Senin, 06 Oktober 2008

Mbeka

Oleh Dion DB Putra

NAMA
sebenarnya bukan Mbeka. Di sekolah menengah dulu, beta dan teman- teman seangkatan menyapanya begitu karena perutnya yang agak buncit. Sapaan akrab itu bertahan sampai sekarang. Pada usia menjelang 41 tahun, perut Mbeka memang kian membesar oleh lemak. Jadi, sapaan Mbeka belum keluar dari koridornya. Si Mbeka tetap mbeka.

Dia berdiri tak jauh dari sukun muda di ujung Lapangan Pancasila-Ende. Beta hampir tidak mengenalinya. Dia memakai kaca mata gelap dan menutup kepala dengan helm standar. Berkaus oblong dipadu rompi yang kebanyakan dipakai tukang ojek, celana pendek serta sandal jepit.

"Biar tidak dikenal oleh mata-mata ko," katanya sambil terbahak. Hari itu Mbeka "menonton" kampanye salah satu paket calon yang ikut berkompetisi merebut kursi Bupati-Wakil Bupati Ende periode 2008-2013. Diksi "menonton" yang digunakan Mbeka agaknya tidak keliru. Jarak Mbeka dengan podium kampanye hampir seratus duapuluh meter. Dari posisi itu, Mbeka tidak mendengar jelas kata-kata juru kampanye serta pasangan calon yang hendak maju dalam pilkada.

Kalau sekadar menonton kampanye, apa manfaatnya? Ketika mahasiswa, Mbeka aktivis organisasi. Menyelesaikan studi dengan predikat terbaik. Mbeka paham tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, dia mengerti dengan baik soal makna demokrasi.

"Saya cuma mau lihat massa yang datang. Saya tidak akan lama-lama di sini, takut ketahuan," kata Mbeka. Mbeka takut ketahuan seperti teman-temannya yang lain. Cukup banyak teman Mbeka yang langsung mendapat SK (Surat Keputusan) mutasi ketika kedapatan mengikuti kampanye atau bersimpati pada salah satu paket calon tertentu.

Menurut Mbeka, mereka yang kuat kuasa selalu memasang mata-mata. Ketahuan ikut kampanye hari ini, besok langsung dapat SK pindah. Pindah ke tempat yang jauh, terpencil dan posisi baru tidak sesuai dengan kapasitasnya.

Keputusan mutasi tidak masuk akal, tetapi harus dijalani. Kalau bukan mutasi, yang bersangkutan bakal mendapat intimidasi, teror dan ancaman. Diteror dan diancam oleh orang-orang yang masuk dalam lingkaran penguasa birokrasi. "Pilkada bukan tempat yang aman bagi orang-orang seperti saya," kata Mbeka lalu bergegas menuju sepeda motornya, menghidupkan mesin dan cepat melesat melalui Jalan Soekarno-Hatta.

***
MENYEDIHKAN perjumpaan dengan Mbeka. Lama kami berpisah. Saat bersua di akhir pekan, kutemui Mbeka yang berbeda. Mbeka yang terpenjara dalam kapasitasnya sebagai pegawai negara.

Keluar enggan, bertahan pun serba salah. Agar dapur tak kehilangan asap, demi istri, anak, dan keluarga, Mbeka memilih bermain kucing-kucingan. Mbeka, sahabat lamaku itu, seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dia juga pejabat eselon.

Ketika musim pilkada tiba, banyak orang mengalami nasib seperti Mbeka. Diancam, diteror bahkan dimutasi dalam sekejap. Lurah dan Camat harus sejalan. Kepala sekolah diarahkan. Berbeda sikap, bakal dicopot. Mereka dipenjara dalam sistem yang diterapkan secara salah. Hak asasinya diberangus atas nama loyalitas. Siapa berkuasa, dia seolah-olah berhak mengatur segalanya.

Momentum pilkada di beranda rumah Flobamora telah ikut "mendidik" pegawai negeri menjadi manusia munafik. Piawai bermain kucing-kucingan. Mereka bukan manusia bebas. Hak politik terpasung. Mendukung si A bakal dibabat, mendukung si B bisa tergencet. Bersimpati pun tidak boleh. Mengabdi sebagai pegawai negeri, apakah sebuah kesalahan? (email: dionbata@poskupang.co.id)

Tidak ada komentar:

SYALOM