Oleh Apolonia Matilde Dhiu
GO, Get, Gold (pergi, dapat, emas) atau yang dikenal dengan 3G memang tidak asing lagi bagi anak-anak NTT yang ingin mengikuti Olimpiade Sains Nasional OSN). Istilah ini diperkenalkan oleh seorang pembina OSN, Don Kumanireng, kepada peserta OSN saat memotivasi anak-anak NTT untuk berprestasi di tingkat nasional. Setiap anak yang mengikuti OSN harus bertekad untuk mendapatkan emas, karena menurutnya medali perak dan perunggu hanyalah akibat ketika tidak mendapatkan emas.
Dengan gayanya yang berapi-api, terkadang meledak-ledak, Don Kumanireng memompa semangat anak-anak asuhannya saat belajar matematika dan IPA untuk mengikuti OSN. Tahun 2008, adalah tahun bersejarah bagi anak NTT karena dua putra NTT, Samuel Sampe dari SDK Sta. Maria Assumpta dan Julian AW Purba dari SD Kristen Tunas Bangsa berhasil membawa pulang dua medali emas untuk bidang IPA di ajang bergengsi tersebut.
Prestasi ini mendongkrak NTT ke posisi delapan dari 33 propinsi peserta OSN atau urutan kedua setelah Sumatera Utara untuk peserta luar Jawa dan Bali. Selain emas, kontingen NTT membawa pulang empat medali yang dipersembahkan oleh Ahmad Iksan Ashari (IPA) dari SDN Bonipoi II Kupang dan Paulus Tomy Satriadi (Matematika) dari SDK Ruteng VI. Dua perunggu lainnya diperoleh Risky Chandra (Fisika) dari SMP Kristen Wailoba, Sumba Barat, dan Yosep Japi (Geologi) dari SMA Katolik Giovanni Kupang.
Dengan prestasi ini membuktikan bahwa anak-anak NTT patut diperhitungkan dalam soal adu keenceran otak. Prestasi ini juga mestinya menjadi momentum kebangkitan kita untuk menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita bisa. Tidak perlu lagi ada rasa minder memperkenalkan diri sebagai anak-anak NTT. Prestasi ini sekaligus juga menjadi bahan refleksi untuk menggugat mengapa tahun ini hasil ujian nasional kita di posisi paling bawah dari 33 propinsi.
Memang, masih banyak anak-anak NTT yang tidak dapat menikmati pendidikan, antara lain karena ketiadaan biaya dan tradisi. Tak heran, angka buta aksara masih cukup mengkhawatirkan, sekitar 14 persen (2007). Lulusan SD masih mendominasi penduduk daerah ini (87 persen). Mereka hanya bisa menjadi petani dengan tingkat penghasilan yang jauh dari cukup.
Angka partisipasi kasar program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun cukup melegakan, 114 persen, meski di tingkat SMP baru mencapai 81,37 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 85 persen.
Kita juga masih bergulat dengan sarana prasarana pendidikan. Kondisi bangunan SD 47,32 persen rusak ringan dan berat, SLTP 23,41 persen rusak berat dan ringan. Belum lagi "ratapan" soal kekurangan tenaga guru, tidak hanya dari sisi jumlah (kwantitas) tapi juga kwalitas. Data menunjukkan dari 50.521 orang guru, 85 persen-nya belum berpendidikan S1 kependidikan. Tingkat SD/MI, hanya hanya 3 persen guru yang berkualifikasi S1, SMP/MTs 25 persen dan SLTA 55 persen.
Dengan momentum kebangkitan ini, kita tak boleh memaafkan kealpaan kita dengan berlindung di balik kekurangan guru, sarana dan prasana. Tidak sedikit anak-anak NTT menjadi orang-orang cerdas tingkat nasional, bahkan internasional yang justeru lahir dan tumbuh di saat kondisi pendidikan di daerah ini masih sangat jauh dari keadaan sekarang. Sebut saja Herman Yohanes salah seorang pendiri UGM, pakar MIPA, Dr. Kebamoto di UI, pakar kimia dari ITB, Jeskiel Ahmad, bahkan ada putra NTT yang bekerja di lembaga antariksa AS, NAZA.
Saya jadi ingat saat-saat sekolah dulu. Kalau dikatakan feodal, ya memang feodal. Guru-guru mendidik dengan cara keras, bahkan kasar. Kata-kata kasar, bahkan makian sampai menggunakan sapu dan kayu memukul anak-anak didiknya. Duapuluh lima tahun lalu ketika saya masih berada di Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa. Sebuah desa subur, sekitar lima kilometer dari Kota Bajawa. Tamat pendidikan yang keras di SD di kampung, setiap hari saya berjalan kaki lima kilometer untuk sampai di SMP Negeri 1 Bajawa. Pukul 05.00 subuh harus sudah bangun, membantu ibu mencuci piring dan menyapu halaman dan mengambil air bersih ke kali. Setelah itu baru ke sekolah.
Di sekolah, saya menghadapi guru-guru yang lumayan keras untuk ukuran waktu itu. Kalau tidak kerja PR, misalnya, siswa pasti dipukul dengan kayu, berlutut di lantai yang disirami kerikil, dijewer telinga sampai bengkak dan sebagainya. Tapi tidak ada yang bersungut. Semua itu diterima sebagai bagian dari pendidikan. Supaya bisa jadi orang. Dan tidak ada orangtua yang protes. Tak ada guru yang harus berurusan dengan aparat berwenang karena memukuli siswanya. Guru-guru mengajar dan mendidik sepenuh hati. Tak ada yang bersungut-sungut meski gaji tentu saja kecil. Mereka hidup apa adanya. Menjadi tokoh dalam masyarakat. Panutan masyarakat. Tidak pernah ada aksi demo guru menuntut kenaikan gaji dan sebagainya.
Dan dengan suasana pendidikan yang demikian itu justeru membuat saya dan teman-teman saya berhasil "menjadi orang". Berhasil dan berbudi pekerti!
Mari kita bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana kita bergelimpangan program/proyek peningkatan ini dan itu, pembangunan ini dan itu, pengadaan sarana dan prasarana pendukung untuk memacu kualitas pendidikan kita. Boleh jadi kita terlena. Terjerumus ke dalam segala yang berbau instan. Akhirnya kita lupa bahwa untuk meraih sesuatu harus melalui kerja keras. Butuh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar