Oleh Sipri Seko
MATAHARI baru nongol dari peraduannya. Cahanya sudah memancarkan bias yang membuat dedaunan yang basah karena embun malam mulai menggeliat. Namun gunung yang tinggi menjulang, membuat sang pemilik siang itu tak leluasa menerangi semua permukaan bumi.
Di Pantai Penggajawa, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Umar, pria uzur berusia 75 tahun nampak sudah berkeringat. Peluh mengucur membasahi wajah dan badannya. Tubuhnya yang kurus dan renta masih kuat tegak ditopang kakinya yang masih tegar. Bajunya sudah ditanggalkan entah di mana. Hanya mengenakan sarung lusuh yang didalamnya nampak celana pendek coklat yang nongol dari lipatan kain, Umar tak peduli dengan deburan ombak yang terkadang nakal menyentuh mata kakinya.
Lalu lalang orang di sampingnya pun tak dipedulikan. Tangannya sibuk mengais kerikil-kerikil berwarna di tepi pantai. Terkadang dia harus menunggu beberapa saat, menunggu ombak yang naik, turun kembali ke laut untuk kemudian melanjutkan aktivitasnya. “Dia sedang mencari batu hijau yang ceper,” kata Ibrahim.
Kelakuan Umar ini juga sama seperti Siti, Tua dan Ibrahim. Masyarakat di sekitar Pantai Penggajawa memang menggantungkan harapannya hidupnya dari mengumpulkan batu berwarna. Pantai ini dipenuhi beraneka batu warna, putih, hujau, kuning dan coklat. Sebenarnya, semua batu ini laku dijual. Namun, Umar dkk lebih memilih yang berwarna hijau. Mengapa demikian?
“Batu hijau lebih mahal. Tak hanya itu. Batu ini juga susah dipilih karena biasanya terselip di antara batu-batu lainnya sehingga lama baru dikumpulkan dalam jumlah banyak. Kami biasanya jual semua jenis batu, namun karena yang ukuran dan jenis lainnya gampang diambil, saat ini kami pilih yang warna hijau saja. Nanti kalau ada informasi pembeli mau datang baru kami kumpul jenis yang lainnya,” jelas Umar dan Ibrahim.
Batu hijau berukuran ceper memang lebih mahal bila dibandingkan yang lainnya. Kalau batu berwarna lain dijual Rp 25 ribu per satu zak semen, batu hijau dijual Rp 25 ribu per ember. Satu zak semen biasanya berisi tiga ember. Artinya, satu zak semen batu hujau sudah menghasilkan Rp 75 ribu.
Mengaku tidak tahu hendak diapakan batu-batu tersebut oleh para pembeli,para pengumpul di Penggajawa mengaku berbisnis batu hijau cukup menjanjikan. Kepastian akan adanya uang selalu ada. Mereka hanya menunggu, bila ada kapal asal Surabaya yang bersandar di dermaga, berarti pasti ada pembeli yang datang. Di saat itu mereka akan menerima uang tunai. “Hampir semua batu yang kami kumpulkan di sini selalu habis terjual. Rata-rata semua pengumpul di sini sudah punya langganan pembeli,” kata Ibrahim.
Umar, Ibrahim dan lainnya tak pernah berpikir kapan batu berwarna ini habis. Saban pagi, saat ombak masih berdebur, meski di tempat yang sama, mereka terus memilih batu berwarna. Tak ada cerita mistik dari keberadaan batu berwarna yang diyakini tak akan pernah habis ini. Mereka hanya tahu bahwa batu berwarna ada karena kemurahan Tuhan memberikan reziki bagi umat-Nya.
Mereka juga tak peduli, apa pembeli yang datang sudah mengantongi izin dari pemerintah atau tidak. Mereka juga tak takut alam bakal rusak karena aktivitasnya. Tak perlu menggali, mereka cukup memilih di atas pasir hitam. Semoga indahnya batu berwarna di Pantai Penggajawa, terus memancarkan kesejahteraan. (habis)