TRAGIS! Charles Mali, warga Kelurahan Fatubenao, Kecamatan Kota Atambua, Belu, meninggal di RS Wirasakti Atambua, Minggu (13/3/2011). Mali diduga meninggal setelah dianiaya oknum anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 744/Satya Yudha Bakti (SYB), di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Belu.
Tak cukup sampai di situ. Hari Selasa (15/3/2011), ibu kandung Charles Malli, Modesta Dau meninggal dunia. Modesta Dau sendiri yang mengantar anaknya ke Mayonif 744 untuk dibina, diduga merasa bersalah dan tak tahan melihat jazad anaknya sehingga ikut meninggal dunia.
Harian ini, Selasa (15/3/2011), memuat tentang beberapa perilaku oknum-oknum anggota TNI yang sempat diberitakan. Tragis memang. Jangankan seorang Charles Mali, Romo Bento pun kena hajar dari mereka. Kini, di Atambua, masyarakat tak tinggal diam dengan tragedi ini.
Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) 744/SYB, Letkol (Inf), Asep Nurdin, mengatakan, tentu ada sebab dan akibat dari kasus itu. Kasus tersebut agar didudukkan sesuai fakta yang sesungguhnya sehingga tidak membias dan tidak saling memojokkan.
Dalam situasi seperti ini, selalu saja ada pihak yang berusaha membenarkan diri. Meski terkadang sudah tahu kesalahan, namun bertamengkan hukum, selalu saja berusaha 'menipiskan' kesalahan yang dibuat. Benar memang bahwa ada oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SBY) yang dikeroyok Charles Mali dkk.
Pertanyaan muncul ketika ada oknum anggota Yonif 744 yang menjemput kedua orangtua Charles Mali (Raymundus Mali dan Modesta Dau) dan memerintahkan keduanya untuk wajib lapor di Pos Tobir. Wajib lapor itu akan berlangsung hingga Charles Mali datang. Ibu Modesta Dau sendiri langsung menyerahkan Charles dan kakaknya Herry Mali ke Pos Tobir dan jaminan dari anggota provost di Pos Tobir bahwa keduanya bersama dengan teman-teman lainnya akan dibina, bukan dihajar sampai meninggal.
Namun apa mau dikata, anak usia belasan tahun tersebut disiksa di markas Yonif 744 hingga meninggal. Sadisnya lagi, Charles malah dipaksa berkelahi dengan Hery Mali, kakaknya. Apa tindakan ini benar? Atau sekadar unjuk kekuatan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri?
Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja.
Masih segar dalam ingatan masyarakat NTT, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melakukan tapak tilas dari Kupang hingga Tobir, Atambua. Presiden SBY ingin mengenang kembali masa-masa saat dia memimpin batalyon ini. Bermalam di tenda Tobir, berulang-ulang orang nomor satu di RI mengatakan bahwa tentara dan rakyat harus bersatu. Tentara hadir di tengah rakyat untuk melindungi mereka, bukan malah menyiksa rakyat. Bila ada kesalahpahaman, biarkan proses hukum yang menyelesaikannya.
Namun, pernyataan pemimpin tertinggi TNI di Indonesia ini mungkin tak berlaku bagi oknum-oknum anggota Batalyon 744 yang menyiksa Charles Mali dkk. Mereka rupanya punya hukum sendiri. Mereka sudah berlaku seperti aparat kepolisian sehingga memerintahkan wajib lapor, memaksa pelaku menyerahkan diri dan malah menyiksa orang.
Padahal, walaupun sakit karena ada rekannya yang dikeroyok, seharusnya mereka menyerahkan penyelesaiannya pada proses hukum di kepolisian. Biarkan aparat kepolisian dengan aturan yang ada memroses para pengeroyok bila mereka benar- benar bersalah. Kalau sudah seperti ini, siapa yang bersalah?
Kita semua tentu tak ingin kasus ini terus berlanjut. Bolehlah ada rasa sakit hati dan dendam yang muncul dari diri. Semua tentu tak ingin disakiti. Namun kita juga ingin kedamaian. Mungkin hari-hari ini rasa sakit hati karena dikeroyok atau sanaknya dianiayai hingga meninggal, namun kita harus tetap mawas diri. Pihak ketiga biasanya dengan mudah masuk dan memperkeruh suasana dengan provokasi murahan, meski kita tahu bahwa kasus ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga penyelesaiannya tidak akan mudah.
Apa yang perlu dilakukan sekarang? Para pimpinan gereja, pemerintah dan tentara harus duduk bersama-sama. Kesepakatan harus diambil. Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut yang bisa menimbulkan efek-efek yang bisa menimbulkan kerawananan sosial. **
Tak cukup sampai di situ. Hari Selasa (15/3/2011), ibu kandung Charles Malli, Modesta Dau meninggal dunia. Modesta Dau sendiri yang mengantar anaknya ke Mayonif 744 untuk dibina, diduga merasa bersalah dan tak tahan melihat jazad anaknya sehingga ikut meninggal dunia.
Harian ini, Selasa (15/3/2011), memuat tentang beberapa perilaku oknum-oknum anggota TNI yang sempat diberitakan. Tragis memang. Jangankan seorang Charles Mali, Romo Bento pun kena hajar dari mereka. Kini, di Atambua, masyarakat tak tinggal diam dengan tragedi ini.
Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) 744/SYB, Letkol (Inf), Asep Nurdin, mengatakan, tentu ada sebab dan akibat dari kasus itu. Kasus tersebut agar didudukkan sesuai fakta yang sesungguhnya sehingga tidak membias dan tidak saling memojokkan.
Dalam situasi seperti ini, selalu saja ada pihak yang berusaha membenarkan diri. Meski terkadang sudah tahu kesalahan, namun bertamengkan hukum, selalu saja berusaha 'menipiskan' kesalahan yang dibuat. Benar memang bahwa ada oknum anggota Yonif 744/Satya Yudha Bakti (SBY) yang dikeroyok Charles Mali dkk.
Pertanyaan muncul ketika ada oknum anggota Yonif 744 yang menjemput kedua orangtua Charles Mali (Raymundus Mali dan Modesta Dau) dan memerintahkan keduanya untuk wajib lapor di Pos Tobir. Wajib lapor itu akan berlangsung hingga Charles Mali datang. Ibu Modesta Dau sendiri langsung menyerahkan Charles dan kakaknya Herry Mali ke Pos Tobir dan jaminan dari anggota provost di Pos Tobir bahwa keduanya bersama dengan teman-teman lainnya akan dibina, bukan dihajar sampai meninggal.
Namun apa mau dikata, anak usia belasan tahun tersebut disiksa di markas Yonif 744 hingga meninggal. Sadisnya lagi, Charles malah dipaksa berkelahi dengan Hery Mali, kakaknya. Apa tindakan ini benar? Atau sekadar unjuk kekuatan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri?
Salah satu agenda reformasi yang ternyata belum total dijalankan adalah mengembalikan tentara ke barak. Tentara ke luar dari barak kalau ada perang. Kalau tidak ada perang biarkan mereka berdiam diri di barak. Malah, saat era reformasi sedang panas-panasnya didengungkan, ada beberapa ormas dan OKP malah mengusulkan agar tentara dibubarkan saja.
Masih segar dalam ingatan masyarakat NTT, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melakukan tapak tilas dari Kupang hingga Tobir, Atambua. Presiden SBY ingin mengenang kembali masa-masa saat dia memimpin batalyon ini. Bermalam di tenda Tobir, berulang-ulang orang nomor satu di RI mengatakan bahwa tentara dan rakyat harus bersatu. Tentara hadir di tengah rakyat untuk melindungi mereka, bukan malah menyiksa rakyat. Bila ada kesalahpahaman, biarkan proses hukum yang menyelesaikannya.
Namun, pernyataan pemimpin tertinggi TNI di Indonesia ini mungkin tak berlaku bagi oknum-oknum anggota Batalyon 744 yang menyiksa Charles Mali dkk. Mereka rupanya punya hukum sendiri. Mereka sudah berlaku seperti aparat kepolisian sehingga memerintahkan wajib lapor, memaksa pelaku menyerahkan diri dan malah menyiksa orang.
Padahal, walaupun sakit karena ada rekannya yang dikeroyok, seharusnya mereka menyerahkan penyelesaiannya pada proses hukum di kepolisian. Biarkan aparat kepolisian dengan aturan yang ada memroses para pengeroyok bila mereka benar- benar bersalah. Kalau sudah seperti ini, siapa yang bersalah?
Kita semua tentu tak ingin kasus ini terus berlanjut. Bolehlah ada rasa sakit hati dan dendam yang muncul dari diri. Semua tentu tak ingin disakiti. Namun kita juga ingin kedamaian. Mungkin hari-hari ini rasa sakit hati karena dikeroyok atau sanaknya dianiayai hingga meninggal, namun kita harus tetap mawas diri. Pihak ketiga biasanya dengan mudah masuk dan memperkeruh suasana dengan provokasi murahan, meski kita tahu bahwa kasus ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga penyelesaiannya tidak akan mudah.
Apa yang perlu dilakukan sekarang? Para pimpinan gereja, pemerintah dan tentara harus duduk bersama-sama. Kesepakatan harus diambil. Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut yang bisa menimbulkan efek-efek yang bisa menimbulkan kerawananan sosial. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar