Sabtu, 01 Februari 2014

Lokalisasi dan Moralitas Kita


KAMI dicintai saat dibutuhkan. Kami dicampakkan usai dibutuhkan. Itulah penggalan curahan hati pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Karang Dempel (KD) di Kelurahan Alak, Kupang, yang dimuat di media ini. Karang Dempel sudah ada sejak tahun 1976. Berawal dari lima kamar, kini sudah ada ratusan kamar. Jutaan orang sudah sering ke sana. Bahkan ada yang datang berulang kali. Tak hanya untuk urusan nafsu shawat, tapi juga untuk mencari hiburan di bar dan karaoke.

Karang Dempel adalah lokalisasi tak berizin 'yang diakui' pemerintah. Pemerintah Kota Kupang menarik pajak pemondokan sesuai izin yang dipegang para pengelola. Tak ada yang protes karena ini sudah berlangsung lama. Lalu apakah akan dibiarkan terus seperti ini. Apakah kita masih tetap malu mengakui kalau KD adalah lokalisasi? Padahal dalam prakteknya, sesuai pengakuan PSK di KD, tamu mereka mulai dari remaja hingga kakek-kakek. Dari penganggur hingga pengusaha kaya dan pejabat negara.

Tutup saja karena merusak moral bangsa. Legalkan saja agar ada pemasukan pasti ke kas daerah. Tutup saja karena itu melanggar norma agama dan adat. Mau legal atau tidak, ditutup atau tidak, semua kembali ke moral kita masing-masing. Kalimat-kalimat di atas adalah pernyataan dan komentar dari pembaca Pos Kupang.

Sekarang tinggal pemerintah sebagai pengambil dan pemegang kebijakan menentukan apa yang mesti dilakukan. Memilih satu pernyataan atau mendiamkannya dan membiarkan lokalisasi ini berjalan mengitui zaman yang terus berputar. Bukankah lokalisasi KD ini banyak membantu ekonomi warga setempat?

Lagi pula, para PSK ini juga tak mau tinggal dan bekerja seperti itu selamanya. Mereka ingin berbaur dan kembali menjadi seperti masyarakat umum lainnya. Mereka hanya terjebak dalam tuntutan ekonomi yang melilitnya. Kembali kepada hukum ekonomi, ada barang ada uang. Ada penjual pasti ada pembeli. Tapi bagaimana mendapatkannya, semua ada mekanisme dan aturan mainnya.

Kita tentu tidak mau disebut munafik. Mereka juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Menghentikan praktek semacam ini, nampaknya sulit untuk dilakukan. Tapi, ada satu saran yang mungkin bisa membantu. Terus dampingi mereka. Berikan penyuluhan keagamaan sesuai iman yang dianutnya. Berikan pelatihan keterampilan dan modali mereka untuk berusaha sampai mandiri. *

Tidak ada komentar:

SYALOM