Minggu, 23 November 2008

Gemuruh Hati Leticia

Oleh Rosalina Langa Woso

WAJAH perempuan berkepala lima itu tampak kusut. Garis-garis ketuaan melingkar hampir di seluruh kelopak matanya. Sambil tersenyum dengan kepala sedikit merunduk, Leticia menyodorkan selembar sertifikat kepada Ara. Lety, begitulah sapaannya, menatap penuh harap. Lima juta rupiah bisa diperolehnya saat itu dengan menggadaikan sertifikat tanah.

Lahan seluas tiga ratus meter persegi dengan bangunan permanen, harus dijual di bawah tangan. Paling tidak, sudah ada modal awal pernikahan putrinya Sonya dengan Andy. Pemuda asal Oepoli, yang melamar via service masage system (SMS) itu nekad buat pahe (paket hemat). Satu minggu ambil cuti, langsung pinang dan bersanding di pelaminan.

Andy, perjaka yang bekerja sebagai buruh pada sebuah perkebunan kelapa sawit di Riau Pekanbaru, Sumatera telah mencuri hati Sonya. Setiap pesan yang masuk melalui handphone, hati karyawan pada sebuah supermarket kenamaan di Kota Kupang itu luluh lantah. Maklum. Andy akan 'memberondong' dengan segudang pertanyaan. Sangat mirip dengan iklan pacar posesif yang terpampang di sudut kota. "Di mana? Dengan siapa? Sudah makan atau belum? Jam berapa kerja? Jam berapa pulang? Siapa yang jemput? Sudah tidur atau belum?" Deretan pertanyaan yang membuat hati Sony geli dan tertawa panjang.

Cinta memang mampu menembus ruang dan waktu. Kedua hatinya rekat hanya melalui pesan yang sebenarnya salah nyasar. Lety tersenyum kecut, bila mengenang wajah Sonya yang ceria dan semangat, menceritakan kisah-kasihnya bersama Andy.

Awalnya, Andy mengirim pesan lamaran itu kepada Rani, teman kelas esempe dulu. Maklum, nomor Rani dan Sony bedanya tiga dan empat di angka terakhir. Pesan melalui dua belas digit itu seharusnya ditujukan kepada Rani, serta nyasar. Pesan itu pun berlalu tanpa dikendalikan.

Sonya yang sibuk layani pembeli dibuat ketar-ketir saat membaca pesan lewat SMS itu. "Kamu sudah siap untuk dilamar? Dua bulan lagi saya pulang." Itulah pesan yang menjadi awal kisah kasih mereka berdua. "Siapa ya? Nomor ini tidak tercatat," balas Sonya tidak kalah tegas.

Lety tersentak. Ara yang dikenalnya dalam kelompok arisan satu kampung itu belum siap menyatakan kesediaan untuk memberikan pinjaman. Padahal, sejak sepuluh menit yang lalu, ayah dua anak itu telah bolak-balik membaca sertifikat rumahnya yang beralamatkan di pesisir pantai Kelurahan Oesapa. Jantungnya berdegup kencang manakalah Ara dengan mesra memanggil istrinya. "Teto..." suara Ara lembut. Agatha tergopoh-gopoh menghampiri suaminya. Dua kali Ara memanggil sebutan itu, pangilan sayang untuk perempuan yang menyimpan berbal- bal cinta untuknya. Cinta tanpa batas, tanpa pamrih yang telah memberinya status ayah dua anak.

"Teto. Ini ada Tanta Lety, mau pinjam uang dengan gadaikan sertifikat tanah," ujar Ara tenang sambil menatap istrinya yang duduk bersisian. "Kenapa tanta harus repot-repot antar sertifikat segala, kalau pun ada uang pasti kami bantu," timpal Agatha.

Agatha sangat mengerti. Perempuan yang nyaris beringsut di hadapan mereka itu telah putus asa untuk mendapatkan uang. Jauh-jauh hari, Sonya telah bercerita, kalau dirinya akan dilamar dan menikah. Tidak heran, ibunya harus pusing tujuh keliling untuk menyiapkan acara resepsi.

Lety bukan perempuan biasa. Tiga puluh tahun silam, dia adalah pemilik tubuh sintal dengan leher jangkung. Rambut hitam legam, panjang terurai sebatas bahu. Dia tampak sempurna dengan bulu mata lentik memagari bola matanya yang bundar, bening dan meneduhkan. Senyumnya menebar pesona dan tertawa lebar sambil memperlihatkan giginya yang gingsul.

Pesona itu masih ada, tersimpan rapi dalam batinnya yang setia dan ramah menyapa siapa saja. Ia lebih banyak diam saat berada dalam pertemuan keluarga, arisan ataupun bersama tetangga menikmati rujak cingur.

Kesulitan mencari lembaran rupiah untuk menyekolahkan tiga buah hati membuatnya lebih bijak dan mandiri. Garis-garis ketuaan di wajahnya yang bundar, merupakan saksi hidup baginya bahwa ia lebih banyak didera kesulitan ekonomi rumah tangga.

Satu persatu kekayaan miliknya ludes tergadai, saat terhimpit kebutuhan rumah tangga. Sofa lusuh satu set berwarna merah yang dideretkan ruang tamu menjadi satu-satunya barang mewah. Ruas jendela yang dipetak-petak dengan kaca nako tampak retak sana sini.

Sementara plafon rumahnya yang terbuat dari tripleks kian lusuh, sobekannya menjuntai nyaris menutupi lampu neon di langit-langit kamar yang disesaki banyak tamu. Sekuat tenaga, perempuan asal Sabu itu membangun tiga petak rumah untuk dijadikan kos-kosan yang sampai saat ini belum berdaun pintu dan jendela.

Rumah induk yang kini dihuni, sebagiannya dikontrakkan kepada mahasiswa, pengantin baru, para pendatang dari pulau seberang. Sementara di sudut dipannya sendiri, berdiri mesin jahit singer yang kusam. Deru mesin tua itu, terdengar ngos-ngosan saat merakit baju, kain pintu, gorden ataupun taplak meja langganannya. Deru mesin yang setia menemani hingga tengah malam, bahkan menjelang subuh saat pesanan jahitan menumpuk.

Lety bekerja serabutan untuk menghidupi hari-harinya yang panjang dan menggetirkan. Tujuh tahun silam, ibu tiga anak itu, pernah tertangkap tangan saat mengisi kayu cendana kelas satu asal SoE dalam tas pakaian.

Aroma santalum album yang terancam punah itu, membuatnya harus satu jam diadili petugas perbatasan. Dia kecewa harus pulang dengan tangan hampa. Tas itu ringan tanpa isian barang selundupan. Padahal, batinnya berbunga-bunga. Sepuluh kilogram kayu cendana itu bisa dijual untuk uang semester anaknya di Universitas Nusa Cendana

Dia sadar, dirinya hanyalah janda yang tidak memiliki kekuatan lobi untuk lolos dalam pemeriksaan itu. Ia pun digiring dan dicerca seperti penjahat perang dengan belasan pertanyaan yang menghina dan menyudutkan bathin. Padahal, dalam ingatannya yang mulai rapuh, dia banyak dengar ada banyak pejabat dan pengusaha lolos membawa berton-ton hasil hutan ke luar daerah.

Lety tersenyum sambil memperbaiki posisi duduknya. Lembaran rupiah berhasil diboyong dari hasil gadaian sertifikat. Dia tersenyum kecil bila mengenang peristiwa itu. Sony telah menyandang gelar sarjana. Pekan depan, perempuan yang mewarisi wajah suaminya itu resmi menjadi nyonya Andy, lelaki yang sebentar lagi memboyongnya ke perkebunan kelapa sawit.

Hari itu, Lety mengenakan kebaya merah hati dipadu dengan sarung sabu, motif lontar dibagian kakinya tampak jelas dipadu dengan sendal slof senada dengan kebaya. Dia anggun dengan sanggul moderen, diapit kembang melati. Mentari kemuning mulai rebah di kaki langit, menjemput sang malam untuk kembali keperaduannya. Wajahnya sedikit gugup, saat Master Ceremony (MC) memintanya untuk berdiri untuk mengapit putrinya menuju kediaman menantunya di Oepoli.

"Poly...," guman Lety dalam hati. Langkahnya gamang saat keluar dari ruang tamu. Tubuhnya nelangsa, bathinnya bergemuruh menahan gejolak yang mendera-dera sepanjang hari itu. "Kamu biarkan saya sendiri mengantar Sonya," ujar Lety sambil menebar senyum kepada penghuni tenda biru.

Pikirannya jauh menembus gedung kokoh di hadapannya. Jemarinya diremas-remas untuk menghalau kegalauan hati. Wajah Poly menari-nari, merasuk sukma, membangkitkan semua kenangan bersama di rumah tua itu. Lelaki yang dikenalinya di sebuah pesta keluarga, dua puluh lima tahun silam.

Kala itu, Poly tampil tenang dan tampan. Rambut cepak rapi dengan kulit wajah hitam manis. Tubuhnya atletis. Ia gagah mengenakan baju coklat berlengan pendek, dadanya bidang dipenuhi rambut, menyembul, saat dua kancing dibiarkan terbuka. Dandannya rapi. Lety tidak berdaya, manakala bola mata lelaki itu mengejarnya tanpa kedip. Memberinya kehangatan dan api cinta.

"Kamu pernah nonton acara balapan, ada yang harus mendahului garis finish. Itu tidak berarti, yang kemudian tidak mencapai garis finish kan ? Sama halnya dengan cinta yang kita rajut. Balapan itu ibaratnya menuju samudra cinta, kau dan aku sama-sama menuju ke garis finish itu," tukas Poly yang bertandang ke rumahnya, saat Lety masih berusia tiga puluh dua tahun.

Lety terdiam. Tubuhnya nyaris tak bergerak, saat Poly mendekapnya dalam-dalam. Lengan kokoh itu terlalu kukuh untuk ditepiskan. Ia biarkan, bibir yang ditumbuhi kumis terawat, mengulum mesra. Gelora cinta mendayu-dayu, menjalar sepanjang tubuh. Merintih, lalu tergolek dalam diam, setelah melepas semua himpitan dalam satu tarikan nafas yang amat panjang.

Mereka terbangun, saat hangat mentari pagi menjilati tumit lewat daun jendela yang tersingkap. Lety terperangkap dalam benih cinta, dia terlanjur dipantuli cahaya. Diam dan pasti, dibiarkan cahaya itu merasuk dalam sukmanya. Ditahtahkan jauh menjalar lewat nadinya yang setia berdenyut. Ia baru sadar, ketika buah hatinya tumbuh dalam rahimnya. Lelaki yang membuahinya itu bukanlah perjaka ting-ting. Ia telah beristri dan beranak tiga.

"Trimakasih, atas kesediaan untuk tidak sentimentil. Kamu bukan perempuan biasa. Ketenanganmu dalam bicara, kemurahan hati dan diam dalam tindakan, membuatku selalu nyaman bersamamu," puji Poly di lain saat, sambil mendekapnya ke dalam dadanya yang bidang.

Pujian itu adalah cemeti baginya untuk tidak terlalu cengeng saat melewati ribuan jam tanpa suami. Tubuhnya nelangsa, ia takut hari-hari hidupnya akan menimpa putra-putrinya. "Tidak, cukup aku saja yang melewati kegetiran ini. Sonya tidak bersalah, ia terlahir dari dua hati kami yang saling mencintai," tepis Lety dalam hati sambil beranjak dari tempat duduknya.

Aku sudah terlanjur mencintai Poly. Cintanya harus kupahami bukan sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum. Ia telah mati terkubur dengan nisan yang mulai kabur termakan usia. Jenazahnya sudah menyatu dengan tanah liat, di pekuburan umum yang kini masih jadi polemik akan terjadi pencemaran air bawah tanah.

Didekapnya Sony kuat-kuat, detak jantungnya berpacu lebih cepat. "Pergilah... Andy sangat mencintaimu. Engkau akan merasakan betapa indahnya hidup ini, bila hidup bersanding dengan lelaki yang lebih mencintai daripada dicintai," ujar Lety menahan haru.

Malam itu, akhir November. Cahaya rembulan masih berpendar di atas batu karang, pucuk ilalang muncul setelah sepuluh bulan rebah, hilang di telan bumi. Remang-remang, deru mobil menghilang meninggalkan tenda biru, membawa pergi buah hati. "Poly, kau adalah sebuah kata cinta yang tak bisa kumaknai sampai kapanpun," bathin Lety bergemuruh. *

Tidak ada komentar:

SYALOM