Rabu, 12 Maret 2014

Pesta Wisuda Berakhir Maut

 
ADA tri sukses tak tertulis yang sangat terkenal di kalangan anak kampus. Sukses organisasi, sukses kuliah dan sukses dalam percintaan. Kalau ketiganya berhasil diperoleh, semua terasa indah dan sempurna. Hal ini terbawa hingga saat ini. Kesuksesan yang diraih selalu dirayakan. Pesta saat wisuda menjadi pelengkap kesempurnaan prestasi. Sayangnya, sukacita yang diluapkan lewat pesta wisuda ini sering menjadi awal malapetaka. Minuman keras menjadi salah satu penyebabnya.


Sudah berulangkali, pesta wisuda yang digelar di Kupang berujung perkelahian. Saling serang antarkelompok, perkelahian, hingga berujung maut atau kematian. Setelah ditelusuri, awalnya hanya dari karena konsumsi minuman keras (miras) yang berlebihan.

Hal ini tentu sangat disayangkan. Bukan hanya karena terjadi perkelahian atau tawuran tetapi juga karena kejadian itu terjadi di pesta seorang yang sudah masuk dalam kalangan masyarakat berpendidikan tinggi. Seorang intelek, terpelajar yang disiapkan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Lalu, kalau ini sudah terjadi, siapa yang mesti disalahkan?

Tak semua orang bisa meraih gelar sarjana. Tak semua orang bisa memakai toga wisuda. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan yang tak bisa diraih semua orang. Sekali dalam hidup. Dan, itu merupakan sebuah capaian dari tri sukses aktivis kampus yang tak tertulis. Bagaimana caranya agar kejadian seperti ini tak terulang lagi? Tampaknya sulit untuk dihentikan. Kalangan kampus, termasuk pemerintah, juga tampaknya sulit untuk menghentikannya. Namun, paling tidak, harus ada intervensi dari kampus dan pemerintah. Sosialisasi kepada masyarakat akan efek negatif dari konsumsi miras berlebihan harus terus dilakukan. Hal ini agar minimal bisa menyadarkan masyarakat bahwa pengaruh miras sangat tidak bagus.

Mungkin salah satu yang penting disadari oleh masyarakat adalah bahwa sang wisudawan ingin agar ungkapan kebahagiaan lewat pesta karena meraih gelar sarjana itu berakhir manis. Dia tentu tak ingin pesta menjadi petaka bagi dirinya ataupun orang lain. Kita, sebagai yang diundang pun, harus tahu dan memiliki rasa malu kalau membuat keributan di pestanya orang.

Apa untungnya konsumsi miras kalau hanya menimbulkan petaka. Miras yang sudah membudaya tampaknya masih sukar dilarang saat pesta. Tapi, miras hendaknya menambah kegembiraan, bukannya membawa maut atau petaka. *

Sabtu, 15 Februari 2014

Menghentikan Perilaku Salah Mahasiwa

MENURUT Wikipedia Indonesia, arti dari mahasiswa atau mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Mahasiswa adalah suatu kata yang tersusun dari kata "maha" dan "siswa". Kata maha di sini diartikan sesuatu yang lebih tinggi tingkatannya atau tidak merasa cukup, se
dangkan siswa sendiri adalah pelajar atau seorang yang menunutut ilmu.

Era reformasi dalam sejarah bangsa Indonesia tak bisa lepas begitu saja dari mahasiswa. Serentak di seluruh Indonesia, mahasiswa membuat gerakan. Orde baru tumbang. Rezim itu diganti dengan orde reformasi. Mahasiswa kemudian disebut sebagai salah satu agen perubahan. Mahasiswa ikut melakukan kontrol dan pengawasan terhadap berbagai aspek pembangunan. Bila ada yang janggal, mahasiswa selalu di depan membuka ruang dialog hingga menggelar aksi demo.

Itu idealnya. Ada mahasiswa yang seperti itu, namun ada juga yang kebablasan. Tawuran antar-mahasiswa. Perselingkuhan, aborsi dan perbuatan amoral lainnya. Dan, hal itu sudah terjadi di Propinsi NTT. Terakhir yang terjadi adalah keterlibatan dua oknum mahasiswa pada perguruan tinggi di Kupang terlibat penyelundupan sepeda motor ke Negara Timor Leste.

Entah apa penyebabnya, kedua oknum mahasiswa ini sudah lama terlibat dalam sebuah sindikat pencurian. Bahkan, keduanya disebut-sebut merupakan otak dari beberapa aksi pencurian. Hal ini sungguh ironis. Dari status mereka sebagai mahasiswa seharusnya hal ini tidak perlu terjadi. Faktor ekonomi, tidak mungkin. Keduanya disebut-sebut dari kalangan keluarga mampu. Gaya hidup, moral atau pengaruh lingkungan, mungkin itu penyebabnya.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi pengelola perguruan tinggi di Propinsi NTT. Pendidikan tinggi, kiranya tidak cukup untuk membentuk moral seseorang menjadi baik. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak menjadi mahasiswa baru juga ternyata tidak mempan. Mungkin ini disebabkan kebebasan berekspresi yang tidak terkontrol. Kebebasan yang dibiarkan sehingga terus dilakukan tanpa pengawasan.

Akhirnya kebablasan yang kemudian menjerumuskannya dalam dunia yang bertolak belakang dari status mahasiswa yang disandangnya. Apakah kita hanya menonton dan membiarkan ini terus terjadi. Hari ini pencurian motor, besok aborsi, berikutnya peselingkuhan. Pekan depannya lagi terlibat dalam peredaran dan pemakaian narkoba. Sudah saatnya ada aksi untuk menghentikan perilaku ini. Sama seperti ketika mereformasi pemerintahan di Indonesia, mahasiswa akan tetap menjadi sorotan. *

Jumat, 07 Februari 2014

Pemain Timnas Lahir dari Timdes

Oleh Johni Lumba


YABES Roni Malaifani adalah salah seorang pemain sepakbola Tim Nasional (Timnas) U-19 asal Kabupaten Alor, Provinsi NTT yang desanya tidak ada di dalam peta, demikian kata Indra Sjafri saat bertemu dengan salah seorang anggota dewan di Jakarta baru-baru ini. Kehadiran Indra semata-mata meminta dukungan para wakil rakyak tersebut agar membantu menyelenggarakan pertandingan di desa karena para pemain sepakbola yang hebat kebanyakan berasal dari desa (Timdes). Sebagai contoh, kata Indra, Yabes Roni Malaifani adalah Putra Alor asal NTT yang secara nasional melalui peta desanya tidak terlihat dan terbaca, tetapi dari situlah lahir seorang pemain yang kini menempati Timnas U-19. Untuk itu menurut Indra sudah saatnya bersama-sama mencari pemain sepakbola dengan menyelenggarakan turnamen antar desa atau kampung di seluruh Indonesia.

Keberhasilan Indra Sjafri dalam mencari pemain sepakbola U-19 sudah terbukti dengan melakukan seleksi menggunakan sistem tour ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, termasuk NTT. Teknik talent scouting dengan IPTEK Jalanan itulah Indra mendapatkan salah satu pemain Timnas U-19 asal Alor yang tidak pernah dipikirkan oleh semua pelatih bahkan masyarakat NTT. Ternyata para pemain sepakbola asal NTT juga bisa tetapi pengelolaan dan pelatihan di klub serta kualitas pelatih dan pendekatan emosional dengan klub-klub dan pelatih-pelatih di luar NTT itulah yang lemah dan kurang. Ternyata mutiara-mutiara HITAM asal NTT berasal dari desa-desa di seluruh wilayah FLOBAMORA.

Kondisi seperti ini sebenarnya membuka mata seluruh pelatih/pembina dan masyarakat pecinta bola untuk melihat bahwa sebenarnya talenta-talenta pemain muncul dari pertandingan sepakbola antar desa, dan sudah saatnya para Kepala desa diberikan perhatian lebih untuk melaksanakan pertandingan antar desa, sehingga pernyataan Indra Sjafri yang dibuktikan dengan kehadiran Yabes di Timnas tidak diragukan lagi.

Bupati Ngada, Marianus Sae, telah membuktikan sebuah sistem pertandingan antardesa. Menurut informasi saat saya berada di Bajawa bahwa ketika ada acara pelantikan kepala desa di seluruh wilayah Ngada, maka bupati selalu membawa tim sepakbola dengan para pemain berstatus pejabat untuk bertanding dengan pejabat-pejabat di desa, mungkin inilah langkah awal agar ke depan bukan lagi bupati dengan para pejabat yang bertandingan tetapi bupati dan tim bertanding dengan para pemain-pemain usia remaja, sehingga akan muncul pemain-pemain berbakat dari desa yang berada di wilayah Bajawa bahkan diharapkan ke depan para bupati dan walikota se-Provinsi NTT menyiapkan dana untuk mengadakan pertandingan di setiap desa untuk mencari bibit-bibit pemain sepakbola potensial seperti Yabes.

Kehadiran Indra Sjafri di NTT ketika mendapatkan Yabes melalui seleksi IPTEK JALANAN memberikan angin segar bagi masyarakat NTT karena Yabes menunjukkan kualitasnya dengan mencetak gol, dan saat itulah Yabes membuka tabir sepakbola Indonesia bahwa ternyata NTT juga bisa. Pelajaran berharga dari Indra Sjafri buat semua pelatih, pengelola olahraga di NTT dan Indonesia bahwa untuk mencari atlet atau pemain berbakat di setiap cabang olahraga mulailah berawal dari turnamen/kompetisi atau pertandingan di setiap desa yang biasa di sebut Tarung Antar Kampung (TARKAM).

TARKAM memberikan pelajaran berharga bagi setiap kita bahwa talenta-talenta atlet sebenarnya berasal dari desa ketika keadaan fisik, teknik, taktik dan mental yang alamiah mereka miliki dan belum terkontaminasi pola kehidupan perkotaan yang penuh dengan berbagai macam pengaruh seperti gaya hidup, pola makan, pergaulan dan berbagai aspek yang muncul secara karbitan. Faktor geografi dan topografi serta budaya kehidupan dan pergaulan di desa turut menentukkan alamiahnya aspek motorik, psikologi, biomekanika, fisiologi, anatomi dan antropometrik para atlet. Semua aspek fisik dan non fisik sudah terjadi adaptasi sehingga dari sisi kualitas para pemain yang masih bersifat alamiah di poles dengan sentulan IPTEKS akan membuat pemain atau atlet tersebut menjadi modern dengan cabang olahraga yang ditekuni.

Pemain-pemain yang berasal dari TIMDES (tim desa) tentu mereka akan bermain secara alamiah yang notabene masih kehilangan sentulan IPTEK, namun naluri manusia yang ada dalam diri seorang pelatih (coach) yang memiliki Indra dan pelatih-pelatih lainnya yang di sebut indra ke-enam akan menjadi modern seperti yang dilakukan oleh Indra Sjafri kepada YABES melalui seleksi dengan pendekatan IPTEK JALANAN.

Tidak seorangpun tahu bahwa satu saat Yabes akan mengharumkan nama Alor dan NTT di level nasional jika Indra Sjafri tidak pernah datang ke bumi Flobamora untuk mencari pemain-pemain berbakat. YABES telah menjadi bukti bukan angan-angan saja kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya para pelatih di NTT bahwa untuk mendapatkan pemain atau atlet-atlet usia dini yang berbakat sebaiknya harus mengorbankan tenaga dan biaya untuk turun ke desa-desa di seluruh pelosok Flobamora sebab banyak talenta-talenta brilian yang terpendam. Sebagai pemain atau atlet untuk seluruh cabang super prioritas, prioritas, dikembangkan dan ditingkatkan yang jika dicari, digali, ditemukan, dibuat dan dipoles akan mencari permata yang memiliki makna ganda yaitu mengharumkan nama pribadi dan keluarga, serta nama daerah dan bangsa di level dunia.

Saatnya kita jangan lagi saling menyalahkan tetapi bersatu dengan tekad mengangkat harkat dan martabat masyarakat NTT ke level nasional dan internasional dengan mengesampingkan seluruh kepeningan pribadi dan golongan sambil membawa panji olahraga dengan Tekad PRESTASI yang di mulai dari proses talent scouting menggunakan IPTEK Jalanan yang berawal dengan melaksanakan atau membuat pertandingan antar desa disinilah letak keberhasilan kita untuk menjawab apa yang dikatakan oleh pelatih Timnas U-19 Indra Sjafri bahwa YABES RONI MALAIFANI lahir dari desa yang jika di lihat di PETA Indonesia desanya tidak terlihat. Ini sentuhan halus tetapi sangat membantu dan memotivasi seluruh masyarakat NTT dan Indonesia sebab prestasi itu akan ada jika belum adanya kontaminasi dari berbagai aspek kepada para pemain/atlet pemula. Terima kasih buat coach Indra Sjafri NTT akan selalu mengenang pola dan kemungkinan besar mengadopsi yang sudah di tunjukkan semoga bisa dilaksanakan.

Saatnya kita semua meninggalkan sikap saling menjatuhkan, melecehkan, menghina dan menjelekkan satu dengan yang lain. Perbedaan suku, agama, kemampuan dan kompetinsi itulah anugrah Tuhan, gunakanlah itu sebagai sebuah kekuatan untuk membangun NTT menjadi provinsi yang kuat, hebat, bisa dan gudang atlet.

Untuk membangun olahraga di NTT tidak mesti kita harus jadi pemimpin, apapun juga status kita itulah tanggung jawab besar kita sebagai warga NTT untuk membangun daerah ini lebih baik, kalau bukan kita sebagai masyarakat yang mencintai NTT? Siapa lagi dan kalau bukan sekarang ini kapan lagi. (Pengamat Sepakbola)

Selasa, 04 Februari 2014

Menata Pantai Kupang yang Kamomos

EMPAT ekor babi kampung, asyik mengerubuti sesuatu di pantai pagi itu. Babi-babi yang kotor berlumpur ini tak peduli dengan lalu lalang kendaraan maupun nelayan di antara Pantai Oesapa dan Nunsui.

Babi-babi ini nampak berebutan dengan lima ekor kambing dan beberapa ekor anjing untuk mendapatkan santapan 'nikmat' di antara bau sampah yang bertebaran di pantai. Hal ini sudah menjadi 'kelakuan' dan pandangan lumrah di sana. Pantai kotor dan bau, menjadi pemandangan 'biasa' beberapa titik pantai di Kota Kupang.

Lihat saja kondisi pantai di Namosain, Nunbaun Sabu, Fatubesi dan Oesapa yang merupakan daerah permukiman. Pantainya sangat jorok dan kotor. Sehari saja hujan, kawasan pantai menjadi kotor dan sangat jorok. Limbah rumah tangga dibawa banjir langsung ke laut. Gelombang besar akibat cuaca yang buruk, 'menolak' sampah-sampah itu sehingga kembali ke pantai. Akibatnya, pantai menjadi kotor dan jorok.

Kota Kupang, dikenal sebagai salah satu kota pantai di Indonesia. Pantainya membentang lebih kurang 25 km, mulai dari Kelurahan Alak hingga Lasiana. Pantai putihnya yang indah ditambah karang yang terjal di beberapa bagian, menampilikan keindahan yang tiada duanya.

Selain Lasiana yang sudah lama menjadi obyek wisata, di beberapa bagian, seperti Tedys, Ketapang Satu, Pasir Panjang, Paradiso, Nunsui dan Batunona, saat ini sudah mulai ditata menjadi obyek wisata. Beberapa fasilitas pendukung seperti lopo, tempat duduk dan tembok mulai dibangun. Memang, meski  masih terkesan asal dibangun tanpa penataan lanjutan, namun sudah nampak ada kepedulian terhadap potensi wisata yang ada.

Ketika munculnya kebijakan Pemerintah Kota Kupang untuk mengeluarkan izin pembangunan sejumlah hotel di kawasan pantai, ada kekhawatiran bahwa pantai Kota Kupang akan hilang. Tak akan ada lagi lautan dan pasir putih yang nampak, karena semuanya sudah menjadi milik gedung hotel.

Pembangunan jalan dan talud sepanjang pantai yang dilakukan berjalan cukup baik. Dari jalan ini, kita bisa menikmati keindahan pantai dan lautan dengan leluasa. Namun, sayangnya pantai di  Kota Kupang belum menjadi tempat yang nyaman untuk pemandian.

Yang lebih memprihatinkan adalah, tak ada satupun yang peduli dengan kondisi ini. Masyarakat yang tinggal di sana, melihat sampah ini sebagai hal biasa. Bahkan, beberapa oknum warga di antaranya terus membuang sampah bahkan buang air besar (BAB) di sana.

Kita harus mengakui, bahwa pantai di Kota Kupang masih dinikmati sendiri. Belum ada pemasukan bagi daerah yang signifikan. Belum ada turis asing yang mau betah dan berlama-lama mandi di pantai Kupang seperti di daerah lainnya. Yang ada hanya sekelompok warga yang membangun tenda-tenda darurat untuk menjual ikan hasil tangkapan, maupun jasa ikan bakar.

Di Pantai Nunsui, misalnya sudah dibangun tempat karaoke dan fasilitas bermain bagi anak. Hal ini sudah cukup bagus. Namun, sebenarnya kita ingin lebih dari itu. Kita tentu tak mau hanya menikmati keindahan alam yang tidak ada di daerah lain sendiri tanpa memberikan kontribusi yang berarti dan berkesinambungan.

Beberapa warga Fatubesi, Oesapa dan Nunsui, yang ditemui, mengaku sampah di pantai tidak hanya ada pada musim hujan. "Di sini, orang buang sampah sembarangan di pantai. Ada yang bahkan tidak ada WC sehingga BAB langsung di pantai," ungkap Jhoni, seorang warga Oesapa.

Lain halnya dengan Dian, warga Nunsui. Menurutnya, turis asing sering mengunjungi tempat itu. Namun tidak seperti di daerah lainnya, dimana mereka mandi atau berendam di laut. "Biasanya datang dan kalau liat pantai kotor, langsung pulang. Ada yang duduk dan minum bir, tapi tidak lama," ujar Dian.

Kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan. Kita memiliki potensi yang bisa mensejahterakan rakyat. Pemerintah, masyarakat dan organisasi terkait harus duduk bersama untuk membicarakannya lebih mendalam.

Pantai Kupang yang membentang panjang, menawarkan keindahan yang tidak dimiliki tempat lain. Tawarkan ini kepada para tamu. Buatlah mereka betah dan mau berlama-lama di Kupang karena keindahan pantainya. Mungkinkah? **

Minggu, 02 Februari 2014

Intervensi Politik dalam Birokrasi Tinggi

"Saya pesimistis ini akan sukses. Intervensi politik terhadap penataan birokrasi masih sangat tinggi. Reformasi harus total, dari pimpinan hingga staf. Kalau masih ada intervensi politik, saya tetap pesimistis reformasi birokrasi akan sukses."

Demikian mantan Ketua DPRD Kota Kupang, Viktor (Veky) Lerik, S.E, yang ditemui beberapa waktu lalu. Lerik dimintai komentarnya terkait penataan reformasi birokrasi di NTT.

Veky mengatakan, NTT menjadi propinsi ke empat di Indonesia yang mencanangkan reformasi birokrasi setelah Gorontalo, Bangka Belitung dan Aceh. Road Map Reformasi Birokrasi ini disusun Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT didukung Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), KemenPAN RB, serta Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) melalui proyek Penguatan Tata Kelola Pemerintahan Propinsi (Provincial Governance Strengthening Programme/PGSP).

Dalam Road Map Reformasi Birokrasi Propinsi NTT 2013 2018 yang diluncurkan di Aula El Tari Kupang, Senin 28 Oktober 2013, ada beberapa persoalan yang dihadapi birokrasi di Propinsi NTT. Beberapa biro yang sejatinya tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007.

Demikian pula antara satu intansi dengan lainnya masih terjadi ego sektoral. Misalnya, terkait penyerahan kewenangan perizinan yang masih tergantung pada kemauan instansi terkait.

Selain itu, masih rendahnya tingkat pemahaman aparatur Pemprop NTT terhadap aspek ketatalaksanaan, terutama dalam memahami peraturan yang menyebutkan tentang bagaimana kerja yang benar di lingkungan pemerintah dan harus dilaksanakan.

Hal lain yang menghambat pelaksanaan reformasi birokrasi di NTT adalah sumber daya manusia (SDM) aparatur. Di sini pokok masalahnya.

Penelusuran di beberapa instansi, penempatan pegawasi dan manajemen kepegawaian belum berjalan baik. Dalam road map itu, beberapa permasalahan menyangkut reformasi birokrasi di NTT, yakni belum terasanya dampak positif otonomi daerah bagi masyarakat oleh karena keterbatasan sumber daya dan kurangnya persiapan pemerintah.

Kebijakan pembinaan pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan kepentingan, bukan berdasar kompetensi/keahlian sehingga berdampak kurang baik terhadap sendi penyelenggaraan daerah.

Banyak komentar, baik dari pejabat maupun staf di sejumlah instansi terkait peran baperjakat dalam penempatan staf dan pejabat. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa di lingkup Pemprop NTT, peran baperjakat sama sekali tidak jalan.

"Mengapa demikian? Karena banyaknya intervensi dari berbagai pihak, baik dari sisi politik maupun kedekatan dengan pejabat yang berwenang," kata Ketua Komisi A DPRD NTT, Gabriel Beri Binna.

Rendahnya kinerja aparatur di Setda Propinsi NTT sangat terasa. Di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) misalnya. Sebagai 'dinas basah' (karena mengelola anggaran yang lebih besar dari dinas lainnya), penempatan pegawai lebih banyak karena kepentingan, terutama untuk mengamankan anggaran atau proyek yang ada. PNS yang berkompeten dipindahkan ke instansi lain atau meski tetap di dinas itu, namun tak diberi peran.

Di dinas ini, ada pegawai yang kesehariannya tidak diberi tugas sehingga lebih mereka datang hanya absen lalu pulang. Contoh lainnya, saat monitoring, evaluasi atau koordinasi ke kabupaten/kota, yang diberi tugas adalah pegawai cleaning service bahkan para satpam juga ditugaskan.

"Kami sangat senang kalau diberi tugas ke daerah. Pokoknya kalau rajin lobi pasti dapat perjalanan. Istilahnya harus pintar cari muka. Kami tidak tahu laporan yang kami bawa benar atau tidak karena mereka sudah siapkan formatnya dan kami hanya isi saja," ujar seorang satpam di Dinas PPO yang minta namanya tidak dikorankan karena takut tidak lagi diberi tugas untuk monitoring dan evaluasi ke kabupaten/kota.

Pertengahan September 2013, Ari, seorang staf di Bidang Pendidikan Menengah Dinas PPO NTT, membuat keonaran di kantornya. Usai menenggak minuman beralkohol, Ari menemui pimpinannya. Dengan suara keras, Ari mempertanyakan alasan atasannya tidak memasukkan namanya dalam rencana perjalanan untuk monitoring dan evaluasi tahun ini. Padahal, Ari yang mengaku sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai staf di bidang itu, setiap tahun selalu diberi tugas ke kabupaten/kota.

"Tanpa alasan yang jelas, nama saya dicoret. Saya sudah lebih dari 20 tahun kerja di sini, jadi sangat paham. Pegawai yang baru masuk, semua diberi peran termasuk tenaga kontrak yang proses rekrutnya tidak jelas. Ini sesuatu yang sangat buruk," kata Ari.

Kepala Dinas PPO NTT, Drs. Klemens Meba, MM, menampik hal tersebut. Ia mengaku di beberapa bidang ada kebijakan agar semua pegawai di sana bisa mendapatkan kesempatan ke luar daerah.

Menurut dia, yang diberi tugas adalah mereka yang benar benar berkompeten atau tidak asal tunjuk. "Kesejahteraan seorang pegawai negeri terkadang ditentukan dari banyaknya dia melakukan perjalanan. Hal ini membuat banyak pegawai yang selalu berusaha agar namanya dimasukkan dalam rencana perjalanan dinas, meski dia tak tahu apa yang nanti dikerjakannya. Kalau ada yang tidak masuk, saya pikir itu hal biasa karena itu sudah menyangkut kebijakan. Saya selalu menekankan kepada staf saya untuk tetap bekerja secara profesional sesuai tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya," kata Klemens.

Fakta rendahnya kinerja staf di Dinas PPO NTT adalah tingkat kelulusan saat ujian nasional (UN) yang sangat rendah. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat kelulusan SMA/SMK di NTT terendah dari 33 propinsi di Indonesia. Kondisi ini terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Program Gong Belajar yang dicanangkan Pemprop NTT tidak berjalan maksimal.

"Kami minta dukungan agar bisa membenahi semua persoalan ini dengan baik. Ini semua tergantung dari komitmen dan konsistensi untuk menjalankan semua regulasi yang ada. Semua staf harus sadar akan tugas dan fungsinya. Sebaik apapun program diluncurkan pemerintah, namun bila aparaturnya tidak bagus, program itu akan seperti kita menebar air di padang pasir," kata Sekda NTT, Frans Salem.

Sabtu, 01 Februari 2014

Balas Jasa Sudah Berlaku

"BIROKRASI di Propinsi NTT masih jauh dari yang diharapkan. Penempatan pegawai belum sesuai dengan formasi yang diinginkan. Saat kita perlu orang yang kuasai laut dan peternakan, jangan terima yang lain. Ini kelemahan siapa. Karena aparatur birokrat. Aparatur itu menjadi mot
or penggerak birokrat sehingga orangnya juga harus tepat."

Demikian dikatakan mantan Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si, yang ditemui, 26 Oktober 2013 lalu. Esthon yang juga mantan Ketua Bappeda Propinsi NTT dan Badan Diklat Propinsi NTT itu mengatakan, perlu satu sikap tegas dari kepala daerah atau pimpinan instansi agar birokrasi berjalan sesuai tugas dan fungsinya. "Jangan sampai keputusan penempatan pegawai hanya atas balas dendam dan balas jasa. Dan, ini sudah berlaku. Balas dendam dan balas jasa. Ini sudah barang biasa bukan yang luar biasa lagi di NTT. Kamu tulis itu," tegas Esthon Foenay.

Esthon mengatakan, birokrasi di NTT tidak bagus karena tidak menghargai kompetensi. "Kalau memang dia tidak mampu, jangan kasih naik jabatan. Kasih naik pangkat harus melalui sebuah proses. Penempatan orang melalui satu analisa jabatan, bukan asal tunjuk. Dan, ini ada rekayasa politik. Kalau penempatan pejabat berdasarkan kepentingan politik dan pribadi, makanya sampai sekarang NTT masih tetap terbelakang," kata Esthon.

Esthon mengatakan, tugas, pokok dan fungsi yang diberikan kepada seorang pejabat harus sesuai kapasitas yang dimiliki. "Kalau cocok dengan jagung, ikan, rumput laut atau ternak, jangan buat lain dan jangan terlalu banyak. Fokus. Birokrasi harus mampu dan punya kreasi. Contohnya, bila listrik mati, manfaatkan sudah potensi alam yang ada," tegasnya.

Esthon menambahkan, birokrasi harus melaksanakan fungsi koordinasi dan komunikasi dengan baik. Terkadang, katanya, koordinasi dan komunikasi sudah bagus, tapi dalam pelaksanaan jalan sendiri sendiri. "Birokrat jangan hanya menuntut, tetapi melaksanakan kewajiban. Itu yang lebih penting. Gaji terlambat sedikit sonde mau masuk, padahal kerja lari lari. Harus disiplin. Kalau di China, waktu adalah uang, di Amereka dan Eropa, waktu adalah emas, di Indonesia waktu adalah karet," katanya.

Esthon mengatakan, kondisi strategis NTT yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste dan Australia, membutuhkan kinerja aparat birokrasi yang kompeten. "Kita berbatasan dengan negara lain, jadi harus ada pejabat yang berpikir global dan bertindak lokal. Di samping itu investasi SDM harus terus dilakukan. Tidak perlu belajar sampai ke Amerika. Di Indonesia banyak yang sudah cukup berhasil yang kita bisa belajar. Kader kader pemimpin yang sudah melalui proses diklat harus dimanfaatkan. Mereka ada melalui investasi yang sangat mahal," katanya.

Koordinator Komunitas Akar Rumput (KoAR) NTT , Jan Pieter Windy, S.H, sebuah LSM yang sering melakukan advokasi terhadap para PNS, mengatakan, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, harus berani memberi bukti. Ia memberi apresiasi atas disusunnya Road Map Reformasi Birokrasi NTT untuk lima tahun ke depan. Namun apakah itu akan berjalan sesuai analisa yang diharapkan, sama seperti lainnya, Jan Windy, ikut pesimis.

"Pemerintah dalam hal ini Pak Gubernur harus tegas. Pak Frans tidak boleh diintervensi, terutama dari lingkaran keluarga. Dia harus kasih tunjuk kepada masyarakat bahwa reformasi birokrasi akan sukses dilakukan. Kalau dia masih buat seperti periode kepemimpinan yang lalu, NTT akan tetap terbelakang," katanya.

Untuk menata birokrasi sesuai standar ideal yang diinginkan memang bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu dan kerja keras. "Harus berani untuk melakukan evaluasi dan terbuka untuk menerima saran. Kompetensi, profesionalisme dan prosedur harus dijalankan dengan baik. Ini kalau kita ingin buruknya birokrasi di NTT bisa diperbaiki. Kalau Pak Frans atau siapapun bilang tidak ada kepentingan politik dalam penataan birokrasi harus berani tunjukkan. Jangan omong lain, buatnya lain," tegas Jan Windy. **

Jehalu Mengemban Enam Jabatan Sekaligus

ANDREAS Jehalu, bukan manusia super, tetapi ia merupakan pejabat yang paling banyak menduduki jabatan di lingkup Sekretariat Daerah Provinsi NTT. Enam jabatan sudah diembannya hampir setahun ini. Selain sebagai asisten administrasi pembangunan, Andreas Jehalu juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Asisten III, Kepala Biro Kepegawaian, Kepala Biro Ekonomi, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja serta Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan.

"Ini semua karena kepercayaan. Saya memang bukan manusia super, tapi saya wajib menjalankan semua perintah atasan. Sebagai seorang pamong praja, saya harus siap menjalani apapun perintah atasan," kata Andreas Jehalu.

Ia tak pernah mengira akan menduduki jabatan sebanyak itu. Setiap ada pejabat eselon dua yang pensiun, Andreas Jehalu ditunjuk oleh Sekretaris Daerah Propinsi NTT, Frans Salem, S.H, M.Si untuk menjadi pelaksana tugas. Sebagai seorang staf, Andreas Jehalu tak bisa menolak. Ia terus mengemban jabatan jabatan itu. Ia tidak tahu sampai kapan jabatan jabatan itu akan terus diembannya.

Saat ditemui di ruang kerjanya, awal November, Andreas Jehalu mengaku, tugas tugas itu sangat berat untuk dipikul seorang diri. Terkadang, Andreas Jehalu butuh waktu untuk menyendiri, sekadar menenangkan pikiran dan menghilangkan kepenatan.

Andreas Jehalu mengaku sering kewalahan. Ia harus membagi waktu antara tugas pokoknya sebagai asisten setda dengan tugas tambahan pada instansi yang dipimpinnya. Terkadang ia terpaksa harus menggelar rapat di ruang kerjanya karena tidak punya cukup waktu untuk turun langsung ke instansi terkait.

Ia mencoba mengatasi kerumitan tugasnya itu dengan menunjuk pelaksana harian. Ia menunjuk sekretaris dinas sebagai pelaksana harian dengan maksud agar koodinasi lintas bidang berjalan dengan baik.

"Tidak masalah dengan enam jabatan, karena saya tunjuk pelaksana harian di sana. Ada pelaksana harian untuk koordinasi administrasi. Ada hal hal yang prinsip baru saya turun ke sana. Kalau semua saya turun ke sana, saya pikir tidak mungkin juga," kilahnya.

Pengamat Politik, Jan Pieter Windy, menilai, rangkap jabatan bertumpuk tumpuk seperti itu bukanlah sesuatu yang membanggakan tetapi seharusnya membuat malu karena mencerminkan birokrasi yang amburadul. "Saya melihat, sepertinya masih ada kepentingan di sini sehingga masalahnya dibuat berlarut larut. Mungkin pemimpin kita masih melihat figur yang pas untuk mengamankan kepentingan kepentingan tersebut. Ini berarti bukan pelayanan yang diutamakan dan kepentingan penguasa yang dominan," ujar Windy.

"Mengapa setiap ada pejabat pensiun tidak langsung dicari penggantinya tetapi masih menunggu. Tarik ulur ini menunjukkan bahwa belum semua kepentingan terakomodir," tambahnya.

Beberapa staf di Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT maupun Satuan Polisi Pamong Praja NTT mengeluhkan tidak adanya pejabat definitif yang memimpin lembaga mereka. Salah seorang staf dinas perikanan dan kelautan yang minta namanya tidak ditulis mengaku sering kesulitan untuk menemui Andreas Jehalu yang sangat sibuk, meski itu hanya untuk tanda tangan.

"Terkadang kami harus ikut dia sampai tempat dia bertugas, kalau memang butuh tanda tangan yang cepat. Semua berjalan tapi yang repot kami. Untuk tanda tangan saja, terkadang butuh dua atau tiga hari. Beruntung Pak Jehalu orangnya supel sehingga di mana saja kami bisa dapat tandatangannya. Kami harapkan mudah mudahan kami segera dapat kepala baru yang definitif," ujarnya.

Jabatan rangkap ini juga dipegang oleh Yohana E Lisapaly. Asisten Tata Pemerintahan Setda ProPinsi NTT ini juga diberi tugas sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan kepala Badan Pendidikan dan Latihan Propinsi NTT. "Selama ini memang saya rangkap jabatan. Segala sesuatu selalu kami koordinasikan. Kalau sudah ada pejabat definitif, tentu itu lebih baik," ujarnya ketika menghubungi Pos Kupang via telepon seluler belum lama ini.

Dikatakannya, mengemban tiga jabatan sekaligus tentu bukan hal mudah. Namun sejauh ini, ia tidak mengalami hambatan maupun kesulitan, sebab dalam menunaikan tugas ia selalu memberi kepercayaan pada pejabat yang ada di bawahnya.


***
Sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2008, tentang organisasi dan tata kerja Sekretariat Daerah Provinsi NTT, terdiri atas 47 satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Rinciannya, terdiri dari 15 dinas, sepuluh lembaga teknis daerah (badan/kantor) dan tiga asisten yang masing masing memiliki tiga biro.

Menurut data yang diperoleh, jumlah pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT lebih dari 4.000 orang. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan 300 orang tenaga honorer. Tenaga honorer ini belum terhitung yang direkrut oleh instansi tertentu, dimana gajinya diambil dari dana rutin instansi tersebut. Tenaga honorer jenis ini tidak tercatat di sekretariat daerah.

Hingga September lalu, terdapat hampir 150 jabatan di Setda Provinsi NTT yang lowong. "Ada banyak jabatan yang lowong. Ada juga pejabat yang harus merangkap jabatan, sehingga perlu ada mutasi demi kebutuhan organisasi. Semua sudah kami masukan ke gubernur dan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dilakukan pelantikan," kata Sekda Provinsi NTT, Drs. Frans Salem, S.H, M.Si.

Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, yang ditemui akhir September singkat mengatakan, jabatan yang lowong tersebut akan segera diisi. Sambil berlalu meninggalkan wartawan, Frans Lebu Raya, mengatakan semua sudah diatur oleh tim baperjakat, sehingga dirinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk melantik.

Ia mengaku, tak hanya pengisian lowongan, tapi mutasi juga akan dilakukan di beberapa instansi. Ia mengatakan, dalam waktu dekat, semua jabatan yang lowong akan segera diisi.

Ketua Komisi A DPRD NTT, Gabriel Beri Binna, mengatakan, urusan mutasi untuk pengisian jabatan yang lowong, merupakan kewenangan gubernur. Namun, dia berharap gubernur jangan membiarkan sebuah jabatan lowong dalam waktu yang cukup lama, karena terkait kinerja dan hasil yang hendak dicapai.

"Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Kenapa mesti tunggu sampai banyak jabatan yang lowong baru dilakukan pelantikan. Setiap ada pejabat yang pensiun, langsung dilantik yang baru. Setiap bulan kan ada laporan terkait daftar urutan kepangkatan, penilaian kinerja dan lainnya. Itu yang mesti dipakai sehingga tidak perlu tunggu waktu yang tepat. Mudah mudahan tidak ada kepentingan terselubung terkait hal ini," tegas Beri Bina. **

Lokalisasi dan Moralitas Kita


KAMI dicintai saat dibutuhkan. Kami dicampakkan usai dibutuhkan. Itulah penggalan curahan hati pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Karang Dempel (KD) di Kelurahan Alak, Kupang, yang dimuat di media ini. Karang Dempel sudah ada sejak tahun 1976. Berawal dari lima kamar, kini sudah ada ratusan kamar. Jutaan orang sudah sering ke sana. Bahkan ada yang datang berulang kali. Tak hanya untuk urusan nafsu shawat, tapi juga untuk mencari hiburan di bar dan karaoke.

Karang Dempel adalah lokalisasi tak berizin 'yang diakui' pemerintah. Pemerintah Kota Kupang menarik pajak pemondokan sesuai izin yang dipegang para pengelola. Tak ada yang protes karena ini sudah berlangsung lama. Lalu apakah akan dibiarkan terus seperti ini. Apakah kita masih tetap malu mengakui kalau KD adalah lokalisasi? Padahal dalam prakteknya, sesuai pengakuan PSK di KD, tamu mereka mulai dari remaja hingga kakek-kakek. Dari penganggur hingga pengusaha kaya dan pejabat negara.

Tutup saja karena merusak moral bangsa. Legalkan saja agar ada pemasukan pasti ke kas daerah. Tutup saja karena itu melanggar norma agama dan adat. Mau legal atau tidak, ditutup atau tidak, semua kembali ke moral kita masing-masing. Kalimat-kalimat di atas adalah pernyataan dan komentar dari pembaca Pos Kupang.

Sekarang tinggal pemerintah sebagai pengambil dan pemegang kebijakan menentukan apa yang mesti dilakukan. Memilih satu pernyataan atau mendiamkannya dan membiarkan lokalisasi ini berjalan mengitui zaman yang terus berputar. Bukankah lokalisasi KD ini banyak membantu ekonomi warga setempat?

Lagi pula, para PSK ini juga tak mau tinggal dan bekerja seperti itu selamanya. Mereka ingin berbaur dan kembali menjadi seperti masyarakat umum lainnya. Mereka hanya terjebak dalam tuntutan ekonomi yang melilitnya. Kembali kepada hukum ekonomi, ada barang ada uang. Ada penjual pasti ada pembeli. Tapi bagaimana mendapatkannya, semua ada mekanisme dan aturan mainnya.

Kita tentu tidak mau disebut munafik. Mereka juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Menghentikan praktek semacam ini, nampaknya sulit untuk dilakukan. Tapi, ada satu saran yang mungkin bisa membantu. Terus dampingi mereka. Berikan penyuluhan keagamaan sesuai iman yang dianutnya. Berikan pelatihan keterampilan dan modali mereka untuk berusaha sampai mandiri. *

Selasa, 21 Januari 2014

Pengetatan Disiplin Pemkot Kupang

DISIPLIN adalah sebuah kata kunci yang selalu dipakai orang untuk meraih kesuksesan. Tak hanya untuk diri sendiri, kata disiplin juga dipakai di kantor, di sekolah, kampus bahkan oleh orang desa sekalipun. Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.

Hal itu dilakukan juga oleh Walikota Kupang, Jonas Salean, S.H, M.Si. Bersama dr. Herman sebagai wakil walikota, Jonas Salean, menekankan disiplin yang tegas kepada semua PNS di lingkup Pemkot Kupang. Ada sanksi bagi yang melanggarnya.

Jonas Salean berpendapat, sebagus apapun program yang dicanangkan, namun bila pelaksananya tidak disiplin, maka akan sia-sia. Untuk itu, disiplin harus ditegakan. Cara pertama yang dilakukan adalah menertibkan absensi. Absensi dengan cara sidik jari, diberlakukan di semua SKPD. Bila melanggar, akan dikenakan sanksi di mana salah satunya adalah pemotongan uang kesejahteraan. Sanksi ketidakdisiplinan, akan terus ditingkatkan hingga tingkat pemecatan.

Apa program ini akan sukses. Apakah dengan disiplin, semua program akan terlaksana dengan baik. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan segera. Kita masih harus menunggu aksi apa yang akan dilakukan. Apakah mau digertak dengan sejumlah saksi baru disiplin, ataukah para PNS di Pemkot Kupang, disiplin karena mereka adalah pekerja profesional?

Pengetatan kehadiran dengan cara penertiban absensi memang sah-sah saja dilakukan. Tetapi, lebih dari itu, yang utama dan harus dilakukan adalah menanamkan nilai-nilai kedisiplinan itu dari dalam diri. Untuk memulai itu, harus berawal dari para pemimpin unit. Selain itu, pembagian tugas dan tanggungjawab harus merata.

Ada banyak alasan klasik yang sering digunakan oleh PNS maupun karyawan swasta untuk meninggalkan tugasnya. Di antaranya adalah urusan keluarga, antar jemput anak ke sekolah, dan lainnya. Alasan lainnya adalah, karena tidak diberi tanggungjawab atau pekerjaan di kantor, sehingga masuk dan pulang sesuka hatinya.

Kita tak perlu apriori dan pesimis dengan program pengetatan disiplin PNS yang dilakukan Jonas Salean dan Herman Man ini. Kedua pemimpin Kota Kupang ini tentu telah melakukan kajian-kajian dengan pertimbangan khusus termasuk risikonya. Kita semua berharap program ini bisa sukses. Pasalnya, Kota Kupang sebagai wajah NTT, sudah sepantasnya memiliki aparatur atau PNS yang disiplin dan berdedikasi tinggi. **

Jumat, 16 September 2011

Benteng Portugis Itu Tinggal Nama

Oleh Sipri Seko


PRESIDEN pertama RI, Soekarno, punya pengalaman sendiri tentang Pulau Ende.  Dia pernah menulis sebuah drama yang kemudian dipentaskan bersama klub Toneel Kelimutu, semasa ia dibuang di Ende oleh Pemerintahan Kolonialisme Belanda.

Dari banyak literature tentang Soekarno, diketahui bahwa drama itu diberi Rendo Rate Rua. Mengapa harus Rendo Rate Rua? Rendo Rate Rua punya sejarah penting yang berhubungan dengan keberadaan bangsa Portugis di Pulau Ende. Ada banyak versi yang menceritakan tentang tahun keberadaan Portugis di Pulau Ende. Namun yang paling banyak disebut adalah tahun 1561.

Saat itu entah dalam perjalan penjajahan atau bisnis, bangsa Portugis singgah di Pulau Ende. Masyarakat Nampak sinis dengan keberadaan mereka, mengingat Belanda yang sedang menjajah sudah sudah menaburkan benih dengan mereka. Bule adalah lawan bagi masyarakat asli Pulau Ende. Hal itulah yang kemudian orang-orang  Portugis yang dipimpin Louis Fernando membangun sebuah benteng di Pulau tersebut atau tepatnya di Dusun Paderape, Desa Rendo Reta Rua.

Rendo Reta Rua sendiri, oleh berbagai cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat seperti diceritakan beberapa penduduk asli ketika ditemui, Senin (12/9/2011), adalah anak kandung dari Louis Fernando.  Anak gadis itu meninggal dalam sebuah pertikaian dengan penduduk asli setempat. Untuk mengenangnya, daerah tersebut kemudian diberi nama Rendaretarua hingga sekarang sudah menjadi sebuah desa.

Untuk mencapai Pulau Ende, terlebih dahulu kita harus berlayar dengan kapal motor kayu milik masyarakat dari Kota Endelebih kurang satu jam. Kapal akan bersandar di dermaga yang dikenal dengan nama Kemo. Dermaga ini saat ini sudah dibangun dengan dana APBN miliaran rupiah sehingga Nampak sangat megah.

Tak sulit untuk menemukan bekas benteng Portugis itu. “Anak liat pohon beringin itu? Turun dari pelabuhan sini langsung naik ke atas,” kata seorang ABK KM Al Amin menjelaskan.

Agak kesulitan memang menuju bekas benteng itu. Pasalnya, masyarakat setempat sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan benteng tersebut. Hal itu terbukti tak ada jalan masuk ke benteng itu. Untuk mencapainya, kita terpaksa harus masuk lewat samping rumah penduduk dan mendaki sebuah tanjakan lebih kurang 50 meter dari jalan raya.

Namun peninggalan bangsa asing yang sangat  bersejarah itu ternyata hanya tinggal nama. Nyaris sudah tak ada lagi tanda atau bekas bahwa di sana pernah ada benteng yang sangat terkenal.  Tak ada bangunan tembok yang kokoh disertai meriam seperti yang dibayangkan. Yang tampak hanya sebuah bekas tembok yang sudah runtuh. Yang tersisah hanya tembok setinggi dua meter dengan panjang dua meter lebih. Itupun sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan perdu sehingga nyaris tak nampak dari jarak lima meter.

Masyarakat setempat seperti Abidin, Fatah, Abdulah, Aminah dan lainnya mengaku sering melihat orang luar/turis datang untuk mencari bekas benteng Portugis tersebut. Namun masyarakat sendiri tak perduli lagi. “Di sini masyarakat hamper sudah lupa tentang cerita keberadaan benteng ini apalagi omong tentang nilai sejarahnya. Kami tahu bahwa pernah ada Portugis di sini yang dibuktikan dengan keberadaan bentengnya, namun pemerintah saja tidak perduli, apalagi dengan masyakarat biasa,” kata Abidin.

Rupanya pemerintah Portugal sudah memiliki upaya untuk menapaktilasi jejak perjalanan nenek moyangnya menaklukkan dunia.  Meski bekas bentengnya nyaris hilang, namun mereka masih ingat keberadaan Pulau Ende. Mereka sudah menurunkan banyak bantuan gratis kepada masyarakat di sana. Bak penampung air, sumur hingga WC sudah dibantu. “Kami di sini terima saja. Mungkin mereka teringat dengan keberaan nenek moyang mereka di sini sehingga bantu masyarakat,” kata Fatah.

Ende, memang terkenal dengan sejarah. Di sana ada keajaiban dunia. Di sana banyak lahir inspirasi. Entah karena mungkin sangat banyak peninggalan sejarah di Ende, pemerintah setempat sudah lupa yang lain. Apakah benteng ini hanya tinggal sejarah dalam cerita? Ataukah sudah saatnya sekarang kita abadikan bahwa Pulau Ende pernah menjadi pilihan hidup bangsa asing. Bukan tak mungkin masyarakat asli Pulau Ende ada karena dibawa bangsa Portugis? (bersambung)

SYALOM