Membangun Kemandirian Lokal
Oleh Alfons Nedabang dan Agus Sape
INSTITUTE of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) bekerja sama dengan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang menyelenggarakan diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Kegiatan dalam rangka memperingati 50 Tahun NTT ini dilaksanakan di ruang Redaksi Pos Kupang, Rabu (10/9/2008. Sekitar 30 orang dengan berbagai latar belakang hadir saat diskusi itu.
NUANSA lokal hadir di ruangan berukuran 12 x 7 meter lantai II Kantor Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang di Jalan Kenari 1, Kupang, Rabu (10/9/2008). Kesan pertama tertangkap dari selembar kain latar sepanjang 2,5 x 1 meter. Pada kain yang ditempel pada dinding itu tertera tulisan, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT.
Tulisan itu 'dibingkai' dengan tujuh foto. Semuanya menggambarkan aktivitas masyarakat NTT. Ada foto warga sedang membuat gula lempeng. Ada yang sementara menenun. Ada juga yang sedang memasak garam, mengalirkan air dengan bambu serta membuat keramik. Indah nian.
"Wah, ini kegiatan tanpa dana, tapi persiapannya luar biasa. Semoga kita dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa untuk membangun daerah," ujar Farry DJ Francis dari InCreaSe, yang selama diskusi bertindak sebagai moderator.
Kesan kedua, ditangkap dari latar belakang peserta diskusi. Dari tiga puluhan peserta, hanya Mr. Matzui Kasuhiza dan Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti) yang non NTT. Matzui adalah peneliti senior i-i net/Expert JICA berkebangsaan Jepang. Sedangkan Petrarca keturunan Ambon-Papua. Selebihnya adalah putra-putri NTT. Semua peserta duduk di belakang meja yang ditata membentuk 'U'.
Nuansa lokal memang sengaja dimunculkan. Itu karena topik yang didiskusikan adalah Membangun Kemandirian Masyarakat NTT. Hal-hal yang dipercakapkan tidak bisa lepas dari lokalitas daerah. Tentang potensi lokal.
Diskusi diawali dengan pemutaran sebuah film (video streaming) berdurasi 15 menit. Film itu menampilkan warga Desa Tunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, yang bergotong royong membuka jalan raya untuk menghubungkan beberapa desa. Di akhir cerita, masyarakat Tunbaun berhasil membangun jalan. Dengan jalan, mobilisasi manusia dan barang dari dan ke Tunbaun menjadi lancar.
Fakta potensi lokal beserta nilai-nilai budaya yang tersaji sebenarnya mau menepis stigma NTT sebagai daerah miskin. Pada tahun 1960-an, NTT dikenal sebagai panghasil kopra nomor empat di Indonesia. Sebagian besar orang Flores hidup dari kopra. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya ke Jawa, tapi mereka tidak mati kelaparan di kampung. Tahun 1960-an Pulau Timor dikenal sebagai penghasil sapi. Presiden Soeharto sampai manjadikan Timor sebagai penghasil bibit ternak nasional.
Anggaran yang digelontorkan untuk membiayai pelaksanaan program-program pembangunan di NTT dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya dikelola oleh pemerintah, swasta dan LSM.
Pada tahun 2008, misalnya, NTT mendapat anggaran dari APBN senilai Rp 10,7 triliun. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2007 yaitu Rp 9,2 triliun lebih. Ironisnya, angka kemiskinan di NTT semakin meningkat.
"Lebih ironis lagi, sekarang orang NTT perlu minyak goreng mesti beli bimoli (merek sebuah minyak goreng kemasan, Red). Mau makan daging harus datangkan ayam dari Surabaya. NTT mengalami kekurangan pangan hingga saat ini. Generasi NTT sekarang, generasi kurang gizi," kata Damyan Godho, saat memberi pengantar diskusi.
"Teman-teman LSM perlu introspeksi, apakah kehadiran LSM juga menolong masyarakat kita untuk mambangun dirinya sebaik mungkin sehingga ketika ia menghadapi masalah, mampu menolong dirinya?" sambung Damyan.
Semasa biduk NTT dinakhodai Gubernur El Tari, NTT bertekad menjadi daerah swasembada pangan. "Tanam, tanam dan tanam," demikian semboyan yang digelorakan El Tari kala itu. Masyarakat diwajibkan menanam.
Beberapa bupati menindaklanjuti program swasembada pangan dengan menggerakkan warga untuk bergotong-royong membangun irigasi. Di Manggarai, misalnya, masyarakat mambangun irigasi Lembor. Begitu juga di Mbay. Namun, tekad ini menjadi tidak jelas sepeninggal El Tari. Setelah dibangun irigasi, orang NTT tetap kelaparan. NTT menjadi daerah yang bergantung pada komoditi pangan yang dihasilkan daerah lain. Beras diimpor. Ubi dan jagung juga demikian.
Kondisi NTT dulu dan sekarang sebagaimana dipaparkan Damyan tidak berbeda dengan apa yang direkam Matzui Kasuhiza. Matzui mengatakan, pembangunan daerah-daerah di Indonesia mesti mulai dari desa. Pembangunan itu seyogyanya terdorong oleh rasa cinta. Cinta dapat menghasilkan motivasi yang kuat.
"Kalau kita membahas pembangunan desa atau pembangunan kampung, kita harus mencintai kampung kita. Kalau benci sama kampungnya, tidak mungkin kita bisa memperbaikinya," kata penasihat otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup fasih berbahasa Indonsia ini.
Pertanyaan berikutnya, apakah Anda bangga atau malu dengan kampung halaman Anda. Kalau Anda malu, bagaimana bisa memperbaikinya. "Apalagi kalau merasa malu dan benci dengan tradisi-tradisi," kata Matzui.
Pembangunan tidak harus menjadikan kampung-kampung kita seperti Jakarta atau Singapura. Hal- hal yang dianggap kuno di desa-desa tidak harus diganti dengan yang baru yang dianggap modern.
Atas nama pembangunan, kita selalu mengadakan pelatihan atau kesempatan belajar S2 dan S3 kepada orang-orang kita ke luar negeri. "Tapi, jangan lupa sekolah atau pendidikan itu harus sambung dengan daerah setempat. Karena mereka yang belajar di luar negeri mendapatkan ilmu-ilmu yang belum tentu sama dengan ilmu setempat. Jadi sebenarnya perkembangan pendidikan bisa berfungsi agar siswanya tidak lari dari daerah setempat. Berapa banyak lulusan S2 dan S3 yang kembali ke kampung halamannya dan memberi kontribusi bagi pembangunan desa dan daerahya? Matzui mengajukan pertanyaan menggelitik. (bersambung)
Rabu, 24 September 2008
Emas OSN Momentum Kebangkitan Kita
Oleh Apolonia Matilde Dhiu
GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.
Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.
Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.
Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.
Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.
Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.
Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.
Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.
Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.
Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya.
Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!
Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. **
GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.
Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.
Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.
Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.
Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.
Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.
Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.
Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.
Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.
Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya.
Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!
Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. **
El Tari Cup 2008 Ditunda
TURNAMEN sepakbola El Tari Memorial Cup (ETMC) 2008 yang rencananya akan digelar di Bajawa-Ngada ditunda pelaksanaannya hingga tahun depan. Alasannya karena ada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di delapan kabupaten, lapangan yang belum siap dan persiapan panitia yang tidak maksimal. Demikian dikatakan Sekretaris Pengprop PSSI NTT, Drs. Marthinus Meowatu di Kupang, Senin (22/9/2008).
Menurut Meowatu, pembatalan penyelenggaraan ETMC 2008 diungkapkan langsung oleh Bupati Ngada, Piet Nuwa Wea, kepada Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Pak Bupati Ngada sendiri yang menemui Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur untuk menunda pelaksanaan EL Tari Cup. Pak Bupati sendiri yang mengakui bahwa persiapan di sana belum maksimal untuk saat ini dan tidak bisa ditunda untuk bulan November," jelas Meowatu.
Atas permintaan tersebut, kata Meowatu, pihaknya sudah melakukan konsultasi dengan KONI Propinsi NTT yang juga menyetujuinya. "Tahun depan baru akan digelar. Untuk tempatnya apakah masih di Bajawa atau di daerah lain, akan dibicarakan lagi," ujarnya.
Mengenai event penggantinya, Meowatu mengatakan, direncanakan akan digelar turnamen kelompok umur pada bulan November di Kupang. Namun, rencana tersebut belum ditindaklanjuti karena masih harus menunggu keputusan dari Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Saya masih berusaha untuk menemui Pak Gubernur untuk meminta tanggapannya. Kalau dia memutuskan untuk digelar di Kupang, Pengprop PSSI siap menggelarnya. Mengenai formatnya, akan dibicarakan setelah ada keputusan dari gubernur," ujarnya.
Sebelumnya, pelatih Persebata Lembata, Simone Langoday yang menghubungi Pos Kupang dari Lewoleba mengatakan harapannya agar Pengprop PSSI NTT, konsisten dalam pelaksanaan program terutama jadwal turnamen. Pasalnya, dengan jadwal yang berubah-ubah, pihaknya kesulitan untuk melakukan persiapan tim. (eko)
Menurut Meowatu, pembatalan penyelenggaraan ETMC 2008 diungkapkan langsung oleh Bupati Ngada, Piet Nuwa Wea, kepada Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Pak Bupati Ngada sendiri yang menemui Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur untuk menunda pelaksanaan EL Tari Cup. Pak Bupati sendiri yang mengakui bahwa persiapan di sana belum maksimal untuk saat ini dan tidak bisa ditunda untuk bulan November," jelas Meowatu.
Atas permintaan tersebut, kata Meowatu, pihaknya sudah melakukan konsultasi dengan KONI Propinsi NTT yang juga menyetujuinya. "Tahun depan baru akan digelar. Untuk tempatnya apakah masih di Bajawa atau di daerah lain, akan dibicarakan lagi," ujarnya.
Mengenai event penggantinya, Meowatu mengatakan, direncanakan akan digelar turnamen kelompok umur pada bulan November di Kupang. Namun, rencana tersebut belum ditindaklanjuti karena masih harus menunggu keputusan dari Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. "Saya masih berusaha untuk menemui Pak Gubernur untuk meminta tanggapannya. Kalau dia memutuskan untuk digelar di Kupang, Pengprop PSSI siap menggelarnya. Mengenai formatnya, akan dibicarakan setelah ada keputusan dari gubernur," ujarnya.
Sebelumnya, pelatih Persebata Lembata, Simone Langoday yang menghubungi Pos Kupang dari Lewoleba mengatakan harapannya agar Pengprop PSSI NTT, konsisten dalam pelaksanaan program terutama jadwal turnamen. Pasalnya, dengan jadwal yang berubah-ubah, pihaknya kesulitan untuk melakukan persiapan tim. (eko)
Jems dan Roland Terbaik
MotoPrix Turangga I SoE
PEMBALAP Jason Racing Team (JRT) Kupang, Jems Buan dan pembalap tuan rumah, Roland Laning menjadi yang terbaik dalam kejuaraan MotoPrix Turangga I SoE. Dalam lomba di sirkuit kompleks Kantor Bupati TTS, Jems keluar sebagai juara umum kategori open, sedangkan Roland menjadi juara umum kategori lokal.
Sesuai data yang diperoleh dari panitia pelaksana, Cha Rais, Jems menjadi yang terbaik setelah menjuarai kelas sport 2T tune up s/d 135 cc dan kelas bebek 125 cc 2T standart. Sementara Roland Laning dari Flamboyan Motor Club, menjuarai kelas bebek 125 cc 2T standard dan kelas bebek 125 cc 4T tune up. Roland juga menempatkan dirinya di posisi kedua kelas bebek 4T 125 cc tune up.
"Jems dan Roland meraih poin tertinggi sehingga berhak atas tropi kategori open dan lokal. Keduanya memang tampil sangat konsisten sejak babak penyisihan sehingga layak menjadi yang terbaik," jelas Cha Rais.
Turnamen ini ditutup secara resmi oleh Benny Litelnoni. Benny dalam kesempatan tersebut mengatakan harapannya agar prestasi para peserta terus dipupuk sehingga bisa bermanfaat bagi keharuman nama daerah di event yang lebih tinggi. Benny juga menantang generasi muda untuk terus menggelar event-event olahraga agar menggairahkan masyarakat dalam mendukung pembangunan. Ia menyarankan agar kalau bisa segera digelar turnamen sepakbola antar-klub di TTS.
Panitia penyelenggara dari Turangga Event Action (TEA), Yusinta Nenobahan secara terpisah mengatakan terima kasihnya kepada sponsor yang mendukung kesuksesan event tersebut. Ia berharap jalinan kerja sama terus dibangun pada event lainnya. (eko)
Tidak Cukup Satu Turnamen
Catatan Yang Tersisa
Oleh Sipri Seko
PEMAIN Kristal FC, Rafael Lexi Tethun, tak pernah bermimpi akan jadi pemain terbaik turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008. Tak heran kalau dia sangat terkejut ketika namanya diumumkan sebagai pemain terbaik. "Saya terkejut, karena tidak pernah menyangka akan menjadi pemain terbaik," ujarnya.
Saking sukacitanya, Lexi, bahkan mengantar beberapa anggota panitia yang mengikuti syukuran juara Kristal FC di Hotel Kristal, Minggu (14/9/2008), hingga tempat parkir. Dengan bahasa Timor yang sangat fasih, Lexi, berulang-ulang mengucapkan terima kasihnya karena dipilih menjadi pemain terbaik. Dia berharap gelar itu menjadi motivasi baginya untuk bermain lebih baik.
Menjadi pemain terbaik, top skore, atau pun juara memang sangat membanggakan. Betapa tidak, diikuti semua pemain terbaik di NTT yang tergabung dalam 16 klub, hanya seorang pemain dan satu klub yang menjadi terbaik. Ada rasa sukacita dan kebanggaan. Ada pesta dan perayaan, juga ada doa dan syukur.
Namun, terkadang sukacita dan kebanggaan tersebut membuat pemain atau klub lupa diri. Ada buktinya! Dari empatkali penyelenggaraan Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup, setiap tahun selalu ada juara baru. Pemain terbaik dan top skore pun selalu berganti orang. Apakah itu karena persaingan yang merata, ataukah karena ketika menjadi yang terbaik mereka lupa diri sehingga luapan kegembiraannya berlebihan. Keduanya bisa dibenarkan. Klub-klub yang bertanding di turnamen ini menampilkan kualitas permainan yang hampir setara. Namun, yang beruntung adalah yang mempersiapkan diri dengan baik.
Hal lainnya adalah saat menjadi juara, mereka biasanya langsung menganggap remeh klub lainnya. "Kami yang terbaik. Kamu tidak ada apa-apanya." Begitu kata mereka. Mereka lalu memproklamirkan dirinya sebagai yang terbaik dari semua yang terbaik. Lihat saja Edi Atolan (Qhanasex/2005), David Pramono (SSB Tunas Muda/2006) dan Yusuf Mahemba (Britama Kupang/2007), yang langsung tenggelam di penampilan berikutnya. Yusuf Mahemba malah sering dicadangkan pelatihnya, Mathias Bisinglasi, karena kerap melakukan blunder, bahkan terkadang melakukan aksi-aksi provokasi yang tidak terpuji.
Kualitas klub, pemain, wasit, lapangan, hingga penyelenggaraan memang harus menjadi perhatian penyelenggara. Mitra Sportindo Event Organizer harus terus melakukan evaluasi untuk pembenahan penyelenggaraan. Ketegasan aturan yang ditetapkan bersama harus terus dipertahankan demi peningkatan kualitas permainan. Klub peserta di luar delapan tim yang sudah lolos otomatis harus diseleksi dengan ketat. Ide menjaring empat klub lewat play-off ada baiknya. Selain bisa mengakomodir keinginan banyak klub, mereka juga dituntut untuk mempersiapkan diri dengan baik.
Gebyar dan gempita penyelenggaraan turnamen sepakbola antar-klub terbesar di NTT, Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008 telah berakhir. Ada klub yang pulang dengan linangan air mata, namun ada yang pulang membawa prestasi membanggakan. Sudah cukupkah sampai disitu?
Sangat berat menjawab pertanyaan ini. Apakah hanya dengan satu turnamen dalam setahun, lalu kita bisa mengatakan bahwa usaha pembinaan prestasi sepakbola sudah dilaksanakan? Menurun dan tidak stabilnya prestasi pemain juga adalah akibat minimnya turnamen yang digelar. Para pemain kemudian terjebak dalam turnamen sepakbola mini, yang tidak bermanfaat untuk peningkatan prestasi.
Ini harus menjadi tugas bersama. Pekerjaan rumah ini harus diselesaikan dalam tahun ini. Jangan terlalu berharap pada PSSI yang akan membuat gebrakan. Turnamen sebesar El Tari Memorial Cup saja mereka enggan melaksanakannya. Siapa yang tertantang atau tersinggung bila disebut tak mampu berbuat apa-apa, harus berani memberi bukti. Tantangan ini hanya untuk menggugah mereka yang punya niat suci memajukan sepakbola bukan sekadar untuk gagah-gagahan.
Sudahkah tradisi bola sudah berhasil dibentuk oleh Dji Sam Soe dan Pos Kupang? Bukan pesimis, tapi nampaknya masih jauh dari harapan. Antusiasme dan potensi itu sudah ada. Namun nampaknya kita masih hanya bisa bermimpi kalau suatu saat Bambang Pamungkas dkk bermain di Stadion Oepoi, kalau hanya mengharapkan satu turnamen. Sampai jumpa tahun depan! (habis)
Oleh Sipri Seko
PEMAIN Kristal FC, Rafael Lexi Tethun, tak pernah bermimpi akan jadi pemain terbaik turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008. Tak heran kalau dia sangat terkejut ketika namanya diumumkan sebagai pemain terbaik. "Saya terkejut, karena tidak pernah menyangka akan menjadi pemain terbaik," ujarnya.
Saking sukacitanya, Lexi, bahkan mengantar beberapa anggota panitia yang mengikuti syukuran juara Kristal FC di Hotel Kristal, Minggu (14/9/2008), hingga tempat parkir. Dengan bahasa Timor yang sangat fasih, Lexi, berulang-ulang mengucapkan terima kasihnya karena dipilih menjadi pemain terbaik. Dia berharap gelar itu menjadi motivasi baginya untuk bermain lebih baik.
Menjadi pemain terbaik, top skore, atau pun juara memang sangat membanggakan. Betapa tidak, diikuti semua pemain terbaik di NTT yang tergabung dalam 16 klub, hanya seorang pemain dan satu klub yang menjadi terbaik. Ada rasa sukacita dan kebanggaan. Ada pesta dan perayaan, juga ada doa dan syukur.
Namun, terkadang sukacita dan kebanggaan tersebut membuat pemain atau klub lupa diri. Ada buktinya! Dari empatkali penyelenggaraan Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup, setiap tahun selalu ada juara baru. Pemain terbaik dan top skore pun selalu berganti orang. Apakah itu karena persaingan yang merata, ataukah karena ketika menjadi yang terbaik mereka lupa diri sehingga luapan kegembiraannya berlebihan. Keduanya bisa dibenarkan. Klub-klub yang bertanding di turnamen ini menampilkan kualitas permainan yang hampir setara. Namun, yang beruntung adalah yang mempersiapkan diri dengan baik.
Hal lainnya adalah saat menjadi juara, mereka biasanya langsung menganggap remeh klub lainnya. "Kami yang terbaik. Kamu tidak ada apa-apanya." Begitu kata mereka. Mereka lalu memproklamirkan dirinya sebagai yang terbaik dari semua yang terbaik. Lihat saja Edi Atolan (Qhanasex/2005), David Pramono (SSB Tunas Muda/2006) dan Yusuf Mahemba (Britama Kupang/2007), yang langsung tenggelam di penampilan berikutnya. Yusuf Mahemba malah sering dicadangkan pelatihnya, Mathias Bisinglasi, karena kerap melakukan blunder, bahkan terkadang melakukan aksi-aksi provokasi yang tidak terpuji.
Kualitas klub, pemain, wasit, lapangan, hingga penyelenggaraan memang harus menjadi perhatian penyelenggara. Mitra Sportindo Event Organizer harus terus melakukan evaluasi untuk pembenahan penyelenggaraan. Ketegasan aturan yang ditetapkan bersama harus terus dipertahankan demi peningkatan kualitas permainan. Klub peserta di luar delapan tim yang sudah lolos otomatis harus diseleksi dengan ketat. Ide menjaring empat klub lewat play-off ada baiknya. Selain bisa mengakomodir keinginan banyak klub, mereka juga dituntut untuk mempersiapkan diri dengan baik.
Gebyar dan gempita penyelenggaraan turnamen sepakbola antar-klub terbesar di NTT, Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2008 telah berakhir. Ada klub yang pulang dengan linangan air mata, namun ada yang pulang membawa prestasi membanggakan. Sudah cukupkah sampai disitu?
Sangat berat menjawab pertanyaan ini. Apakah hanya dengan satu turnamen dalam setahun, lalu kita bisa mengatakan bahwa usaha pembinaan prestasi sepakbola sudah dilaksanakan? Menurun dan tidak stabilnya prestasi pemain juga adalah akibat minimnya turnamen yang digelar. Para pemain kemudian terjebak dalam turnamen sepakbola mini, yang tidak bermanfaat untuk peningkatan prestasi.
Ini harus menjadi tugas bersama. Pekerjaan rumah ini harus diselesaikan dalam tahun ini. Jangan terlalu berharap pada PSSI yang akan membuat gebrakan. Turnamen sebesar El Tari Memorial Cup saja mereka enggan melaksanakannya. Siapa yang tertantang atau tersinggung bila disebut tak mampu berbuat apa-apa, harus berani memberi bukti. Tantangan ini hanya untuk menggugah mereka yang punya niat suci memajukan sepakbola bukan sekadar untuk gagah-gagahan.
Sudahkah tradisi bola sudah berhasil dibentuk oleh Dji Sam Soe dan Pos Kupang? Bukan pesimis, tapi nampaknya masih jauh dari harapan. Antusiasme dan potensi itu sudah ada. Namun nampaknya kita masih hanya bisa bermimpi kalau suatu saat Bambang Pamungkas dkk bermain di Stadion Oepoi, kalau hanya mengharapkan satu turnamen. Sampai jumpa tahun depan! (habis)
Langganan:
Postingan (Atom)