Sabtu, 01 Februari 2014

Balas Jasa Sudah Berlaku

"BIROKRASI di Propinsi NTT masih jauh dari yang diharapkan. Penempatan pegawai belum sesuai dengan formasi yang diinginkan. Saat kita perlu orang yang kuasai laut dan peternakan, jangan terima yang lain. Ini kelemahan siapa. Karena aparatur birokrat. Aparatur itu menjadi mot
or penggerak birokrat sehingga orangnya juga harus tepat."

Demikian dikatakan mantan Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si, yang ditemui, 26 Oktober 2013 lalu. Esthon yang juga mantan Ketua Bappeda Propinsi NTT dan Badan Diklat Propinsi NTT itu mengatakan, perlu satu sikap tegas dari kepala daerah atau pimpinan instansi agar birokrasi berjalan sesuai tugas dan fungsinya. "Jangan sampai keputusan penempatan pegawai hanya atas balas dendam dan balas jasa. Dan, ini sudah berlaku. Balas dendam dan balas jasa. Ini sudah barang biasa bukan yang luar biasa lagi di NTT. Kamu tulis itu," tegas Esthon Foenay.

Esthon mengatakan, birokrasi di NTT tidak bagus karena tidak menghargai kompetensi. "Kalau memang dia tidak mampu, jangan kasih naik jabatan. Kasih naik pangkat harus melalui sebuah proses. Penempatan orang melalui satu analisa jabatan, bukan asal tunjuk. Dan, ini ada rekayasa politik. Kalau penempatan pejabat berdasarkan kepentingan politik dan pribadi, makanya sampai sekarang NTT masih tetap terbelakang," kata Esthon.

Esthon mengatakan, tugas, pokok dan fungsi yang diberikan kepada seorang pejabat harus sesuai kapasitas yang dimiliki. "Kalau cocok dengan jagung, ikan, rumput laut atau ternak, jangan buat lain dan jangan terlalu banyak. Fokus. Birokrasi harus mampu dan punya kreasi. Contohnya, bila listrik mati, manfaatkan sudah potensi alam yang ada," tegasnya.

Esthon menambahkan, birokrasi harus melaksanakan fungsi koordinasi dan komunikasi dengan baik. Terkadang, katanya, koordinasi dan komunikasi sudah bagus, tapi dalam pelaksanaan jalan sendiri sendiri. "Birokrat jangan hanya menuntut, tetapi melaksanakan kewajiban. Itu yang lebih penting. Gaji terlambat sedikit sonde mau masuk, padahal kerja lari lari. Harus disiplin. Kalau di China, waktu adalah uang, di Amereka dan Eropa, waktu adalah emas, di Indonesia waktu adalah karet," katanya.

Esthon mengatakan, kondisi strategis NTT yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste dan Australia, membutuhkan kinerja aparat birokrasi yang kompeten. "Kita berbatasan dengan negara lain, jadi harus ada pejabat yang berpikir global dan bertindak lokal. Di samping itu investasi SDM harus terus dilakukan. Tidak perlu belajar sampai ke Amerika. Di Indonesia banyak yang sudah cukup berhasil yang kita bisa belajar. Kader kader pemimpin yang sudah melalui proses diklat harus dimanfaatkan. Mereka ada melalui investasi yang sangat mahal," katanya.

Koordinator Komunitas Akar Rumput (KoAR) NTT , Jan Pieter Windy, S.H, sebuah LSM yang sering melakukan advokasi terhadap para PNS, mengatakan, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, harus berani memberi bukti. Ia memberi apresiasi atas disusunnya Road Map Reformasi Birokrasi NTT untuk lima tahun ke depan. Namun apakah itu akan berjalan sesuai analisa yang diharapkan, sama seperti lainnya, Jan Windy, ikut pesimis.

"Pemerintah dalam hal ini Pak Gubernur harus tegas. Pak Frans tidak boleh diintervensi, terutama dari lingkaran keluarga. Dia harus kasih tunjuk kepada masyarakat bahwa reformasi birokrasi akan sukses dilakukan. Kalau dia masih buat seperti periode kepemimpinan yang lalu, NTT akan tetap terbelakang," katanya.

Untuk menata birokrasi sesuai standar ideal yang diinginkan memang bukan pekerjaan mudah. Butuh waktu dan kerja keras. "Harus berani untuk melakukan evaluasi dan terbuka untuk menerima saran. Kompetensi, profesionalisme dan prosedur harus dijalankan dengan baik. Ini kalau kita ingin buruknya birokrasi di NTT bisa diperbaiki. Kalau Pak Frans atau siapapun bilang tidak ada kepentingan politik dalam penataan birokrasi harus berani tunjukkan. Jangan omong lain, buatnya lain," tegas Jan Windy. **

Tidak ada komentar:

SYALOM