Jumat, 17 Oktober 2008

Perilaku, Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

HAMPIR di semua sudut Kota Kupang dan sekitarnya, melihat tumpukan batu dan nyala lilin di tepi jalan adalah hal biasa. Ini memang sudah menjadi kebiasaan warga untuk memberi tanda bahwa di tempat itu baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa orang. Di tempat kecelakaan batu ditumpukkan, kemudian saban petang keluarga dan kerabat datang menyalakan lilin.

Begitu banyaknya tumpukan batu di jalan-jalan dalam Kota Kupang menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan yang terjadi cukup tinggi. Tanda ini belum termasuk mereka yang celaka, namun hanya menderita luka-luka atau patah tulang. Dari hasil identifikasi terhadap korban yang meninggal diketahui bahwa umumnya terjadi karena benturan keras di kepala. Pengendara pun diwajibkan untuk memakai helm standard.

Harian ini pada edisi, Selasa (30/9/2008), memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas di Jalan Timor Raya, dekat Kantor Desa Oebelo -- lebih kurang 30 km arah timur Kota Kupang. Dua sepeda motor yang masing-masing dinaiki tiga orang saling bertabrakan, membuat dua pengendaranya langsung meninggal, sedangkan empat lainnya patah tulang dan luka-luka. Penyebabnya selain kondisi jalan yang bergelombang, juga karena keenam orang tersebut dalam keadaan mabuk minuman keras sepulang dari pesta pernikahan.

Melihat tingkat kecelakaan yang cenderung naik, pemahaman aturan berlalu lintas dari para pengendara dipertanyakan. Undang Undang No. 14 Tahun 1992 yang memuat berbagai regulasi tentang aturan berlalulintas meski berulangkali disosialisasikan, namun belum dilaksanakan sepenuhnya. Memang benar permukaan ruas jalan Timor Raya, khususnya dari Oebelo hingga Baubau --dekat Polres Kupang-- pecah-pecah dan bergelombang. Namun itu tidak harus menjadi biang keladi penyebab kecelakaan.

Secara umum, permukaan ruas jalan-jalan utama dalam Kota Kupang sudah cukup bagus. Namun yang masih perlu dilengkapi adalah rambu atau tanda-tanda jalan. Pengakuan warga Oebelo bahwa di lokasi yang sama sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan sepeda motor perlu disikapi pemerintah. Buatlah papan peringatan bahwa di lokasi tersebut jalannya bergelombang atau pecah-pecah.

Namun sebenarnya ini bukan masalah, kalau para pengendara taat aturan. Aturan berlalulintas di NTT memang aneh untuk diperdebatkan, terutama untuk pengendara sepeda motor. Kita contohkan saja sikap pengendara yang dengan sengaja dan tahu tidak menggunakan helm standar, namun akan protes bila ditegur polisi lalu lintas. Ada lagi yang lucu! Pada hari kerja, polisi akan melakukan tilang terhadap semua kelengkapan pengendara dan kendaraan, namun ini tidak terjadi bagi mereka yang hendak ke rumah ibadah --gereja, pura atau masjid. Ada kesan bahwa kalau ke gereja, masjid atau pura tidak akan celaka sehingga pengendara dibiarkan bebas.

Dari sini, tampak jelas bahwa ketegasan polisi dalam menegakkan aturan masih dipertanyakan. Lihat saja kejadian beberapa waktu lalu ketika polisi lalu lintas menahan keluarga seorang perwira Polresta Kupang di Jalan El Tari Kupang. Perwira tersebut membubarkan polisi lalu lintas yang sedang menjalankan tugas hanya karena menilang keluarganya. Ini belum termasuk perilaku oknum aparat satuan lalu lintas yang sepeda motornya juga tidak layak jalan. Atau ada juga yang karena markasnya di bundaran jalan, maka dengan seenaknya menerobos ke luar meski sedang lampu merah.

Di sini jelas bahwa meningkat atau menurunnya kecelakaan lalu lintas tergantung pada perilaku pengendara dan aparat kepolisian. Pengendara harus sadar bahwa satu kesalahan kecil yang dibuat, maka nyawa akan melayang. Memang tidak 100 persen benar bahwa kalau memakai helm standar, tidak akan celaka. Tapi dengan menaati aturan, minimal nyawa masih bisa diselamatkan. Yang masih menjadi persoalan adalah mengemudikan sepeda motor dalam keadaan mabuk minuman keras (miras).

Sarannya adalah agar polisi lalu lintas juga harus tegas. Polisi tegas, polisi juga harus memberikan contoh. Jangan pandang bulu, keluarga, rekan, pejabat, bukan pejabat, hendak ke rumah ibadat, pawai, dan lainnya, harus tetap ditindak sesuai aturan. Kalau memang tertulis dalam UU No.14 tahun 1992, harus membiarkan yang ke rumah ibadah tanpa kelengkapan, jalanilah itu. Tapi, kalau tidak ada, harus ditindak.

Kecelakaan yang merenggut nyawa bisa diminimalisir kalau aturan ditatati. Aturan dibuat bukan untuk menekan atau menakut-nakuti orang. Jalan raya hanya fasilitas untuk mengantar kita cepat sampai ke tujuan, jadi dia bukan arena untuk balapan. Ketika kita disiplin menaati dan menjalankan aturan, maka batu dan lilin tidak lagi akan tampak di tepi jalanan. (sipri seko)

SYALOM