Oleh Dion DB Putra
LIO mungkin tak lagi asing bagi telinga sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT). Lio adalah salah satu suku di Pulau Flores yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Ende sekarang. Yang kerap disapa Ata Lio (orang Lio) juga ada di Kabupaten Sikka yaitu di wilayah Paga, Maulo'o dan sebagian Magepanda.
Seperti umumnya penduduk NTT, kehidupan Ata Lio sangat bergantung pada usaha pertanian lahan kering. Mereka menganut sistem patrilineal agraris. Harta adalah hak milik laki-laki dan keturunan laki-laki. Secara tradisi ada pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan mengurus rumah tangga. Laki-laki mencari nafkah dan menjalani peran publik. Namun, dalam mengerjakan ladang, laki-laki dan perempuan Lio melakukan secara bersama.
Saya mau menceritakan peran perempuan Lio berkaitan dengan kebo (artinya lumbung pangan). Sebagian suku Lio menyebut lewa. Bangunan kebo terbuat dari bahan lokal seperti bambu, kayu, tali ijuk dan alang-alang atau ijuk untuk atap. Letaknya dekat dengan rumah pemiliknya di kampung. Kebo juga dibangun di kebun ladang bersama mbe'i (pondok).
Sekalipun menganut patrilineal, suku Lio menghargai peran perempuan sebagai penyimpan hasil panen, penjaga lumbung dan pengelola dapur. Hal itu tercermin antara lain dalam ungkapan lesu usu wuni kai kebo bela, tau jila lika banga waja.
Perempuan Lio merupakan manajer kebo yang andal. Dialah yang mengatur isi kebo demi ketahanan pangan keluarga tetap terjamin, baik pada masa surplus maupun paceklik. Semua hasil panen dari kebun seperti padi, jagung, umbi-umbian, sorgum, kacang-kacangan, wijen, timun, labu besi disimpan dalam kebo. Sebagai "penguasa" kebo, perempuan Lio dituntut cerdas dan bijak dalam mengatur penggunaannya. Khusus untuk benih, perempuan Lio memberi perhatian khusus. Hasil panen untuk benih disimpan dalam tempat khusus dan terpisah dengan bagian panenan untuk konsumsi keluarga sehari-hari. Saya masih ingat pada masa kecil dulu melihat mamo (nenek) menyimpan semua benih semisal terung, kacang- kacang, ketimun, labu dalam ruas bambu betho (betung) tua dan kering. Bambu ditutup rapat agar benih tidak rusak diserang lembab. Ketika musim tanam tiba, benih dikeluarkan untuk ditanam. Biasanya diawali dengan upacara adat khusus.
***
KISAH tentang kebo dan peran perempuan Lio sebagai manajer pangan yang andal itu agaknya tinggal kenangan. Ketika menelusuri sejumlah kampung di Lio selatan dan utara pada bulan September dan awal November 2008, saya tak lagi menemukan kebo di kampung dan kebun ladang.
"Eda, kebo lewa sawe do nala," kata Stefanus Eko, paman saya di Kampung Pemo, Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru, pekan lalu. Kebo lewa (hilang) sawe. Eksistensi lumbung pangan sudah lama memudar dan nyaris hilang dari kehidupan masyarakat petani di Lio. Kalaupun masih ada, jumlahnya sangat sedikit dan fungsinya tak lagi sama seperti dulu. Perempuan Lio masa kini tak lagi akrab dengan kebo. Mereka membeli benih di pasar atau toko. Tidak banyak lagi rumah tangga petani yang memiliki benih tanaman pangan sendiri. Peran perempuan Lio bergeser dari penjaga lumbung menjadi pemegang uang. Mereka lebih mudah mendapatkan uang dari menjual komoditi perdagangan hasil tanaman umur panjang seperti kemiri, kakao, cengkeh, vanili atau jambu mete, dan uang dipakai membeli benih. Pengetahuan tentang benih lokal pun sangat minim. Coba tanyakan kepada perempuan dan laki-laki Lio masa kini, saya yakin tak banyak dari mereka yang tahu benih unggul lokal.
Seperti diakui Stefanus Eko dan Firmus Dawa di Watuneso, Kecamatan Lio Timur, ladang ditanami padi, jagung, sorgum dan kacang-kacangan demi kedaulatan pangan keluarga tidak lagi menjadi perhatian utama. Mereka memilih tanaman perdagangan karena hasil lebih baik dan mudah mendapat uang. "Kami cuma buka kebun baru, tanam padi buat urusan adat. Kalau tidak sempat, beras bisa dibeli di pasar," kata Dawa. Ketergantungan petani Lio pada pasokan pangan dari luar sangat tinggi sehingga masuk akal bila eksistensi kebo tidak penting lagi. Benih tanaman pangan lokal yang unggul pun mereka tinggalkan. Dengan enteng mereka berkata, uma leka rega-rega (artinya, kebun sebagai sumber pangan ada di pasar- pasar. Mudah mendapatkannya asal ada uang). Sungguh sebuah "kehilangan" yang besar. Saya kira bukan hanya terjadi di kampung masyarakat Lio. Masyarakat Flobamora umumnya telah kehilangan warisan bernas itu.
Dulu, leluhur kita tak butuh pasar untuk dapat makan dan minum, demi mempertahankan kelangsungan hidup. Sumber makanan bergizi mereka petik dari hasil kebun sendiri. Mereka berdaulat atas isi perut sendiri. Hari ini, kebutuhan pangan sangat bergantung dari pihak lain. Dan, belum tentu pangan yang sehat.
Kembali menata kampung yang berdaulat dalam hal pangan kiranya menjadi pekerjaan rumah siapa saja. Busung lapar dan gizi buruk yang menjadi "bencana tahunan" Flobamora boleh jadi karena kita telah melupakan kebo. Ya, kebo lewa sawe! (dionbata@poskupang.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar