Jumat, 19 September 2008

Wasit Jadi Kambing Hitam

Catatan Yang Tersisa


Oleh Sipri Seko

MANAJER Platina FC, Melkisedek L Madi dan pelatih Bon Kota Adonara, Asril Laba, mengeluarkan statemen bahwa klubnya tidak akan ikut turnamen sepakbola di Kota Kupang, kalau wasit-wasit yang ada masih dipakai memimpin pertandingan. Mereka menilai wasit yang ada sudah terlalu tua untuk memimpin pertandingan dengan tempo tinggi. Pengaduan yang sama sebenarnya datang dari sebagian besar pelatih peserta turnamen yang diterima panitia.

Panitia pelaksana dari Mitra Sportindo Event Organizer tidak bisa berkomentar banyak menerima pengaduan ini. Urusan perwasitan, berhubungan langsung dengan Pengprop PSSI NTT. Panitia hanya sebatas menginformasikan pengaduan itu, namun urusan menentukan siapa yang memimpin dan bagaimana kualitas kepemimpinannya, bukan menjadi urusannya.

Urusan wasit dalam turnamen sepakbola di NTT masih menjadi persoalan. Ada banyak contoh kericuhan dalam turnamen-turnamen resmi yang penyebab utamanya berawal dari kepemimpinan wasit. Contoh paling nyata adalah dipenjaranya striker Kristal FC, Maksi Kami, karena memukul wasit, Ruben Huru saat penyelenggaraan turnamen Dji Sam Soe-Pos Kupang Cup 2007. Kasus ini pun menjadi pelajaran penting bagi para pemain dan pelatih. Mereka mungkin geram terhadap keputusan wasit, namun mereka juga tak ingin menginap di 'hotel pordeo.'

Dari sisi kualitas dan pemahaman terhadap aturan, sebenarnya wasit-wasit kita sangat mampu. Yang jadi soal mungkin usia mereka. Dengan usia rata-rata di atas 45 tahun, kebugaran mereka, baik fisik maupun konsentrasi menjadi pertanyaan. Ketidakmampuan untuk terus berlari mendekati bola sesuai aturan FIFA membuat mereka terkadang masih salah mengambil keputusan. Tapi, apakah kita harus terus mempersalahkan mereka?

Itulah kelemahan kita bersama. Belum ada yang memikirkan peran wasit dalam memajukan sepakbola. Kita masih sebatas yang penting bersertifikat, masih mau memimpin dan tahu aturan, dia layak pimpin pertandingan. Padahal, badan sepakbola dunia, FIFA, memiliki aturan tentang pembatasan usia wasit. Contoh nyata adalah wasit ternama asal Italia, Piarluigi Collina yang harus pensiun di usia 45 tahun, meski masih menjadi wasit terbaik dunia saat ini.

Lalu, apa penyebab kita tidak melakukan regenerasi wasit? Banyak potensi yang seharusnya bisa dibina menjadi wasit berkualitas, namun belum dilaksanakan. Lihat saja keputusan Mitra Sportindo untuk menggunakan mahasiswa jurusan olahraga dari FKIP Unkris memimpin pertandingan ujicoba atau turnamen tak resmi lainnya yang mereka selenggarakan. Yudikar Praing, Musa Luluporo dkk menunjukkan kualitas yang cukup bagus. Mereka juga mampu berlari dan berkonsentrasi penuh selama pertandingan berlangsung. Sayangnya, mereka belum memiliki sertifikasi untuk memimpin pertandingan.

Ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama. PSSI, klub, pemain, pelatih, ofisial, penyelenggara maupun sponsor harus duduk bersama dan sepakat untuk mencarikan solusinya. Para wasit senior yang ada harus dimintai tanggapannya. Mereka harus diajak untuk bersama-sama melahirkan generasi-generasi baru yang bisa melanjutkan tugas mereka memimpin dan menegakan aturan permainan.

Kita semua tahu profesi wasit sepakbola di NTT, bukan merupakan tempat mencari makan. Para wasit lebih memimpin hanya demi sepakbola. Mereka juga tentu tak ingin namanya terus diteriaki pemain, pelatih, ofisial atau bahkan dilempari penonton. Mereka juga memiliki keluarga yang sangat menghormati mereka sama seperti orang kebanyakan lainnya.

Untuk itu, kalau memang wasit masih terus diprotes klub peserta, mereka masih dituding sebagai kambing hitam di balik kekalahan tim maka harus ada solusinya. Harus ada aksi bersama. Kalau memang sudah saatnya regenerasi, lakukanlah itu. Kalau memang jumlah wasit yang ada masih sangat sedikit sehingga mereka terus dipaksa memimpin, gelarlah pelatihan minimal bersertifikasi C3 untuk memimpin turnamen-turnamen antar-klub di daerah. Namun, yang harus dicatat, kalau mau menggelar sertifikasi wasit, faktor usia harus jadi persyaratan mutlak. (bersambung)

Tidak ada komentar:

SYALOM