50 Tahun Sunda Kecil Berlalu (2)
Oleh Damianus Ola dan Dion DB Putra
SECARA faktual pariwisata di tiga propinsi Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTB) telah mengalami perkembangan dengan intensitas yang sangat bervariasi. Pariwisata Bali telah berkembang pesat dan sudah menjadi ikon pariwisata nasional.
Saat masih bergabung dalam Propinsi Sunda kecil, Bali, NTB dan NTT sama-sama mengandalkan sektor primer (pertanian). Namun kini, ekonomi Bali sudah dimotori industri pariwisata yang dengan cepat mengubah struktur ekonomi Bali dari agraris ke jasa (tersier). Peran sektor tersier saat ini begitu dominan.
Hanya dua tahun (2004) setelah dihantam teror bom, kata ekonom Universitas Udayana, Prof Dr. I Nyoman Irawan,
pariwisata Bali sudah mampu menyumbang PDRB 47,2 persen. Melesatnya perkembangan industri pariwisata dan menjadi leading sector di Bali, katanya, karena syarat untuk itu dipenuhi, yakni pertama, sektor primer, senkunder dan tersier sudah berkembang. Kedua, pariwisata didukung perusahaan-perusahaan kecil yang tersebar di seluruh daerah. Ketiga, sektor pariwisata tidak menimbulkan daerah kantong (enclave) dan keempat, tingginya permintaan dalam dan luar negeri terhadap sektor jasa pariwisata.
Sebaliknya sektor pariwisata NTB dan NTT masih berjalan tertatih-tatih dengan segala keterbatasannya. Menurut ekonom Universitas Mataram, Dr. Prayitno Basuki, MA, dibutuhkan grand design promotion untuk memajukan pariwisata di tiga "wilayah kembar", Bali, NTB dan NTT. Kemajuan industri pariwisata Bali diyakini mampu menjadi gerbong untuk menarik dua saudaranya, NTB dan NTT. Indikator-indikator keberhasilan industri pariwisata Bali bisa dijadikan sebagai salah satu acuan sambil tetap memberi aksentuasi pada keunggulan-keunggulan tiap wilayah.
Kemajuan pariwisata sungguh mensyaratkan dukungan infrastruktur. Dr. Prayitno menyebut beberapa indikator infrastruktur pariwisata antara lain transportasi, akomodasi, informasi pariwisata dan teknologi pariwisata. Transportasi untuk mendukung kemajuan ekonomi-pariwisata Sunda Kecil mendapat perhatian serius dari forum seminar "50 Tahun Sunda Kecil Berlalu".
Dengan mengutip data BPS 2008, Prayitno membeberkan kesenjangan infrastruktur transportasi di Bali, NTB dan NTT. Untuk transportasi darat, indikator kerapatan jalan di Bali mendekati Jawa sementara NTB dan NTT jauh tertinggal karena tingkat kerusakan jalan begitu tinggi. Pelabuhan laut di Bali berkinerja baik sementara dua saudara di sebelah timur baru 40-60 persen. Ketersediaan sarana transportasi air di NTB 0,4 persen sementara di NTT 0,8 persen. Demikian pula transportasi udara. Kinerja bandara Ngurah Rai (Denpasar), Selaparang (Mataram) dan El Tari berbeda bumi-langit. Pergerakan penumpang di Ngurah Rai mencapai 2,6 juta/tahun, Selaparang 600-750 ribu/tahun dan NTT masih di bawah 500 ribu/tahun.
Begitu juga akomodasi sebagai salah satu syarat penting bagi pengembangan pariwisata. Data BPS tahun 2008 yang dikutip Dr. Prayitno menyebutkan, Bali sudah memiliki 147 hotel berbintang (19.940 kamar) dan 1.419 hotel nonbintang (20.900 kamar). Sedangkan NTB baru mempunyai 32 hotel berbintang (2.020 kamar) dan 291 hotel nonbintang (3.496 kamar). NTT? Hanya ada enam hotel berbintang (260 kamar) dan 209 hotel nonbintang (3.093 kamar).
Baik transportasi, akomodasi, informasi, komunikasi, teknologi dan sektor-sektor terkait lainnya seperti kesehatan, kebersihan dan keamanan, sangat mempengaruhi kinerja pariwisata. Dr. Fred Benu menyebut Triple-T (Trasportation, Tellecommunication, Travel) yang mendeterminasi dinamika pembangunan suatu wilayah terlihat begitu jelas di Bali. Transportasi dan travel melecut keberhasilan pariwisata Bali meninggalkan NTB dan NTT.
***
Dengan kesenjangan tersebut, Dr. Prayitno menawarkan beberapa rekomendasi bagi pengembangan bersama pariwisata Bali-NTB-NTT secara terpadu. Pertama, penyusunan rencana pengembangan infrastruktur pariwisata jangka menengah kawasan Nusa Tenggara (Sunda Kecil) didasarkan pada hasil kajian akademis yang profesional dan kompeten. Kedua, orientasi pada wisatawan nusantara. Dengan target perjalanan wisata dilakukan oleh 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia, maka diperoleh 45 juta perjalanan/tahun. Asumsi rata-rata belanja setiap perjalanan minimal Rp 2 juta maka akan terjadi peredaran uang mencapai Rp 90 triliun/tahun.
Ketiga, dibutuhkan kerja sama antar-kawasan wisata untuk kepentingan promosi (grand design promotion) dan pelayanan terhadap wisatawan. Keempat, meningkatkan dukungan pemerintah kabupaten/kota melalui politik kebijakan dan penganggaran yang pro- pariwisata. Kelima, pengembangan kapasitas dan produktivitas melalui pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan SDM yang profesional di bidang pariwisata.
Prayitno juga menekankan begitu pentingnya akses jalan dan pengembangan sistem interkoneksi transportasi untuk memudahkan kunjungan wisatawan. Tidak hanya interkoneksi transportasi antar-wilayah Bali, NTB dan NTT tetapi koneksi transportasi di wilayah masing- masing propinsi, khususnya NTB dan NTT pun harus dibangun secara serius.
Di NTT, misalnya, begitu tiba di Bandara El Tari, wisatawan mestinya bisa langsung connect dengan flight ke kota-kota yang dituju seperti Ende, Labuan Bajo, Larantuka, Lembata dan lain-lain. Wisatawan yang ingin menikmati perjalanan melalui laut, juga mesti bisa segera ada alternatif menuju daerah-daerah wisata.
Sejauh ini, seperti juga disoroti dalam seminar 50 Tahun Sunda Kecil Berlalu, transportasi laut di NTT masih sangat memprihatinkan. PT ASDP yang melakukan pelayaran perintis mengoperasikan kapal-kapal tua yang masih jauh dari aspek kenyamanan dan keselamatan pelayaran. Kapal motor penyeberangan (KMP/feri) yang sudah "renta" yang mestinya hanya layak untuk lintas penyeberangan dengan jarak tempuh di bawah lima jam, dipaksa berlayar mengarungi laut Sawu dengan jarak tempuh belasan jam. Kapal-kapal Pelni yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di NTT pun belum intens dan tidak semua daerah potensi wisata disinggahi. Transportasi darat dari ibukota kabupaten/kecamatan ke lokasi-lokasi wisata potensial di pedalaman pun, harus diakui, masih compang- camping. Sarana pendukung di lokasi wisata seperti aspek sanitasi, sarana komunikasi, akomodasi dan lain- lain, juga masih jauh dari harapan. Tak kalah penting, masyarakat di sekitar obyek wisata pun harus dipersiapkan agar tidak hanya menjadi penonton yang cengar-cengir melihat para turis setengah telanjang. Harus ada rembesan ekonomis ke kantong warga di sekitar obyek wisata.
Butuh kerja keras bersama. Kerja besar. Kerja berat! Agar gagasan untuk mengembangkan bersama pariwisata Bali-NTB-NTT secara terpadu yang lahir dari diskusi sehari di Kuta-Bali, tidak hanya sebatas konsep. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar