menyayangkan kasus yang menimpa keponakan kandungnya itu. Romo Leo mengutuk oknum TNI yang menganiaya korban hingga tewas dan dia meminta pelaku supaya diambil tindakan tegas.

"Atas nama keluarga korban kami meminta petinggi TNI untuk mengambil sikap tegas terhadap kasus penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia ini. Bagaimanapun setiap kasus apa pun jenisnya harus diselesaikan secara akal sehat dan bukan dengan cara menganiaya hingga tewas. Keluarga korban akan menggelar musyawarah bersama dan segera mengambil sikap resmi meminta pertanggungjawaban terhadap kasus yang menimpa anak kami ini," tegas Romo Leo.

Kerabat korban, Charles Mali lainnya, Albert Mali, menambahkan, keluarga sudah bersepakat untuk mengawal kasus ini hingga diproses sesuai hukum yang berlaku. Untuk menjaga situasi yang tidak diinginkan, kata Albert, para orangtua di wilayah Fatubenao meminta para pemuda untuk menahan diri agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

"Situasi di Fatubenao aman dan kondusif. Para pemuda Fatubenao memang sudah diarahkan keluarga untuk menahan diri atas kejadian ini. Keluarga sudah menyerahkan penanganan kasus ini ke POM Atambua untuk diproses sesuai hukum yang berlaku," kata Direktur Atambua Corruption Watch (ACW) ini.

Secara terpisah, Komandan Batalyon Infanteri (Danyon) 744/SYB, Letkol (Inf) Asep Nurdin, ketika dikonfirmasi Pos Kupang mengaku sedang berada di Bandung mengikuti kegiatan dinas. Nurdin mengaku belum mengetahui secara jelas kronologi kasus yang dilakukan oknum anak buahnya itu.  "Maaf, saya ada di Bandung dan belum mendapatkan kronologi kasus itu. Saya baru rencana besok (Senin, 14/3/2011, Red) pulang ke Atambua," kata Nurdin dari balik telepon genggamnya.

Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez,  meminta Danyon 744 untuk memroses tuntas kasus yang dilakukan oknum anggota TNI itu. Bupati juga akan menyampaikan kepada danrem agar kasus ini diproses sesuai hukum yang berlaku.

Kepada keluarga korban dan seluruh warga Belu, Bupati Lopez meminta menahan diri dan tidak terpancing atau reaksi. Dia meminta semua pihak agar menyerahkan proses ini pada institusi yang berwenang untuk memrosesnya. (www.pos- kupang.com)

Kera Putih di Nausus

Oleh Sipri Seko

DOKTOR
Dikdik Jafar, M.Pd, Dosen FPOK UPI Bandung, yang juga adalah Sport Direktor SEA Games KONI/KOI tak ingin melepaskan moment langka di depan matanya. Kameranya terus diarahkan ke puncak Fatu (Batu) Nausus di Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, akhir Desember 2010 lalu.

Dia ingin merekam secara utuh tiga ekor kera putih yang yang tiba-tiba muncul di puncak Fatu Nausus. Meski nampak begitu kecil di puncak batu marmer setinggi lebih dari 100 meter tersebut, namun saya dan beberapa anggota rombongan, Ary Moelyadi (Kabid Keolahragaan Dinas PPO NTT), George Mella (Ketua Umum PASI TTS), Ferry Meko (Ketua Harian PASI TTS), para pelatih dan atlet atletik tertegun melihat fenomena itu.

"Kera Putih ini tidak sembarang ke luar. Hanya orang yang beruntung saja yang bisa melihat kera putih ini. Menurut kepercayaan di sini kalau kera putih muncul itu pertanda baik. Mungkin orang yang melihatnya akan mendapat rezeki dan lainnya," ujar seorang pemuda asal daerah itu, Buce Oematan.

Kera putih di atas Fatu Nausus menyimpan banyak cerita di daerah tersebut. Ada yang menyebut mereka sebagai jelmaan nenek moyang yang muncul bila ada tamu datang. Ada juga yang menyebut mereka sebagai penjaga alam dan beragam cerita mistis lainnya. Kera putih juga diceritakan akan murka bila Fatu Nausus ditambang menjadi marmer. Ada benarnya. Sebuah perusahaan penambangan dari luar NTT yang beberapa waktu lalu hendak menambang batu tersebut terpaksa harus menghentikan aktivitasnya. Hujan angin dan badai tiba-tiba datang bila mereka memaksa untuk melakukan penambangan.

Fatu Nausus dan batu-batu lainnya yang ada di daerah tersebut sejak dahulu oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai tempat tinggal nenek moyangnya. Di situ juga merupakan tempat bagi beberapa marga seperti Lassa, Banoet, Seko, Sunbanu, Tafui, Toto, Tanesib, Bnani dan lainnya untuk menyimpan harta kekayaannya. Kepercayaan itu terus dipegang hingga saat ini dimana masyarakat setempat masih yakin bahwa harta benda nenek moyang mereka masih tersimpan aman di Fatu Nausus.

Indahnya panorama dan kekayaan alam di tempat kelahiran orang tua saya tersebut memunculkan beragam tanya dalam benak. Sulit untuk diungkapkan, namun terus berkecamuk. Kekayaan alam berupa batu marmer membuat masyarakat terpecah. Ada yang pro penambangan, namun ada yang menolaknya. "Masyarakat butuh perubahan jadi kekayaan alam yang ada harus dieksploitasi." Namun ada yang bilang, "Ingat, alam untuk masa depan anak cucu."

Hati terasa pedih! Sebuah batu yang jaraknya tak lebih dari 100 meter dari areal pekuburan nenek moyang saya di Desa Tunua kini sudah rata dengan tanah. Keinginan melihat kera-kera bergantingan di dinding-dinding baru seperti masa kecil dulu tak kesampaian. Mungkinkah ini terus berlanjut hingga ada kera putih yang muncul kemudian murka mengutuk mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya?

Namun saya sedikit terhibur ketika Dr. Dikdik merekomendasikan daerah Fautkolen sangat cocok sebagai lokasi pemusatan latihan cabang atletik. "Daerah ini sangat cocok untuk pemusatan latihan. Suhunya lebih bagus dari Pangalengan, Jawa Barat," ujarnya.

Kampungku..! Haruskah Kera Putih muncul lagi agar kamu diberkati? **

SYALOM