Dari Pemakaman Umbu Mehang Kunda (4)
Oleh Gerardus Manyella dan Adiana Ahmad
TERIK mentari membakar bumi sandelwood. Warga Kota Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, tumpah rua ke Prai Awang-Rende untuk menyaksikan pemakaman bupati yang dekat dengan rakyat itu. Di tengah terik membakar kampung Prai Awang, sekejap puting beliung menyapu tanah lapang di tengah kampung yang diapiti rumah-rumah adat dan batu kubur leluhur anamburung itu. Saat itu, tua adat setempat sedang melakukan ritual menyeleksi ata atau hamba yang bertugas sebagai papanggang untuk mengantar almarhum Umbu Mehang Kunda ke liang lahat.
Hari itu, Senin (10/11/2008). Sekitar pukul 14.30 Wita, tua adat setempat menyeleksi beberapa ata atau hamba diambil empat orang, terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang wanita untuk menjadi papanggang. Mereka bertugas mengantar jenazah almarhum Mehang Kunda ke liang lahat. Keempat papanggang ini disucikan melalui ritual adat lalu didandani dengan pakaian khusus kebesaran raja-raja yang dilengkapi dengan manik-manik dan perhiasan emas. Para papanggang mengenakan lamba, mamoli, kanatar, muti salak yang dinggelu (kalung). Ritual ini menjadi tontonan sekitar 20 ribu pelayat yang memadati kampung adat itu.
Disaksikan Pos Kupang, sejak pagi keluarga anamburung menerima tamu atau rombongan adat dengan bawaan masing-masing. Tamu yang diundang terdiri dari ery aya (kakak-adik), ina rendi ama manu (raja/bangsawan), juru watu uma dallar (keluarga satu marga), tana nua watulihhi (tetangga kampung), kajuanga angu todu (lembah tempat tinggal bersama) dan ana kawini (saudari). Setiap rombongan tamu (satu marga) disambut dengan gong dan tangisan wanita penunggu jenazah. Tamu wanita memasuki ruang jenazah (kaheli bokul) lalu menangis dengan bahasa lawiti kemudian mendapat sirih pinang dari penerima tamu wanita. Tamu pria duduk di balai-balai (bangga), juga mendapat layanan sirih pinang oleh penerima tamu pria. Salah seorang dari rombongan tamu memberitahu pembawaan mereka. Setelah kaum wanita keluar dari tempat jenazah, rombongan dipersilahkan menempati tempat yang telah disiapkan untuk menikmati sirih pinang dan kopi.
Di balai-balai rumah jenazah, para wunang berbicara secara adat mengenai pembawaan dan permintaan mereka (pulu dungu). Jika sepakat maka ditikam babi (kameti). Babi kameti dibagi dua, setengah dimasak untuk dimakan di rumah duka dan setengah dibawa pulang. Ana kawini (saudari) diberi kain/sarung sedangkan yera (ipar atau besan) diberi hewan atau mamoli. Tata cara ini hanya dilakukan keluarga bangsawan/raja yang ekonominya kuat seperti almarhum Umbu Mehang Kunda.
Penerimaan tamu seperti ini juga berlaku terhadap rombongan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Gubernur bersama Wakil Gubernur, Ir. Esthon Foenay, M.Si; Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe; Bupati Sumba Tengah, Drs. Umbu Sappi Pateduk dan Wakil, Umbu Dondu; Bupati Sumba Barat, Drs. Julianus Pote Leba; Bupati Sumba Barat Daya (SBD) terpilih, dr. Kornelius Kodi Mete; Bupati Alor, Ir. Ans Takalapeta; Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe; Wakil Bupati Flores Timur, Yoseph Lagadoni Herin; Sekda Kabupaten Kupang, Bernabas nDjurumana,S.H, dan pejabat lainnya, diterima di balai-balai uma bokul, lalu wunang mulai berbicara. Rombongan gubernur juga disiapkan wunang untuk berbicara dengan wunang tuan rumah dalam bahasa adat yang disebut luluk. Hiku tua mayangara, hiku kea lama lidi (sehingga disebut sebagai keluarga), inilah pesan yang disampaikan para wunang dalam luluknya. Mereka menyampaikan, gubernur dengan almarhum ada ikatan kerja, selaku hubungan secara pribadi disebut keluarga.
Tepat pukul 15.30 Wita, upacara pemakaman dimulai. Diawali sambutan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan wakil keluarga yang disampaikan Umbu Maramba Hau alias Umbu Maramba Meha. Umbu Maramba Hau melanjutkan memimpin tata upacara pemakaman secara adat tersebut. Seekor kerbau jantan kecil digiring masuk ke tengah kampung lalu disembeli oleh orang yang ditugaskan. Pemotongan harus berlangsung satu kali, kerbau atau kudanya tewas. Jika diulang, itu berarti ada sesuatu yang mengganjal. Disusul delapan ekor kerbau dan delapan ekor kuda yang dibantai di halaman tengah kampung itu. Pembantaian hewan ini menjadi tontonan para pelayat yang penuh sesak di areal yang luasnya kurang lebih setengah hektare itu.
Menyusul seekor kuda jantan merah digiring masuk ke halaman tengah. Kuda yang diyakini sebagai kuda tunggang (njara kaliti) almarhum menuju Lama Paka Jiu Jagang Lama Patana Rara 'negeri orang mati' yang diyakini banyak pohon cemara yang tumbuh di tanah merah atau Uma Manda Mobu Kaheli Manda Mbata, rumah yang tak pernah lapuk dan balai-balai yang tak pernah rubuh, dirias dengan emas, pelananya dari kain tenun ikat motif bangsawan, dilengkapi dengan payung yang dihias dengan manik-manik emas. Diyakini apa yang dirias pada kuda dan pakaian serta manik-manik emas yang dikenakan papanggang, itu yang dikenakan almarhum menuju alam baka.
Salah seorang papanggang yang berpakaian khusus lengkap dengan perhiasan adat dipapah dan dinaikkan ke punggung kuda (njara kaliti), kemudian dibawa ke kubur dengan iringan gong. Papanggang ini tidak boleh menyentuh tanah sehingga digendong saat naik dan turun dari kuda oleh petugas yang disiapkan. Papanggang ini mempunyai peran unik karena diyakini sebagai pengantara arwah. Dia dinaikkan di atas batu kubur sampai upacara penutupan kubur selesai, lalu diturunkan, lalu dinaikkan di atas kuda untuk seterusnya dibawa ke uma bokul. Papanggang ini tidak boleh mandi dan meninggalkan rumah sampai acara pahili mbuala (acara khusus memandikan papanggang) melalui ritual khusus di sungai.
Seorang papanggang pria ditutup kepala dan wajahnya dengan kain merah. Tugasnya bersama papanggang wanita mengantar jenazah ke liang lahat. Di sana mereka berada di samping kubur dan terus menangis hingga kubur ditutup. Saat itu, ada papanggang yang kesurupan, dia menjadi mediator antara arwah dengan keluarga. Disaat kesurupan, dia menyampaikan pesan-pesan arwah dalam bahasa daerah setempat. Seperti apa pesannya? Hanya dapat diketahui oleh keluarga inti dan itu akan dibicarakan setelah semua rangkaian prosesi pemakaman selesai.
Usai penutupan batu kubur dipotong lagi delapan ekor kuda dan delapan ekor kebau jantan dan betina induk. Ama bokol hama memotong lagi ayam yang dibawa papanggang wanita ke kubur untuk dilihat tali perutnya. Hati kuda juga diambil untuk dilihat lalu dimasak pada katoda, buat sesajian bagi leluhur. Para pengusung jenazah ke liang lahat mencuci tangan dengan air kelapa.
Selesai penguburan tamu-tamu diajak untuk beristirahat sejenak. Bagi tamu bangsawan masih ada percakapan adat. Upacara pakameting (memberi makan kepada rombongan adat) dilangsungkan setelah penguburan. Semua rombongan adat dengan bawaan dibalas berdasarkan silsilah masing-masing. Balasan terhadap pembawaan rombongan tamu disesuaikan dengan pembicaraan wunang, ana kawini mendapat kain/sarung, yera mendapat hewan atau mamoli. (habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar